Setelah mendapatkan keterangan dari dokter spesialis kanker, Intan dan Anita keluar dari ruangan tersebut. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk beberapa saat.
"Bibi, penyakit bibi masih bisa disembuhkan, itu khabar baik bukan?" Intan menyemangati wanita yang tertunduk lemah itu. Dokter mengatakan meskipun sulit, kanker Anita masih bisa diusahakan sembuh."Akan tetapi biayanya terlalu mahal, dan itu akan menyusahkan kamu. Bibi sudah tua, mungkin sebaiknya tidak terlalu memboroskan uang, itupun kalau berhasil, kalau gagal? semakin banyak uang yang akan dikeluarkan," katanya pesimis.
"Sudah sewajarnya bibi, kalau uang yang dikeluarkan itu untuk sesuatu yang baik itu tak akan ada ruginya. Jangan seolah bibi merepotkan ayah, ayah sudah seharusnya melakukan semua ini. Jadi, jalani saja pengobatan dengan optimis. Benar bukan?"
Anita meremas pakaiannya. Ia tak akan bisa menolak karena Intan sangat berkeras berapapun biayanya. Ia tak yakin apakah AbrahamSementara Baskoro dan Intan berbincang di luar rumah, Anita dan Abraham saling berhadapan berjauhan. Tak ada yang memulai percakapan untuk sekian lamanya.Abraham menatap wanita itu dengan seksama. Ia masih ingat bagaimana wanita itu sangat cantik ketika itu. Senyumnya indah dan bersikap ceria, ia selalu menunjukkan rasa cinta kepadanya. Ia bisa melihat kecantikan yang ada padanya, bahkan sisa kecantikan itu masih sangat jelas diwajahnya yang mulai dimakan usia.Hanya saja Anita tak seperti dulu, penampilannya kumuh dan kulitnya menggelap, menunjukkan betapa sulitnya hidup yang ia jalani. Belum lagi penyakit kanker yang ia derita.Ia juga ingat bagaimana wanita itu keheranan ketika mendapati berita bayinya telah meninggal dunia setelah melahirkan.Ia yang telah membuat keadaan seperti itu, agar keinginannya tercapai. Namun mungkin inilah saat dimana kenyataan itu harus diungkapkan, agar beban hidupnya lebih ringan."Kau harus sembuh, kalau kau ingi
Bagaikan mimpi buruk, intan mendengarkan semua penjelasan Anita dengan sangat detail. Anita tak berhenti mengeluarkan air matanya, ia sangat terluka dan tersakiti. Bahkan sekarang tubuhnya demam menggigil.Anita bercerita bagaimana dirinya dan Abraham berpisah dahulu tak lama setelah melahirkan. Saat itu ia sangat terpukul karena dikabarkan putranya meninggal dunia, lalu tak lama kemudian dia harus menerima perceraian dari Abraham."Bibi, maaf atas kelakuan ayahku yang buruk. Maaf telah membuat hidupmu sangat menderita. Aku hanya seorang anak yang tak tahu apapun tentang ayahku. Bahkan seandainya ada yang lain lagi selain Bibi, aku akan mencarinya dan meminta maaf kepada mereka," katanya sambil memeluk wanita itu."Aku tahu, kau adalah anak yang baik. Kau pastilah seperti ibumu yang baik. Akulah yang jahat selama ini." Anita mengenang masa lalu yang pahit itu. Tangannya membelai Intan dengan penuh sayang."Bibi, bolehkah aku menemui Indra se
Intan dan Baskoro duduk di bangku belakang sementara pak Joko mengemudi dengan tenang."Pak Darmawan adalah salah seorang staf keuangan di perusahaan Tuan Abraham. Karena istrinya kehilangan bayinya ketika melahirkan, Pak Darmawan bersedia menerima penawaran Tuan Abraham ketika itu."Pak Joko menceritakan kronologis kejadian bagaimana Indra bisa dirawat Pak Darmawan. "Bu Darmawan memberikan ASI nya, jadi mereka merasa Indra adalah benar-benar putra mereka sendiri.""Bagaimana Indra bisa tahu bahwa Pak Darmawan bukan ayahnya?" tanya Intan."Tuan Abraham menemuinya setahun yang lalu karena merasa ingin tahu bagaimana rupa bocah itu. Dan ternyata, Indra seorang anak yang berprestasi dan aktif dalam dunia olahraga.""Ayah jadi menyesal?"Pak Joko diam, ungkapan itu bukan haknya untuk menjawab."Ah, ya. Pasti ayah menyesali bukan. Indra akan ke Bangkok dan mempunyai potensi untuk mengharumkan nama bangsa, Ayah pasti.menyesali mengabaikan p
Intan tercengang melihat seorang remaja pria bertubuh tinggi tegap. Wajahnya sangat tampan dan bersinar. Ia tak terkejut dengan ucapan bocah itu, tapi ia terkejut dengan aura wajah yang sangat tampan. Ya! Adiknya sangat tampan. Dia sangat mirip dengan Anita yang cantik sempurna. "Pergilah! Jangan datang mengganggu kehidupan kami yang sudah tenang.!" "Indra, apa salahnya kamu menambah kerabat. Dia adalah kakak perempuanmu, setidaknya bersikaplah yang baik," Pak Darmawan menyentuh bahu Indra. "Tapi, Yah. Mereka telah membuang ku sejak bayi, untuk apa sekarang mencariku?" "Maaf, aku harus mengatakan ini. Aku tak tahu apakah ini akan mengubahnya atau tidak. Akan tetapi, kau tak bisa mengabaikannya yang seharusnya." "Kau bisa seenaknya bicara karena hidupmu lebih enak dariku bukan?!" "Apakah kau mengatakan hidupmu ya tak enak bersama dua orang yang selalu menyayangimu?" "Bukan begitu! Kau diakui sejak lahir, dan aku dianggap sampah!
Abraham menjenguk Anita di ruang perawatan pasca operasi. Ia melihat wanita itu duduk melamun di ranjang rumah sakit seorang diri. Pakaian rumah sakit membuatnya semakin tampak menyedihkan.Iapun masuk dan memberikan beberapa jenis buah dan makanan sehat untuknya. "Kau baik-baik saja?" tanya Abraham menatap Anita yang sedang termenung.Anita melihatnya sekilas, lalu melihat ke sisi yang lain, jauh menerawang keluar jendela rumah sakit. Rautnya dingin tak berekspresi. Seolah ada sesuatu yang ia pikirkan begitu mendalam. "Apa yang akan kau lakukan kalau akau mati? Kau pasti berharap aku mati lebih cepat. Sementara putraku terlanjur membenciku," lirih Anita yang cukup jelas didengar Abraham. "Siapa yang mengharapkanmu mati? Kami semua berharap kamu sehat kembali, untuk itulah pengobatan ini kita lakukan." Anita mencelos. "Aku tahu kau tak ikhlas melakukannya, kau selalu berbuat semaumu tanpa aku men
Indra memalingkan wajahnya ke asal suara. Ia mendapatkan seorang wanita dengan pakaian serba putih berada di sana."Indra?" Perawat itu melebarkan matanya karena terkejut, dan Indra tak kalah terkejut."Mellisa?" ucapnya spontan.Mereka sama-sama terkejut karena tak menyangka akan dipertemukan setelah tiga tahun berlaku."Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengenal bibi Anita ini?" tanya Mellisa kemudian.Indra bingung mau menjawab apa. Meskipun mengenal hanya dari alamat yang diberikan Intan, Indra belum yakin kalau wanita itu ibunya. Dan tentu saja mereka belum benar-benar saling mengenal. Ia hanya tahu dari badge yang terpasang di tempat tidur rumah sakit."Kau sudah bekerja? Atau...," Indra mengalihkan pembicaraan."Ouh, aku sedang magang. Kebetulan jam istirahat, mau ke kantin bersamaku?"Indra melirik sebentar ke Anita yang masih tetap terlelap. Ide yang bagus karena kalau mengobrol bisa mengganggu pasien yang sedang istirahat
##Author; maaf kalau agak mellow, siapin tissue ya...Setelah itu jangan lupa Vote biar nggak terlalu sedih...he he.##*"Ibu..., aku Indra Bu...," lirihnya lagi. Wanita itu menatap Indra dengan tatapan penuh harap. Bagaimanapun ia memang sedang menunggu sosok yang sangat ia rindukan, apakah bayi merah itu telah sebesar ini? Matanya tak berkedip mengamati pemuda tampan di hadapannya."Indra? Mungkinkah kau adalah Indra putraku?" Anita mencoba memercayai penglihatannya. "Apakah ini mimpi, ataukah aku dalam keadaan tak sadarkan diri?" Anita menoleh kesana kemari, ia benar-benar dalam kamar yang sama, menunjukkan ini bukanlah mimpi.Tangan Anita bergetar, meraih wajah Indra perlahan. "Kau bukan mimpi? Kau Indra?"Indra mengangguk, air matanya pun meleleh tak henti melihat bagaimana ibunya menatapnya tak percaya.Jemari Anita terus menyusuri pola wajah Indra yang membeku. "Ini nyata?" Anita terus meracau, lalu ia memeluk Indra dengan erat. "Indra
Indra menggenggam tangan yang kemarin ia gunakan untuk menggenggam tangan ibunya dan iapun tersenyum bahagia mengingat momen mengharukan tersebut. Ia melangkah dengan hati riang dan seolah tubuhnya menjadi ringan. Ia bertekad untuk menang dalam turnamen basket di Thailand demi ibunya tersenyum bahagia.Iapun sedang berjalan hendak menemui temannya di klub bola basket. Ternyata mereka memang berada di tepi lapangan sembari minum dan mengobrol."Ayo semangat, sebentar lagi turnamen berlangsung, kita tak boleh membuat malu nama negri kita," celotehnya di hadapan teman-temannya.Akan tetapi semua teman Indra malah menatapnya heran. Mereka berkumpul mengerumuni Indra dengan tatapan menusuk."Kenapa kalian menatapku begitu? Aku serius sekarang ini, atau kalian mau berangkat tanpa aku ya? Ayolah jangan begitu dong, aku juga mau terkenal seperti kalian," Indra terus mengoceh."Jadi, apa maumu sekarang? Ha?" tantang seorang temannya dengan emosi. Selama ini