Nissa baru saja tiba di pos perawat dan hendak memakan bekalnya, tapi dering ponsel yang menunjukkan nama ‘Adimas’ membuatnya membatalkan sarapannya.
“Mmm, ya?” Nissa menjawab singkat.
[I love You, Yang...]
Ucapan sang suami di seberang sambungan seketika membuat wajahnya merona. Nissa langsung bangkit untuk menjauh dari pos perawat ke tempat yang lebih sunyi untuk bicara.
“Kamu telepon cuma mau ngomong itu, ya?” Nissa berbisik bertanya, “Aku baru mulai kerja, Dimas,”
[Bilang sayang sama istri sendiri kok diprotes, sih? Memangnya dilarang, ya?]
“Nggak gitu. Kita kan belum satu jam ketemu tadi? Aneh aja gitu,”
[Gak aneh, Yang. Cinta aku memang banyak banget buat kamu sampai tiap detik pun rasanya aku mau bilang kalau aku sayang banget sama kamu,]
Hati Ni
Nissa yang sudah bulat tekadnya untuk pergi ke rumah besar Keluarga Lesmana, langsung memberikan pesan berisi izin pada suaminya. Lalu setelah itu untuk menghindari penolakan atau pertanyaan berlebih dari Dimas, Nissa langsung mematikan ponselnya. Sore itu juga ia pulang ke rumah bersama Akmal yang memang sudah siap sedia menunggu Nissa keluar dari gedung rumah sakit. Sesampainya di rumah, Nissa langsung memilih pakaian yang pantas untuk melayat, dan langsung pergi mengendarai mobilnya sendiri. Membawa mobil sendiri bukanlah tanpa alasan. Selain memilih pakaian terbaik untuk ia kenakan di acara besar keluarga angkuh itu, Nissa juga ingin menunjukkan pada keluarga ‘ayahnya’ kalau hidupnya tanpa mereka juga pasti akan baik-baik saja. Bukan ingin memamerkan hartanya saat ini, tapi Nissa lebih peduli pada setiap cibiran yang akan keluar dengan penuh hinaan padanya dan ibunya karena mereka hanya wanita biasa yang miskin
Dengan kewaspadaan tinggi setelah melihat keanehan kepribadian Akbar, Nissa setuju masuk ke dalam rumah yang terkesan angkuh dan dingin, sama seperti orang-orang di dalamnya, yang saat ini menatapnya dengan tatapan rendah.Ibu angkat Akbar—Mega, istri kedua Badar—Rita, anak kembar Badar—Awan dan Bulan Lesmana, serta sang kepala keluarga Badar Lesmana, ada di aula berkabung. Semuanya duduk mengitari peti jenazah sambil mengarahkan pandangan mereka pada kehadiran Nissa.“Akbar, dia...” Badar berdiri ketika Akbar mendekat.“Pa, dia Nissa,” Akbar menjawab.Ucapan Akbar membuat Badar seketika ling lung. Ia tidak menyangka kalau putri yang seumur hidupnya ia telantarkan, bisa tumbuh sehat dan secantik ini.Belum lagi Badar menanggapi ucapan Akbar, kalimat sumbang dari samping kanan peti jenazah terdengar, “Nissa anaknya perempuan sundal i
“Jadi siapa yang mengganggumu kali ini?” Sunny bertanya dengan senyuman miring.“PT. Sakti. Prakoso Hartono. Tadi malam orang suruhannya mengemudi seperti orang gila sampai hampir menabrak seorang wanita. Aku tahu orang itu orang berpengaruh di daerah ini. Jadi aku tidak bisa sembarangan menghukumnya. Bisa kamu membantuku mencari tahu alasan mereka melakukan itu?”“Jadi kalau aku sudah tahu alasan mereka, kamu ingin aku langsung membunuh mereka semua?”“Jangan. Aku yang akan menghukum mereka dan membuat mereka merasakan ketakutan hampir mati seperti yang kurasakan tadi malam,”Kedua pria muda itu berbincang dengan nada dan ekspresi dingin yang mengerikan. Aura mereka terasa seperti aura kematian yang jelas mengejar orang yang nyaris mencelakakan Nissa.“Oh, I see. Kamu tidak bisa melakukan pekerjaan kotor. Oke, itu mudah
Dimas yang tingkat kecemasannya langsung tinggi ketika panggilan teleponnya tidak tersambung oleh Nissa, langsung mengambil penerbangan terakhir ke Bandung malam itu juga. Pukul 2 dini hari ia baru tiba di bandara dan meminta jemputan Akmal untuk pulang ke rumah.Tapi sesampainya di rumah, ia tidak menemukan Nissa di sana. Ya, Nissa belum pulang.Ia kembali menghubungi Nissa tapi masih belum tersambung. Dimas memutuskan untuk menyusul Nissa dari keluarga berbahaya itu. Akan tetapi, baru saja ia menuju bagasi, ponselnya berdering.“Nissa, kamu nggak apa-apa, Yang?” Dimas langsung bertanya ketika layar ponselnya tertera nama Nissa, “Aku ke sana jemput kamu, ya. Tunggu aku, jangan ke mana-mana!”[Mas, jangan ke sini!]Suara Nissa cepat menolak hingga Dimas semakin bingung, “Kenapa, Nis?”[Aku nggak bisa pulang sekarang. Acara pemakamannya besok pagi. Aku pulang habis Eyang dimakamkan aja.][Lagia
Di areal pemakaman keluarga Lesmana yang begitu luas, tapi hanya tampak beberapa makam saja di sana. Itu juga termasuk makam yang baru digali untuk Nyonya Besar Keluarga Lesmana.Semua orang terlihat sibuk dan begitu banyak tamu yang datang. Bak pemakaman pejabat daerah yang terkenal, begitu juga lah keadaan di sana saat ini.Dari tempat yang sedikit jauh dari kerumunan, Nissa berdiri menyendiri menyaksikan semuanya. Tapi tiba-tiba seseorang datang dan berdiri di sampingnya.“Lo udah lihat sendiri area pemakaman buat keluarga Lesmana luas banget begini, kan? Gimana, pasti iri dong? Habisnya Lo nggak bakalan dikubur di sini. Lo, kan, anak haram!” Awan Lesmana jelas-jelas mengejek Nissa.“Hmm, mungkin Lo benar. Gue memang nggak cocok di sini. Cuma keluarga Lo aja yang pantes di sini,” Nissa membenarkan dengan senyuman miring.“Baguslah ka
Semalaman tidak tertidur karena menunggui jenazah sang nenek, Nissa tertidur pulas di sepanjang jalan Dimas mengemudikan mobil mereka. Tanpa ia tahu, suaminya itu memberhentikan mobil mereka di sebuah hotel bintang lima di kota pusat kota. Sinar matahari yang menyelinap masuk dari gorden jendela hotel yang masih tertutup membuatnya mengerjap. Perutnya yang lapar sekali itu pun seolah menyuruhnya bangun. Dorongan buang air kecil di pagi hari pun tidak mau kalah. Semua itu menyuruh Nissa untuk beranjak dari kasur nyamannya, menuju kamar mandi. Nissa terbiasa langsung mandi pagi setelah bangun tidur, tapi ia yang lelahnya belum hilang, tidak menyadari apa pun sebelum ia membasahi tubuhnya hingga matanya terbuka sempurna. “Loh, aku mandi di mana?” gumamnya heran. Otak pintarnya langsung merespons untuk memindai sekitaran—menemukan merek hotel di peralatan mandi yang tersedia di sana, “Hotel Big City? Ngapain aku di—“ Ia mulai mengingat apa yang ia lakukan sebelum ia sampai tanpa menyad
Saat ini Dimas merasa serba salah. Ia ingin sekali tertawa terbahak untuk menutupi kegemasan dan hasratnya pada Nissa saat ini. Tapi untuk tertawa lepas rasanya tidak mungkin kalau sang istri menatap tajam ke arahnya dengan tangan berlipat di dada. Bahkan makanan yang baru dibawakan pelayan hotel pun diabaikan Nissa. “Mau diam terus aja, nih? Nggak laper apa?” Dimas mulai bertanya lembut, “Ayo, dong... makan dulu. Kamu belum makan dari tadi malam, kan? Atau kamu udah kenyang kalau lihatin aku terus?” “Jangan ke-GeEr-an banget kamu. Aku masih sebel banget aku sama kamu, tau!” Nissa menjawab kesal, “Kamu nggak bilang-bilang ke aku kalau kita bakalan mampir ke hotel. Terus kamu diem aja sambil lihatin aku yang baru bangun tidur langsung ke kamar mandi. Harusnya kamu, kan, bangunin aku dulu, Dimas!” sambungnya mengeluarkan kekesalannya. “Sambil makan, ya, ngomelnya? Biar tenaganya besar terus,” Dimas malah menanggapi omelan Nissa dengan senyuman santainya, “Aku bawa kamu ke sini bukan t
[Dimas, tau enggak apa yang aku dapat hari ini?] Nissa mengetik pesan yang dikirimnya untuk sang suami. Tidak menunggu lama bahkan hanya beberapa detik kemudian ponselnya berdering hingga mengagetkannya. Itu adalah panggilanmasuk dari Dimas.“Kok malah nelepon, sih? Kamu, kan, sibuk? Pesanku bisa dibaca kapan kamu senggang, kan?” Nissa langsung memprotes setelah ponselnya ia tempelkan di telinga.[Tujuh tahun lamanya aku selalu nungguin moment beginian, Yang. Jangan protes.][Lanjut cerita, aku mau dengerin kabar kamu. Udah kangen aja, nih, aku…]Nissa terkekeh tanpa suara. Kali ini ia bebas tersenyum dengan wajah memerahnya karena tidak ada Dimas yang bisa menggodanya lebih lagi. Ia senang karena Dimas membuatnya seperti wanitayang selalu diinginkan.“Jangan lebay, baru setengah jam yang lalu kita pisahan,”omelnya, “Kamu dengerin aku baik-baik, ya. Hari ini aku senang sekaligus bingung.”[Kenapa?]“Aku dipanggil ke ruangan Bu Rika karena dia mau aku tanda tangani berkas perpindahan
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh