Malam itu, suasana rumah terasa tenang. Diani sengaja duduk di ruang tengah, menunggu anaknya, Kai, yang baru saja tiba dari tempat kerja. Suara langkahnya menggema pelan di lantai marmer, menandakan kehadirannya."Kai," panggil Diani lembut, menghentikan langkah putranya yang terlihat lelah.Kai menoleh, menurunkan tas kerjanya ke sofa. "Ada apa, Bu? Tumben nungguin aku."Diani menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. Namun, kegelisahan di matanya tak bisa ia sembunyikan. "Ibu cuma mau tanya... kamu tahu kabar Lukas akhir-akhir ini? Apa dia pernah hubungi kamu?"Kai memandang ibunya dengan alis terangkat. "Lukas? Enggak, Bu. Dia udah lama nggak kontak. Emangnya kenapa? Bukannya masalah Lukas udah selesai? Lagi pula dia pergi udah setahun yang lalu? Aku kira semuanya udah gak ada masalah."Diani menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk berbicara. "Ibu ketemu Tantemu tadi. Tante Lian. tadi siang. Dia... lihat foto Abel."Kai terlihat bi
Hari keberangkatan akhirnya tiba. Kai, Sera, Anna, dan Fara melangkah menuju gerbang keberangkatan dengan koper dan tas tangan di tangan. Anna, yang digendong Sera, tampak tenang dalam pelukan ibunya, sementara Fara dengan cekatan memastikan semua tiket dan paspor sudah beres. Tak jauh dari mereka, Diani berjalan santai dengan senyum lebar, membawa tas jinjing yang elegan. Meski awalnya sempat ragu untuk bepergian, ia akhirnya memutuskan ikut perjalanan ini demi bertemu cucunya di London, Khalif. Anak dari putra Keduanya, Sagara, dan menantunya, Jena. Saat mereka sampai di bandara Dubai untuk transit, kelompok itu harus berpisah. "Sampai jumpa di London nanti, ya," kata Diani sambil memeluk Sera. "Ibu tunggu kalian di sana. Jangan lupa kabari kalau sudah selesai di Belanda.""Iya, Bu," jawab Sera sambil tersenyum. "Nanti kita ke sana setelah ketemu Kak Elli." Kai hanya tersenyum sambil mengangguk sopan. Ia memandang Diani yang tampak bersemangat, “hati-hati ya, Bu. Jangan keca
Fara menatap Elli dengan tajam, matanya penuh dengan emosi yang sulit dibaca. Kemarahan dan kecewa, tampak nyata di wajah Fara. Ruangan terasa sunyi, hanya terdengar napas Abel yang teratur dari tempat tidurnya. Kai, yang mendengar kegaduhan itu dari kamar sebelah, bergegas masuk. "Ada apa?" tanyanya panik, melihat Elli memegangi pipinya yang merah. Sera, yang masih terkejut, mencoba menenangkan ibunya. "Ma, kenapa Mama tiba-tiba mukul Kakak, Ma?!"Fara memalingkan wajahnya ke arah Sera, lalu kembali menatap Elli. Dengan nada dingin, ia berkata, "Kamu pikir ini keputusan yang benar? Menyeret kami ke sini tanpa memberitahu apa pun soal keadaan kamu? Kamu bilang apa? Kita keluarga? Keluarga tidak akan tega membohongi, Elli. Apapun alasannya!" Elli, yang masih terguncang, mencoba berbicara. "Ma, aku nggak ngerti. Apa yang salah?"“Apa yang salah?!” Fara menunjuk ke arah tempat tidur Abel. "Mama gak buta Elli! Sekali lihat Abel saja Mama udah tahu. Ell! Kamu pikir membawa anak itu k
Fara duduk diam di tepi ranjang, membiarkan udara dingin merayapi kulitnya yang tak terlindungi oleh selimut. Matanya menatap jendela kamar yang tertutup tirai tipis, tetapi pikirannya melayang jauh dari pemandangan Amsterdam yang berbalut kabut di luar sana. Dalam hatinya, kekecewaan berkecamuk seperti badai, memukul-mukul dinding pertahanan emosinya yang biasanya kokoh. Ia merasa marah, terluka, sekaligus hampa. Elli. Anak sulungnya, yang selama ini ia banggakan sebagai wanita cerdas dan penuh perhitungan. Fara selalu percaya bahwa Elli adalah orang yang tahu bagaimana menjaga dirinya sendiri, seseorang yang tidak akan membiarkan emosi atau keinginan sesaat menghancurkan masa depannya. Tapi, ternyata semuanya adalah pikiran Fara saja. Kenyataan itu, tidak setinggi angannya.Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Fara tidak merespons. Tapi pintu terbuka perlahan, dan Sera muncul, membawa secangkir teh hangat di tangannya.Wanita muda itu berjalan mendekat dengan hati-hat
Bar di tengah gemerlap Manhattan selalu jadi tempat pelarian yang sempurna. Lampu neon kota New York memantul di dinding kaca, menciptakan suasana dramatis. Rolland melangkah masuk, jas mahal yang dia pakai seperti tiket masuk eksklusif ke dunia malam kota itu. Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang membuat langkahnya berat hari ini. Di sudut ruangan, dia menemukan seseorang yang paling tidak di duga. Lukas, pria dengan aura yang sulit ditembus, duduk sendirian sambil menyesap minuman. Beberapa wanita mencoba mendekat, tapi Lukas hanya melirik dingin, sama sekali tidak peduli. Rolland terkekeh kecil. ‘Sejauh apa pun lo pergi, dunia ini ternyata sempit banget.’ Dia berjalan ke arah Lukas. “Lukas,” sapanya santai sambil duduk tanpa permisi. Lukas hanya melirik sekilas. “Rolland.” Nadanya datar, nyaris malas. “Nggak nyangka ketemu lo di sini. Dunia ini beneran kecil, ya,” kata Rolland sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Lukas tidak menjawab, hanya menyesap minumann
Dua bayi kecil itu tertawa tanpa alasan yang jelas, seolah mereka memiliki lelucon rahasia yang hanya mereka pahami. Anna mengulurkan tangan kecilnya ke arah Abel, sementara Abel dengan gemas menyentuh pipi Anna. Kai, yang sedang duduk di sofa dengan lengan tersilang, mengamati dengan seksama. Pandangannya tertuju pada Abel, anak dari iparnya, Elli. "Mirip banget sama Lukas waktu kecil," gumam Kai akhirnya, matanya memperhatikan hidung tajam dan garis wajah Abel yang begitu khas keluarga Adnan. Di dapur, Sera yang sedang sibuk mengupas apel mendengar ucapan suaminya. Dia segera membawa piring kecil berisi irisan apel dan bergabung dengan Kai di sofa. Duduk di sampingnya, Sera menyerahkan sepotong apel pada Kai sebelum pandangannya jatuh pada Anna dan Abel yang masih asyik tertawa bersama. “Mereka akrab banget, ya. Padahal baru pertama kali ketemu,” ucap Sera sambil tersenyum lembut. Kai hanya mengangguk, kemudian menghela napas panjang. Ada sesuatu di matanya yang sulit dite
Setelah menempuh penerbangan selama satu jam sepuluh menit dan perjalanan darat selama tiga puluh menit dari bandara, akhirnya Diani tiba di depan pintu apartemen Elli dan Raquel. Bersama rombongan kecilnya, Sagara, Jena, serta cucunya yang aktif, Khalif, Diani berdiri dengan wajah yang sulit dibaca. Gelisah bercampur antusias, tapi dia menutupinya dengan senyum hangat. Pintu terbuka, dan wajah Kai muncul dengan senyuman kecil di bibirnya. Namun perhatian Diani langsung tertuju pada bayi mungil yang ada di pelukan menantunya itu. Bayi laki-laki dengan pipi tembam dan mata besar itu tertawa kecil ketika melihat tamu baru di depannya. “Ini... Abel?” Diani akhirnya membuka suara, meski terdengar sedikit gemetar. Matanya menatap penuh rasa ingin tahu dan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Kai mengangguk pelan. “Iya, Ma. Ini Abel,” jawabnya sederhana. Diani terdiam sejenak, mencoba mencerna perasaan yang berkecamuk di dadanya. Namun sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, suar
Lukas baru saja keluar dari pintu kedatangan Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam. Udara dingin menyentuh kulitnya, seolah langsung menyelaraskan suasana hatinya yang penuh dengan berbagai emosi. Setelah penerbangan panjang selama sekitar tujuh jam dari New York, tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya justru berputar semakin liar. Pria itu menarik napas panjang saat melangkah keluar bandara. Kota Amsterdam yang dulu ia pandang hanya sebagai kota biasa, kini terasa berbeda. Setiap jengkalnya seolah membisikkan kenangan yang tak pernah ia miliki, memori yang ia angankan tapi tak pernah menjadi nyata. Dengan langkah tegas, Lukas menuju ke taksi yang akan membawanya ke hotel tempat ia menginap. Sementara kendaraan itu melaju di jalan-jalan Amsterdam, matanya menangkap pemandangan kanal yang membelah kota, sepeda yang lalu lalang, dan bangunan-bangunan tua yang berdiri megah. Semua itu tak mampu mengalihkan pikirannya dari rasa sesak di dada. Di dalam taksi, Lukas mengambil po
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.