Ibu tampak menghela napas. Kembali menatap kami. Kali ini dengan tatapan tajam. "Orang tua kamu gimana Serena? Udah tau?" tanya Ibu. "Sepertinya—"Tiba-tiba Mas Rifki datang ke hadapan kami, lalu menarik keras baju Mas Samuel dan menghajarnya tanpa ampun. Aku menutup mulut tak percaya. Datanglah Mbak Yuni juga Ibu dengan langkah tergesa-gesa."Sialan!" kata Mas Rifki terus menonjok suamiku. Mas Samuel sampai tersungkur di sofa yang tadi ia duduki bersamaku. Aku merengkuh suamiku. Meneriaki Mas Rifki dengan napas yang sama-sama memburu. Mbak Yuni juga ikut memisahkan suaminya itu. "Udah, Mas! Stop! Tahan emsoi kamu!" bentak Mbak Yuni menenangkan suaminya. Aku langsung melihat keadaan Mas Samuel. Pelipisnya berdarah. Aku menekan luka itu sedikit dan Mas Samuel langsung meringis pelan. "Sialan kamu Samuel! Berani-beraninya kamu melukai adik saya!" sentak Mas Rifki menggebu-gebu. Mbak Yuni terlihat terus menahan suaminya. Spontan aku berdiri. Menatap nyalang Kakakku sendiri. Aku me
—Malam hari setelah kepergian semua orangAku menoleh ke belakang kala pintu kamar terbuka dan menampilkan Mas Samuel dengan wajah gelisahnya. Pria itu menghampiriku dan berdiri lama di depanku tanpa berbicara apa pun. Tentu saja hal itu membuatku bingung sendiri. Apa maunya, kenapa tiba-tiba membisu seperti ini? Apalagi ia menatapku sangat dalam. Lebih dalam dari sebelumnya. Seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi malah tertahan di sana. "Kenapa, Mas? Ada yang mau dibicarakan?"Mas Samuel langsung memutus kontak mata. Ia memalingkan wajah ke arah lain. Lalu kembali menatapku. Menghela napas sebentar. "Besok Mas harus pergi ke Singapore," ucap Mas Samuel cukup mengejutkanku. "Besok?" beoku. Pria di hadapanku lantas mengangguk. "Klien minta reschedule jadwal pertemuan, jadi 2 hari dari sekarang. Besok Mas harus pergi karena mau cek proyek dulu di sana."Aku terdiam. Ini terlalu tiba-tiba. Mengapa harus sekarang, saat aku ingin sekali menghabiskan waktu bersama dengan Mas Samuel. Kare
—Beberapa hari kemudianTerhitung sudah dua hari Mas Samuel pergi. Pria itu terakhir mengabariku kemarin malam dan sekarang langit sudah mulai jingga, tapi belum ada kabar apa pun darinya. Kini, aku sedang merenung di tepi pantai. Duduk menikmati senja di tengah kerumunan yang sama halnya denganku. Langit sore begitu indah, tapi pikiranku bukannya tenang malah makin gundah. Aku mengecek ponsel, pesan terakhirku tadi malam belum dibalas, pun dengan pesan tadi pagi. Kuhela napas panjang, menggengam erat ponsel tersebut dan memejamkan mata menikmati suasana angin pantai.Di keadaan ramai seperti ini pun, aku malah merasakan kesepian. Sepi yang benar-benar sepi. Aku merasa setengah jiwaku hilang. Terus menunggu dan menunggu. Entah apa yang kutunggu. Dia atau setengah jiwaku yang hilang. "Perpisahan itu selalu menyakitkan Serena," celetuk seseorang yang berada di sampingku. Aku membuka mata lalu menatapnya. Dia Bella, seseorang yang selalu mendengar segala keluh kesahku. Perempuan itu
—Tiga bulan kemudian. Selama resmi bercerai dengan Mas Samuel, aku lebih sering mengunjungi bar sekadar minum dan berjoget ria dia sana. Bella juga ikut bersamaku. Kami berdua seolah remaja yang sedang patah hati dan butuh hiburan. Entah sudah botol ke berapa yang aku minum, mendadak omonganku melantur ke mana-mana. Di tengah kebisingan ini aku malah tertawa tak jelas dengan Bella yang entah ada di mana. Ah, mengenai Bella. Ia sudah putus dengan Hendra. Pria itu memilih tunangannya. Miris bukan? Bahkan nasibku dengan Bella begitu miris. Kami sama-sama ditinggalkan oleh orang yang amat kami cintai. Itu lah kenapa alasan kami begitu kacau akhir-akhir ini. "Bella, aku ke toilet dulu!" teriakku tak jelas. Padahal aku tidak tahu Bella di mana, tapi setidaknya perempuan itu dapat mendengarku. Meski aku tak yakin akan jalan pikiranku yang sudah ngalor ngindul ini. Aku berjalan sempoyongan ke arah toilet, beberapa kali menabrak orang yang tak aku kenali. Aku juga banyak menebarkan senyu
"Hamil?" Bella langsung mengangguk mantap. "HAMIL?!""Sebentar gue ambil testpack dulu!"Bella pun langsung ngibrit keluar dari kamar mandi. Aku refleks tercengang. Sontak tanganku memegang perut mengelus di sana. Tidak mungkin. Jika benar, anak di dalam perutku anak siapa? Aku menggeleng keras. Tidak. "Nih, cepet lo tes di dalam. Gue tunggu di sini!" Bella menyerahkan alat tersebut padaku. Aku menatap aneh benda tersebut. "Kamu punya testpack dari mana, Bel?" "Udah, lo jangan banyak tanya! Sana masuk!" Bella mendorongku agar segera melalukan tes dengan alat yang ia berikan tadi. Awalnya aku bingung sendiri, namun tak lama dari itu dengan tekad yang kuat aku pun menurut. Beberapa menit setelahnya, aku keluar dengan alat tes tadi yang sudah kuketahui hasilnya. Sebenarnya, saat mengetahui hasilnya positif aku hanya bisa berdiam diri. Menatap tak percaya atas apa yang kulihat saat ini. Aku menghampiri Bella, menatapnya dengan keadaan hati yang sudah campur aduk. Aku menyerahkan a
"Bayu," panggilku agar pria itu menggantikan posisiku yang sedang memapah Kinan. Aku maju ke depan kala Bayu mundur menggantikan posisiku. Baskara tak kenal ampun. Ia selalu tak sabaran. Aku tak pernah lagi melarang pria itu bertemu Anin, tapi untuk Kinan tidak sekarang. Ini belum waktunya. "Reno, tolong bawa mereka ke mobil." Pria itu mengangguk patuh. "Mari ikuti saya Bu," ujar Reno memimpin. Aku langsung menatap Baskara tajam. "Baskara, Anda ikut saya." "Mas," lirih Kinan membuatku kontan menoleh padanya. Dilihat dari raut wajahnya, Kinan masih tampak terkejut. Aku juga melihat perempuan itu lebih lemas dari pertama kali aku masuk ke dalam ruangannya. Meski Kinan tak sampai separah dulu yang teriak tak jelas saat bertemu Baskara, tapi tetap saja pertemuan ini cukup berbahaya apalagi Kinan baru sembuh dan ia belum pulih total."Kamu ikut sama Reno, nanti saya nyusul ke sana." Aku menatap Kinan seolah menyakinkan. Kinan mengangguk lirih. Terlihat matanya menatap Baskara sekila
"Bel, berhenti dulu, ya, di minimarket depan, aku mau beli susu hamil dulu sama cemilan, tiba-tiba pengen nyemil nih, kayanya bawaan bayi, deh." Bella mengangguk setuju. Kami memang sudah berada di dalam mobil menuju apartemen. "Mau gue temenin nggak ke dalamnya?" tawar Bella ketika sudah berada di depan minimarket. "Nggak usah, kamu tunggu aja di mobil. Mau nitip nggak? Biar sekalian," ujarku seraya membuka sabuk pengaman. "Nitip pembalut yang ada sayapnya. Udah itu aja gue." Kubalas anggukan kepala. Aku pun turun dari mobil dengan tas selempang yang masih menyantol di bahu. Membuka pintu minimarket dan langsung menuju rak pesanan Bella. Merasa sudah cukup, aku berjalan ke arah rak susu ibu hamil. Di sini lah kebingunganku dimulai. Aku berdiri bak patung memandangi banyaknya berbagai susu ibu hamil yang berjejer di rak depan. Mata dan tanganku mulai bekerja, aku mencari susu yang direkomendasikan oleh dokter kandungan. Setelah masa pencarian, akhirnya susu yang dicari pun ketem
—POV SerenaAku dan Bella kini sudah sampai di rumah. Betul, aku mengubah perjalanan menjadi pulang ke rumah. Rumah yang selama 3 bulan ini kutinggali seorang diri. Namun, karena aku lumayan penakut alhasil Bi Siti dan Mang Ujang ikut tinggal bersamaku. Sebab aku tak sanggup tinggal sendirian di rumah sebesar ini. Rumah dengan 2 lantai dan halaman yang cukup luas membuatku takut sendiri. Takut yang bermacam-macam. Meski ada CCTV, tetap saja keselamatan seseorang tidak dapat terjamin dari rekaman tersebut. Setidaknya jika ditemani kedua pekerja di rumah, itu lebih baik. Aku juga tak begitu merasa kesepian. "Lo beneran mau tinggal di rumah aja? Padahal di apartemen gue juga nggak apa-apa kali, Ser," ucap Bella mengikuti langkahku sampai ke dalam rumah. Aku duduk di ruang tamu dan diikuti Bella. Keresek belanjaan kutaruh di atas meja. "Apartemen kamu dekat sama apartemen Mas Samuel, Bel. Itu sama aja aku bunuh diri. Lagipula, untuk saat ini aku nggak mau ketemu sama Mas Samuel."Bi S
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d