(Sekar)
Aku mengganti seprei dengan susah payah. Memasangnya sendirian. Aku mulai membersihkan beberapa sudut di meja rias dan lemari buku. Aku juga membuka pintu balkon yang ada di ruang kerja dan dapur. Balkon di apartemen ini panjang sekali. Jadi aku mulai mencuci beberapa baju dengan mesin cuci yang berada dipojokan balkon dekat dapur, nyaris berdebu karena lupa aku tutup dengan kain penutup. Aku juga mematikan AC di seluruh ruangan agar keseluruhan apartemen ini berganti udara. Aku menatap pandangan yang langsung menghadap ke apartemen. Banyak sekali rumah-rumah warga dan beberapa gedung yang menjulang tinggi. Apartemen ini berada di lingkungan elit. Tidak begitu ramai dan lingkungannya tertata rapih. Aku masih bisa mendengar suara klakson kendaraan di bawah sana samar-samar.
Derr
(Mahesa) Jantungku berdegup kencang, napasku memburu, dan perutku masih terasa perih karena asam lambungku masih belum reda juga. Aku masih mencium aroma rambut Sekar. Aku memeluknya erat walaupun dia tidak membalas pelukanku. Sepertinya aku salah berbicara. Aku memang kelewatan. Aku cemburu. Perasaan itu menyesakkan dadaku. “Sekar. Bukan maksud aku menuduhmu…” Suara yang keluar terdengar takut-takut. Khawatir akan menyakitinya lagi. Sekar mendorong dadaku. Aku terdorong ke belakang. Aku melihat wajah Sekar yang sudah basah karena air matanya. Aku betul-betul menyakitinya. Dia berbalik lagi dan aku berhasil mencegahnya lagi. “Lepasin!” “Seka
(Mahesa) Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Mungkin seharian kemarin aku banyak tidur saat diinfus. Aku menuju dapur dan meminum dua gelas air. Sekar masih tertidur pulas. Aku duduk di pinggiran tempat tidur dan menatapnya lama. Aku memainkan rambutnya yang panjang tergerai acak. Membetulkan selimutnya dan…memotretnya. Indah sekali. Aku mengingat sejak kapan aku mulai menyukai Sekar. Apa karena terbiasa melihatnya setiap hari? Kalau begitu, jika aku dihadapkan dengan banyak wanita setiap hari mungkin aku akan jatuh cinta dengan semua wanita yang kutemui. Aku mengacak-acak rambutku sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi. Selesai mandi aku masih mendapati Sekar tidur pulas. Dengan hanya berbalut handuk saja, aku duduk kembali di pinggiran tempat tidur dan menatapnya lama.&nbs
(Mahesa) Aku menginjak pedal gas dengan pelan. Di dalam mobil menuju apartemen, aku dan Sekar tidak berbicara satu patah kata pun. Sekar kesal ketika tahu aku meminum kopi. Dia tidak berhenti mengomel saat aku menemaninya berbelanja. Jadi, malam menjelang ketika aku selesai melakukan rapat di kantor dan kebetulan aku harus menemui beberapa orang yang ada di salah satu pusat perbelanjaan di ibukota, mengecek ballroom yang ada di mall tersebut untuk acara launching nanti. Setelah aku bertemu dengan manajer mall, aku dan Kiano memutuskan untuk ke salah satu kedai kopi yang terkenal. Waktu aku masuk ke kedai kopi dan sempat mengantri, aku melihat Sekar dan Kevin duduk berdua sedang bercengkrama. Perasaan tidak suka membuncah di pikiranku. Apa yang dila
(Kevin) Dua minggu sebelumnya, Aku melihat layar ponselku berkali-kali. Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu di parkiran di sebuah gedung pusat perbelanjaan. Beberapa minggu yang lalu, aku dihubungi oleh seseorang yang ingin membantuku mendapatkan Sekar kembali. Yang aku tahu pasti, kesempatan itu langsung aku ambil. Dia mengaku kakak tidak sedarah, Mahesa, suami dari Sekar. Kami intens sekali bercakap-cakap via telepon dan akhirnya kami memutuskan untuk bertemu. Di sini. Seseorang mengetuk kaca mobilku dan aku langsung membukanya. “Kevin?” tanyanya. “Brian?” Aku memastikannya. &n
(Sekar) Aku masuk ke ballroom dengan gugup. Ini pertama kalinya aku menghadiri acara formal seperti ini, sebagai istri orang, seorang CEO, pemegang saham, dan merangkap pemilik perusahan. Pastinya kehadiranku sangat dinanti-nanti. Aku membuat dandananku menyesuaikan Mahesa. Formal. Tidak banyak yang kukenal dari peluncuran game pertama kali oleh perusahaan Mahesa. Teman-temanku yang pasti datang karena sudah diundang oleh Mahesa sendiri dan Kamila yang memang sengaja kuhubungi untuk datang. Lalu, aku melihat Lina menghampiriku setelah dia berbicara sebentar dengan Kiano di depan pintu, karena Kiano harus mendampingi Mahesa. “Sebetulnya aku lebih suka kamu nggak dandan.” bisik Mahesa dari belakang. Membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak datang bersamanya tadi. Aku hanya datang sendiri.
(Mahesa) Aku berdiri menghadap Kevin, memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong celana karena berusaha tidak mengepalkan tinju padanya. Setelah acara peluncuran, aku mendapati kabar oleh Derry bahwa Sekar berada di tempat yang berbeda, yaitu di kolam renang di Mall yang sedang direnovasi pula. Tercebur. Tidak bisa jalan. “Apa elo ada masalah dengan Sekar?” tanya Kevin. Berani-beraninya dia bertanya seperti itu. Aku bermasalah dengan Sekar atau tidak itu pun bukan urusannya. “Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?” lanjutnya. Dia menuntutku dengan berbagai macam pertanyaan dan tuduhan. Suami yang tidak becus menjaga istrinya dan terlalu gila kerja. Aku hanya diam. Menatapnya tajam. Kevin mungkin sadar semua urat-urat di dahiku muncul karena menahan emosi yang tidak tertahankan.
(Mahesa) Aku membuka pintu ruangan kerja Papa. Ruangan yang tidak pernah berubah dari dulu. Walaupun ada beberapa perabotan yang diperbaharui mengikuti jamannya. Aku melihat Papa duduk membaca sebuah koran. Matanya melihatku masuk dan kembali melihat koran yang dibacanya. Aku otomatis duduk di depannya. Duduk saja. Menunggunya untuk berbicara.“Jadi bisa dijelaskan apa yang terjadi sama Sekar?” Dia melipat koran dan meletakknya di meja depannya. Nampaknya koran yang dibacanya adalah koran yang terbit di sore hari karena ada sebuah berita peluncuran game-ku.“Seseorang mendorongnya jatuh ke dalam kolam renang.”“Kenapa bisa begitu?” Papa mengerutkan dahinya.“Not sure. Dia dapat sms dari seseorang dan waktu ke lokasi dia di dorong.”“Sudah liat cctv?”“Nggak ada cctv.” jawabku singkat.Papa m
(Sekar) Sudah hampir tiga hari, aku tinggal di rumah orang tua Mahesa. Tidak pernah keluar kamar bahkan berbicara dengan kedua orang tuanya. Mungkin kedua orang tuanya sibuk sekali. Ada yang berbeda hari ini. Mahesa betul-betul tidak mengabariku akan pulang jam berapa dan ketika aku melihat layar ponselku, tiba-tiba pintu kamarku diketuk satu kali dan langsung dibuka tanpa aku izinkan untuk masuk. “Aku dengar kamu sudah tinggal di sini beberapa hari dan sedang sakit?” Farel masuk. Tampangnya kusut. Beberapa kancing kemeja putihnya terbuka. Farel melihatku dari atas sampai bawah. Kebetulan aku sudah memakai piyama dan siap tidur. Piyama berlengan pendek. Aku tidak tahu harus memakai piyama yang seperti apa, tetapi beberapa baju yang ada di koper adalah pilihan Lina.
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb