Hangover. Grady terbangun ketika rasa tidak nyaman mulai datang. Lelaki itu membuka mata dan seketika rasa pengar menyerang. Grady mendesis, dipejamkannya lagi kelopak mata rapat-rapat sambil memijit pangkal alis. Dia ingat bahwa semalam dirinya pergi ke kelab dan melempar Evita ke lantai dansa. Namun, bayangan kejadian setelah itu terasa kabur.“Sepertinya aku benar-benar mabuk semalam,” gumam lelaki itu.Ditolehkannya kepala ke sisi lain ruangan. Dia melihat Evita yang meringkuk di sofa tanpa selimut. Timbul rasa yang menggelitik di dalam benak, membuat Grady termenung sejenak. Sampai akhirnya, ketukan pintu membuyarkan lamunan. Dia lihat Evita menggeliat, dia pun kembali memejamkan mata, berpura-pura terlelap.Mengintip dari celah kelopak, Grady melihat wanita itu bangun lalu turun dari sofa. Evita tampak meringis lalu melipat bibir ketika akan berdiri, seperti sedang menahan sakit. Lalu, Evita mengembuskan napas panjang sebelum berjalan dengan langkah tertatih.‘Kenapa dia?’ batin
Evita sampai tidak bisa berkata-kata setelah mendengar pengakuan Grady. Ternyata, selama ini sang suami tahu tentang Lody yang suka mengganggu dirinya. Namun, lelaki itu justru berpura-pura tidak tahu dengan maksud untuk menyiksanya. Benar-benar tidak disangka, bahwa Grady akan sekejam itu terhadap dirinya.“Kenapa? Kaget, aku tahu semuanya?” tanya Grady enteng sambil menaikkan alis.Wanita itu menunduk dan membiarkan air mata terus mengalir di kedua pipi. Jangankan untuk menjawab pertanyaan Grady, untuk sekadar meneguk ludah saja dia kepayahan. Napas Evita tercekat, dan rasanya begitu sesak.“Sudah diapain aja kamu sama dia?” tanya Grady dengan nada mengejek.Tak ada jawaban yang bisa Evita beri untuk lelaki itu. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa Lody sudah membuatnya klimaks, bukan?“Jangan bilang kalau kalian pernah main!” Grady mendelik, bukan dengan raut marah melainkan seperti orang yang sedang menerka sesuatu. “Atau jangan-jangan malah kamu kesenengan karena bisa main sama dia
Sudah beberapa hari sejak mereka kembali ke rumah. Setiap malam, Grady selalu pergi dan pulang dalam keadaan mabuk. Entah mabuk berat atau sekadar minum. Dalam kondisi seperti itu, Grady selalu bersikap kasar pada Evita. Mulai dari sekadar berkata tajam, hingga memaksakan kehendak untuk berhubungan badan. Lelaki itu memperlakukan Evita lebih rendah dari seorang wanita murahan.Pun begitu dengan malam ini yang terasa seperti malam-malam sebelumnya. Grady pulang dalam keadaan mabuk. Begitu masuk ke kamar, lelaki itu langsung menghujani Evita dengan sumpah serapah.“Punya otak nggak, sih, kamu? Aku tadi nyuruh kamu apa? Kenapa kemeja yang ini masih kotor, hah?!” bentak Grady seraya melempar kemeja kotor itu ke wajah Evita.Wanita itu mengerutkan badan sambil menangkap kemeja tersebut. Dia takut Grady akan memukulnya, meski sejauh ini lelaki itu tidak melakukan hal tersebut. Evita sudah berusaha untuk berdamai dengan semua rasa sakit ini. Namun, tetap saja bentakan Grady terasa seperti pu
Punggung telanjang Evita bergetar, meringkuk membelakangi Grady yang sudah terlelap usai menyakiti dirinya. Wanita itu memeluk selimut di bagian dada dengan air mata yang terus menetes deras. Luka fisik dan batin ini membuatnya lelah, sangat lelah. Bahkan untuk bangun dan membersihkan diri saja dia tidak mampu. Wanita itu terisak lirih dan membiarkan tubuhnya tak beranjak dari atas ranjang, hingga perlahan-lahan dirinya terlelap karena terlalu lelah menangis.Saat terbangun, Grady merasakan pengar seperti pagi-pagi yang sering dia jumpai beberapa waktu terakhir. Lelaki itu memijit pelipis sambil meringis. Setelah merasa lebih baik, Grady pun bangkit. Namun, pandangannya langsung terarah pada tubuhnya yang masih dalam keadaan tak berpakaian sama sekali. Lelaki itu berdecak lalu menutup wajah dengan telapak tangan sambil mendesah keras.Grady ingat apa yang sudah dia lakukan semalam. Bagaimana dia menggagahi istrinya dengan tidak berperasaan. Namun, tidak biasanya dia terbangun dalam ke
“Sudah merasa lebih baik?” tanya sebuah suara yang terdengar familiar.Evita menoleh ke arah pintu dan mendapati Arman yang berjalan mendekat padaya. Lelaki paruh baya itu membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan segar di tangan kanannya, serta senyum hangat yang menghiasi wajah.“Pa,” balas Evita seraya berusaha untuk bangkit.“Tidak perlu!” cegah Arman. “Kamu tiduran saja,” lanjutnya.Meski Arman memintanya seperti itu, Evita tetap merasa tidak enak. Tubuhnya memang terasa lemah, tapi tak berarti dia tidak bisa melakukan apa-apa. Sehingga, wanita itu tetap beringsut duduk menyambut kedatangan ayah mertuanya.“Sudah saya bilang, tidak perlu bangun,” ujar Arman begitu sampai di samping ranjang.Lelaki paruh baya itu meletakkan keranjang di atas nakas lalu menumpuk bantal di belakang Evita, agar sang menantu dapat bersandar dengan lebih nyaman.“Bagaimana kondisi kamu?” tanya Arman khawatir. “Tadi pagi, saya melihat Grady gendong kamu dan … kelihatan panik,” lanjut lelaki itu.Evita
Semua perhatian terpusat pada Grady. Lelaki itu tak beranjak dari tempat, hingga beberapa saat. Bahkan, ketika Ranti dan Dewi menyapanya, Grady hanya merespons dengan anggukan kecil. Untuk itu, Evita segera mengambil tindakan, agar kedua temannya tidak melihat murka sang suami."Mh ..., Ran, Wi. Makasih, ya, martabaknya. Makasih juga sudah mau menjengukku," ucap Evita dengan raut sungkan pada kedua temannya."Oh, iya." Ranti segera menutup kotak martabak lalu meletakkannya di samping keranjang buah. "Kalau gitu, kami pamit dulu, ya.” Tanggap dengan maksud Evita, Ranti lantas berpamitan. Wanita itu menyenggol lengan Dewi, memberi kode pada sang teman untuk segera berpamitan juga."He em, Ev. Kami pulang dulu. Jangan lupa martabaknya dimakan," kata Dewi sambil menunjuk kotak di atas nakas.Evita mengangguk sambil tersenyum kecil."Makasih, ya," ucapnya lagi.Sepeninggal kedua teman Evita, Grady baru melangkah masuk ke ruang perawatan. Ekapresi lelaki itu terlihat dingin, dengan tatapan
“Pak,” panggil Bagas.Suami Evita itu tergagap. Grady berdeham, kemudian berkedip cepat beberapa kali. Lelaki itu terlalu fokus dengan sikap Evita yang seolah tak mempan dia siksa. Pikirannya hanya dipenuhi dengan pertanyaan seputar cara apa yang mampu membuat Evita tersakiti.“Oh, maaf. Bisa ulangi sekali lagi?” pinta Grady.Bagas mengangguk sebagai respons.“Pihak Multitama Asia membatalkan kerjasama dengan kita.” Bagas menunjuk sebuah dokumen ke hadapan Grady. “Dan mereka telah menandatangani kerjasama dengan Primandaru Inc. beberapa jam yang lalu,” lanjut Bagas.Napas Grady terembus keras.“Kurang ajar!” Lelaki itu menggebrak meja lalu meremas dokumen di hadapan dan melemparnya dengan asal. “Sudah kuduga, Primandaru akan menghasut mereka. Licik sekali!” geram Grady.“Bukan hanya itu, Pak.” Bagas memasang raut tegang di wajahnya. Asisten Grady itu kemudian mengelurkan ponsel dan menunjukkan layarnya pada sang atasan. “Mereka juga mencuri ide kita,” lanjut Bagas.Wajah Grady langsun
Pelukan hangat menjadi jawaban atas permintaan maaf itu. Evita langsung menghambur dalam dekapan Grady, dengan netra yang berurai air mata.“Aku sudah memaafkan kamu, Grad. Aku selalu memaafkanmu,” ucap wanita itu disertai air mata haru.Sebuah usapan lembut, Grady berikan di kepala hingga punggung Evita seraya berkata, “Makasih, Sayang.”Perlahan-lahan, senyum di bibir Grady memudar. Berganti dengan sebuah seringai keji serta netra yang menyorot licik seraya membatin, ‘Makasih, karena kamu sudah membuka pintu untukku.’Evita sama sekali tidak curiga. Meski di awal dia sempat merasa permintaan maaf ini begitu mendadak dan aneh. Namun, usaha untuk memahami perasaan sang suami justru berakhir menjadi bumerang untuk diri sendiri.Usai mendapatkan maaf dari sang istri, sikap Grady berubah menjadi lebih lembut. Seperti sebelumnya, Grady memang pandai bersandiwara. Setiap ucapan manisnya mampu membuat Evita dengan begitu mudah terpedaya.Pagi itu, Grady yang sebelumnya tidak pernah lagi men
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev