“Ha—hanya itu saja yang tersisa,” ucap Etek Dalimo dengan bibir bergetar. “A—aku, aku baru saja membayar utang-utangku pada tetangga.”
Mendengar jawaban dari Etek Dalimo itu, sungguh Mantiko Sati menjadi berkaca-kaca matanya.
Wanita setengah baya itu jelas tahu bahwa dialah yang membawa uangnya, lalu dengan sengaja mengatakan uang-uang itu telah ia gunakan untuk membayar utang-utangnya.
Kenapa tidak beralasan sudah dirampok saja?
‘Sungguh, Etek Dalimo,’ Mantiko Sati menggeram di persembunyiannya itu, bahkan, sepasang bola mata itu mengilat kebiru-biruan. ‘Jika mereka berani menyinggung Etek dengan satu jari saja, aku tidak akan lagi segan-segan untuk turun tangan.’
Si gadis menyeringai, lalu membungkukkan badannya menatap lekat-lekat wajah Etek Dalimo.
“Ooh,” ujarnya dengan penuh keangkuhan, wajah cantiknya itu terlihat menghilang dengan kesinisan yang ia tunjukkan. &ldq
Si gadis terjengkang, bergedebukkan ke tanah, lantai pasar. Pipi kirinya sangat merah, merah karena tamparan juga lantaran malu di hadapan rekan-rekanya. Sudut bibirnya pecah, telinganya berdenging kencang, walaupun sesungguhnya Mantiko Sati menampar gadis itu bukan dengan disertai tenaga dalam.Lagi pula, ini kali pertamanya Mantiko Sati menjatuhkan tangan kasar pada seorang wanita, seorang gadis pula. Hanya saja, alasan di balik itu sudah sangat jelas.Bersamaan dengan si gadis terhempas, rekan-rekannya langsung menyerang ke arah si pemuda yang cukup asing bagi mereka semua.Mantiko Sati melemparkan karambit yang ia dapatkan barusan tadi.Jlept!Senjata tajam itu menancap kurang dari seinci saja di depan kaki seorang pemuda yang paling depan hendak menyerangnya.Hal tersebut, sudah lebih daripada cukup bagi muda-mudi murid Datuak Marapi untuk tidak meneruskan serangan mereka, atau semua hanya akan menjadi kesia-siaan.“Kau, pe
Sebab Mantiko Sati yang sepertinya tidak mengacuhkan pertanyaan Datuak Marapi, pria di punggung kuda di samping kiri belakang sang datuak menggerakkan kedua tangannya.Syiu—syiuu…!Dua senjata rahasia melesat dengan cepat mengarah ke punggung pemuda rupawan itu.“Kau terlalu angkuh!” ucap si pria 30 tahun itu.Teph—teph!Mantiko Sati tersenyum, dua pisau kecil bergagang hitam dan berumbai-rumbai merah itu ditangkap dengan mudah.“Aku bukan angkuh,” ujar pemuda rupawan, “dan semoga dewa menjauhkanku dari sifat seperti itu. Aku hanya kasihan melihat orang-orang pasar yang kalian tindas. Kurasa kalian pasti sudah melihat itu.”Saat pemuda rupawan itu melirik ke kiri, sekumpulan muda-mudi murid Datuak Marapi sama menelan ludah dan bersiaga, terlebih dengan dua pisau kecil di tangannya kini itu. Tapi pemuda itu membuang pisau-pisau itu ke samping kanan.Clept—clept!
Di satu kesempatan, empat telapak beradu kencang, dan keduanya saling terpental beberapa langkah.Mantiko Sati terlempar dua langkah sementara Andas Rupati melentingkan tubuhnya ke belakang dengan berputar-putar.Tsiu—syiuu!Ia melepaskan lagi dua senjata rahasianya saat mengambang di udara, dan kembali melepaskan senjata rahasianya kala kakinya menjejak tanah.Mantiko Sati melompat pendek ke belakang, dua pisau kecil menancap di tanah, lalu melompat pula ke arah kiri.Takh—takh!Dua pisau kecil menancap di satu gerobak dagang.Andas Rupati melompat jauh ke depan, kembali mengibaskan kedua tangannya ke arah kiri, bahkan bertubi-tubi. Setidaknya, ada lima pisau kecil yang menderu mengejar lawannya.Mantiko Sati yang baru saja menjejak tanah langsung menyambar sebuah peti kayu untuk menahan lima pisau kecil yang menderu ganas itu.Takh-takh-takh!Tiga pisau menancap di permukaan peti yang diangkat Mantik
“Sudah kukatakan bukan?” Gadih Cimpago menyeringai ketika para murid ayahnya yang sedang memapah Andas Rupati lewat di samping kudanya. “Jangan terlalu percaya diri.”“Terkutuk kau, Cimpago—” dan diakhiri dengan Andas Rupati yang kembali memuntahkan gumpalan darah merah kebiru-biruan.Sang gadis hanya menyeringai saja menanggapi kondisi kakak laki-lakinya itu.“Berhentilah mengolok-olok abangmu sendiri, Gadih!”Sang gadis berdeham kecil. “Maaf, Ayah,” ujarnya. Tatapannya kini kembali tertuju pada pemuda rupawan di depan sana. “Ayah ingin aku yang menyelesaikan hal ini? Menginginkan aku menghadapi pemuda itu?”Datuak Marapi menyeringai. “Kalaupun aku merasa kau mampu mengimbangi pemuda itu, tapi aku tidak ingin kau mengalami luka apa pun. Tidak dengan hari pernikahanmu yang akan segera tiba.”Sang gadis menyeringai. “Baik sekali,” ucapnya. &l
Seberapa hebat pun empat racun di dalam tubuhnya mampu menahan keganasan kesaktian yang dimiliki lawannya—seperti Datuak Marapi itu—cepat atau lambat, tubuhnya pasti akan terluka juga, dan berakhir dengan menemui ajal.Mantiko Sati sangat menyadari hal ini. Ia tidak akan terlena dengan kemampuan tubuhnya itu. Bila bertahan saja tidaklah cukup, maka menyerang adalah pilihan terbaik. Paling tidak, hal inilah yang sering ia amati dari apa yang pernah dilakukan si Harimau Putih Bermata Biru dalam setiap menghadapi mangsanya, entah itu ular-ular besar dan berbisa, ataupun makhluk-makhluk buas lainnya.Si pemuda rupawan kembali berdiri tegak, membuka kedua kakinya sedikit lebih lebar, mengentakkan dua tangannya ke bawah, menyilang, dalam bentuk cakaran.“Apakah kau akan serius sekarang?” kekeh Datuak Marapi. “Bagus, bagus…” ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Justru itu yang aku tunggu-tunggu.”Dua deru ang
Untuk kesekian kalinya kawasan pasar itu bergetar sebab aliran tenaga dalam yang besar kembali menghantam permukaan tanah, membuat lubang yang lebih lebar lagi dari yang sebelumnya.Entah karena ia yang kurang awas, atau lantaran menganggap rendah pemuda rupawan itu, atau pula karena ia yang sudah berusia setengah abad sehingga refleksnya tidak sebaik Mantiko Sati, sehingga, ketika Datuak Marapi mencoba berbalik dengan cepat.Teph—teph!Dua tinju pemuda itu menempel di dada Datuak Marapi, bola mata si pria setengah baya melebar. Sepersekian detik kemudian…Dhummm!Hekh!Datuak Marapi terpental, ia mengertakkan rahangnya namun tak mampu menahan bersitan darah dari dalam mulutnya. Seiring itu pula pakaian dan tubuh sang datuak robek-robek seperti terkena ribuan benda tajam.Tubuh pria setengah baya berputar-putar lalu terbanting, membentur keras kuda tunggangan yang sebelumnya ia gunakan.Kuda itu meringkik keras dan
Di tepi jalan di pinggir hutan itu, Mantiko Sati akan berpisah dengan Etek Dalimo. Ada beberapa orang lainnya di sana, orang-orang pasar yang secara berpatungan menyewa sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda dengan bentuk gerobaknya yang panjang dan lebar.“Sudahlah, Etek,” ujar Mantiko Sati saat wanita setengah baya itu memberikan banyak makanan untuknya. “Ini terlalu banyak untuk kumakan sendiri. Sangat disayangkan bila nanti hanya akan menjadi basi dan terbuang.”“Sudah,” sahut Etek Dalimo. “Jangan kau tolak, anak muda. Kau boleh memiliki kesaktian tinggi, tapi kalau menolak rezeki, kau hanya akan dikutuk oleh para dewa!”Mantiko Sati tertawa tanpa suara. “Terima kasih.”“Tidak,” ucap Etek Dalimo. “Aku yang berterima kasih padamu.”“Kami juga!” sahut orang-orang di atas gerobak itu.“Nah,” kata Etek Dalimo. &
Sore hari ketika sang surya berada di titik sepertiga terakhirnya di langit barat, dua ekor kuda yang menarik kereta itu berhenti di satu titik jalan tanah. Si pria 30 tahun memandang ke belakang, ia tersenyum mendapati Maniko Sati yang sepertinya terlelap.‘Yaa, dia pasti sangat kelelahan setelah bertarung seperti itu tadi,’ gumam si pria di dalam hati.Ia pun turun dari kursi saisnya, lalu menyambar sebuah kantong kulit yang berisi air minum, lalu mencuci wajahnya dengan air tersebut.Setelah itu, ia membangunkan si pemuda rupawan yang terlihat nyenyak sembari menggigit sebatang rumput kering.‘Ada-ada saja!’ senyum di pria.“Sati, bangunlah!” ujarnya. “Kita sudah tiba di Nagari Pariangan.”Mantiko Sati membuka matanya, lalu seolah baru sadar jika ia sudah tertidur lelap, dengan cepat ia duduk, dan langsung turun dari atas gerobak tersebut.“Aah, maafkan aku, Uda
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a