Abraham menjenguk Anita di ruang perawatan pasca operasi. Ia melihat wanita itu duduk melamun di ranjang rumah sakit seorang diri. Pakaian rumah sakit membuatnya semakin tampak menyedihkan.
Iapun masuk dan memberikan beberapa jenis buah dan makanan sehat untuknya."Kau baik-baik saja?" tanya Abraham menatap Anita yang sedang termenung.
Anita melihatnya sekilas, lalu melihat ke sisi yang lain, jauh menerawang keluar jendela rumah sakit. Rautnya dingin tak berekspresi. Seolah ada sesuatu yang ia pikirkan begitu mendalam."Apa yang akan kau lakukan kalau akau mati? Kau pasti berharap aku mati lebih cepat. Sementara putraku terlanjur membenciku," lirih Anita yang cukup jelas didengar Abraham.
"Siapa yang mengharapkanmu mati? Kami semua berharap kamu sehat kembali, untuk itulah pengobatan ini kita lakukan."
Anita mencelos. "Aku tahu kau tak ikhlas melakukannya, kau selalu berbuat semaumu tanpa aku men
Indra memalingkan wajahnya ke asal suara. Ia mendapatkan seorang wanita dengan pakaian serba putih berada di sana."Indra?" Perawat itu melebarkan matanya karena terkejut, dan Indra tak kalah terkejut."Mellisa?" ucapnya spontan.Mereka sama-sama terkejut karena tak menyangka akan dipertemukan setelah tiga tahun berlaku."Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengenal bibi Anita ini?" tanya Mellisa kemudian.Indra bingung mau menjawab apa. Meskipun mengenal hanya dari alamat yang diberikan Intan, Indra belum yakin kalau wanita itu ibunya. Dan tentu saja mereka belum benar-benar saling mengenal. Ia hanya tahu dari badge yang terpasang di tempat tidur rumah sakit."Kau sudah bekerja? Atau...," Indra mengalihkan pembicaraan."Ouh, aku sedang magang. Kebetulan jam istirahat, mau ke kantin bersamaku?"Indra melirik sebentar ke Anita yang masih tetap terlelap. Ide yang bagus karena kalau mengobrol bisa mengganggu pasien yang sedang istirahat
##Author; maaf kalau agak mellow, siapin tissue ya...Setelah itu jangan lupa Vote biar nggak terlalu sedih...he he.##*"Ibu..., aku Indra Bu...," lirihnya lagi. Wanita itu menatap Indra dengan tatapan penuh harap. Bagaimanapun ia memang sedang menunggu sosok yang sangat ia rindukan, apakah bayi merah itu telah sebesar ini? Matanya tak berkedip mengamati pemuda tampan di hadapannya."Indra? Mungkinkah kau adalah Indra putraku?" Anita mencoba memercayai penglihatannya. "Apakah ini mimpi, ataukah aku dalam keadaan tak sadarkan diri?" Anita menoleh kesana kemari, ia benar-benar dalam kamar yang sama, menunjukkan ini bukanlah mimpi.Tangan Anita bergetar, meraih wajah Indra perlahan. "Kau bukan mimpi? Kau Indra?"Indra mengangguk, air matanya pun meleleh tak henti melihat bagaimana ibunya menatapnya tak percaya.Jemari Anita terus menyusuri pola wajah Indra yang membeku. "Ini nyata?" Anita terus meracau, lalu ia memeluk Indra dengan erat. "Indra
Indra menggenggam tangan yang kemarin ia gunakan untuk menggenggam tangan ibunya dan iapun tersenyum bahagia mengingat momen mengharukan tersebut. Ia melangkah dengan hati riang dan seolah tubuhnya menjadi ringan. Ia bertekad untuk menang dalam turnamen basket di Thailand demi ibunya tersenyum bahagia.Iapun sedang berjalan hendak menemui temannya di klub bola basket. Ternyata mereka memang berada di tepi lapangan sembari minum dan mengobrol."Ayo semangat, sebentar lagi turnamen berlangsung, kita tak boleh membuat malu nama negri kita," celotehnya di hadapan teman-temannya.Akan tetapi semua teman Indra malah menatapnya heran. Mereka berkumpul mengerumuni Indra dengan tatapan menusuk."Kenapa kalian menatapku begitu? Aku serius sekarang ini, atau kalian mau berangkat tanpa aku ya? Ayolah jangan begitu dong, aku juga mau terkenal seperti kalian," Indra terus mengoceh."Jadi, apa maumu sekarang? Ha?" tantang seorang temannya dengan emosi. Selama ini
Mereka merasa cemas menunggu di depan pintu sebuah ruangan operasi di rumah sakit. Terutama Abraham dan Indra. Mereka terlihat sangat gelisah. Hal itu dikarenakan Anita menjalani operasi di dalam ruangan tersebut. Mereka sangat bersyukur, pertemuan Anita dengan putranya membuat fisik Anita jauh lebih baik.Saat ini Intan merasa aneh dengan gelagat ayahnya yang sebentar-sebentar menyeka keringat di dahinya. Padahal selama ini ayahnya terlihat sangat tenang dan tegar.Di sudut lain Indra tak hentinya merapalkan do'a, seakan ia seorang pertapa di sebuah gunung."Ck, kukira lelaki itu nggak bakal ketakutan kalau keluarganya lagi di operasi," gerutunya yang sempat didengar Baskoro."Ayahmu pasti pernah mengalami trauma. Lihat saja, dia seperti orang mabuk kendaraan," Baskoro berkomentar. "Dan apa yang kamu pikirkan soal lelaki memang tak sepenuhnya benar, meskipun tubuhnya kuat, hatinya juga lembut.""Lembut? Kau tak selembut itu rasanya."
Anita mulai siuman pasca operasi. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menguatkan dirinya untuk meredam rasa sakit yang membuatnya sedikit putus asa."Intan...kaukah di sana...," Anita menyebut Intan, ia ingin Intan berada di sampingnya untuk mendampingi dirinya.Intan segera bangkit menghampiri, menggenggam tangan Anita yang mencengkeram tepian tempat tidur mengurangi rasa sakitnya."Bibi, aku di sini. Aku ada di sampingmu," lirih Intan.Anita mulai merasakan lebih ringan dan berkurang rasa sakitnya, sehingga ia membuka matanya dan melihat kesekelilingnya."Apakah operasi berjalan lancar?" tanya Anita pada Intan."Benar bibi, semua berjalan lancar. Bibi Anita pasti akan sehat seperti sediakala."Indra mendekati Anita dan Intan. Ia yang paling cemas semenjak operasi berlangsung."Ibu, aku Indra, apa ibu baik-baik saja sekarang?" Indra sedikit sedih karena justru Intan yang ibunya ingat pertama kali."Indra, kau putrak
Melissa memeriksa jahitan di perut Anita dengan telaten. Bahkan Indra tak berkedip melihat bagaimana Mellisa membersihkan bekas jahitan tersebut, lalu Mellisa mengganti pakaian Anita dan juga merapikan tempat tidurnya.Sebenarnya,"Kau sangat terampil melakukan perawatan buat pasien," Indra berkomentar."Ini sudah tugasku hampir setiap hari, membersihkan luka dan juga pasien, aku sudah terbiasa," jawab Mellisa."By the way, terima kasih ya sudah banyak membantu ibuku menjalani perawatan ini," ujarnya.Mellisa menautkan alisnya. "Ibumu? Tapi, bukankah ibumu adalah bu Darmawan?" Melissa terkejut, karena ia tak menyangka kalau pasien tersebut adalah ibunya.Anita yang mendengar itu menjadi terharu dan berbunga -bunga. Ia sangat senang bahwa kenyataannya sekarang dirinya adalah seorang ibu."Ehmm, maaf saya nggak tahu, Bu." Mellisa meminta maaf pada Anita."Tak mengapa, itu cuma kesalahan fahaman kecil. Aku malah senang karena te
"Baiklah, ayah akan menemui Anita dan mengucapkan selamat karena sudah melewati masa kritis ini."Pria itu menghela napas berat, ia sedikit trauma kalau-kalau Anita tidak menerima kembali dirinya. Ia akan menemui untuk melamarnya, demi Indra.Selain itu ia akan menebus kesalahannya yang lalu. Ia tak yakin apakah dalam hal ini Anita akan menerimanya.Setidaknya setiap masalah seperti benang kusut, kini mulai terurai satu persatu. Masalah Anita, masalah putrinya, masalah Indra putranya mulai terselesaikan dengan baik. Abraham merasa lega karenanya.*Melissa termenung di sebuah kafe di dekat rumah sakit. Ia sedang memikirkan perjodohan yang ayahnya dan teman ayahnya lakukan untuknya. Perjodohan itu sangat membuatnya kesal bukan main.Bagaimanapun ia tak bisa menerima pria itu menjadi suaminya. Ia baru menyadari keberadaan dirinya di rumah sakit besar ini adalah bantuan dari teman ayahnya itu. Dokter Andi adalah dokter tampan dan ba
"Menikah?" Anita terkejut, ia tak menyangka Abraham berniat menikahinya. Bahkan mereka sudah sama-sama tua dan memiliki hidup yang berbeda.Yang sebenarnya lagi sudah ada perasaan tidak menyukai pria tersebut, mengingat bagaimana masa lalu itu membuat hatinya semakin terluka."Ya, aku berharap kita bisa menikah setelah kondisimu membaik, sebab sepertinya aku harus menebus kesalahanku di masa lalu," katanya dengan rasa yang campur aduk. Y, dirinya memang sudah tak seperti dulu yang sangat percaya diri terhadap wanita."Apakah kau harus menebus kesalahan? Masalah itu sudah berlalu dan aku tidak ingin memikirkannya lagi," wajah Anita menunjukkan rasa marah yang belum hilang. Salah satu sifat wanita ini terkadang membuat pria bertanya-tanya apakah ucapannya itu benar-benar kejujuran?Abraham menatapnya lama dan memicingkan matanya."Kau...masih marah kepadaku?""Sudahlah, jangan bahas ini lagi. Setelah aku sehat mungkin aku akan kembali ke Surabaya
Kebahagiaan semakin mewarnai mansion Abraham. Baik Intan dan juga Baskoro menjalani kehidupan rutinitas mereka dengan baik dan bahagia.Begitu juga Abraham yang menikmati hari hari masa tuanya bersama Anita. Rumor tentang pelakor pada Anita sudah tidak lagi terdengar gaungnya. Itu semua berkat Intan yang selalu membungkam mulut orang jahat yang berusaha merendahkan ibu tirinya."Untuk apa membahas masa lalu? Dia sekarang dah menjadi ibuku yang berarti menggantikan posisi ibu kandungku. Jadi, dia adalah ibuku yang sebenarnya," ujarnya membantah omongan miring beberapa kerabat yang tidak menyukai keberadaan Anita di sisi Abraham.Dan Indra juga menjalani hidupnya dengan baik. Setelah menyelesaikan sekolah iapun berangkat ke Boston untuk bersekolah sekaligus berlatih dengan pelatih Basket yang berpengalaman. Ia sudah melupakan Melissa yang kini sudah menikah dengan dokter Yusac. Ia merasa bahwa itulah yang terbaik untuk mereka sehingga tak ada penyesalan sedikitpun dengan jalan yang mere
Seluruh penghuni mansion dikejutkan dengan penampilan Bastian yang sedikit aneh, lucu tapi memprihatinkan.Mereka heboh dengan ekspresi yang bermacam-macam.Ada yang tertawa, khawatir dan malah gemas. Tidak kalah hebohnya adalah kakek Abraham dan juga Neneknya yang menatapnya prihatin."Ingat kata nenek, jangan suka bermain di tempat yang banyak lebahnya. Lihatlah, dia kira ini sarang lebah sehingga salah bertengger?" cicitnya sambil menatap prihatin pada cucunya.Bastian tak bisa menyangkal karena tidak bisa menggerakkan bibirnya melainkan akan terasa sangat nyeri. Begitu juga para maid yang prihatin."Aduuh, pasti sakit sekali. Bastian, apa kamu pernah mengejek seseorang sehingga mendapatkan balasan seperti ini?" tanya salah seorang maid yang sering Bastian panggil dengan nama maid Cerewet. Ingin rasanya Bastian menjawab ucapan mereka dengan sangat marah dan kesal, sayang sekali ia hanya bisa diam tak berdaya.Meskipun sudah diobati, efek bengkak tersebut tidak hilang begitu saja.
Meskipun kepulangan Baskoro ke kampung halamannya menyisakan kesedihan. Setidaknya segala misteri wasiat orang tuanya sungguh terungkap. Baskoro merasa ayah Waluyo sangat memperhatikan hidupnya. Dia tahu bahwa Baskoro tidak pernah menyukai Wulan sehingga ia membiarkan Baskoro menjalani pilihannya."Kau tak menyesal menikah denganku setelah tahu menikahi Wulan adalah wasiat orang tuamu?" tanya Intan saat mereka menghabiskan waktu di taman belakang rumahnya."Kenapa memangnya? Apa kau yang mulai menyesal sekarang?""Tidak, aku hanya ingin tahu isi hatimu.""Kenapa? Pahami dulu isi hatimu baru ingin tahu isi hati orang lain. Atau bilang saja kau ini sedang cemburu."Intan menyebik. Selalu saja itu alasan yang Baskoro lontarkan kalau dia ingin mendengar isi hatinya."Huft, untuk apa aku harus cemburu.""Kenapa? Apa salah dengan kecemburuan?" goda Baskoro dengan lembut mengatakannya.Wajah Intan bersemu merah. Bagaimana juga ia memang sangat cemburu kalau sudah berkaitan dengan kehidupan p
Baskoro, Intan dan juga Waluyo duduk berputar mengelilingi Ayah Waluyo. Meskipun masih sangat lemah, ayah Waluyo terlihat bisa mendengar dan melihat siapa yang ada di ruangan tersebut. Seakan ingin mengatakan sesuatu, ia juga menggerakkan tangannya untuk memanggil Baskoro."Iya ayah, ayah memanggilku bukan?" katanya dan menggenggam erat tangan pria tua itu dan mendekatkan kepalanya dekat pria itu.Ayah Waluyo seperti hendak mengatakan sesuatu kepadanya."Ayah... aku mendengarnya," pelan Baskoro."Baskoro..." Tiba-tiba ayah Waluyo bisa berbicara. "Aku sungguh meminta maaf kepadamu.""Jangan bilang begitu Ayah, akulah yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Ayah.""Ambillah surat wasiat itu..." lirihnya lagi. Baskoro mengernyit, ia tak mengerti surat wasiat apa yang sebenarnya Ayah Waluyo katakan."Di atap rumahku.." dan tiba-tiba saja ayah Waluyo seperti sesak napas sehingga membuat Baskoro ketakutan."Ayah...ah,.Waluyo... bagaimana ini?" Baskoro kebingungan bukan main dan ia hanya men
Sesampainya di rumah Waluyo, mereka berdua mendapatkan rumah dalam keadaan sangat sepi. Lalu mereka menuju peternakan sapi yang Waluyo kelola. Di sana mereka bertemu dengan seorang pegawai pembersih kandang yang sedang bekerja.Terlihat pria itu menatap kehadiran mereka berdua dan menyapanya."Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Apakah membutuhkan sapi untuk di beli?" ujarnya dengan tersenyum ramah.Baskoro mengulurkan tangannya."Tidak, Pak. Tujuan saya datang kesini adalah untuk mencari Mas Waluyo. Tapi kelihatannya rumahnya kosong ya Pak?""Oh, sedang mencari Mas Waluyo. Apa bapak tidak tahu kalau Mas Waluyo sudah lama nggak tidur di rumah Pak?"Baskoro terkejut. Tentu saja ia tidak tahu kalau Waluyo tidak memberi tahu."Tidak, Pak. Hanya saja kenapa Mas Waluyo tidak pulang ke rumah? Sebab sebenarnya saya bertemu belum lama ini, tapi Mas Waluyo tidak cerita apa apa.""Oh, jadi begini, Mas. Sebenarnya Mas Waluyo sudah dua bulanan merawat ayahnya yang sedang koma di rumah sa
Musim semi telah berakhir, mereka telah menyelesaikan suatu waktu yang indah bersama di Vila tersebut. Mereka akan segera kembali ke Jakarta dan melanjutkan pekerjaan yang sudah lama ditinggalkan. Seperti biasa, perjalanan dengan jet pribadi bukanlah apa apa buat keluarga Abraham. Dan dengan segera mereka sudah tiba di Jakarta."Masih satu hal lagi yang belum kita tunaikan," kata Baskoro saat mereka telah sampai rumah."Ehmm aku tahu, kau pasti ingin ke desa dan bertemu Ayah Waluyo.""Benar, ada firasat tidak enak di dalam hati ini. Akan tetapi aku berharap tidak ada apa apa.""Baiklah, setelah kita beristirahat kita bisa ke desa dalam beberapa hari ke depan."Baskoro menggenggam tangan Intan, menghadap kan tubuh Intan kepadanya. Lalu dengan lembut ia menyelipkan anak rambut Intan ke belakang telinga dengan perlahan."Kalau kau lelah, aku bisa pergi sendiri. Ini hanya mengunjungi ayah Waluyo, aku sungguh mendapatkan mimpi buruk dalam beberapa hari ini.""Tidak, Bas. Aku tidak mungkin
Seorang wanita berkulit hitam datang terburu-buru. Wanita itu adalah Eleanor, kepala dapur Vila tersebut yang sudah pensiun karena usianya. Wanita itu tentu saja merindukan Intan. Setelah mendengar Intan akan datang, maka iapun bergegas menuju Vila dan ingin bertemu Intan."Eleanor?!" pekik Intan mendapati wanita itu datang tergesa dengan menangis haru."Kenapa lama sekali baru muncul? Bukankah kau berjanji untuk segera kembali ke Vila dan memperkenalkan suami yang sangatlah kau cintai itu? Aku sungguh sangat penasaran dan. berdoa tidak cepat mati sampai aku bisa menemui pria itu."Eleanor sangat berapi api mengungkapkan isi hatinya. Kenangan bersama Intan tidak bisa ia lupakan begitu saja. Kenangan saat mereka bersama sama menyembunyikan keadaan Intan yang sedang mengandung dengan berbagai macam cara.Saat itu, Intan terlihat sangat menyedihkan karena Abraham yang sangat keras kepala. Gadis itu tidak punya semangat hidup lagi saat Abraham memisahkan dirinya dengan kekasihnya. Kenyata
Suasana musim semi membuat alam menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya. Baskoro berdecak kagum dengan pemandangan menghijau dan bersih di sekitarnya.Begitu juga Bastian yang bersenang senang dengan beberapa ekor tupai di sekitar halaman Vila tersebut.Perjalanan dengan jet pribadi tentunya membuat mereka tidak terlalu letih setelah tiba tadi malam, sehingga mereka bisa menikmati suasana pagi yang sejuk dan indah."Aku tak melihat banyak penduduk di sekitar sini," tanya Baskoro kemudian."Begitulah, Vila ini adalah vila tua kesayangan ibuku. Ayah tak pernah mau menjualnya karena tidak ingin melupakan ibuku. Semua maid di tempat ini merawat dengan baik semuanya secara turun temurun. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga," terang Intan."Hmm, cuma bisa dilakukan orang kaya sepertimu.""Bas, kenapa kau selalu merasa miskin padahal kau tak kalah hebat dengan ayahku? Aku sedikit terluka.""Oh, maafkan aku. Masalah ini memang tidak bisa dipungkiri."Beberapa saat kemudian seseorang da
Pesta yang sangat meriah itu telah usai dengan baik. Berharap kebahagiaan sungguh mewarnai kehidupan Intan dan juga Baskoro. Rasa letih lelah dalam prosesi adalah bagian kebahagiaan tersendiri bagi mereka.Indra meregangkan otot-otot tubuhnya menatap para pekerja yang membongkar sisa sisa dekorasi yang belum selesai di bereskan. Meskipun hanya menonton, sensasi tegang dan capek tetap saja melandanya.Ayahnya Abraham menghampirinya. "Indra, apa kau sudah selesai bersantai?" tanya Ayahnya."Heh, Ayah, apa maksudnya? Sejak kapan aku bersantai?"Abraham tersenyum. Bukan alasan yang tepat sebenarnya, bahkan semenjak acara turnamen selesai, pekerjaan Indra cuma keluyuran dan tak ada kesibukan samasekali."Oke, oke. Tapi ini adalah sesuatu yang akan mengejutkanmu.""Apa itu, Ayah?""Seorang pelatih basket tingkat dunia berkeinginan untuk merekrutmu menjadi tim juniornya. Sepertinya hal ini akan menjadi peluang bagus untukmu."Indra tak langsung merasa senang, sebab ia tahu ayahnya tak menyu