Jika semua orang terperangah dengan kedatangan laki-laki itu, Annisa sudah lebih dulu merasakan kakinya dingin dan melemas. Pikirannya bercampur aduk tidak karuan ketika tatapan matanya dengan laki-laki itu bertemu satu sama lain.
“Dimas? Dia Adimas, kan? Adimas datang?” “Ya ampun, Adimas tambah ganteng! Aku mau nyapa dia!” “Adimas, apa kabar? Masih kenal aku, nggak?” Banyak pertanyaan dan sapaan tertuju pada sosok laki-laki di depan pintu masuk. Baik itu teman laki-laki ataupun perempuan, semuanya seperti tersihir dengan kedatangan Adimas Sagala. Dia adalah salah satu alumni SMA Tunas Murni seperti yang lainnya, tapi Dimas (sapaan akrabnya) adalah bintang sesungguhnya di acara reuni ini selain Annisa. Dia siswa berbakat yang selalu mendampingi Annisa di berbagai situasi. Ya, dia adalah laki-laki yang terus ingin disebutkan oleh Novellin tadi. Adimas Sagala, putra tunggal keluarga Sagala yang memiliki perusahaan terkaya di deretan 5 perusahaan tersukses di Indonesia. Sagala Corporation bergerak di banyak bidang usaha seperti bisnis properti, pembangunan gedung pencakar langit di berbagai kota besar, dan beberapa perusahaan E-Commmerce serta pertambangan nikel. Dimas adalah laki-laki yang meninggalkan Annisa tepat setelah kelulusan SMA mereka. Dimas menghilang tanpa kabar setelah memutuskan hubungan mereka yang terjalin sejak kelas 10. Cinta monyet yang melegenda se-antero SMA Tunas Murni itu harus diakhiri dengan alasan yang jelas, dan itu sudah menjadi rahasia umum. Latar belakang keluarga mereka yang bagaikan langit dan bumi jelas tidak bisa disatukan. Adimas adalah calon Presiden Direktur Sagala Corporation, sedangkan Annisa hanya gadis biasa yang tumbuh bersama keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Sudah jelas sekali perbedaan di antara mereka tidak bisa disatukan dengan hanya satu perasaan, Cinta. ‘Kenapa saat aku udah mulai berdamai sama diriku sendiri, kamu malah datang di depanku? Kenapa kamu nggak menghilang selamanya aja? Kenapa balik lagi dan tatap aku sama kayak dulu?’ ‘Aku harus sumpah demi apa buat mastikan ke kamu kalau hatiku sakit lihat kamu?’ Bulir air mata tidak kuasa mengalir dari mata merah Annisa saat memandang lekat sosok Adimas. “Sumpah, demi apa gue baru ngomongin dia, tapi orangnya malah langsung nongol di depan kita?” Novellin meracau tidak jelas tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Adimas yang dikerumuni rekan seangkatan mereka seperti gula yang diserang kawanan semut. “Lin, gue mau ke toilet dulu bentar,” ucapnya dengan nada bergetar tanpa menoleh pada Novellin. Tapi sahabatnya itu tahu kalau kepala Annisa yang tertunduk adalah bukti kalau jiwanya terguncang melihat Adimas. Sementara itu dari tempatnya berdiri, bayangan Annisa terus memancing tatapan Dimas untuk terus mengikuti sosok Annisa ke manapun berada. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman hangat, begitu juga hatinya. ‘Aku pulang, Nis. Aku kangen banget sama kamu,’ ucapnya lirih dalam hati. Di dalam toilet khusus perempuan... “May, sorry ya. Gue mau oleng ke Adimas. Gue nggak tahan lihat Adimas yang ganteng banget. Tau nggak Lo? Adimas udah kayak yang di iklan parfume AXO itu. Kayak bidadara yang jatuh ke bumi. Heran gue, nggak dulu, nggak sekarang, kenapa gantengnya malah makin nggak manusiawi gitu?” “Nggak heran gue sama Lo yang nggak nyerah dari dulu walau dicuekin terus sama si Adimas,” “Iya, bener. Gue nih, ya. Kalau aja si Adimas kedipin matanya ke gue sekali aja, mungkin gue udah langsung diboyong ke IGD, hahaha!” “Tenang di tempat duduk masing-masing. Jangan ada yang berani godain Adimas, dia punya gue, tau!” kali ini Maya, perempuan cantik dengan postur tubuh semampai, menjawab ejekan dua temannya ketika mereka baru tiba di toilet. “Gue ingetin, ya, sama Elo berdua. Mungkin dulu Adimas nggak noleh ke gue karena ada Annisa si ganjen. Tapi mereka udah putus lama dan kita semua pada tau kalau Adimas disimpen bokap nyokapnya ke Amerika buat ngelepasin peletnya si Annisa,” “Peletnya si Annisa udah nggak mempan. Udah nyeberang berapa benua coba? Jelas kali ini gue yang bakalan dapetin Adimas,” “Lagian si ganjen itu dari dulu sampai sekarang nggak guna banget. Masa iya tetep kampungan gitu gayanya? Cowok dia dokter, kan? Emangnya dia nggak bisa morotin duit cowoknya buat dandan, skin care, atau shoping gitu? Noraknya meng-abadi, jijik Gue!” Di depan dua teman dekatnya Maya selalu percaya diri. Terlebih untuk membandingkan dirinya dengan Annisa yang dicintai Adimas sejak mereka masih sangat muda. Tapi pepatah tentang Cinta Pertama adalah momen yang paling berkesan di setiap hati manusia memanglah benar, dan Maya tidak akan membiarkan Adimas yang baru kembali dari Amerika datang ke Annisa lagi. Setelah men-touch-up make-upnya, Maya tersenyum bangga dengan paras cantiknya, “Udah cantik, ayo balik ke aula. Gue nggak sabar pengen ngajak ngobrol Adimas. Dari tadi belum kebagian ngobrol saking populernya itu si Pangeran Sagala,” “Yuk, cabut!” Tiga perempuan muda dengan latar belakang keluarga yang hampir setara itu meninggalkan toilet dengan cacian untuk Annisa. Tanpa mereka tahu kalau istilah dinding memiliki telinga itu ada. Ketiganya tidak tahu kalau Annisa saat ini sedang duduk di atas kloset yang tertutup sambil terus tersenyum miris mendengar gosip tentangnya. ‘Kenapa nyalahin gue kalau Elo nggak dilihat sama dia?’ Ia tidak tahu harus senang atau sedih karena pembicaraan mereka, karena dulu Adimas memang begitu memujanya bak bidadari. Adimas pacar setia yang bahkan mengacuhkan orang di sekitarnya ketika mereka berdua. Setelah merasa di luar bilik kloset sudah hening, Annisa keluar, dan benar saja, sudah tidak ada orang sama sekali di sana. Annisa berdiri di depan cermin besar yang terpampang di sepanjang wastafel ada. Ia membasuh wajahnya dengan maksut mendinginkan matanya yang panas agar tidak meneteskan air mata lagi. “Cukup, mata. Jangan buat gue lemah. Tolong dong, bisa nggak buat air mata gue nggak turun? Gue bakalan kelihatan jadi cewek cengeng nanti,” Sambil mengeringkan air di wajahnya dengan tissu yang tersedia di samping wastafel, Annisa kembali bergumam. “Pangeran Sagala udah pulang, jadi apa hubungannya sama gue? Nggak ada. Dia bukan siapa-siapa gue. Tolong ya hati, mata, sama otak. Tolong banget kerja samanya,” Seakan semua indra yang disebutkannya mengerti, Annisa berusaha berpikiran jernih agar ia tidak terbawa suasana dengan hadirnya Adimas di sana. “Oke. Habis nyapa Pak Rangkuti gue langsung balik aja deh. Gue nggak mau ketemu dia lama-lama. Sakit hati gue nggak ditanggung BPJS, kan?” gumamnya sambil tersenyum miris sambil memastikan wajahnya tidak basah lagi, dan matanya sudah bebas dari rasa haru. Annisa keluar dari toilet dan kembali ke aula reuni. Setelah kembali, ia melihat ke arah meja yang saat ini lebih ramai daripada meja-meja lainnya, karena memang Pak Rangkuti merupakan guru yang popular di sekolah mereka itu. “Annisa, sini!” Di sana juga ada Novellin yang melambaikan tangannya memanggil Annisa untuk bergabung. Annisa mendekat ke meja sana dan ketika tiba, matanya tidak bisa beralih dari pandangan Dimas yang seakan meminta sapaan.‘Untuk apa kamu datang lagi?’ tanya Annisa dalam hati.Seakan mengerti, Dimas juga terdetak di hati, ‘Aku kangen banget sama kamu, Nis. Aku nggak tahan lagi,’Tapi Annisa hanya sesaat menatap Dimas sebelum hatinya jatuh lagi. Ia hanya mengangguk dan tersenyum singkat sebelum beralih menoleh pada Pak Rangkuti.“Apa kabarnya, Pak?” Annisa menyapa ramah sebelum duduk di samping Novellin, tepatnya di seberang tempat duduk Pak Rangkuti dan Adimas yang dipisahkan oleh meja bundar.“Kabar saya sehat, Annisa. Kamu yang gimana kabarnya? Sudah lama kita nggak ketemu, ya?” Pak Rangkuti menjawab senang. Semua mantan murid beliau pun ikut mendengarkan obrolan yang dimulai pada Annisa.“Kita belum banyak ngobrol di telepon kemarin karena sama-sama sibuk. Jadi, kemarin kamu bilang kamu sekarang jadi perawat magang di rumah sakit Grand Healthy, kan? Kenapa nggak ikut kuliah jurusan kedokteran aja, Annisa? Kamu, kan, jenius banget,” Pak Rangkuti bertanya karena peduli. Annisa memang murid yang membang
“Kita udah putus, Dimas, dan kamu yang tinggalin aku dulu. Jadi tolong jaga sikap kamu sekarang. Aku udah punya pacar dan kamu cuma masa lalu!” bentak Annisa sebelum berbalik, “Sial banget!” makinya sambil berjalan meninggalkan Dimas yang masih terdiam.“Kata siapa kita putus, Nis? Aku memang pergi, tapi aku nggak pernah mutusin hubungan kita. Kamu tetap milikku,” “Aku udah pulang, jadi aku akan perbaiki semuanya. Kita bakalan terus sama-sama lagi kayak dulu,” Gumam Dimas pelan sambil terus menatap hangat punggung Annisa yang berjalan meninggalkannya. Ia pun ikut beranjak dari sana dan segera memulai rencananya mendapatkan Annisa kembali.Yang sebenarnya terjadi hari ini semuanya adalah rencana Adimas. Ia yang sudah kembali memanfaatkan momen reuni sekolah mereka dan meminta tolong pada Pak Rangkuti untuk memanggil Annisa agar datang ke acara tahunan sekolah, karena ia tahu Annisa tidak akan menolak permintaan guru yang dihormatinya. Nyatanya, rencana Adimas berhasil. Tidak hanya m
Annisa menurunkan tangan Adimas, “Makanya kamu sadar, dong. Jangan keras kepala terus! Aku udah punya calon suami dan kami bakalan nikah sebentar lagi. Kurang jelas gimana lagi, sih, Dimas? Aku sakit kalau kamu terus gini sama aku!”“Makanya nikah sama aku. Aku nggak bakalan sakitin kamu lagi dan aku akan bayar semuanya sama kamu. Semua yang kamu lewatkan waktu aku pergi. Biarin aku bayar hutang janjiku sama kamu, Nis…” bujuk Adimas sambil mengambil tangan Annisa untuk ditariknya perlahan.Ia tidak ingin kalah berdebat dan seolah ucapan tentang Annisa yang memiliki calon suami selalu diabaikan Adimas. Tangisan kesal dan penolakan Annisa membuatnya sakit. Tapi dengan kesabaran akhirnya tubuh Annisa mengalah untuk dipeluk Adimas.“Jangan gini, Dimas, lepasin aku. Kita nggak boleh gini. Kita nggak punya hubungan apa pun lagi. Kamu udah mutusin hubungan kita waktu kamu pergi, dan aku udah terbiasa nggak ada kamu di hidup aku. Jadi tolong, ngertiin aku dan pergi aja, Dimas…” tolaknya sambi
“Ya udah, aku pergi dari sini. Tapi aku pergi karena aku mau kasih kamu waktu buat jelasin hubungan kamu sama dia. Kamu itu punyaku, Nis, cuma milik aku!” tegasnya sebelum pergi dari sana. Tapi sebelum itu Dimas masih sempat menatap hangat wajah Nissa yang banjir air mata.“Maafin aku karena udah buat kamu nangis lagi. Tapi aku janji kalau ini air mata kamu yang terakhir. Jelasin hubungan kita sama dia dan setelah itu cuma bahagia yang bakalan kamu lihat di samping aku. Sampai jumpa, Nissa sayang,” ucapnya lembut sebelum benar-benar melangkahkan kakinya.“Mau ke mana kamu, hei!” Zaky memanggil Dimas. Ia keberatan kalau Adimas pergi dari sana, tapi Nissa menahannya agar membiarkan Adimas pergi.“Biarin dia pergi, Zaky. Aku bakalan jelasin semuanya sama kamu,""Jelasin apa lagi? Jelasin kalau dia memang mantan pacar kamu waktu SMA? Ternyata dia orangnya yang buat kamu selalu nolak kalau aku ajakin nikah? Iya, kan?”Pertanyaan Zaky yang mendesak membuat Nissa diam dan menunduk. Sekalipun
“Sumpah, ya, Nis... Aku ini cinta banget sama kamu. Bahkan setelah tadi si brengsek itu bilang kalau dia yang dapetin kesucian kamu ke aku, aku masih berusaha tahan emosi aku dan bakalan dengerin penjelasan kamu. Aku udah cukup sabar tekan ego aku yang nolak kalau kamu itu bekasnya dia. Itu semua karena aku sayang sama kamu,”Semua ucapan Zaky yang meremehkannya itu membuat Nissa terdiam. Ia tidak menyangka kalau laki-laki baik yang ia kenal selama ini bisa mengatakan hal semenyakitkan itu.“Jadi, patokannya cinta dan ketulusannya aku sama hubungan kita cuma dari mau enggaknya aku buka baju di depan kamu? Mau enggaknya aku tidur sama kamu sebelum kita nikah? Itu yang ada di pikiran kamu?” tanyanya tidak percaya.“Sebenarnya enggak, tapi kamu yang buat aku tekanin hal itu sama kamu. Lagian alasan buat kamu nolak tidur bareng aku itu apa? Toh, kamu kan udah bekasnya si brengsek itu. Apa lagi yang harus kamu tutupin sama aku?” lagi-lagi Zaky memperjelas isi kepalanya pada Nissa.Nissa be
“Aku juga nggak lihat langsung, Mbak. Aku ditelepon Bik Lina kalau ibu dibawa ke sini. Bik Lina bilang sebelum pingsan, ada tamu datang. Dia orang kaya, Mbak, dan Bik Lina lihat kalau ibu sempet ngusir orang itu sambil marah-marah. Tapi habis tamunya pergi, ibu langsung pingsan,”Cerita Arul bisa dimengerti oleh Nissa dengan baik. Seperti virus, di mata ibu mereka orang kaya adalah hal yang harus dibenci dan dijauhi. Tapi semua itu memiliki sebab yang memang menghancurkan sang ibu dan keluarga mereka.“Ya udah, mbak udah di sini. Mbak masuk dulu ke dalam buat ngomong sama dokter,” Nissa menjawab yakin dan mulai bangkit. Tapi Arul kembali menahan dengan tetap memegangi tangan kakaknya.“Kalau dokter bilang ibu harus dioperasi, duitnya dari mana, Mbak? Operasi jantung pasti mahal, kan? Dan kita nggak punya uang sebanyak itu. Tapi aku nggak mau ibu kenapa-kenapa. Udah cukup ayah yang pergi, aku nggak mau kalau ibu…”“Shhh… stop ngeluarin kata-kata nggak guna. Doain aja ibu lekas sehat. I
‘Ibu anda masih bisa diselamatkan tanpa harus menerima operasi. Tapi satu kali saja pasien menerima kejutan lagi yang mengakibatkan guncangan di hatinya, mungkin pasien tidak akan tertolong,’‘Anda seorang petugas kesehatan, kan? Tolong jaga kesehatan mentalnya juga selain kesehatan fisiknya. Usia ibu anda juga sangat rentan mengingat riwayat penyakit jantung yang sudah lama pasien derita,’Pesan dokter yang menangani ibunya terus terngiang di benak Nissa. Kini ia duduk termenung di sebuah café di depan rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tanpa memperdulikan sakit memar di pipinya, Nissa terus mengingat beberapa saat tadi setelah ia kembali menjenguk ibunya yang baru sadar dari pingsan.‘Kenapa kamu di sini? Pergi! Aku nggak sudi lihat muka kamu, tau! Arul, usir perempuan sial ini! Ibu nggak mau lihat dia di sini atau kamu mau lihat ibu jadi mayat!’‘Suruh dia balik sama laki-laki dari keluarga pembunuh ayah kamu aja. Jangan biarin dia dateng lihat ibu lagi, Arul! Ibu nyesal kenapa dul
“Sekalipun benar kalau kamu pulang untuk aku, tapi nyatanya kepulangan kamu buat aku hancur. Pernikahan aku batal dan ibu masuk rumah sakit. Aku tahu kalau ibu pasti habis ketemu kamu, kan?”“Mau kamu apa, sih? Kalau kamu berkeras cinta sama aku, tolong pergi aja. Dengan kamu pergi dan jauh dari aku, semua itu cukup buat aku bahagia!”Nissa bangkit dari tempat duduknya dan menatap Dimas sebelum pergi. Tersirat penyesalan ketika ia mengusir Dimas dari hidupnya dengan kalimat yang pastinya membuat Dimas sakit.‘Maaf, tapi aku harus buat kamu sakit dulu biar kamu pergi,’ batinnya yang ikut hancur dibawa pergi dari sana, meninggalkan Dimas yang hanya bisa tersenyum miris memandang Nissa.“Aku tahan kok, Nis. Mau kamu bilang kamu benci aku dan kamu ngusir aku, selangkah pun aku nggak bakalan pergi lagi. Aku akan tetap di sini dan jadikan kamu milik aku seutuhnya,”“Nggak ada yang bisa sakitin kamu lagi karena aku udah di sini, Nis… Dulu dan sekarang pun janji aku tetap sama. Aku bakalan bu
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh