"Ayah mana? Bella mau ketemu ayah."Bella berkata sembari mengangkat kedua telapak tangannya ke atas dan menaikkan bahunya. Tanpa semua orang dewasa yang ada diajak sadari, sejak tiba di rumah Endang, iris mata hitam kelam milik Bella terus saja menyapu ruangan, mencari sosok sang ayah yang sejak lahir bahkan belum pernah sama sekali menggendong dia."Mau ayah." Sekali lagi Bella mengulangi ucapannya itu karena tak ada respon sama sekali.Bu Endang dan juga Rara sontak saking berpandangan saat itu. Bu Endang nampak begitu kaget dengan pertanyaan dari sang cucu, tentu saja alasannya karena Nizam tak ada di rumah dan sedang berada di tempat yang tak mungkin untuk diungkapkan pada gadis sekecil Bella ini. Tangisnya langsung berhenti dan mimik wajahnya pun amat tegang."Ayah saat ini sedang bekerja Sayang." Sedangkan Rara yang memang sejak tadi malam sudah mempersiapkan hal ini, sudah lebih dulu bisa menjawab. Ternyata memang apa yang dia pikirkan sangat benar sekali.Kening Bella nampak
"Tante Sinta!" Sebuah panggilan suara sukses membuat ibunda Raja itu menoleh ke belakang. Saat ini Sinta tengah berada di pusat perbelanjaan bersama dengan bayi Thea dan pengasuhnya. Wanita paruh baya itu sedang mencari beberapa baju dan perlengkapan lain untuk cucu kesayangan itu."Siapa ya?" Sinta bertanya dengan sopan.Seorang wanita dengan penampilan begitu ayu dan lembut kini berdiri tepat di depan Sinta, dengan nafas yang naik turun karena baru saja berlari. "Tante Sinta lupa sama saya?"Tanpa menunggu beberapa detik, wanita dengan gamis dan jilbab berwarna coklat senada itu pun langsung mengambil telapak tangan Sinta, dan menciumnya.Sinta mengerutkan alisnya dan menarik tangannya. "Siapa ya?" Sekali lagi dia bertanya, karena memang merasa tidak mengenal sama sekali.Wanita berparas ayu itu malah tersenyum tipis. "Saya Dita, Tante. Apa Tante Sinta benar benar lupa sama saya?""Dita?" Sinta pun kembali berpikir, karena merasa nama itu bukan familiar lagi. Ditelitinya dengan se
Bab 207"Suami saya sudah meninggal Tante, tiga bulan yang lalu karena kecelakaan."*Sinta menatap dalam sosok Dita di depannya yang saat ini sedang menunduk. Senyum yang tak bisa diartikan entah kenapa kembali menghiasi bibirnya."Ya ampun. Maaf ya Dita." Sinta mengelus telapak tangan Dita sebagai bentuk duka cita. "Kamu yang kuat ya. Kecelakaan dimana sih?" Sinta terus saja kepo.Sebenarnya sosok Sinta itu bukanlah orang yang gampang ingin tahu suka ikut campur dengan urusan orang lain. Dia bahkan terkenal begitu cuek pada orang lain, meski pun tahu misal tetangga atau kenalannya terkena musibah, dia akan tetap diam jika yang bersangkutan tak meminta tolong.Tetapi nyatanya berbeda kasus dengan masalah Dita ini, Sinta nampak begitu antusias sekali. Meski mungkin pertanyaan itu nanti bisa membuat Dita merasakan sakit hati lagi."Kecelakaan di luar pulau juga Tante." Suara Dita terdengar begitu parau. Wanita mana sih yang tidak sedih ketika sang kekasih hati, apalagi itu adalah san
"Bagaimana tadi pertemuan Bella dengan neneknya, Sayang?" Saat memasuki kamar setelah makan malam, Arjuna langsung menanyakan hal itu pada sang istri.Rara langsung menarik kedua sudut bibirnya. "Sukses. Bella dan juga Bu Endang nampak senang sekali."Raut kebahagiaan terpancar di wajah cantik itu, mengingat seperti apa bahagianya Bella bertemu sang nenek.Meski pernah memiliki hubungan yang buruk di masa lalu, tetapi semua itu seperti sudah terkikis oleh rasa sayang dan pertautan hati. "Syukurlah. Aku bisa membayangkan seperti apa bahagianya Bella," ucap Arjuna kembali sambil tersenyum. Ada sedikit sesal dalam hati pria bertubuh tegap itu, karena tak bisa mengantarkan Bella. Memang tadi ada sebuah meeting yang penting dengan klien dari luar negeri.Sebenarnya Arjuna sudah akan membatalkan meeting tersebut untuk ikut serta mengantar Bella. Hanya saja Rara pun tak memperbolehkan hal itu. "Sangat bahagia. Sampai tadi pas waktunya pulang, sepertinya Bella begitu berat meninggalkan nen
"Sarah! Cepat kesini!"teriakan Bu Mila terdengar begitu kencang pagi itu."Sebentar Bu," jawab Sarah yang saat itu tengah menjemur pakaian di halaman belakang. Wanita itu segera berlari dengan begitu tergopoh gopoh, nampak sekali jika wanita itu begitu takut."Dari mana saja sih kamu itu? Dipanggil kok nggak datang datang?" tukas Bu Mira sambil berkacak pinggang ketika Sarah sudah berdiri di depannya."Maaf Bu," kata Sarah sambil menetralkan irama nafasnya yang naik turun. "Tadi saya sedang menjemur pakaian di belakang, jadi agak kurang dengar."Rumah milik Bu Mira ini memang lumayan panjang, berukuran lima kali delapan belas meter. Jadi lumrah juga jika tak begitu terdengar."Dasar kamu meleng dan melamun saja kan?!" Nyatanya Bu Mira tak mau memaklumi hal itu. "Sampai capek aku manggil kamu dari tadi!" Wanita paruh baya itu menatap nyalang penuh kebencian pada Sarah.Padahal, sebenarnya Bu Mira hanya baru satu kali saja memanggil Sarah dan Sarah langsung menyahutinya. Hanya saja mem
"Heh perempuan bo doh! Kenapa malah ngelamun?!" Sekali lagi, sebuah toyoran dihadiahkan pada Sarah dari Bu Mira. Karena tak siap seperti tadi, Sarah pun akhirnya terhuyung ke belakang."Ah." Tetapi dengan segera dia pun bangkit dan berdiri lagi. "Bu, tolong jangan keterlaluan seperti ini." Tentu saja ada rasa kaget dan sedikit sakit yang dirasakan oleh Sarah, sehingga akhirnya dia pun protes. Selama menikah dengan Ardi, ini adalah untuk yang pertama kali dia menyanggah.Mendengar ucapan sang menantu, mata Bu Mira makin mendelik saja. "eh eh eh, kamu sudah mulai berani ya? Makin ku rang ajar saja kamu ya!"Sarah mundur sedikit ketika mertuanya itu mulai maju. "Heh Sarah! Kamu itu sudah aku beri tumpangan tinggal di rumah ini gratis, jadi jangan banyak ngomong!" Selalu hal seperti itu saja yang dikatakan oleh Bu Mira. Dia menganggap Sarah itu tak ubahnya hanya seorang pembantu yang numpang tinggal gratis di rumah ini. Maka begitu pantas jika Sarah diperlakukan dengan tidak sopan dan
"Oh iya, di celana dalamku itu nanti sikat yang bersih ya, karena ada bercak darahnya. Aku nggak tahu sih kalau lagi datang bulan tadi. Harus bersih pokoknya!"**"Ini nasi gorengnya, Bu." Sarah memberikan dua piring nasi goreng plus telur ceplok pada Bu Mira dan Dita."Aduh, hanya goreng nasi aja kok lama banget sih Mbak?" ucap Dita sambil meniup nasi gorengnya yang memang baru saja turun dari perapian. "Emang dasar lelet banget sih!"Mulut gadis berusia tujuh belas tahun itu memang sama pedasnya dengan Bu Mira."Tadi Mbak ---" Sarah akan sedikit menjawab, tetapi kemudian langsung dipotong oleh Bu Mira."Halah banyak omong kamu itu! Sudah sekarang cepat lanjutkan lagi kerjaan kamu. Jangan lupa masak juga buat sarapan pagi, awas saja kalau sampai telat!"Tak ada sedikit pun rasa terima kasih disampaikan untuk Sarah di rumah ini. Karena benar sekali, memang mereka semua menganggap Sarah hanyalah seorang pembantu gratisan atau mungkin lebih tepatnya seorang budak. Yang tak pantas lagi
"Kamu harus tenang Sayang. Semua akan baik baik saja. Kakek akan segera melewati masa kritisnya." Rara terus mencoba menenangkan Arjuna yang sejak tiba di rumah sakit, sekitar satu jam yang lalu, sudah begitu gelisah. Arjuna menghela nafas panjang. "Ini sudah satu jam berlalu, dan belum ada kabar sama sekali. Nggak bisa seperti ini."Pikiran Arjuna begitu kalut, saat ini dia belum bisa menerima kenyataan jika Handi tiba tiba mengalami kecelakaan dan dinyatakan dalam kondisi kritis."Mereka sedang berusaha. Yakinlah, sebentar lagi mereka akan keluar dan memberikan kabar baik pada kita." Rara kembali memberikan semangat. Meski dia juga tak yakin dengan ucapannya sendiri, tetapi dia mencoba untuk berpikiran yang positif. Berharap besar jika Handi benar benar akan segera membaik.Bagi Rara, Handi memiliki andil yang begitu besar dalam hubungannya dengan sang suami. Handi pun sangat menyayangi dia dan dan Dita. Jadi, dia pun tak ingin sesuatu hal buruk terjadi pada pria itu, apa lagi ini
"Selamat menempuh hidup baru ya, Raja, Stella. Doa kami semua yang terbaik untuk kamu. Semoga segera memiliki momongan."Rara kembali memberikan selamat pada sahabatnya ini, kali ini saat Raja dan Stella baru saja tadi mengungkapkan janji suci pernikahan. Setelah dua bulan yang lalu mereka juga menggelar acara pertunangan yang mewah."Terima kasih banyak ya. Tanpa kalian,mungkin kali ini kami pun belum bisa bersatu." Stella terus mengenggam tangan Rara. Sahabat yang memang menjadi support utama hubungannya dengan Raja. "Sepetinya para baby gemoy ini nunggu Tante dan Om nya resmi dulu, baru mau launching nih."Stella mengelus perut Rara yang begitu buncit. Rara dan Arjuna yang berada di sampingnya pun terkekeh. "Bisa jadi seperti itu. Karena harusnya HPL kemarin."Ya, memang meski telah terlewat HPL sehari, tetapi Rara belum merasakan tanda tanda kehamilan yang datang. Itu Lah kenapa hari ini dia kekeh untuk datang ke pesta pernikahan itu. "Ah iya, kak Satria juga akan segera melamar
"Bu, Mas Ardi tumben banget sih jam segini belum keluar kamar ya?" Dita yang baru duduk di meja makan, bertanya pada sang ibu sambil menoleh pada kamar sang kakak, yang sejak kemarin sore tak terbuka sama sekali."Iya, dari pulang kerja sudah nggak keluar. Nggak makan malam juga kan?"Ketika Bu Mira masih terdiam, Dewi malah menimpali ucapan adiknya itu. "Halah ... Paling dia itu masih meratapi si Sarah itu," ucap Bu Mira ketus. "Dasar Cemen!"Bu Mira sebenarnya juga sedikit merasa khawatir dengan Ardi. Karena memang setelah Sarah pergi dari rumah ini, putranya itu bahkan tak pernah mau makan. Ardi yang biasanya begitu hangat dengan keluarga, berubah menjadi Ardi yang tertutup dan begitu muram.Padahal ini bukanlah untuk pertama kalinya Ardi menalak istrinya, Sarah adalah yang ketiga, tetapi sungguh saat ini berbeda.Biasanya Ardi biasa saja dan seperti tak lagi memikirkan tentang mantan mantan istrinya itu."Aku kok khawatir ya Bu sama Ardi. Dia itu kayaknya patah hati banget deh keh
"Selamat ya Stella, aku benar benar ikut bahagia. Kalian memang pasangan yang sangat serasi loh." Rara mencium pipi kanan kiri sahabatnya yang malam ini terlihat begitu cantik dalam balutan dres warna putih itu. "Ini semua nggak akan pernah terjadi tanpa bantuan kamu Ra. Pokoknya terima kasih banget loh." Stella memeluk Rara. "Kamu memang sahabat terbaikku."Air mata telah menumpuk di pelupuk mata, tetapi tangis bahagia itu memang sengaja ditekan oleh Stella, karena takut merusak riasan. Malam ini adalah malam pertunangan Stella dengan Raja Sanjaya. Hanya satu hari berselang dari acara jumpa pers yang berakhir menyenangkan itu, keluarga Sanjaya menggelar pesta pertunangan keduanya dengan begitu mewah."Nggak juga. Lebih tepatnya aku hanya perantara sih, yang berperan penting tentu masih tetap Tuhan. Gimana, enak rasanya lebih wow kan, jika cinta di dapat setelah begitu banyak rintangan?" Rara kembali berucap.Kali ini tidak hanya Stella yang tertawa, tetapi Raja juga. Raja pun ter
"Raja?!" Stella langsung memekik, saat melihat sosok yang saat ini paling ingin dia hindari berjalan masuk dari pintu keluar. Raja tidak sendiri, tetapi saat ini pria tampan itu bersama dengan Sinta dan juga Jeni."Hei mau apa dia ke sini? Apa kamu bilang juga sama si Raja jika saat ini kamu mengadakan konversi press?" Romi pun langsung bertanya sembari berbisik. Pria kemayu itu benar-benar tak menyangka sama sekali, jika Raja datang. Bukan apa-apa, tetapi setelah tadi Stella mengambil keputusan bahwa akan menjauhi Raja, dan sekarang Raja datang kembali, itu berarti Romi harus kembali menghadapi Stella yang banyak masalah dan banyak pikiran. Dan, itu berarti juga Stella pun akan menunda beberapa jadwal shooting, karena tak bisa fokus untuk melakonkan perannya. Semua itu tentu saja berimbas pada Romi yang merupakan manajernya."Entahlah, Rom. Aku tak tahu." Stella menjawab sembari menggelengkan kepalanya.Stella yang memang menghindari Raja, ingin segera pergi dari ruangan itu. Teta
"Duh kenapa aku jadi grogi banget gini sih ROM?" tanya Stella, yang sebentar lagi akan melakukan jumpa pers, pada manajernya yang kemayu itu. Romi menepuk-nepuk pundak sang artis. "Ih kamu ini kayak apa aja sih Stella? Kamu ini kan artis besar, masa sih gini aja Kamu demam panggung? Nggak level banget sih."Apa yang dikatakan oleh Romi itu tadi, sebenarnya bukanlah sebuah ejekan. Tetapi Romi melakukan hal itu untuk memantik semangat Stella yang sepertinya memang telah mulai mengendur."Romi, ini kan bukan sandiwara atau film-film yang sering aku bintangi. Ini nyata Romi, ini hal yang benar-benar terjadi dalam hidupku. Jadi rasanya wajar dong jika aku grogi banget seperti ini." Stella mengelak. Romi memutar bola matanya dengan malas. Dia tahu jika memang konferensi pers yang akan diadakan oleh Stella ini, seperti suatu hal yang tidak diinginkan oleh hatinya Stella. Tetapi artis cantik itu memaksakan kehendak."Makanya dong Stella, Aku kan udah bilang sama kamu, jangan bohongin hati
Brak brak brak"Dewi bangun!" Pagi buta itu, Bu Mira sudah menggedor pintu kamar Dewi. Setelahnya, wanita itu ganti menggedor kamar Dita, yang terletak tepat di samping kamar Dewi.Brak BrakBrak"Dita bangun kamu. Ini sudah siang! Kamu itu anak gadis, jadi jangan bangun siang-siang!" eriak bu Mira dengan penuh emosi.Merasa tak mendapatkan respon sama sekali dari kedua putrinya, bu Mira pun kembali menggedor dengan keras pintu kamar itu, dengan teriakan yang sangat melengking di pagi hari."Duh ternyata repot banget kalau nggak ada Sarah. Ngapain sih Ardi kemarin itu sampai menalak Sarah? Coba saja ada Sarah, pasti aku sekarang masih tidur dan mainan hp di kamar." Bu Mira begitu emosi dengan dirinya sendiri saat ini.Sejak kemarin malam setelah kepergian Sarah, wanita paruh baya itu tak dapat memejamkan matanya sama sekali. sSepertinya dia merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Ardi saat ini. Rasa penyesalan karena telah mengusir Sarah dari rumah ini."Seharusnya Ardi juga menge
"Dasar perempuan jalang! Cepat pergi kamu dari rumah ini!" Bu Mira kembali berteriak, saat itu Ardi pun sedikit kaget. "Cepat pergi atau kuse-ret kamu!!"Bu Mira sudah akan maju untuk menyeret Stella, sedangkan Dewi dan Dita mengikuti di belakangnya."Hentikan Bu!" Yang berteriak ternyata bukan Sarah, tetapi Ardi. "Jangan lagi menghina Sarah."Raut wajah para anggota keluarga itu nampak terkejut dengan ucapan pria itu. Kemudian Ardi menoleh pada Sarah. "Pergilah Sarah. Semoga kamu bisa mendapatkan ganti yang lebih baik dariku. Maafkan aku ya."Sarah sedikit kaget juga dengan perubahan sikap Ardi yang begitu drastis setelah mengucapkan kata talak tadi. Dia sempat berpikir jika mungkin mantan suaminya itu menyesal karena telah mengakhiri hubungan itu. Tetapi sejurus kemudian seperti ada yang kembali mengingatkan pada Sarah. Seperti apa sikap Ardi, yang selama mereka menikah malah sama sekali tak pernah memperlakukan dia seperti layaknya seorang istri."Tentu Mas. Tuhan tak pernah tidur.
"Terima kasih telah terus bersama dengan Sarah, Bu. Jika tak ada ibu, mungkin Sarah sudah semakin hilang arah." Sarah kemudian memeluk ibunya .Tak terkira rasa terima kasih Sarah pada sang ibu. Karena memang tak ada lagi tempat kita kembali selain pada ibu. Wanita yang benar benar menyayangi kita apa adanya tanpa balas jasa.Terhitung sudah dua hari Sarah kembali pulang ke rumah kontrakan Bu Endang. Setelah kemarin ditalak Ardi dan diusir dari rumah mantan suaminya itu. Untung saja pernikahan mereka hanya pernikahan siri alias secara agama, jadi tak perlu repot repot menuju ke pengadilan agama. Tak butuh proses lama untuk menjadikan Sarah berstatus menjadi janda.Kadang memang banyak hal rasanya seperti membuat kita kecewa, seakan Tuhan tak menuruti segala keinginan kita. Padahal sebenarnya semua itu adalah berkah, karena Tuhan nyatanya tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan."Maaf ya, dulu ibu sempat melarang karena kamu hanya akan dinikahi di balik t
"Kamu nggak kerja, Sarah?" Bu Endang bertanya pada Sarah setelah mereka berdua baru saja selesai melaksanakan salat subuh.Sarah mencium punggung tangan ibunya dengan takdzim. "Belum untuk sekarang Bu. Mungkin besok." Sarah berkata sambil tersenyum manis."Jika memang kamu sudah tak nyaman kerja disana, lebih baik kamu cari kerja di tempat lain saja, Sarah." Raut wajah wanita paruh baya itu nampak khawatir.Tak salah jika akhirnya Bu Endang jadi mengkhawatirkan tentang tempat kerja Sarah. Setelah kini Sarah tak lagi menjadi istri Ardi, Bu Endang merasa takut jika Sarah tak akan nyaman bekerja satu kantor dengan sang mantan suami. Apa lagi mengingat jika hubungan yang pernah terjalin dulu begitu tidak baik.Sarah tersenyum penuh artis, ditepuknya telapak tangan Bu Endang yang sejak tadi masih digenggamnya. "Sarah belum memikirkan hal itu Bu. Nanti malam saja." Ada hal yang tentu saja disembunyikan oleh Sarah. Apa lagi jika bukan rasa sakit hati. Hanya saja tentu wanita itu tak ingin me