Hanya berselang beberapa detik. Deo mendorong kasar tubuh Ela hingga hampir terjungkal ke belakang."Apa yang sedang kamu lakukan?!" protes Deo dengan tatapan tajam. Mengusap kasar bibirnya dengan lengan jas hitam yang tengah ia kenakan kala itu.Sementara Ela yang berdiri terhuyung seketika berpegangan pada sisi meja."Apa lagi?! Kamu bilang syaratnya harus menciummu! Aku sudah melakukannya, apa masih kurang? Kalau begitu diam di tempatmu sekarang!" tegas Ela seraya berjalan mendekat. Namun berbanding terbalik dengan Deo yang seketika berjalan mundur dengan tatapan waspada."Stop!" ucap Deo lantang. Namun Ela tak menghiraukan kalimat itu. Wanita dengan rambut tergerai itu masih melangkah pasti mendekati Deo yang telah terhimpit oleh pintu."Aku bilang berhenti ...!"Pada akhirnya, teriakkan dan kedua tangan Deo yang menunjukkan isyarat untuk menghentikan langkah Ela berhasil membuat wanita itu terpaku di tempat. Mengerinyitkan dahi sembari menatap Deo keheranan.Deo yang pada akhirny
Deo terdiam sejenak. Mengamati salah seorang pria yang mulai angkat tangan terlebih dahulu."Jelaskan alasan Anda tidak menyetujui saya memimpin rapat!" titah Deo seraya mengulurkan tangannya ke arah pria paruh baya itu dengan sopan. Wajah datar tanpa seulas senyum sedikit pun membuat Deo terkesan berwibawa.Pria yang ditunjuk itu seketika berdiri di tempatnya."Maaf sebelumnya. Tapi bisakah Anda menjelaskan secara rinci keseluruhan masalah yang terjadi di perusahaan ini? Mengingat Anda adalah CEO perusahaan besar yang bergerak di bidang properti. Sedangkan Willson Group adalah perusahaan yang bergerak di bidang pangan," jelas pria itu penuh keyakinan.Deo terdiam sejenak. Sementara para pria yang hadir kala itu nampak mengangguk-angguk menyetujui."Apakah itu artinya Anda meragukan kemampuan saya?" ucap Deo penuh penekanan. Tatapan tajam mengintimidasi yang Deo layangkan seolah menguliti pria itu tipis-tipis.Keberanian dari pria itu perlahan terkikis. Membuatnya menundukkan wajah ta
Tanpa sadar, bulir bening mulai menitik dari mata Matthew yang menatap lekat ke arah hasil pemeriksaan medis yang berada di genggaman tangannya.Pria paruh baya bertubuh gempal itu meremas kuat sisi kertas hingga lusuh tak berbentuk. Isak tangis yang hampir meluncur berusaha keras ia tahan. Dunianya seketika hancur saat mengetahui jika dirinya tak dapat menjaga keluarganya dalam waktu yang lama. Terlebih sang putri baru saja kembali setelah empat tahun lamanya menghilang.Sedangkan Chandra, sang asisten pribadi nampak terdiam. Berdiri tegak di belakang sang atasan yang tengah duduk di tepian ranjang rumah sakit. Matanya menatap hasil pemeriksaan itu dengan iba, hingga tanpa sadar, mata yang semula cerah itu mendadak tertutupi mendung gelap.Begitu pula Dokter pria yang memperhatikan keduanya dari kejauhan. Terdiam membisu. Tak mampu memberikan semangat pada pasiennya yang baru mengetahui, jika Matthew telah mengidap kanker hati stadium empat.Pasalnya pria itu hanya menunjukkan gejala
***Perusahaan Willson Group. Pukul empat sore."Apa kamu tidak ingin pulang? Mau menginap di sini?"Deo yang tengah duduk di atas sofa panjang, terdengar berkali-kali menghela nafas berat. Rasa bosan seketika menguasai diri, saat hanya mampu menatap Ela dari kejauhan. Yang tengah sibuk dengan layar laptopnya."Sebentar lagi. Aku masih harus memeriksa rekaman CCTV perusahaan. Yang kemarin pun aku tidak sempat memeriksanya," jawab Ela tanpa berpaling sedikit pun dari layar laptopnya.Seketika itu Deo nampak mendengus kesal."Aishh ...! Kamu ini tidak ada kerjaan lain, apa? Serahkan saja rekaman itu pada security! Kenapa harus kamu sendiri yang memeriksanya?" geram Deo dengan tatapan kesal. Setelah duduk tegak untuk sesaat, Deo kembali meletakkan kepalanya di atas pegangan sofa.Pasalnya, wanita itu terus menatap layar laptopnya sejak rapat selesai dilangsungkan. Bahkan tak ada waktu untuk Deo mencari perhatian."Aku tidak pernah percaya pada siapa pun selain diriku sendiri," pungkas El
Kini ketakutan hebat itu tak lagi mampu Ela sembunyikan. Penyiksaan batin yang Pram berikan masih berbekas dalam ingatan. Membuat wanita itu berjalan cepat dengan air mata yang mulai bercucuran. Seluruh tubuhnya mendadak menggigil menahan rasa sesaknya dada yang tak henti bergemuruh.Ela berusaha menahan isak tangisnya. Melangkah setengah berlari ke arah ruangannya seraya menundukkan wajah. Ia tak ingin memperlihatkan emosinya pada siapa pun yang ia lewati saat itu.Brak!Ela membanting pintu, sesaat setelah masuk kembali ke dalam ruangan pribadinya. Namun anehnya, Deo tak lagi ada di sana.Ruangan yang semula terang itu mendadak gelap nan sunyi. Nampaknya Deo telah pergi meninggalkan ruangan sesaat setelah dirinya pergi. Bahkan laptop yang semula terbuka kini tertutup rapat di atas meja."Kenapa?!" teriak Ela lantang dengan tangis yang mulai pecah. Kedua tangannya meraih sembarang benda untuk dilemparkan begitu saja, guna melampiaskan amarah yang tertahan dalam dirinya.Setelah puas
Dalam kebingungan Ela, Deo yang baru sampai di samping Matthew seketika menyahut tanpa diminta."Hanya masalah rapat hari ini, Om. Tidak perlu terlalu khawatir, cepat atau lambat Ela akan segera beradaptasi dengan tugas berat yang akan ia tanggung ke depannya. Saya akan membantunya sebisa mungkin," sahut Deo berkilah.Seketika itu perasaan lega membuat dada Ela yang semula sesak sedikit melonggar."Baiklah, Om percayakan Ela padamu, Deo. Jangan kecewakan saya," pungkas Matthew pada akhirnya. Menepuk pelan bahu calon menantunya dengan tatapan penuh harap. Matthew harap, Deo bisa menjaga sang putri yang sebentar lagi akan kehilangan dirinya sebagai sandaran hidup.Sedangkan Darren masih terdiam membisu di tempat semula. Seolah terpaku, kala merasa kehadirannya kala itu hanya sebagai pengganggu. Meski Clarissa bersih keras memintanya menjadi pengganti Deo sebagai pengantin pria yang akan bersanding dengan Ela. Namun tak bisa dipungkiri, bahwa yang diharapkan Matthew sebagai menantunya ad
Darren sontak menggidikkan bahu saat Matthew menganggukkan kepalanya sekilas seolah bertanya."Aku lelah. Aku akan pergi istirahat."Clarissa segera beranjak bangkit dari tempat duduknya semula. Berjalan gontai menuju tangga yang akan membawanya ke lantai dua tempat kamar tidurnya berada.Sedangkan Matthew hanya bisa terdiam. Begini cukup bagus. Setidaknya sang istri tidak akan kembali mengamuk saat melihat Deo. Dan perjodohan itu bisa dilanjutkan tanpa hambatan. Sepertinya kondisi Clarissa semakin hari semakin membaik, terbukti dengan kepahaman wanita itu saat mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Matthew. Meski tak sepenuhnya merespon sesuai harapan.Kini pria paruh baya itu semakin lega. Mungkin kepergiannya setelah ini tak akan menimbulkan banyak hal yang masih mengganjal dalam hati."Jadi ... apa yang hendak Anda bicarakan dengan saya?" tanya Darren seraya memainkan jari jemarinya. Meski sepenuhnya bisa menebak jika Matthew akan membahas kembali perihal perjodohan itu, namu
"Papa? Kenapa ... botak?" tanya Ela memastikan seraya tergagap dan tersenyum canggung.Meski terkesan aneh, namun pria paruh baya dengan perut membuncit itu berjalan santai penuh percaya diri. Menghampiri meja makan. Di sambut beberapa pelayan wanita yang seketika tertunduk seraya membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat. "Selamat pagi, Tuan," ucap mereka serempak."Selamat pagi," jawab Matthew singkat seraya menarik salah satu kursi di hadapan Ela, dan hendak duduk di sana."Ada apa denganmu, Ela? Papa hanya ingin tampil berbeda hari ini, kenapa ekspresi wajahmu terkesan aneh begitu?" ucap Matthew seraya mengambil sehelai roti dan mulai mengolesi selai coklat di atasnya. Sesekali melirik Ela yang masih memperhatikannya tanpa berkedip dari ekor mata. Meski hatinya hancur, namun Matthew berusaha menaruh senyum cerah pada bibirnya."Ma-maafkan Ela, Pa. Ela tidak ada maksud apa-apa. Hanya merasa heran dengan penampilan Papa yang berubah drastis hari ini," jawab Ela tergagap seraya m
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar