Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Evita yang sedang bersantai di dalam kamar. Wanita itu menyingkap selimut yang menutupi kaki, kemudian turun dari tempat tidur sambil menyahut, “Iya, sebentar!”Evita berjalan ke pintu lantas membuka papan kayu itu dan mendapati ART yang berdiri di depan kamarnya.“Ada apa, Mbak?” tanya Evita.“Non Evita dipanggil sama Bapak,” jawab ART itu.Wanita itu mengerutkan kening. Tidak biasanya Arman memanggil dirinya. Apa ada hubungannya dengan kejadian di perpustakaan kemarin?“Bapak menunggu Non Evita di taman belakang. Saya permisi, ya, Non. Mau lanjut bersih-bersih,” pamit ART tersebut.“Oh, iya, Mbak. Aku segera ke sana.” Evita tersenyum sambil mengangguk kecil.Meninggalkan kamar dengan hati yang bertanya-tanya, wanita itu tak ingin membuat Arman menunggu terlalu lama. Dia khawatir akan membuat lelaki paruh baya itu memiliki pikiran buruk tentang dirinya.Kaki wanita itu melangkah lebar menuju taman belakang. Di sebuah bangku kayu bercat putih
Grady berjalan ke arah Evita sambil membawa dua dasi di tangan.“Bagusan yang mana? Hitam? Biru?” tanya lelaki itu seraya menunjukkan dua benda di tangannya pada Evita.“Yang biru,” jawab Evita sedikit lesu.Grady melemaskan bahu sambil membuang napas dengan keras. Dia turunkan kedua tangan lalu duduk di samping istrinya.“Kamu memang tetap cantik biarpun sedang cemberut seperti itu, tapi kamu akan tambah cantik lagi kalau bibir ini tersenyum,” ujar Grady seraya menarik kedua ujung bibir Evita ke atas dengan jemarinya.Evita memaksakan senyum dengan malas. Grady memintanya untuk menemani lelaki itu dalam jamuan makan malam bisnis bersama beberapa rekan kerja. Andai Grady tahu bahwa segala hal yang berhubungan dengan publik, membuat wanita itu tidak nyaman. Bukan karena anti sosial, melainkan karena aib yang tak terhapuskan. Evita tidak tahu siapa saja yang akan ditemuinya di sana nanti. Masih dengan ketakutan yang sama, bahwa salah satu yang hadir dalam jamuan itu adalah lelaki yang p
Wajah Evita memucat. Jantung di dalam dada wanita itu berdentum ribut tak keruan. Saking kuatnya entakan, Evita sampai takut menyentuh meja. Khawatir tangannya yang tremor akan membuat benda-benda di atas meja turut bergetar.“Kukira kamu tidak akan datang,” seloroh salah satu dari mereka.Lody terkekeh renyah.“Kan aku sudah bilang, mau bawain kalian arsiteknya sekalian,” balas Lody. Lelaki itu lantas berpaling ke arah laki-laki yang datang bersamanya. “Ini Jonathan, arsitek yang akan menangani pembangunan Paradise. Jadi kalian bisa request langsung mau dibuatkan penginapan yang seperti apa,” lanjut Lody.Lelaki bernama Jonathan itu memperkenalkan diri. Setelahnya, dia dan Lody segera bergabung dengan yang lain di meja makan. Sialnya, kursi kosong yang tersisa adalah di samping Evita dan satu lagi di seberang meja, sebelah kiri lelaki berkacamata. Posisi yang sangat untuk mengintimidasi.Evita sangat ingin lari dari sana, terlebih ketika Lody mendaratkan diri di kursi yang ada di sam
Setelah puas menangis di dalam taksi, Evita meminta si sopir untuk mengantarnya ke sebuah alamat. Bukan ke kediaman keluarga Ferdinata, melainkan ke alamat kos kedua temannya, Ranti dan Dewi.Turun di pintu masuk gang, Evita berjalan kaki menuju tempat kos Ranti dan Dewi. Wanita itu berjalan gontai, bahkan hanya menanggapi sekadarnya saja beberapa orang yang menyapa. Malam memang belum terlalu larut, masih banyak warga yang berseliweran di sana. Namun, saat tiba di depan kamar kos Ranti dan Dewi, Evita mendapati lampu kedua kamar tersebut padam."Apa mereka belum pulang?" gumamnya."Belum pada pulang, Mbak!" seru tetangga kos yang letaknya berseberangan dengan kamar Ranti dan Dewi.Evita membalik badan."Oh, belum ya, Bu?" ucapnya pada tetangga kos itu."Belum, Mbak," sahutnya lagi.Evita mengangguk, kemudian tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih karena sudah diberi informasi.Melemaskan bahu sembari membuang napas keras melalui mulut, Evita lantas melepas kedua heels yang memb
"Pak Grady?" cicit Ranti.Wanita muda itu meneliti penampilan Grady. Jas yang sudah tidak terkancing dan dasi yang dilonggarkan menggantung di leher. Dugaan Ranti, bosnya ini tadi pergi bersama Evita ke sebuah acara."Apa Evita di sini?" tanya Grady to the point.Ranti membasahi bibir sambil mengerutkan alis. Bukankah dia tadi sudah menyuruh Evita untuk memberitahu suaminya? Lantas, mengapa sekarang Grady bertanya seperti itu padanya?"Apa dia ada di dalam?" tanya Grady sekali lagi.Ranti tergagap."Umh ... anu, Pak. Emh ..." Wanita itu tersenyum bodoh sambil menggaruk kepala. Bola matanya bergulir liar, menghindari objek di hadapannya.Jawaban itu mengundang hela napas lelah, kemudian Grady memutar mata jengah. Pada saat itu, tak sengaja netranya menangkap heels yang mirip dengan milik istrinya di rak sepatu. Alisnya berkerut, lantas lelaki itu membungkuk. Memungut heels tersebut dan memperhatikannya baik-baik. Setelah benar-benar yakin, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Rant
Sempat tercengang beberapa waktu setelah mendengar pertanyaan Evita, Grady lantas mendengkus pelan. Lelaki itu tertawa kecil lalu menyentuh dahi istrinya, yang langsung dihindari oleh Evita.“Kamu tadi nggak jatuh di toilet, kan? Udah tiba-tiba ngilang, eh sekarang nanya yang aneh-aneh,” tanya Grady setengah bercanda.Evita menarik napas dalam sambil menundukkan kepala.“Apa aku terlihat sedang bercanda di sini?” tanya wanita itu dengan suara lirih.Seketika, tawa Grady berhenti. Lelaki itu kembali memasang raut serius dan menggeser posisi duduknya menjadi lebih serong ke arah sang istri.“Hei ….” Grady meraih tangan Evita lalu menggenggamnya. Sementara satu tangannya menyelipkan anak rambut wanita itu ke belakang telinga. “Sori,” ucapnya lembut.Sudut bibir Evita terangkat. Wanita itu memaksakan sebuah senyum di tengah rasa sesak yang mendera batinnya.“Bukan kamu yang harus minta maaf, Grad, tapi aku,” ucap Evita. “Aku memang nggak pantas jadi istri kamu. Aku terlalu kotor, bahkan s
“Nah, ini dia sudah datang. Baru juga diomongin,” seloroh Lody.“Ngomongin apa?” tanya Grady seraya duduk di kursinya.“Paradise,” jawab Lody.“Oh,” sahut Grady singkat, seperti tak tertarik untuk membahas masalah itu.Dia lantas tersenyum pada Evita yang sedang mengambilkan sarapan untuknya. “Banyakin sayurnya,” titah lelaki itu.Patuh, Evita menyendok tumisan brokoli dan udang dari mangkok lalu meletakkannya di piring Grady. Dia juga menambahkan cumi goreng tepung untuk melengkapi menu sarapan sang suami.“Makasih,” ucap Grady ketika mendapatkan piringnya.“Jadi, mulai kapan kamu akan berangkat?” tanya Arman.“Lusa,” jawab Grady santai sembari menyendok makanan dari piring lalu memasukkannya ke mulut.“Yakin, bakal tahan nggak pulang dua bulan?” ledek Lody sambil menatap penuh arti pada Evita.Sontak tangan Evita yang sedang mengambil lauk berhenti bergerak. Wanita itu berpaling pada Grady yang sempat melirik padanya, tapi buru-buru menurunkan pandangan dan sok sibuk dengan makanann
Beberapa hari selepas Grady pergi ke luar kota, keadaan masih aman terkendali. Sepertinya pekerjaan Lody di kantor juga sedang banyak, sehingga Evita jarang bertatap muka dengan lelaki itu di rumah. Namun, ini tak lantas membuat Evita tenang. Masih banyak waktu yang tersisa untuk menggenapi dua bulan kepergian Grady. Maka selama itu pula, tinggal satu atap dengan Lody masih menjadi ancaman serius untuknya.Di saat sedang menghabiskan waktu membaca buku, tiba-tiba saja Evita teringat dengan ucapan ayah mertuanya. Lelaki paruh baya itu pernah menyarankannya untuk melanjutkan pendidikan. Dan sepertinya itu adalah ide yang cukup bagus untuk menghindari Lody di rumah. Dengan kesibukan yang dia miliki, paling tidak bisa meminimalisir pertemuannya dengan predator berbahaya itu.Meninggalkan bukunya, Evita beralih ke layar ponsel dan mulai melakukan penelusuran yang dibutuhkannya. Wanita itu mencari referensi beberapa Universitas yang sekiranya cocok untuk dirinya.“Mencari tempat belajar?” s
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev