"Apa pengelihatanmu sedang bermasalah? Aku sedang tersenyum dan menyapamu, kenapa reaksimu justru ketakutan seperti itu?" tanya Ela bingung. Menaikkan kedua alisnya.Laura yang merasa tertekan hanya mampu terdiam dengan tatapan waspada. Kedua tangannya mencengkram kuat dompet kulit di depan roknya. Sedang kakinya terhenti saat Ela memandanginya bingung."Menjauh dariku!" tegas Laura penuh penekanan.Sontak Ela menaikkan satu alisnya bingung."Cukup, Gabriela!"Suara lantang diiringi derap langkah kaki terdengar dari belakang tubuh Ela. Sontak pemilik nama Gabriela itu segera menoleh ke arah sumber suara."Jangan hanya karena Laura ini orang miskin kamu bisa seenaknya menghinanya, ya! Asal kamu tahu saja, etika Laura jauh lebih baik darimu," hardik Arsenio lantang. Menudingkan telunjuknya ke arah Ela seraya berjalan cepat mendekati."Cih." Namun Ela tak terpengaruh akan tuduhan itu. Wanita dengan rambut tergerai sepinggang itu hanya tersenyum sinis seraya membuang muka."Apakah telinga
"Saya menyesal tidak mau menerima perjodohan yang orang tua atur untuk saya dulu. Jikalau saya bisa mengulang waktu, mungkin saat ini Istri saya bisa menggantikan posisi saya untuk merawat Ibu," ucap lirih paman Louise. Wajah letihnya tertunduk, diiringi bulir bening yang mulai berjatuhan. Tanda kepedihan hatinya.Mengingat dirinya adalah seorang anak tunggal yang tak memiliki saudara dan seorang ayah yang telah terlebih dahulu berpulang ke Yang Maha kuasa, membuat paman Louise tak memiliki pilihan lain selain merawat sang ibu seorang diri.Penyakit ginjal akutnya menyebabkan seluruh upah yang diterima paman Louise hanya cukup untuk cuci darah setiap waktu. Sehingga tak mampu mempekerjakan seorang perawat.Kerap menyaksikan pertengkaran yang membuatnya trauma dari kedua orang tuanya saat masih kecil, membuat paman Louise tak ingin menikah seumur hidupnya. Namun ternyata pria tua itu kini menyesali keputusannya.Namun nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang mampu paman Louise lakukan se
"Nyonya, syukurlah ternyata Anda di sini. Saya mencari Anda ke mana-mana."Ela yang baru membuka mulutnya hendak menjawab, disela oleh bibi Gwen yang tiba-tiba muncul dari kejauhan.Sontak kebingungan Clarissa semakin menjadi. "Apa yang terjadi? Kenapa Anda mencari saya?"Tak ingin banyak membuang waktu dan membuat sang ibu kaget dengan kondisi sang ayah, Ela segera membalikkan tubuh sang ibu dan menuntunnya keluar dari rumah."Nanti Mama akan tahu, sekarang kita pergi saja dulu," pungkas Ela. Sedang Clarissa mau tak mau harus mengikuti ke mana pun sang putri membawanya pergi.Ela segera menuntun sang ibu untuk segera memasuki salah satu mobil. Diikuti bibi Gwen yang duduk di sebelah majikan wanitanya."Biarkan saya yang akan menjaga, Nyonya. Anda bisa ikut mobil Tuan, Nona," ucap bibi Gwen berinisiatif memberi saran."Terima kasih, Bi," ucap Ela sebelum berlari ke arah satu mobil lainnya.Detik berikutnya, mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. Menembus hawa dingin di pagi buta ka
Sayangnya, berapa kali pun Darren mencoba, Matthew tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehidupan.Sontak Darren meletakkan alat kejut jantung tersebut di atas meja, sebelum berjalan mundur terhuyung-huyung."Bagaimana ini ...?" gumam Darren lirih kebingungan. Seketika itu seluruh persendiannya terasa lemas. Membuat pria itu jatuh terduduk seraya meremas kuat rambutnya frustasi.Para perawat yang membantu tak dapat melakukan apa pun selain membantu sang dokter muda untuk kembali bangkit. Sayangnya kebingungan hebat yang mulai menguasai diri membuat Darren tak menghiraukan sekitarnya.Air mata perlahan berjatuhan dengan deru nafas tersengal. Bibirnya bergetar hebat seiring ketakutan yang menguasai diri hingga tak dapat berpikir jernih."Bagaimana mungkin ini terjadi?" gumamnya seraya mengacak rambutnya frustasi. Namun mau bagaimana pun keadaannya, Darren tetap harus memberitahukan kondisi tersebut pada Ela.Perlahan Darren membuka pintu ruangan. Disambut anggota keluarga Matthew yang te
"Menjauh dariku!" teriak Clarissa lantang dengan tangis yang mulai kembali menghiasi wajahnya.Kembali kehilangan orang penting dalam hidupnya, membuat depresi berat yang hampir sepenuhnya pulih itu kembali membuat Clarissa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.Raut wajah sedih itu mendadak berubah menjadi ketakutan hebat hanya selang persekian detik. Kedua tangan Clarissa mencengkeram kuat rambutnya dengan tatapan waspada yang dilayangkan pada beberapa orang di sekitarnya."Nyonya ... tenangkan diri Anda.""Cepat telepon Dokter rumah sakit jiwa!""Baik!"Sayup-sayup terdengar suara panik saling bersahutan sebelum pandangan mata Ela sepenuhnya menghitam sebab kehilangan kesadaran.***"Ngh ...."Lenguhan dalam terdengar jelas sesaat setelah Ela berhasil kembali mendapatkan kesadarannya. Wanita yang tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit itu terlihat memegangi kepalanya.Samar-samar tercium aroma minyak kayu putih yang tertangkap oleh indra penciumannya."Bagaimana perasaanmu?
Meski sebelumnya terbiasa mandiri setelah kehilangan ingatannya, namun tak menghilangkan naluri seorang anak yang ditinggal kedua orang tuanya secara tiba-tiba setelah beberapa bulan hidup bersama."Ada Bibi Gwen di sini untuk Anda, Nona. Tidak perlu terlalu cemas," jawab bibi Gwen bersusah payah mengeluarkan suara sebab ingin menenangkan Ela.***Kediaman Ela. Pukul sebelas siang.Setelah melakukan pemulasaran jenazah di rumah sakit, kini mendiang sang ayah di singgahkan ke mushalla terdekat guna disholati.Keriuhan sekitar mushalla diselimuti tangis dari seluruh pekerja perusahaan dengan jabatan penting. Tak ketinggalan kerabat dekat yang ikut serta meriuhkan suasana duka.Setelah menyelesaikan sholat jenazah, seluruh pelayat mengantarkan mendiang ke rumah peristirahatan terakhirnya.Mobil jenazah mulai kembali melaju. Diiringi mobil pribadi milik kerabat dekat dan keluarga.Setelah keranda sang ayah dibopong di samping lubang makam, Ela menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya. Ba
'Astaga ... apa yang sebenarnya Tuan Deo pikirkan saat ini?' batin paman Louise seraya menepuk jidat di kursi kemudi."Tolong jangan bercanda pada situasi seperti ini, Tuan Deo. Itu sungguh tidak lucu!" tegas Ela memicingkan mata."Apa wajahku terlihat sedang bergurau di matamu? Aku serius."Sesaat Ela nampak membuang muka, sebelum menghela nafas kasar dan kembali menatap Deo dingin."Setelah kita menikah kamu tidak akan kesepian lagi. Aku akan selalu menemanimu dalam situasi apa pun. Aku ....""Dengar, Tuan Deo Kendrick yang terhormat! Saya, Gabriela Larasati, mulai detik ini memutuskan hubungan perjodohan kita. Sekarang Anda bebas berkencan dengan wanita mana pun termasuk Mantan Pacar Anda. Dan mulai saat ini, saya dan Anda hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih!" tegas Ela menyela kalimat Deo yang belum tertuntaskan.Sontak Deo dan paman Louise yang menyaksikan kejadian itu hanya mampu terperangah tak percaya. Mungkin kekalutan yang saat ini Ela rasakan membuat wanita itu tak dapat
Keesokan harinya. Kediaman Ela. Pukul tujuh pagi."Nona? Anda mau pergi ke mana rapi seperti ini?"Bibi Gwen yang tengah menyiapkan sarapan dikejutkan dengan sang majikan yang tengah menuangkan air minum dari teko bening di meja makan."Bekerja," jawab Ela singkat sebelum meminum air dalam gelas."Tidakkah Anda ingin mengambil cuti beberapa hari? Biarkan Tuan Chandra yang mengambil alih tugas Anda sementara," ucap bibi Gwen mengikuti ke mana pun Ela melangkah."Apa bedanya? Meski mengambil cuti pun, setelahnya aku harus kembali bekerja, lantas apa salahnya mempercepat proses itu?"Bibi Gwen seketika terdiam. Meski kecemasan mulai menghantam dada. Mengingat sang majikan sejak kembali dari pemakaman tak menyentuh makanan sedikit pun. Bahkan semalaman Ela terdengar menangis tersedu di dalam kamarnya. Namun tak ada yang bisa bibi Gwen lakukan selain menghormati keputusan Ela yang sudah dewasa.Helaan nafas panjang Ela hembuskan, tatkala menatap berbagai hidangan yang tersaji di atas meja.
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar