Dua bayi kecil itu tertawa tanpa alasan yang jelas, seolah mereka memiliki lelucon rahasia yang hanya mereka pahami. Anna mengulurkan tangan kecilnya ke arah Abel, sementara Abel dengan gemas menyentuh pipi Anna. Kai, yang sedang duduk di sofa dengan lengan tersilang, mengamati dengan seksama. Pandangannya tertuju pada Abel, anak dari iparnya, Elli. "Mirip banget sama Lukas waktu kecil," gumam Kai akhirnya, matanya memperhatikan hidung tajam dan garis wajah Abel yang begitu khas keluarga Adnan. Di dapur, Sera yang sedang sibuk mengupas apel mendengar ucapan suaminya. Dia segera membawa piring kecil berisi irisan apel dan bergabung dengan Kai di sofa. Duduk di sampingnya, Sera menyerahkan sepotong apel pada Kai sebelum pandangannya jatuh pada Anna dan Abel yang masih asyik tertawa bersama. “Mereka akrab banget, ya. Padahal baru pertama kali ketemu,” ucap Sera sambil tersenyum lembut. Kai hanya mengangguk, kemudian menghela napas panjang. Ada sesuatu di matanya yang sulit dite
Setelah menempuh penerbangan selama satu jam sepuluh menit dan perjalanan darat selama tiga puluh menit dari bandara, akhirnya Diani tiba di depan pintu apartemen Elli dan Raquel. Bersama rombongan kecilnya, Sagara, Jena, serta cucunya yang aktif, Khalif, Diani berdiri dengan wajah yang sulit dibaca. Gelisah bercampur antusias, tapi dia menutupinya dengan senyum hangat. Pintu terbuka, dan wajah Kai muncul dengan senyuman kecil di bibirnya. Namun perhatian Diani langsung tertuju pada bayi mungil yang ada di pelukan menantunya itu. Bayi laki-laki dengan pipi tembam dan mata besar itu tertawa kecil ketika melihat tamu baru di depannya. “Ini... Abel?” Diani akhirnya membuka suara, meski terdengar sedikit gemetar. Matanya menatap penuh rasa ingin tahu dan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Kai mengangguk pelan. “Iya, Ma. Ini Abel,” jawabnya sederhana. Diani terdiam sejenak, mencoba mencerna perasaan yang berkecamuk di dadanya. Namun sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, suar
Lukas baru saja keluar dari pintu kedatangan Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam. Udara dingin menyentuh kulitnya, seolah langsung menyelaraskan suasana hatinya yang penuh dengan berbagai emosi. Setelah penerbangan panjang selama sekitar tujuh jam dari New York, tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya justru berputar semakin liar. Pria itu menarik napas panjang saat melangkah keluar bandara. Kota Amsterdam yang dulu ia pandang hanya sebagai kota biasa, kini terasa berbeda. Setiap jengkalnya seolah membisikkan kenangan yang tak pernah ia miliki, memori yang ia angankan tapi tak pernah menjadi nyata. Dengan langkah tegas, Lukas menuju ke taksi yang akan membawanya ke hotel tempat ia menginap. Sementara kendaraan itu melaju di jalan-jalan Amsterdam, matanya menangkap pemandangan kanal yang membelah kota, sepeda yang lalu lalang, dan bangunan-bangunan tua yang berdiri megah. Semua itu tak mampu mengalihkan pikirannya dari rasa sesak di dada. Di dalam taksi, Lukas mengambil po
Hari itu, taman hiburan memang ramai oleh pengunjung. Suasana penuh dengan suara riuh anak-anak, tawa keluarga, dan musik dari berbagai wahana.Meski datang dengan wajah ceria, nyatanya Elli terlihat kurang sehat sejak pagi. Wajahnya sedikit pucat, dan ia berkali-kali menahan rasa mual yang datang tiba-tiba. Ketika mereka berhenti di dekat area makanan untuk beristirahat, Elli akhirnya menyerah. "Aku harus ke toilet," katanya lemah pada Raquel. "Aku temani," jawab Raquel segera, menatap Elli dengan khawatir. Abel yang sedang berada di stroller dititipkan pada Kai, yang saat itu sedang sibuk membantu Sera memberikan makanan pada Anna. "Kai, jagain Abel, ya," pesan Raquel sebelum pergi bersama Elli. Kai mengangguk tanpa banyak berpikir. "Tenang aja." Namun, di tengah kesibukannya mengurus Anna, perhatian Kai sempat teralihkan ketika Khalif memanggilnya dari arah permainan lempar bola. "Om Kai! Lihat aku dapet hadiah boneka besar!" teriak Khalif dengan semangat. Kai berdiri, m
Setelah seharian penuh ketegangan dan pencarian Abel yang tak kunjung membuahkan hasil, malam pun semakin larut. Sagara dan Jena memutuskan untuk kembali ke hotel bersama Khalif. Sera, yang khawatir dengan kondisi Anna yang tampak kelelahan, akhirnya ikut pulang untuk menenangkan putrinya. Namun, Kai, Elli, dan Raquel memutuskan melanjutkan perjuangan mereka dengan melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi terdekat. Dalam perjalanan menuju kantor polisi, mobil terasa hening, hanya diisi isakan Elli yang tak henti-henti menangis. Sementara itu, Raquel memeluk erat Elli, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri diliputi rasa panik dan marah yang tak bisa ia salurkan. Kai menyetir dengan wajah yang dipenuhi rasa bersalah, pikirannya dipenuhi penyesalan karena lalai menjaga Abel. “Maaf, ini semua salah gue,” gumam Kai tiba-tiba, suaranya penuh penyesalan. “Bukan waktunya untuk saling menyalahkan,” jawab Raquel tegas, meski nadanya sedikit bergetar. “Yang penting sekarang
Fara menggenggam tangan Diani dengan erat, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Berita bahwa Abel, cucunya, hilang di taman bermain membuat hatinya terasa seperti dihimpit ribuan beban.Fara memang bersikap keras terhadap Elli atas kehadiran Abel, tapi tetap saja, Abel adalah darah dagingnya. Mendengar kabar ini menghancurkan hatinya. Diani mencoba menenangkan Fara meskipun dirinya sendiri masih syok. Wajahnya pucat, tapi ia berusaha menjaga ketenangannya demi semua orang di ruangan itu. Di hotel tempat Jena dan Sagara menginap, suasana mendadak penuh ketegangan dan kecemasan. Tak lama, ponsel Sera berdering. Nama Kai muncul di layar. Sera segera mengangkatnya, lalu berinisiatif menekan tombol pengeras suara agar semua orang di ruangan bisa mendengar percakapan mereka. “Gimana, Mas?” tanya Sera, suaranya penuh kekhawatiran. Kai terdengar sedikit serak, jelas ia sedang berada di bawah tekanan besar. “Mas, udah buat laporannya ke polisi. Mereka sekarang lagi menyebarkan inform
Sera berjalan cepat meninggalkan Jena dan Sagara yang membawa barang-barang di belakang.Sera yang memang dulu tidak terlalu dekat dengan Elli, kali ini menunjukkan kekhawatirannya yang begitu kentara. Wajahnya penuh kecemasan, dan langkahnya tergesa-gesa menuju ruang rawat kakaknya. Saat tiba di depan pintu, Sera melihat Kai dan Raquel sedang berdiri di luar, tampak berbicara serius. Sera menghampiri mereka dengan nada suara penuh tanya. “Kakak gimana? Udah sadar?” tanya Sera, suaranya nyaris bergetar. Kai menatap istrinya dengan lembut dan menjawab, “Terakhir dia masih belum sadar. Mungkin tidur. Kamu masuk aja. Dia mungkin butuh kamu sekarang.” Mendengar itu, tanpa ragu Sera segera masuk ke kamar Elli. Di sana, ia mendapati kakaknya duduk di ranjang, termenung menatap langit-langit. Wajah Elli terlihat begitu pucat, dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Sera berhenti sejenak, mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya mendekat. “Kak... kamu sadar? Katanya…” Sera ber
Elli duduk bersandar di tempat tidur, menatap ke arah Raquel yang sibuk menyiapkan makanannya di meja kecil. Pikirannya berkecamuk. Ada rasa bingung yang sulit ia definisikan. ‘Jadi.. gue harus seneng? Atau sedih?’Di satu sisi, ia merasa segalanya menjadi begitu berat. Ia baru saja melahirkan Abel enam bulan yang lalu, dan ia masih ingat betul bagaimana beratnya melewati masa-masa kehamilan itu. Rasa mual, lelah, nyeri, dan tantangan saat melahirkan. Semuanya terasa begitu segar dalam ingatannya. Tapi di sisi lain, saat melihat Raquel, hatinya terasa melunak. Raquel, pria yang sebelumnya sebatang kara, kini memiliki darah dagingnya sendiri. ‘Mungkin dia juga galau sama kabar ini,’ pikir Elli. Bagaimana tidak, dia saja sangat antusias menyambut bayi anak dari orang lain. Apalagi ini adalah manusia kecil yang memiliki darah yang sama dengannya. Namun, Elli juga merasa bersalah. Ia ingin egois, ingin memikirkan dirinya sendiri, tapi melihat perjuangan Raquel selama ini, ia merasa t
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama