Aku kembali pada aktivitas seperti biasanya. Bekerja di Alexander Corp sebagai karyawan di divisi marketing. Meski hanya berada di divisi marketing, namun menurutku gajinya lumayan tinggi, belum lagi bonus serta tunjangan yang lainnya. Dulu sewaktu baru lulus kuliah, Alena mengajakku untuk melamar kerja di perusahaan ini, namun kutolak. Alasannya karena waktu itu aku berniat untuk melamar di perusahaan Wijaya Company, yang saat itu aku pikir perusahaan yang lebih besar daripada Alexander Corp. Ya, waktu itu Alexander Corp belum sebesar, dan seterkenal sekarang.
Bekerja di dua perusahaan itu, sebenarnya sama-sama enak untukku. Di Wijaya Company, aku mendapat posisi yang lumayan bagus di sana. Gaji, dan tunjangannya pun cukup besar. Sebaliknya, di Alexander Corp, posisiku hanya sebagai karyawan divisi marketing, namun gajinya tidak kalah besar sewaktu bekerja di perusahaan sebelumnya, apalagi di sini aku masih terbilang karyawan baru. Meski sudah beberapa bulan bekerja, j
Kepalaku rasanya mau meledak memikirkan semua sikapnya Gaza kepadaku selama ini, terutama tadi siang di kantor. Okelah, kalau emang nggak suka sama aku, setidaknya jangan bikin aku malu di depan orang tuanya, kan?Merebahkan badan sama sekali tak membuatku nyaman, terlebih beban pikiran yang kini menggerogoti. Gelas plastik di atas meja rias kusambar, mungkin air dalam gelas ini bisa kembali menjernihkan pikiranku.Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Alena masih saja asyik cekikikan dengan Bagas di depan kost-an. Entah apa yang dibicarakan oleh pasangan yang sedang dimabuk asmara itu, hingga dari dalam sini kudengar mereka beberapa kali tertawa.Ngenes emang jadi jomlo, apalagi sekarang kudengar Alena menyebut kata 'sayang'. Alay banget percakapan mereka berdua. Hingga saat ada suara motor berhenti di depan kost, Alena, dan Bagas kompak diam.Tak lama kemudian, Ale
"Sebenarnya ... waktu itu saya yang membuat kamu dipecat dari perusahaan Wijaya Company, tempat kerja kamu dulu.""Apa?! Kenapa bapak ngelakuin itu?" tanyaku syok. Gimana nggak syok, coba, kalau ternyata dalang dibalik dipecatnya aku dari perusahaan lama, adalah Gaza."Dengar dulu, Alula ... dengar penjelasan saya dulu," ujar Gaza sembari memegang tanganku.Kuhempas tangan Gaza, lalu kembali melipat tangan ke dada. "Jelasin kalau emang penting!""Sebenarnya perusahaan Wijaya Company sudah diakuisisi oleh Alexander Corp sejak satu tahun sebelum kamu dipecat. Dan saya juga sering ke sana, sering melihat kamu juga, tapi kamu sama sekali tidak sadar akan kehadiran saya." Gaza menjeda kalimatnya. "Dari orang-orang saya, saya mendapat informasi bahwa pak Deni selaku bendahara diduga menggelapkan uang perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Dan waktu itu kamu menjadi bawahannya pak Deni
Suara adzan tiba-tiba terdengar. Perlahan kelopak mataku terbuka. Tapi, tunggu dulu, kenapa badanku rasanya berat? Seperti didekap seseorang dari belakang. Kepala ini bergeser pelan untuk melihat siapa yang memelukku. Apakah Alena? Tapi kok rasanya beda, sih, karena biasanya Alena tidak seperti ini."Aaargh!" Aku menjerit, dan refleks bangun dari tidur, setelah tahu siapa yang berada di sebelahku saat ini. Tepatnya yang tidur sambil memelukku.Dia pun terkejut, dan perlahan membuka mata. "Ada apa sih, Alula? Ini masih subuh, kenapa kamu teriak-teriak?" ucapnya dengan suara serak khas orang bangun tidur."Gaza! Kamu kok bisa sesantai ini, sih?" kataku kesal."Namanya orang bangun tidur ya, santailah.""Iih! Bukan gitu maksud aku! Kenapa bisa kita tidur seranjang gini, dan kamu biasa aja nanggepinnya?"Gaza bangun dari posisinya berbaring, lalu duduk sambil bersandar pada kepala ranjang. Matanya menatap ke arahku,
"Ma, tadi saya, dan Alula lepas kontrol."Si*l! Kenapa Gaza malah ngomong kek gitu, sih? Bisa-bisa bu Maura jadi tambah salah paham nanti.Raut wajah bu Maura kini kembali tegang. Kulihat dia mengepalkan kedua tangannya. Lalu, tanpa diduga dia menyerang Gaza dengan brutal."Gaza! Siapa yang ngajarin kamu jadi kayak gini?! Kenapa kamu tega-teganya merusak anak gadis orang? Kalau seperti ini, mama nyesel udah ngelahirin kamu!" teriak bu Maura seraya terus memukuli anaknya itu.Merasa bersalah, aku pun bangkit dari ranjang, dan menghampiri ibu, dan anak itu, berniat mau melerai.Dipukuli begitu, Gaza pun seakan pasrah menerima. Mungkin karena yang memukuli ibunya sendiri."Bu, udah, Bu. Ini nggak bener," ujarku sembari memegang lengan bu Maura, menghentikan aksinya. "Yang dikatakan Gaza tadi itu bohong. Kami nggak ngapa-ngapain, kok."Mendengar perkataanku, bu Maura pun refleks berhenti memukuli anakny
Bentar, bentar aku ingat-ingat, tadi aku masukin apa aja di saladnya. Kalau iya aku kasih racun, tipe racun apa yang aku masukin? Lupa nih. "Alula! Jawab saya!" Tak disangka, bu Maura tiba-tiba memukul kepala Gaza dengan sendok, hingga membuat Gaza mengaduh kesakitan. "Maa ...," rengek Gaza. "Jangan nuduh calon mantu mama sembarangan, ya! Masih bagus Alula mau buatin sarapan buat kamu," omel bu Maura. Aku pun tersenyum senang melihat pembelaan Bu Maura padaku. Duh, rasanya di sini aku yang jadi anak kandungnya bu Maura, deh, bukan Gaza. "Tapi kalau memang benar Alula menaruh racun di makanan ini bagaimana? Mama mau melihat anak Mama mati keracunan?" tukas Gaza. Bu Maura bangkit dari duduk, lalu menghampiri anaknya itu. Telinga kiri Gaza langsung menjadi sasaran empuk bu Maura untuk menjewer.
"Hai, Alula. Aku Naufal. Mungkin kamu sudah dengar namaku dari ibu kamu," jawab orang dari seberang sana, yang bersuara laki-laki."Siapa memangnya? Sepertinya aku lupa," kataku.Gaza terus mengawasi, membuatku merasa kurang nyaman."Aku Naufal yang mau dijodohin sama kamu, Alula. Kamu sudah tau, kan, mengenai perjodohan kita?""Apa?!" Aku syok mendengar penuturan orang yang menelponku ini."Ada apa, Alula? Siapa yang menghubungi kamu?" tanya Gaza dengan raut khawatir.Benarkah orang yang menelpon ini adalah orang yang mau om Ardi jodohin sama aku? Tapi, dari mana orang ini tahu nomor ponselku, yang bahkan om Ardi saja nggak punya. Masa iya sih, kalau ibu yang ngasih tahu."Alula.""Alula."Antara Gaza, dan orang di seberang sana memanggilku secara bersamaan, hingga membuat bingung, aku mau jawab yang mana.Tak kupedulikan Gaza, aku berlari ke luar dari r
"Naufal, aku kedatangan tamu, nih. Pertemuan kita hari ini cukup sampai di sini dulu, ya," ucapku pada laki-laki yang dijodohkan oleh om Ardi denganku.Ada Lashira di sini. Kalau aku nggak usir Naufal sesegera mungkin, Lashira akan tambah curiga, dan pasti akan bertanya macam-macam."Oh, baiklah. Tapi, lain kali kita bisa ketemu lagi, kan?" Naufal menatapku."Mmm ... mungkin. Nanti aku bakal kabarin lagi," kataku, meski berharap ini pertemuan yang terakhir kali.Setelah memastikan Naufal pergi, aku segera membawa Lashira masuk ke kost."Uuh ... berantakan banget kost-annya," komentar Lashira begitu memasuki kamar kost. Aku sih, nggak heran kalau Lashira bakal ngomong kayak gitu. Maklum, orang kaya mana mungkin pernah merasakan tinggal di ruangan sempit seperti ini."Ya ... pastinya, kalau dibanding rumah kamu, bak bumi, dan
Hari ini aku nggak masuk kerja lagi. Tepatnya izin cuti, karena pulang kampung. Kemarin ibu menyuruhku untuk pulang. Katanya akan membicarakan perihal perjodohanku dengan Naufal, juga tentang lamaran Gaza.Sedari kemarin, Gaza tak memberiku kabar. Aku juga nggak berusaha buat hubungi dia dulu. Tapi, menurut informasi dari Lashira, Gaza, dan kedua orang tuanya belum pulang ke Jakarta. Kata ibu, mereka juga nggak menginap di rumah.Mendengar kabar itu, membuatku khawatir. Mungkin saja kan, kalau ibu sudah menolak lamaran itu, lalu Gaza merasa patah hati, hingga memutuskan untuk menunda kepulangan ke Jakarta.Jika benar ibu sudah menolak Gaza, tahu gitu, kemarin-kemarin aku terima lamaran Gaza aja dulu tanpa sepengetahuan ibu. Biar nanti aku sama Gaza bisa sama-sama meyakinkan ibu. Huh! Aku jadi nyesel karena nggak langsung kasih jawaban ke Gaza waktu itu.'Alula, kata ibu kamu,
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara