"Masalah apa, Dokter? Saya sebentar lagi ke rumah sakit buat bayar biaya operasi Arul. Saya udah dapat uang pinjamannya, Dokter," sambungnya lagi bicara pada Dokter Fandy.
[Masalahnya memang itu, Nissa. Biaya operasi adik kamu dan juga perawatan ibu kamu sudah dilunasi dan malah tersisa menjadi deposit semisal biaya perawatan ibu dan adik kamu kurang. Jadi saya mau kita ketemu buat bahas ini, Nissa. Saya tunggu kamu di rumah sakit, ya?]
"Hmm, baik, Dokter. Saya balik ke rumah sakit lagi. Terima kasih, Dokter..." jawabnya saat mengakhiri telepon tapi tatapannya tertuju pada Dimas yang tidak pudar senyumannya.
"Biaya Arul udah dilunasi. Itu kerjaan kamu, ya?"
Dimas hanya menaikkan kedua alisnya ke atas sambil mengedikkan bahunya saat ditanya seperti itu oleh Nissa.
"Dimas, jawab dong... kamu yang bayarin uang rumah sakit Arul, kan?" Nissa bertanya lagi.
"Ck... pakai sayang dong ngomongnya. Aku kan udah jadi suami kamu," bukannya menjawab, tapi
"Dimas, aku boleh ngajuin satu permintaan lagi?" Nissa bertanya lagi."Selain minta cerai, semuanya boleh,""Bukan itu. Aku cuma mau minta sama kamu buat nggak sebarin dulu kabar pernikahan kita ini. Aku takut ibu sakit lagi, dan kamu juga tau itu. Aku minta kamu ngerti buat tahan berita kita ini ke mana-mana,"Dimas terdiam tidak menjawab, dan itu membuat Nissa merasa bersalah karena mengacaukan kebahagiaan Dimas."Aku cuma punya ibu sebagai orang tua aku. Aku nggak mau ibu sakit karena syok dengar kabar kita nikah. Ini juga nggak melulu soal ibu aku, tapi mama papa kamu juga, Dimas,""Aku belum siap ketemu sama orang tua kamu lagi dan dengar kemarahan mama kamu. Kamu tau sendiri Tante Risti benci banget sama aku dan ibu. Aku takut orang tua kita stress sama status baru kita. Tolong ngerti, ya, Dimas..."“Apa kamu percaya sama aku?” akhirnya Dimas menjawab dengan nada datar tanpa menghentikan laju mobil dan tetap fokus ke
Sementara Nissa yang masih kaget dengan serangan petang indah itu hanya bisa mengangguk, menundukkan wajah merahnya yang memalu.Nissa hanya melambaikan tangannya tanpa menjawab apapun karena bibirnya masih kelu karena tingkah Dimas.Dengan berat hati Dimas melepaskan Nissa dan beranjak dari sana, membawa mobil mewahnya meninggalkan area rumah sakit Grand Healthy.Nissa tetap berdiri di sana memandangi kepergian Dimas sambil terhanyut dalam renungan batinnya sendiri.‘Hidup aku berubah hanya karena kamu, Dimas. Entah itu dulu ataupun sekarang, kamu yang selalu mengambil andil dan ubah semuanya. Dan waktu kamu pergi, semua perubahan ini terikat dan hidup aku balik lagi ke sebelumnya. Sedih, sepi, dan cuma ada air mata yang bisa aku keluarin sambil bersabar tahan semuanya,’‘Sakit itu buat aku mutusin buang semua cinta aku ke kamu yang pergi nggak bilang-bilang. Yang tersisa cuma badan sok kuat tanpa perasaan, hati yang beku, dan an
“Cukup, Dokter Zaky, atau saya nggak akan diam lagi. Lepasin tangan Nissa sekarang juga!” Fandy kembali memperingatkan hingga akhirnya Zaky melepaskan Nissa.“Udah saya lepas!” ucapnya santai sambil tersenyum mengejek Fandy, “Lagian kalau saya nggak lepasin Nissa, apa hubungannya sama Dokter Fandy sendiri?” Zaky jelas menantang.“Saya atau kamu nggak berhak atas Nissa. Semua orang tau kalau Dokter Zaky udah putus sama Nissa, dan saya masih belum jadi siapa-siapanya Nissa. Jadi kita sama, nggak berhak atas Nissa, apalagi buat sakitin Nissa begini!” Fandy tegas mengingatkan Zaky dan membuat Zaky tersinggung.Zaky maju melangkah mendekati Fandy. Bau minuman keras yang tersisa pun masih bisa terhirup ke hidung Fandy hinggaia menyerngit seketika.“Beda, dong! Saya masih banyak urusan yang belum selesai sama Nissa, tapi Dokter Fandy sendiri jelas cuma orang luar!&rdquo
Tanpa basa-basi Dimas langsung menjawab. Sementara ekspresi Dokter Fandy yang awalnya terkesiap, langsung tersenyum miris memandang Nissa dengan raut kecewa.“Jadi alasannya ini, kan, Nissa? Kamu nolak lamaran saya karena udah ada laki-laki lain yang udah bantuin kamu buat biaya rumah sakit adik kamu. Oke, saya ngerti,” ucapnya kecewa. Dokter Fandy juga tidak menyembunyikan kalimat yang seharunya ia telan sendiri.“Dokter, saya nggak maksud—“Tanpa ingin berlama-lama lagi, Dokter Fandy mengabaikan ucapan Nissa yang bahkan belum selesai. Tapi langkahnya terhenti saat Dimas memanggilnya.“Nissa memang pacar saya dari SMA, jadi pikiran anda salah kalau Nissa jual perasaannya cuma karena butuh uang. Dari dulu sampai kapan pun Nissa itu bukan untuk direbutkan. Nissa itu udah milik saya. Anda cukup ingat itu dan jauh dari perempuan saya!” Dimas bicara dengan tegas dan langsung menarik batas yang jelas bagi Dokter Fandy.
“Nggak usah ke sini lagi, aku naik ojol aja nanti ke rumah ibu. Kamu pulang aja dan istirahat,” Nissa juga tidak ingin repot menahan Dimas karena baginya hari ini sudah cukup bervariasi. Dia tidak ingin menambah hal baru ketika Nyonya Risti sampai tahu di mana putra emasnya dan kenapa tidak pulang.“Aku sama kamu pulang ke mana?” nada bertanya yang sarkas Dimas keluarkan.“Kamu pulang ke rumah orang tua kamu, terus aku balik ke rumah ibu. Gitu, kan?” jawabnya tanpa merasa bersalah.“Nggak! Itu salah besar,” Dimas kesal, “Kamu masuk sekarang dan aku pergi sebentar. Nanti aku tunggu di sini buat jemput kamu. Kita pulang ke rumah kita!”Nissa membelalakkan matanya lebar, tapi ekspresi kesal Dimas membuatnya harus diam. Nissa tahu suasana hati Dimas yang berubah dan tidak bisa dibantah saat ini setelah bicara dengan ibunya. Jadi Nissa hanya diam dan mengangguk.“Aku pergi dulu. Sam
Di lantai atas, kamar Dimas…Nyonya Risti langsung masuk setelah mengetuk beberapa kali pintu kamar Dimas yang terbuka, sekalipun Dimas belum mengizinkan ibunya masuk.Di sana Dimas tampak sibuk memandangi apa yang akan ia bawa ke dalam tasnya.“Dimas, kamu kok gitu, sih? Mama malu karena kamu sikapnya begitu sama tamu mama papa. Apa kamu nggak lihat anak gadis mereka itu teman SMA kamu?” Nyonya Risti langsung memprotes sikap putranya.“Aku nggak punya urusan sama tamu Mama. Lagian aku nggak kenal sama anak mereka. Aku nggak punya temen sekolah perempuan dari dulu, dan Mama tau itu. Temen aku ya cuma Jay,” Dimas menjawab enteng dan melanjutkan kegiatannya mengemasi barang.Ketidakpeduliannya itu semakin membuat ibunya kesal, “Walau bukan teman kamu, tapi seenggaknya kamu lihat dulu Maya. Dia aja bilang kalau kalian satu kelas sampai tiga tahun, kok. Masa kamu nggak tau dia sama sekali, sih?”
“Inilah bakti aku ke Mama sama papa. Selama ini kalian terus suruh aku punya keluarga. Kalian selalu mau aku nikah dan sekarang aku udah kabulin permintaan Mama papa,”“Aku udah nikah dan sebentar lagi mungkin bakalan ada copy-an aku versi kecil di rumah ini kayak impian Mama sama papa,” jawab Dimas tenang sambil tersenyum membayangkan Nissa.“Tapi kenapa harus sama perempuan kayak dia? Lihat keluarganya, Dimas! Dia itu anak haram. Ibunya juga janda. Masa depannya suram. Apa kamu buta dan nggak bisa buat perbandingan perempuan mana yang baik untuk status keluarga kita?”“Dimas, mikirnya yang benar, dong! Mama tau kamu anak yang bijaksana soal ngambil keputusan!” bujuk Nyonya Risti lagi pada anaknya setelah air mata dan bentakan tidak mempan pada Dimas.“Sebenarnya apa sih, yang buat Mama nggak suka sama Nissa? Apa Mama mau tunjukkin dan bandingin Nissa sama anak teman Mama itu? Terus apa yang bua
“Oh, jadi kamu nantangin mama, Dimas?”“Aku nggak pernah nantangin Mama, tapi semua kemauan Mama dan aturan Mama buat aku sesak! Aku bukan anak kecil yang bisa kalian atur kayak dulu. Aku udah bisa banget jalanin dan arahin hidup aku mau ke mana dan gimana, Ma!”Dimas menjawab mantap tanpa bergeming sedikit pun pada Nyonya Risti yang dianggapnya sangat keterlaluan saat ini.“Oke, kita lihat aja sampai di mana kamu keras ke mama. Kita bakalan lihat sendiri gimana perempuan gatal itu dibandingin sama calon menantu pilihan Mama! Pasti dia nggak bakalan sanggup dan ninggalin kamu kalau kamu udah ngelepasin semua aset keluarga Sagala!” Nyonya Risti terdengar menyumpah.Dimas tersenyum miris, “Terserah Mama, tapi aku yakin Nissa nggak mungkin ngelakuin itu sama aku. Cinta kami nggak semudah Mama kira,” Dimas keluar dari kamarnya dan meninggalkan mamanya yang tertegun sendirian.“Dimas? Kamu ngga
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh