Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.
“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.
Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”
“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.
“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”
“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.
“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.
“Aku kerja di pabrik garmen.”
“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.
Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.
“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.
“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebih enak di sini keknya.” Sahut Wuri.
Rika mengangguk dengan senyum yang makin lebar. “Betul banget. Itu si Erna, nungga dua bulan, baru nyicil bayarnya separuh bulan doang. bu Mah tetap memaklumi kok. Karna emang bos-nya Erna belum ngasih ngaji.”
Wuri jadi melirik ke Erna yang nyengir. “Ya gimana. Dari pada bisa bayar kost tapi makannya ngutang sama bu Mah. Mending dia ngutangin bayar kostnya.”
“Eh, nanya, mbak.” Wuri menjeda. “Pecel lele yang di depan foto copy’an itu lumayan enak, nggak?” tanyanya, dia ingat sama kondisi perut yang belum makan dari sepulang kerja tadi.
“Eh, jangan yang di sana deh,” sahut Erna cepat. “Mending yang di samping bank biru itu. Lumayan murah, sambelnya enak, ada kriuknya juga.”
“Tapi kalo makan malam ala aku sama Erna sih bukan di sana, Wur.” Rika menimpali. “Kita lebih sering beli nasi goreng di depan pasar seporsi buat berdua.”
“Nah, ngirit.” Sambung Erna.
Baru mau menempati kost, tapi teman-teman kost udah welcome dan asik kek gini. Pasti banget Wuri bakalan betah. Akhirnya dia pamit untuk menuju ke kamar kostnya yang ada di pojok bagian atas sana.
Menaiki tangga, lalu berjalan melewati teras kamar kost nomor 14. Sedangkan di sebelah kanannya sana ada dua kamar juga, nomor 12 dan 13.
Ceklek!
Tepat saat Wuri membuka kamar kostnya, kamar kost sebelahnya dibuka dari dalam. Kedua mata Wuri melebar melihat seorang cowok yang melangkah keluar dari sana. Cowok yang memang abru pertama ketemu, dan ini adalah pertemuan kedua kalinya, tapi wajah tengil cowok itu langsung melekat diingatan.
Beda lagi sama muka si cowok yang justru tersenyum menyambut kedatangan Wuri ini. “Jodoh emang nggak kemana,” ngomongnya dengan penuh percaya diri. Satu tangannya sibuk mengusap rambut yang basah dengan handuk di tangan.
Wuri hanya berdecak saja, memilih memasukkan tas besarnya ke dalam kamar. Melepas helm dan menyimpannya di pojok pintu. Dia menjatuhkan bokong ke tepi kasur, menyandarkan punggungnya yang lelah di dinding. Diam mengamati keadaan kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai malam ini dan entah akan sampai kapan.
Drrt … ddrtt ….
Wuri sedikit terkesiap merasakan ponsel yang bergetar lama di dalam tas. Dengan begitu malas dia membuka tas dan mengambil barang tipis itu. Mendesah panjang saat tau jika itu adalah panggilan masuk dari nomor suaminya. Wuri menatap jam di lengan kiri, menyunggingkan senyum getir saat tau jika sudah satu jam lebih beberapa menit dia meninggalkan rumah.
‘Saking pedulinya sama keadaan Wina, kamu baru menyadari kepergianku, mas?’ tanyanya dalam hati.
Wuri memejamkan mata, menjatuhkan kepala ke dinding dengan hati yang kembali terasa amat perih. Bayangan dua orang itu benar-benar tak mau pergi dari ingatannya. Selama hitungan bulan, Ifan dan Wina terlalu rapi menutupi semuanya.
Ifan selalu berlaga menjaga mata sampai tak pernah mau beradu tatap sama Wina jika ada Wuri di rumah. Tapi kenyataannya semua hanyalah topeng di depan istrinya saja. Kelakuan yang sealim itu, nyatanya sangat bajingan di belakang.
“Mbak Anggrek.” Sebuah panggilan terdengar dari luar kamar.
Kedua mata Wuri yang sudah memanas itu langsung melirik ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Cepat Wuri menghapus embun yang hampir menetes, lalu beranjak bardiri menuju ke pintu. Takut kalau cowok tengil itu masuk ke kamarnya dengan tiba-tiba.
Wuri membuka pintu lebih lebar, kedua mata langsung bertemu dengan cowok tengil bernama Taka yang sekarang berdiri di samping pintu kamar Wuri.
Taka tersenyum lebar sampai kedua mata gateng itu sedikit menyipit. Kedua tangannya dimasukkan ke saku hoddie dengan satu bahu yang menyandar di dinding tepat samping pintu.
“Kamu ngapain?” tanya Wuri, heran tentunya.
“Gue mau keluar nyari makan. Ikut yuk,” ajaknya super pede.
Kedua alis Wuri sampai berkerut mendengar ajakan Taka. Detik kemudian dia menghela nafas. “Pergi sendiri sana.” Jawabnya, malas.
“Nggak lapar emang?” tanya Taka, menatap fokus pada wajah Wuri yang kedua mata terlihat sembab.
Wuri menggeleng kecil. “Ada roti, ntar makan roti aja.” Wuri sempat melirik kedua mata yang memerhatikannya terus, lalu menutup pintu rapat. Dia tak mau diganggu.
Tatapan Wuri tertuju ke arah ponselnya yang kembali berkedip. Panggilan telpon dari nomor Ifan, kembali muncul di layar tipis itu. Wuri membiarkannya saja, memilih membuka tas besarnya. Mengambil selimut dan seprai yang memang tadi ia siapkan.
Mungkin sekitar sepuluh menit dia sudah selesai merapikan kamar dan menyimpan barang bawaannya ke dalam lemari. Setelahnya, Wuri menjatuhkan tubuh ke atas kasur dengan tatapan menerawang. Lalu meraih ponsel dan memilih mematikan ponselnya agar tak mengganggu istirahatnya.
Tok! Tok! Tok!
Kedua mata baru akan mulai memejam, tapi ketukan dari luar pintu membuatnya kembali membuka mata. Wuri menghela nafas panjang, menyugar rambut panjangnya dan beranjak bangun.
“Apa?” tanya Wuri malas saat melihat Taka sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Nih,” cowok ganteng itu mengulurkan kresek bening tepat di depan wajah Wuri.
Wuri menerimanya. “Ini apa?”
“Buat lo. Biar kuat nangis.” Si cowok masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah mengatakan itu. Menyisakan Wuri yang jadi melabarkan mata, kaget mendengar kalimat berupa ejekan tadi itu.
isinya cuma ada Ifan sama Wina yah.**“Gimana, Mas, diangkat nggak sama mbak Kak Wuri?” tanya Wina yang punggungnya menyadar di sandaran ranjang.Ifan menghela nafas, lalu menggelengkan kepala sembari menarik ponsel dari kuping. Jarinya menekan lagi tanda telpon di pojok bagian atas, lalu kembali pula dia menempelkannya ke kuping.“Assh!” Ifan mendesah kesal ketika nomor Wuri tak lagi bisa dihubungi.“Sudah lah, Mas. Aku yakin kak Wuri baik-baik saja.” suara Wina terdengar begitu tenang, lebih tepatnya sih nggak peduli. “Mas, perutku nggak enak banget lho rasanya,” rengek Wina untuk yang kesekian kali.“Mas, iihh, malah diem aja!” Wina memukul punggung Ifan.Ifan jadi mendesah, menoleh menatap wanita berstatus adik iparnya. “Kenapa sih, Win. Aku lagi pusing mikirin Wuri. Dia pergi dari rumah lho, sekarang dia ada di mana coba? Kamu nggak ada simpati-simpatinya sama kakak sendiri? Padahal dia sudah menghidupi kamu sejak ornag tua kalian nggak ada lho. Aneh kamu ini.”Kedua mata Wina j
Wuri keluar dari kamar kost sudah rapi dengan seragam baju pabrik yang trlapisi jaket. Sengaja banget berangkat agak awal karna mau nyari sarapan di pinggir jalan.“Lailahailallah!” seru Wuri saat hampir menabrak Taka yang baru keluar dari kamar sebelahnya. Dia melirik Taka yang terlihat santai banget dengan tangan mengusap dada.Taka mengedipkan satu mata dengan tangan yang mengcak rambut. Cipratan air dari rambutnya yang sedikit panjang membuat kesan berbeda. Kulit putih, wajahnya pun nggak jelek, malah bisa dibilang cukup tampan untuk menjadi gandengan. Cckk, kalau di Wuri yang selingkuhan. Kan si Wuri statusnya istri orang.Wuri mencibir, tak mempedulikan itu, dia menuju ke arah tangga dengan satu tangan yang menenteng helm.“Mbak, ntar nggak usah lembur ya,” pinta taka, tangannya menyampirkan handuk basah ke jemuran yang ada di batas balkon.Wuri tak membalas, hanya berdecak dan memilih melanjutkan menuruni anak tangga.“Ntar malam kencan sama gue, mbak.” Bisik Taka, mengejar lan
“Wuri, Wur, Wuri,” panggil Ifan, tangannya memutar handle pintu yang sudah tertutup. “Wur, buka pintunya. Pembicaraan kita belum selesai. Wuri!”Ceklek!Di kamar sebelah, tepatnye di kamar milik Taka. Pintunya terbuka dari dalam, dibuka cukup lebar. Cowok berambut pirang itu mendudukkan pantat di ambang pintu dengan satu kaki yang ada di luar. Satu tangannya menghidupkan korek dan membakar rokok yang terselip di bibir. Sempat melirik Ifan sebentar dan setelahnya memilih menatap ponsel dan mulai main game.Ifan mendengus melihat Taka di tempat yang mungkin hanya berjarak satu meter dengannya. Mau teriak manggil istrinya atau mau ngomongin masalah mereka, Ifan jadi nggak enak.“Wuri, besok pagi aku ke sini lagi,” putus Ifan, lalu melangkah melewati Taka yang terlihat tak terganggu.“Yeah! Kalah kan lo!”Ifan menoleh saat mendengar ledekan itu, hanya bisa menahan rasa kesalnya karna Taka terlihat fokus memainkan game. Ya, mungkin lagi ngeledekin lawan main gamenya, kan?Ifan melanjutkan
Pukul 6.10am Wuri menatap pantulannya di kaca persegi panjang yang memang menempel di tembok samping pintu. Lalu tangannya sibuk mengikar rambutnya di belakang dengan rapi. Mengambil parfum yang harganya murah, belinya pun milih pas ada diskon. Wuri keluar kamar setelah parfum itu dia semprotkan ke baju seragamnya. “Mbak, pinjem hape bentar. Mau bales chat temen, penting banget, tapi kuotak gue habis. Gue juga nggak ada pulsa.” Baru aja satu kaki melangkah keluar kamar, Wuri sudah disambut dengan curhatan Taka. Dengan berat hati dia membuka tas dan menyerahkan barang tipis itu. Membiarkan saja Taka mengusap-usap layar ponselnya, dia memilih menutup pintu dan menguncinya. “Ntar pulang jam berapa, mbak?” tanya Taka, mengembalikan ponsel Wuri. Wuri menerima ponselnya, menggelengkan kepala karna dia juga nggak tau akan pulang jam berapa. Tanpa kata dia beranjak, ngeloyor menuju tangga dan menuruni anak tangga. Ddrrt …. Wuri menatap ponsel di dalam genggaman, ada chat yang masuk. Jar
Wuri mengambil ponsel setelah bel tanda waktu kerja selesai berbunyi. begitu mengaktifkan ponselnya, beberapa notifikasi chat langsung berbondong masuk. dia diam sejenak, memerhatikan layar yang berkedip dan terus bergetar. Setelah ponselnya diam, Wuri mulai membuka aplikasi chat dan membaca chat dari paling atas.[Wur, pulang ya, sayang][aku kangen kamu, Wur][nanti malam aku jemput ya, Wur][aku udah terlalu terbiasa ada kamu. Kalau kamu nggak ada, hidupku nggak sempurna. Pliis, pulang, Wur][aku janji nggak akan lagi mengulangi kesalahanku dan nggak akan lagi bikin kesalahan yang lain]Wuri mendesah dan menjatuhkan punggung ke sandaran belakang. Memilih keluar dari chat roomnya dengan suami. Dia langsung masuk ke chat di bawahnya. ‘Selingkuhan Ganteng’Belum baca chatnya, tapi baca nama kontaknya udah ketawa duluan.[mbak, temenin beli teve sama kipas angin.][cepet pulang, gue udah nungguin]Tanpa sadar Wuri tertawa kecil membaca chat dari Taka. Cuma baca chatnya, tapi dibayangan
Motor matik Wuri berhenti di depan toko elektronik, tepat di samping motor Taka. Wuri melepas helm, mengikuti langkah kaki Taka yang masuk dan melihat barang-barang yang ada di teras toko.“Mbak, paling awet yang merk apa ya,” ucapnya, meminta pendapat dengan melirik ke arah Wuri.Wuri mendekat, menatap beberapa merk kipas angin yang berjajar di bagian depan toko. “Kalau yang awet sih aku paling suka merk miyiki ini. Cuma … mending yang murah aja deh, biar pengeluaran juga nggak bengkak. Eh, merk Noko juga bagus lho. Yang penting kan, bisa muter.”Taka menganggukkan kepala. “Pikiran lo mirip kek pikiran gue.”Wuri melirik Taka, hanya mendengus saja dan melihat-lihat barang yang lain.“Aku kalau milih cewek juga gitu lho, mbak. Mau janda atau gadis, yang penting bisa setia sampai tua.” Dia melangkah mundur dengan kekehan serta satu kedipan menggoda Wuri.Biasa aja sih sebenernya, apa lagi tau kalau emang Taka orangnya usil, jahil dan tengil. Tapi tiap saat digangguin, digombali begini,
Wuri menyetandarkan motor di parkiran kost-kost’an. Dia melepaskan helm, menarik kunci motor dan buru-buru turun. Di belakang sana, terlihat sangat nyata mobil suaminya yang mengikuti.“Wur,” sapa mbak Rika yang kebetulan duduk di ambang pintu.Wuri menoleh, menatap Taka yang ada di balkon sana sedang mengecek barang-barang dari toko elektronik tadi. “Mbak, boleh numpang ngumpet di kamarmu sebentar?” ijinnya.Kening Rika berlipat, dia mengangguk samar. Menyingkirkan kaki dan memberi jalan untuk Wuri masuk ke kamarnya. Begitu Wuri ada di dalam kamar, dia menaruh helm milik Taka di lantau dan mendudukkan pantat di kasur lantai. Wuri menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dia menyembunyikan tangis di sana, sampai bahunya bergetar.Berusaha untuk biasa saja dan tidak merasakan sakit hati? Sungguh Wuri nggak bisa. Walau rasa cintanya ke Ifan telah berubah menjadi benci, tapi rasa sakit hatinya tetap ada dan terasa seperti terkena taburan garam.“Astagfirullah ….” Ucapnya lirih dengan s
Ifan menghentikan mobil di halaman rumah. Nggak langsung turun, tapi dia sibuk mengusap-usap layar ponsel, membuka tiap aplikasi media sosial. Sangat khawatir kalau Wuri benar-benar nekat memposting vidio yang tadi. Iya sih, vidionya emang nggak ada yang nggak pantas, tapi kata-kata yang tadi keluar dari bibir Wuri yang bikin dia kesel banget. Mana ada wajahnya juga, kan? Cckk, emang keterlaluan si Wuri. Masa’ suami sendiri mau dipermalukan?[Wur, jangan posting vidio itu. Itu nggak ada untungnya buat kamu. Aku sekarang punya tanggung jawab sama Wina, kalau sampai vidio itu menyebar, pekerjaanku yang jadi taruhannya. Lalu akan bagaimana aku menghidupi Wina kelak? Pliis, berfikir dulu sebelum bertindah. Oke?] send Wuri.Ifan menatap chat yang baru saja dia kirim, centang satu abu-abu. Nomor Wuri belum aktif. Ifan mengusap wajah dengan sentaan kasar, frustasi rasanya. Dia menjatuhkan punggung ke sandaran kursi, kedua matanya memejam mengingat semua yang sudah terjadi. Awalnya begitu bah
Pengantin baru dan tidur nyenyak sampai pagi? Itu sama sekali tak ada! Yang ada, akan lelah sampai seminggu ke depan.Sama halnya seperti Angrgek yang sejak semalam tak bisa tidur nyenyak. Taka tak membiarkannya istirahat. Setelah pemanasan di kamar mandi, Taka meminta haknya di atas ranjang. Anggrek memang janda, tapi dia jarang disentuh. Bisa dikatakan miliknya tak beda jauh dari perawan. Dua dadanya pun terawat dan masih sangat kencang.Satu minggu berada di Jogja, Anggrek dan Taka kembali ke Jakarta setelah urusan pindah KTP terselesaikan. Wina menangis ditinggalkan, tapi merasa bahagia juga karna kakaknya telah bahagia.Dan sekarang Anggrek telah menempati rumah tinggal mama Rita, berada satu atap dengan mama mertua dan tentunya suami. Sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sejak dulu, jadi di rumah mertua ini Anggrek sama sekali tidak merasa tertekan. Terlebih mertuanya yang pebisnis, jadi urusan rumah diserahkan ke Anggrek sepenuhnya. Terkadang Anggrek juga ikut ke butik untu
Sama seperti acara pernikahan pada umumnya. Usai akad, Anggrek dan Taka tidak bisa beristirahat. Apa lagi Anggrek yang tampilannya sangat berbeda dan mendapatan suami orang kaya dari kota. Ditambah suaminya sangat tampan dan wajahnya mirip artis-artis. Hampir orang satu kecamatan berbondong hanya untuk melihat secara langsung. Demi nama Anggrek dan tentunya nama perusahaan Taka, akun milik Wina yang dulu itu ditutup rapat. Tetapi tetap saja, seseorang yang mungkin sudah menyimpan vidio atau gambar telanjangnya, tetap akan memiliki itu selamanya. dan itu sudah ada di luar kemampuan Taka. “Serius, Wur, kamu kaya’ bidadari.” Dara, teman dekat Anggrek di pabrik dulu memuji. Dia sampai meremas tangan sendiri karna gemas melihat wajah cantik Anggrek yang begitu mulus dan glowing. “Aku masih ingat lho. Mbak Wuri dulu juga banyak jerawatnya. Sama kaya’ mukaku.” Ini Siti, tetangga Rt yang juga kerja di pabrik. Anggrek jadi tersenyum. Sudah tak heran dan sudah terbiasa dengan pujian orang te
Anggrek menepuk kaki Taka dengan bibir yang mengerucut. dia mengingsut duduk, menatap ke lain arah. Tangannya bergerak mengacak rambut panjangnya yang terurai. Terakhir bersetubuh dengan Ifan pun sudah tak ingat. Yang jelas semenjak Ifan sering main sama Wina, Anggrek terabaikan. Dia juga tidak pernah meminta haknya karna tubuhnya yang sudah lelah bekerja lebih memilih tidur dari pada melakukan aktifitas yang semakin membuatnya capek.Lalu sekarang, melihat milik Taka yang memang menonjol dibalik celana pendek warna cream itu, pori-porinya langsung meremang. Bayangan seperti apa bentuk milik lelaki langsung terlintas nyata di kepala. Lalu kegiatan suami istri yang dulu pernah dia lakukan sama Ifan muncul, berganti dengan wajah dia dan Taka.Dengan tangan yang masih mengusap barangnya dari luar celana, Taka melirik Anggrek. Dia tertawa kecil melihat kekasihnya memukul kepala sendiri. Udah paham apa yang sedang Anggrek pikirkan. Sengaja banget, Taka menggeser pantat, memepet Anggrek.“T
Dua lelaki, Nuri dan Tri di masukkan ke dalam penjara atas kasus pemerkosaaan dan penganiayaan. Di off-kan-nya jadwal Anggrek ini seperti sesuatu yang sudah direncanakan oleh Tuhan. Seharian, hampir malam dia sibuk mengurusi masalah yang dibuat oleh Ifan dan Wina.Masih harus menunggu pemeriksaan dari rumah sakit untuk meneruskan kasus Wina yang dianiaya dan diperkosaa ini. Lalu kedua wanita ini ada di sini, di kamar rawat Zaskia.“Kamu belum makan kan, Win? Ayok, makan dulu.” Anggrek membukakan sebungkus nasi yang dia beli secara delivery.Di samping ranjang Zaskia sini Wina tak berhenti menangis melihat kondisi anaknya yang ternyata mengalami gizi buruk dan perkembangan yang lambat. Ada penyesalan yang amat-amat sangat menyesal dan tak bisa dia jelaskan seperti apa rasa sakitnya di dalam hati sana.Anggrek mengusap lembut punggung adiknya yang sekarang sudah pakai baju bersih. Baju yang baru dibelikan oleh Anggrek. Karna ukuran baju mereka berbeda. Tubuh Wina berukuran lebih besar d
Wina berlari dengan terseok-seok. Dia menyembunyikan tubuh semoknya di balik gardu yang tak jauh dari gapura masuk kampung. Menyandarkan punggungnya di tembok gardu itu, lalu merosot. Terduduk di tanah dengan isakan yang tertahan. Wina memeluk tubuhnya erat, mencengkeram kedua lengan bahunya sendiri dengan tangis yang tak lagi bisa dia bendung.Hal sensitifnya di bagian bawah sana sudah tak terkira sakitnya. Untuk pertama kali ada yang menyentuh barangnya itu selain Ifan. Dua orang memakainya bersamaan, bergantian. Tak ada seorang pun yang mempedulikan tangisnya. Mulutnya disumpal dengan kain, lalu ditutup dengan lakban. Dan kedua lelaki itu dengan puas menggerayahi sekujur tubuhnya, semaunya tanpa peduli dengan sakit yang Wina teriakkan.Lalu bayangan wajah Ifan yang membuangnya, meninggalkannya begitu saja. Bahkan menyerahkannya secara Cuma-Cuma pada dua lelaki bajingaan itu membayangi kepala. Tangan Wina makin erat mencengkeram lengan bahu sendiri.‘Kamu memang lelaki nggak tau dir
Awalnya memang masih ingin merahasiakan status Anggrek dan masa lalunya. Tetapi di saat yang sudah terjebak seperti ini, Taka memutuskan untuk mengungkapkan kebenaran tanpa mengarang cerita atau memanipulasinya. Bukankah perjalanan di depan akan terasa lebih ringan jika tidak ada kebohongan yang mengikuti?Di sini, di depan gedung apartemen tempat tinggal Anggrek, beberapa wartawan dan orang biasa yang kepo, ikut berkumpul. Termasuk Ifan yang dengan begitu percaya diri berdiri di sisi Ifan. Beberapa kali Anggrek melirik Ifan yang justru cengar-cengir nggak merasa khawatir sedikit pun dengan keadaan anaknya. Padahal Zaskia kritis di rumah sakit. Seperti ini kah keseharian yang Zaskia alami?Astaga ….“Oke, karna saya tidak ingin semua orang sibuk mengunjing atau berbicara sesuai dengan pemikirannya tanpa tau kebenaran, jadi hari ini saya memutuskan untuk memberi penjelasan ke semuanya.” Taka yang berbicara.“Tanyakan satu-satu apa yang ingin kalian tanyakan,” lanjut Taka setelah detik b
“Bagaimana keadaannya, dok?” tanya Anggrek begitu dokter keluar dari pintu ugd.“Mari masuk dan bicara di dalam,” ajak dokter, dia balik badan dan melangkah masuk ke dalam ruang ugd.Tanpa ragu Anggrek mengikuti, melangkah masuk dan mendudukkan diri di depan dokter perempuan yang sudah duduk di mejanya.“Uumm, mbak Anggrek yang dari perusahaan ZLD?” tanya dokter wanita dengan name teks Zaeya.Anggrek mengangguk dengan ragu. “Uumm,” gumamnya dengan tangan yang meremas kain jaket yang dia pakai. Karna panik dan khawatir sama Zaskia, dia sampai lupa dengan statusnya. “Di—dia … dia tadi sama bapaknya, Dok. Kata bapaknya, dari semalam sudah nggak minum susu. Dan … dan dikasih susu kotak sama bapaknya.”“Astaga,” pekik dokter Zae dengan wajah terkejut juga. “Pantas saja keadaannya sangat menghkawatirkan. Beruntung dia bertemu dengan mbak Anggrek, jadi langsung dibawa ke sini. Jika sampai terlambat, akan berpengaruh sangat buruk pada tumbuh kembangnya nanti. Dan mungkin juga pada saraf-saraf
Karna beberapa hari ini jadwalnya di off-kan, setiap pagi Anggrek selalu sibuk dengan kegiatan membersihkan tempat tinggalnya ini. mulai dari guras kamar mandi, ngepel lantai dan memembersihkan seluruh ruangan sampai debu-debunya benar-benar menyingkir jauh. Pukul 9.00am Anggrek baru keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan semua pekerjaan dan tentunya sarapan pagi. Dia duduk di tepi ranjang, mengambil hp yang berkedip dan menampilkan sebuah panggilan telpon dari nomor Taka. “Hallo,” sapanya sembari menempelkan hp itu ke telinga. “Huufft ….” Terdengar sentaan nafas dari seberang sana. “Kamu kemana aja sih, sayang? Aku chat dari semalam nggak dibales, ditelpon juga nggak diangkat. Sibuk ngapain, hn?” Anggrek tersenyum mendengar protesnya Taka. “Bebersih rumah. Baru selesai, jadi baru pegang hp. Ada apa?” tanyanya, melangkah ke arah kaca tinggi yang menghadap ke jalan raya sana. “Nanti jam sebelas aku jemput. kita makan siang bareng. Aku ada kabar bahagia buat kamu. Uumm, buat
Dengan tak hormat Wina serta Ifan diturunkan dari mobil Gilang. “Lho, Mas! kamu tidak bisa begini dong!” teriak Wina yang tentu saja tak terima. Apa lagi ada beberapa lelaki mesum di area sini. “Mas! Mas! mas!” teriak Wina ketika mobil warna putih itu melaju pergi meninggalkan dia dan suaminya. Dan tentu saja dengan Zaskia yang tetap berada di gendongannya. “Mas Ifan, ini kita sekarang bagaimana?” rengek Wina, tak tenang. “Oh, kita kira tadi itu pelanggan mbak Mawar juga. Jadi kan kita bisa sekalian join. Ternyata bukan ya?” Nuri dengan wajah yang sedikit merasa bersalah berucap. Dada Wina naik turun, dia tidak berani mendekat ke dua lelaki yang memang baru pertama kali dia temui ini. Bersembunyi di belakang tubuh Ifan untuk melindungi diri. “Mas, tasku tadi kamu bawa, kan?” tanyanya ke Ifan. Lalu mulai celingukan melihat kedua tangan Ifan yang kosong. “Tadi kan tasmu di belakang. Mana aku tau lah!” jawab Ifan yang sudah pasti tak mau disalahkan. Kedua mata Wina seperti akan meng