Share

137 - S2

Author: Ahgisa
last update Last Updated: 2024-12-15 19:23:52

Ketukan di pintu apartemen membangunkan Raquel dari tidurnya yang singkat. Matanya masih berat, tubuhnya terasa lelah karena semalaman ia harus menenangkan Abel yang rewel.

Meski begitu, hatinya tetap teguh. Ia tahu, kondisi Elli yang masih lemah akibat kehamilan mudanya membutuhkan perhatian lebih. Elli telah memutuskan untuk mempertahankan janin itu, dan bagi Raquel, keputusan itu adalah anugerah.

Saat ketukan terdengar lagi, Elli yang sedang duduk di sofa sambil menyusui Abel tampak ingin bangkit. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap penuh tekad meski tubuhnya terlihat lelah.

“Biar aku aja yang buka,” kata Elli pelan sambil mencoba berdiri.

Raquel dengan cepat menahan lengannya. “Nggak, Ell. Duduk aja. Kamu butuh istirahat. Aku yang bakal bukain.”

Elli menghela napas lemah namun menurut. Ia kembali duduk, membenarkan posisi Abel di pangkuannya.

Raquel pun melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Siapa yang datang pagi-pagi seperti ini?

Ketika pintu terbuka, wajah Raquel l
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   138 - S2

    Langit kota London yang berawan menambah suasana hati Sera yang tengah dilanda kegelisahan. Di dalam mobil yang melaju melewati jalanan kota, Sera menggenggam ponselnya dengan erat. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Kai, namun panggilannya tidak pernah terjawab. Rasa cemas semakin menumpuk di dadanya. Ketika mobil berhenti di depan sebuah gedung bergaya klasik dengan eksterior megah, Sera turun dengan langkah ragu. Gedung ini adalah kantor tempat keluarga Adnan menjalankan cabang Eropa, tetapi aura serius dan formal dari tempat itu membuatnya merasa kecil. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk. Di dalam, suasana sepi namun terkesan sibuk. Petugas resepsionis menyapanya dengan ramah, tetapi saat Sera menyebut nama Kai dan menyatakan ingin bertemu, wajah ramah itu berubah menjadi sedikit kaku. "Maaf, Nyonya. Anda sudah membuat janji?" tanya salah satu resepsionis dengan aksen Inggris yang sopan. "Janji?" Sera mengulang, bingung. "Tidak, saya istrinya. Saya hany

    Last Updated : 2024-12-15
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   139 - S2

    Di dalam ruangan kerja Sagara yang luas dan bernuansa elegan, dua sosok duduk dengan raut wajah yang penuh beban. Diani, yang akhir-akhir ini menjadi pilar keluarga menggantikan sang ayah yang telah berpulang, duduk di sofa dengan pandangan menerawang. Sementara itu, Sagara berdiri di dekat jendela besar, tangannya disandarkan di bingkai kayu, menatap ke luar dengan ekspresi yang sulit dibaca.Keheningan menggantung di antara mereka, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri.“Ga,” akhirnya Diani membuka suara, suaranya terdengar pelan namun sarat emosi. “Ibu benar-benar nggak tahu harus gimana.” Sagara berbalik, menatap ibunya. “Aku juga, Bu,” jawabnya jujur. “Situasi ini… terlalu rumit. Kalau aku bergerak untuk membantu Elli dan Raquel, itu artinya aku harus melawan Lukas. Padahal Lukas juga bagian dari keluarga kita. Dia cucu Tante Berlian. Kita nggak mungkin nggak ngebelain keluarga sendiri yang selama bertahun-tahun selalu berada di pihak kita, ‘kan?.” Diani mengangguk

    Last Updated : 2024-12-16
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   140 - S2

    Suara bel rumah Jena memecah keheningan pagi itu. Jena, yang sedang duduk di ruang tamu sambil merangkai bunga, langsung bangkit menuju interkom. Ia melihat wajah supir Berlian Adnan, Tante dari suaminya, di layar kecil interkom. Tanpa ragu, ia mempersilakan masuk dan membuka gerbang otomatis. Jena lalu berjalan ke dalam untuk memberitahu Diani, yang sedang menikmati teh hangat di taman belakang. Hari itu, Diani sengaja tidak ikut Sagara ke kantor, memilih untuk bersantai di rumah. Mendengar kabar bahwa Berlian datang, wajah Diani sedikit berubah. “Kak Lian?” gumam Diani sambil menatap Jena. Ada kegelisahan yang jelas di wajahnya.“Tante Berlian tahu alamat di sini dari mana ya, Bu. Kita kan baru pindah beberapa bulan ini dan belum sempat bilang dengan yang lain,” ujar perempuan dengan rambut keemasan dan mata hijau itu.“Tentu gampang buat dia untuk mencari tahu soal ini, Jen. Kelihatannya dia juga ingin bicara sesuatu yang penting. Apa soal Lukas , ya?” jawab Diani, mencoba me

    Last Updated : 2024-12-16
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   141 - S2

    Lukas duduk di sudut kamar sewanya yang sempit. Tumpukan dokumen berserakan di meja kecil di depannya, namun pikirannya jauh dari lembar-lembar kertas itu. Suasana kamar hening, hanya suara detak jam dinding tua yang sesekali terdengar, memantulkan kebuntuan yang menyelimuti dirinya. Ponselnya bergetar di meja, memutus lamunannya. Lukas melirik layar ponsel, dan matanya langsung menangkap satu nama yang membuatnya tertegun ‘Oma’.Dengan tangan sedikit kaku, Lukas mengangkat ponselnya. “Halo, Oma?” suaranya datar, meski ada ketegangan samar di baliknya. “Lukas.” Suara Berlian terdengar tegas, seperti biasa, namun kali ini ada nada yang sulit diterka. “Kamu masih di Belanda?” Lukas terdiam sejenak. Wanita berusia tujuh puluh tahun itu selalu memiliki caranya sendiri untuk mengetahui keberadaan cucunya. Berbohong bukanlah pilihan yang bijak. “Iya, Oma,” jawab Lukas akhirnya, suaranya lebih pelan. “Datanglah ke rumah kita di Inggris. Kita perlu bicara.” Lukas mengernyit, men

    Last Updated : 2024-12-17
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   142 - S2

    Davino berjalan perlahan memasuki kamar yang remang-remang. Aroma lavender yang biasa menenangkan kini terasa hampa, seolah kesedihan telah menyelimuti ruangan itu. Di atas ranjang besar dengan selimut tebal, Berlian meringkuk membelakangi pintu. Bahunya naik turun halus, menandakan wanita tua itu tengah tenggelam dalam pikirannya. Davino berdiri sejenak, memandang istrinya dengan rasa yang sulit ia ungkapkan. Hampir lima puluh tahun mereka hidup bersama, Berlian selalu menjadi wanita yang kuat, pemegang kendali keluarga Adnan. Namun hari ini, Davino tahu ada luka yang mendalam di hati istrinya, sesuatu yang bahkan Berlian sendiri sulit mengakui. “Li,” panggil Davino pelan, suaranya bergetar ringan. Ia duduk di sisi ranjang, tangannya mengusap lembut bahu istrinya. Berlian tidak merespon, tapi ia tahu Berlian mendengar. “Aku tahu kamu sedih…” Berlian menarik napas panjang, masih dengan posisi yang sama. “Aku tidak sedih, Kak. Aku cuma…” Suaranya menggantung, bergetar di ujung

    Last Updated : 2024-12-17
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   143 - S2

    Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.

    Last Updated : 2024-12-18
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   144 - S2

    Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi

    Last Updated : 2024-12-18
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   145 - S2

    Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b

    Last Updated : 2024-12-19

Latest chapter

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   190 - S3 - END

    Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   189 - S3

    Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   188 - S3

    Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   187 - S3

    Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   186 - S3

    Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   185 - S3

    Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   184 - S3

    Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   183 - S3

    Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   182 - S3

    Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status