Tak berselang lama mobil Ela meninggalkan halaman kantor kepolisian, nampak sebuah taksi berwarna biru muda menurunkan seorang wanita cantik dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya.Dengan langkah cepat wanita itu terlihat memasuki kantor polisi."Saya ingin melaporkan kasus pelecehan seksual, Pak," ucapnya pada salah satu anggota polisi yang baru saja memintanya untuk duduk."Baik, silakan jelaskan secara detail bagaimana kronologinya, Bu."Merasa disambut hangat, Laura lantas melepas maskernya. Menatap penuh harap pada polisi tersebut."Saya dipaksa seseorang untuk melakukan hubungan intim, dengan ancaman dia akan menjual saya jika saya tidak menuruti nafsu bejatnya," jelas Laura berbohong."Apakah Anda memiliki bukti atau saksi, Bu?"Lantas Laura dengan cepat merogoh tasnya guna mengambil ponsel."Saya punya rekaman suara, Pak. Apakah ini bisa dijadikan bukti?" ujar Laura meletakkan cepat ponselnya di hadapan polisi dengan tatapan penuh harap.Seketika itu polisi mengangguk m
Getaran ponsel dalam saku celana Ela membuatnya menatap ke arah bawah."Ada apa?" tanya Deo kebingungan."Sebentar, ada telepon masuk."Ela yang hendak merogoh saku celananya berhasil dihentikan oleh Deo."Tunggulah sebentar lagi!""Tidak bisa, mana tahu ini telepon penting!" tegas Ela membantah.Ela lantas menjauhkan diri guna mengangkat telepon. Tak ia hiraukan tatapan kesal sang fotografer dan Deo yang kembali melayang padanya.Diluar dugaan, notifikasi panggilan tak terjawab dari nomor asing terlihat berderet panjang. Nampaknya Ela tak menyadari jika seseorang telah mencoba menghubunginya sedari tadi."Halo," sapa Ela. Meletakkan ponsel di depan telinga."Nona, syukurlah. Bisakah Anda pergi ke rumah sakit jiwa sekarang juga? Ada hal penting, tapi pihak rumah sakit mengaku tak dapat menghubungi Anda, jadi mereka menelpon ke rumah," jelas bibi Gwen dari seberang telepon.Firasat buruk seketika itu menyertai. Ela yang tak tahu menahu masalah yang sebenarnya terjadi mendadak menjatuhk
"Bohong! Kalian hanya membuat alibi untuk melindunginya, kan?!" teriak Ela tak terima."Bu, kami sungguh tidak berbohong. Dokter yang ditugaskan untuk merawat Ibu Anda saat ini sedang berada di ruangannya, bersama Polisi," terang perawat. Sedangkan dokter Bravi yang tengah dituduh hanya terdiam membisu."Permisi, untuk pihak keluarga korban bisa segera memasuki ruangan. Ada suatu hal yang mengharuskan kami meminta persetujuan," sahut dokter forensik, menyembulkan kepala dari pintu ruang rawat yang tak terbuka sempurna.Sontak Ela memutar kepala, sebelum beranjak pergi begitu saja memasuki ruangan."Begini, Bu. Dugaan sementara, Ibu Clarissa mengalami over dosis obat. Namun untuk pemeriksaan lanjutan, guna memastikan dengan jelas penyebabnya, kami meminta izin untuk membawa jenazah ke rumah sakit guna melakukan autopsi," terang dokter.Ela terdiam sejenak. Bayang-bayang akan tubuh sang ibu yang akan dibedah dan disayat guna pemeriksaan medis membuatnya ragu."Tidak perlu, Dok. Saya ing
"Tck!" Ela berdecak kesal. Di tengah-tengah kekalutan dan kesedihan mendalamnya saat ini, Deo masih sempat meributkan hal tak penting dengan seorang dokter di rumah sakit.Tanpa banyak bicara, Ela segera berdiri dan berlalu pergi. Meninggalkan pertikaian yang tak penting untuknya."Ela!" Deo lantas segera bangkit dari tempat duduknya dan menyusul pergi.****Keesokan harinya. Kediaman Deo. Pukul sembilan lewat tiga puluh pagi.Dua mobil polisi nampak diberhentikan oleh beberapa penjaga rumah."Maaf, Pak. Apakah Anda sudah membuat janji dengan pemilik rumah?" tanya salah seorang penjaga menghampiri kaca jendela mobil yang tak tertutup sempurna."Apakah benar, Bapak Arsenio tinggal di sini?" tanya balik polisi.Sontak dua penjaga saling bertukar pandang sesaat, sebelum salah satunya menjawab. "Benar.""Kami memiliki surat penangkapan." Salah seorang polisi menjabar kertas di depan jendela. Lantas para penjaga mendekatkan wajah guna memperjelas tulisan kecil yang berderet di atas kertas.
Laura seketika itu bangkit. Menatap tak percaya pada mantan kekasihnya yang bahkan jauh lebih gagah di banding sebelumnya.Deo tak menghiraukan tatapan tak percaya yang dilayangkan padanya. Pria itu menarik salah satu kursi dan duduk begitu saja berhadapan dengan Laura."Deo, kamu sembuh? Bagaimana mungkin bisa secepat itu?" tanya Laura keheranan."Deo! Jelaskan pada Om bagaimana caramu untuk sembuh secepat itu? Apakah kamu melakukan operasi plastik terhadap wajahmu? Tapi kakimu?" sahut Arsenio mengguncang kuat lengan Deo yang tengah duduk di sampingnya.Seketika itu Deo berdecak seraya berdesis. Menampik tangan Arsenio yang masih memegangi lengannya."Cih! Apa peduli kalian terhadapku? Tidakkah kalian berdua ingin bertanya tentang kepemilikan perusahaan keluargaku saja?" cibir Deo seraya mengelap bekas tangan Arsenio yang masih menempel di lengan kemeja hitamnya dengan selembar tisu. Jijik rasanya ketika tersentuh oleh benda najis.Arsenio yang menyadari penghinaan yang dilakukan Deo
"Deo! Tunggu!"Laura berusaha mengejar langkah cepat Deo. Sedangkan Deo bersikap acuh tak acuh, seolah tak mendengar teriakkan Laura.Sadar tak dihiraukan membuat Laura berlari cepat. Meraih kasar lengan Deo dan membalik tubuhnya paksa menghadap dirinya.Sontak langkah Deo terhenti. Menatap sengit ke arah Laura yang seketika itu kehilangan kata-kata."Jadi, apa maksud ucapanmu di dalam tadi? Kenapa kamu tidak mau bertanggung jawab atas perbuatanmu?" tanya Laura dengan nada mengintimidasi."Perbuatanku? Aku tidak merasa telah melakukan hal semacam itu," jawab Deo santai.Kedua tangan Laura seketika mengepal kuat. Menyembulkan otot-otot dari balik kulit tangannya."Apa maksudmu? Jelas-jelas itu semua adalah perbuatanmu, Deo!" teriak Laura lantang. Tak ia hiraukan banyaknya pasang mata yang mulai menatap dari kejauhan."Apa kamu bisa membuktikan jika akulah yang bersalah dalam kejadian itu?"Laura hanya terdiam membisu sebab kehilangan kata-kata. Nampaknya rayuan halus tak lagi membuat D
Dua hari berlalu sejak kepergian sang ibu tercinta.Ela duduk merenung di meja kerjanya. Menanti pernikahan bahagia yang akan terselenggara beberapa hari lagi.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" sahut Ela ketika mendengar daun pintu diketuk. Ela segera kembali sibuk dengan berbagai berkas-berkasnya.Derit pintu mulai terdengar. Tanda seseorang tengah memasuki ruangan."Ada apa?""Ada beberapa berkas yang memerlukan persetujuan Anda." Chandra meletakkan beberapa dokumen di atas meja."Nanti saja, aku masih sibuk."Chandra terdiam. Sifat dingin dari sang atasan bukanlah hal asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Namun kali ini cukup berbeda. Mengingat sang atasan yang kembali kehilangan orang-orang tercintanya satu per satu."Apakah tiga hari lagi Anda benar-benar akan menikah, Nona?" tanya Chandra menundukkan wajah. Entah mengapa, namun mulutnya seolah tak terkendali untuk mencampuri urusan sang atasan. Seketika itu Chandra merasa menyesali ucapannya.Ela terdiam sejenak. Menatap penuh selidi
"Tidak, Ela! Jangan dengarkan wanita gila itu! Aku benar-benar tidak bersalah. Jika kamu tidak percaya, setelah ini kamu bisa menelpon Darren! Dia tahu kejadian yang sebenarnya," jelas Deo. Mengingat sang adik yang sedang berkutat akan kesembuhan sang pasien yang sedang sekarat di rumah sakit, membuat pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu tak dapat mengantar sang kakak menjalankan ijab kabulnya.Laura yang mulai panik pada akhirnya merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda pipih panjang dengan garis merah dua yang berjejer, lalu melemparkannya ke arah Ela dengan penuh harap. "Ini adalah bukti yang cukup membuatmu percaya kan? Deo adalah seorang pria berengsek yang selalu meninggalkan tanggung jawabnya!"Setelah mengurung diri beberapa hari sebab penyakit menular seksual dan rekaman yang Deo berikan padanya tempo hari, Laura yang kala itu frustasi memutuskan membeli sebuah alat tes kehamilan. Dan entah bagaimana itu terjadi, namun alat itu menunjukkan bahwa Laura tengah mengandung.
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar