(Mahesa)
Aku berdiri menghadap Kevin, memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong celana karena berusaha tidak mengepalkan tinju padanya. Setelah acara peluncuran, aku mendapati kabar oleh Derry bahwa Sekar berada di tempat yang berbeda, yaitu di kolam renang di Mall yang sedang direnovasi pula. Tercebur. Tidak bisa jalan.
“Apa elo ada masalah dengan Sekar?” tanya Kevin. Berani-beraninya dia bertanya seperti itu. Aku bermasalah dengan Sekar atau tidak itu pun bukan urusannya. “Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?” lanjutnya. Dia menuntutku dengan berbagai macam pertanyaan dan tuduhan. Suami yang tidak becus menjaga istrinya dan terlalu gila kerja. Aku hanya diam. Menatapnya tajam. Kevin mungkin sadar semua urat-urat di dahiku muncul karena menahan emosi yang tidak tertahankan.
(Mahesa) Aku membuka pintu ruangan kerja Papa. Ruangan yang tidak pernah berubah dari dulu. Walaupun ada beberapa perabotan yang diperbaharui mengikuti jamannya. Aku melihat Papa duduk membaca sebuah koran. Matanya melihatku masuk dan kembali melihat koran yang dibacanya. Aku otomatis duduk di depannya. Duduk saja. Menunggunya untuk berbicara.“Jadi bisa dijelaskan apa yang terjadi sama Sekar?” Dia melipat koran dan meletakknya di meja depannya. Nampaknya koran yang dibacanya adalah koran yang terbit di sore hari karena ada sebuah berita peluncuran game-ku.“Seseorang mendorongnya jatuh ke dalam kolam renang.”“Kenapa bisa begitu?” Papa mengerutkan dahinya.“Not sure. Dia dapat sms dari seseorang dan waktu ke lokasi dia di dorong.”“Sudah liat cctv?”“Nggak ada cctv.” jawabku singkat.Papa m
(Sekar) Sudah hampir tiga hari, aku tinggal di rumah orang tua Mahesa. Tidak pernah keluar kamar bahkan berbicara dengan kedua orang tuanya. Mungkin kedua orang tuanya sibuk sekali. Ada yang berbeda hari ini. Mahesa betul-betul tidak mengabariku akan pulang jam berapa dan ketika aku melihat layar ponselku, tiba-tiba pintu kamarku diketuk satu kali dan langsung dibuka tanpa aku izinkan untuk masuk. “Aku dengar kamu sudah tinggal di sini beberapa hari dan sedang sakit?” Farel masuk. Tampangnya kusut. Beberapa kancing kemeja putihnya terbuka. Farel melihatku dari atas sampai bawah. Kebetulan aku sudah memakai piyama dan siap tidur. Piyama berlengan pendek. Aku tidak tahu harus memakai piyama yang seperti apa, tetapi beberapa baju yang ada di koper adalah pilihan Lina.
(Sekar) Aku membuka mataku. Seseorang mengelus pipiku dengan lembut. Ternyata Mahesa. “Ayo bangun, Sleeping beauty.” ujarnya. “Aku harus kerja. Ini udah jam setengah delapan.” Karena aku yang masih belum sadar memeluknya dan menjadikan lengannya sebagai bantal, langsung saja terduduk. “Jam setengah delapan?!” Aku terkejut. Langsung saja aku turun dari tempat tidur, tentunya sambil meringis. Aku lupa karena kakiku masih sakit. Walaupun tidak sesakit beberapa hari yang lalu. Aku sempat berhenti berjalan. “Kamu ini, selalu lupa kalau kakimu sakit. Pelan-pelan sedikit
(Brian) Aku menghisap rokokku cepat-cepat. Rasa kekesalan memuncak setelah tahu kemarin Farel dipukul oleh Mahesa. Kurang ajar sekali anak haram itu. “Jadi apa yang lo lakukan?” tanya Farel. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi bar yang keras. “Gue akan menghancurkannya.” “Perusahaannya?” “Nggak bisa. Karena hampir semua sahamnya atas nama Papa. Kalau perusahaan Mahesa terjadi apa-apa, Papa akan turun tangan dan akan menyelidiki langsung.” terangku pada Farel. “Pinter juga taktik Mahesa. Trus gimana ca
(Kiano) Semenjak aku mengenal Mahesa dan mengklaim bahwa dia adalah penyelamatku sewaktu dulu aku di masa sulit dan dia juga sahabatku, aku tidak pernah melihat Mahesa sekacau ini. Dia seperti kehilangan arah. Tidak tahu apa yang harus diperbuat sejak Sekar, istrinya menghilang. Kali ini aku yang berpikir keras. Mengerahkan semua koneksi dan kemampuan dengan membawa nama Mahesa Elangga Putera anak dari pemilik Langga Perdana Grup. Aku sibuk sekali mengangkat telepon yang masuk ke ponsel Mahesa. Dia sama sekali tidak bisa berbicara apalagi berpikir jernih. “Oke, oke. Saya tunggu. Apapun yang terjadi Pak Mahesa berharap banyak.” kataku tegas. Mahesa hanya menatap nanar ke sebuah ponsel. Ponsel milik Sekar.
(Sekar) Badanku lemas sekali. Seperti habis mengikuti lomba lari atau mendaki gunung. Kelihatannya aku butuh istirahat yang lama. Tapi mataku memaksa untuk terbuka perlahan-lahan. Sebuah lampu yang terang di sebelah kepalaku dan atap yang putih bersih menjadi pemandanganku. Aku bisa merasakan oksigen mengalir di hidungku. Aku ingat, waktu itu aku sempat tidak bisa bernapas ketika rombongan orang memapahku ke dalam sebuah mobil yang kupikir itu adalah ambulans. Tubuhku terbungkus selimut dan tanganku terasa hangat sekali. Ternyata Mahesa tertidur di kursi dengan kepalanya berada di bangsal tempat tidur sambil menggenggam tanganku. Aku menggerak-gerakkan tanganku. Mahesa terbangun dengan mendadak. “Sekar!” Dia setengah berter
(Sekar) Hari ini, Aku menatap kosong laptop di depanku. Seseorang dengan suara berat berbicara dan aku benar-benar mengabaikannya. “Jadi… ruangan ini nanti wadrobe ya? Agak memanjang.” jelasnya. Aku memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tidak kuduga sebelumnya. Bukan karena aku tidak menerimanya. Tetapi lebih kepada aku tidak percaya bahwa aku hamil. Ya hamil, dengan pria yang baru aku sukai. Bukan. Lebih tepatnya aku mulai mencintainya. Apa mungkin karena bawaan bayi bahwa aku hamil? Bukan. Bukan. Aku menghela napasku panjang sekali. Mungkin seperti naga yang akan mengeluarkan api. “A
(Sekar) “Kamu mau yang mana?” tanyaku. Kedua tanganku menunjukkan dua kemeja berbeda warna dan dua jas berbeda warna. “Terserah.” ketus Mahesa. Dia baru selesai mandi dan memakan sarapannya dengan diam. Dia tidak banyak bicara, mungkin karena aku tidak mau memeriksakan kandunganku ke dokter. Hanya dikarenakan aku belum percaya bahwa aku hamil. “Kalau begitu ini aja ya?” Aku mengeliminasi salah satu kemeja dan jas. Aku memberikannya padanya. Dia memakai pakaiannya dengan cepat kemudian memasang dasinya sendiri. Di saat dia memasang dasi di depan kaca, aku hanya memperhatikannya karena aku tidak bisa memasang dasi untuknya. “Aku akan belajar memasang dasi untukmu.” ujarku.&nbs
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb