“Anggaplah apa yang kamu katakan itu memang benar, saya tetap tidak perlu menikah dengan kamu,” ucap Gauri sambil mengusap air matanya yang hampir jatuh. Gauri menegakkan bahunya yang sempat turun karena dia hampir menangis. Dia menarik napas panjang dan sedikit memukul dadanya yang terasa sesak. Sementara Ezra mengernyitkan dahi. Pria itu menatap Gauri tajam. Senyum hangat yang biasa Gauri lihat, sirna begitu saja. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanya Ezra. Wajahnya merah menahan amarah. Mereka terdiam beberapa saat ada beberapa mahasiswa yang melewati koridor itu. “Zaman sudah berubah, saya bisa mengurus semuanya sendiri. Pertama, ada yang perlu saya pastikan dengan Mas Adam terlebih dahulu,” jawab Gauri sambil mengepalkan tangan. Sekeras apa usaha Gauri untuk tetap tenang, wanita itu tidak bisa menampik perasaan kecewa yang menggumpal dalam tubuhnya. Belum lagi, Ezra terus mengatakan hal-hal yang menyeramkan dengan wajah bak malaikat. Pria itu masih bisa meminta G
“Mukamu cukup tebal untuk datang ke sini. Apa lagi yang ingin kamu minta setelah griya tawang?” Arum memelototi Gauri.Gauri mengernyit. “Griya tawang?”“Amora sudah tahu bahwa Adam membelikan kamu griya tawang sebagai kompensasi perceraian dan sekarang kamu tinggal di sana,” ujar Arum sambil melipat tangan di depan dada.Gauri menarik napas panjang. Wanita itu menutup mulutnya ketika melihat dua orang satpam datang bersama Sani.Arum mengikuti arah pandang Gauri dan dia berkata, “Bawa wanita ini keluar dan hafalkan wajahnya, jangan sampai dia menginjakkan kaki ke Harraz Mall!”Kedua satpam tersebut mengangguk. Namun saat mereka hampir saja memegang lengan Gauri, wanita itu menghindar.“Sedikit saja ujung jari kalian menyentuh saya, saya akan pastikan besok kalian tidak bisa bekerja lagi!” ancam Gauri.Ini adalah pertama kalinya Gauri mengancam seseorang. Dia terpaksa melakukannya karena setiap sentuhan seorang pria mengingatkannya pada perbuatan Ezra.Gauri mengepalkan tangan, menaha
Amora menatap sengit Gauri ketika mereka bertemu di dekat pintu ruangan Adam. Wanita itu melangkah lebar dan menipiskan jarak dengan Adam.“Dia minta apalagi?” tanya Amora hampir berteriak. “Mobil? Tanah? Atau uang?”Adam menarik napas panjang dan melangkah menjauh dari Amora. Pria itu kembali ke meja kerjanya dan duduk di sana.Namun, Amora tidak segan mengikutinya sambil menyentakkan kakinya ke lantai secara berlebihan. Wanita itu mentap Adam tajam.“Jawab! Atau aku kejar jalang miskin itu dan kutarik rambutnya hingga lepas dari kepalanya!” Amora menggila, dadanya naik turun dan tangannya menunjuk ke pintu.Pernikahan Amora dan Adam sudah ada di depan mata. Namun, lagi-lagi Gauri datang dan mengganggu langkahnya, Bahkan, ketika Adam dan Gauri sudah bercerai.“Sekali lagi kamu sebut Gauri seperti itu, saya pastikan besok kamu tidak bisa bicara lagi!” Adam menatap Amora tajam, tangannya mengepal. “Dan jangan sentuh dia!”
Ponsel Gauri berdering saat wanita itu baru saja sampai mendaratkan tubuhnya di jok belakang mobil. Thomas menghubunginya. Cukup lama Gauri memandangi layar ponselnya hingga mobil mereka sudah keluar dari Harraz Mall dan panggilan tersebut mati. Hati Gauri mengatakan supaya dia tidak mengangkat telepon itu. Selain karena pertemuan mereka terakhir kali sangat buruk, Gauri merasa panggilan kali ini tidak akan lebih baik. Thomas pasti sudah mendengar jika Gauri mengundurkan diri dari kampus dan hanya akan memarahinya. “Kita ke mana, Nona?” tanya Amelia. Belum sempat Gauri menjawab, ponsel Amelia berdering tanda panggilan telepon masuk. “Jika itu dari Kakek, abaikan saja,” perintah Gauri sambil bersandar di kursinya. “Kita ke griya tawang.” Amelia menuruti permintaan Gauri dan menyimpan ponselnya kembali. Namun, tidak lama kemudian giliran ponsel Santo yang terhubung dengan monitor mobil berdering. Nama Thomas Uno tertera di sana. Santo terlihat ragu dan gugup. Thomas tidak p
“Itu rencana yang bagus, Gauri. Hanya saja … saya tidak yakin uang yang kamu dapatkan dengan menjadi konsultan bisnis di RS Bashar mampu mengakomodasi biaya kuliah dan hidup kamu di luar negeri,” ujar Linda sambil tersenyum tipis.Gauri terdiam beberapa saat. Namun, akhirnya wanita itu berkata, “Saya mengerti.”Seorang pelayan datang dan menghidangkan pesanan Gauri. Gauri mulai menikmati hidangan itu, begitu pula Linda. Sesekali mereka mengobrol tentang hal lain yang lebih ringan.Saat bicara dengan Linda, Gauri merasa sosok Visca ikut hadir di sana. Linda sangat keibuan dan menghargai segala keputusan Gauri.Salah satu hal lain yang Gauri senangi dari Linda adalah wanita itu melihat Gauri sebagai Gauri. Bukan sebagai cucu Thomas Uno, apalagi mantan istri Adam Harraz.“Jadi, Gauri,” ucap Linda sambil mengelap sisa makanan yang tertinggal di sekitar mulutnya dengan tisu bersih. Wanita itu baru saja menghabiskan makanannya. “Kamu tetap ingin ke luar negeri?”Gauri mengangguk mantap. “Iy
“Setidaknya sekarang aku mengerti kenapa Ibu memutuskan untuk pergi dari rumah Kakek,” balas Gauri pelan. Dia sebenarnya tidak ingin mengucapkan ini dan menyakiti hati Thomas.Indra pendengaran Thomas masih berfungsi dengan baik. Pria itu masih bisa mendengar dengan jelas apa yang Gauri ucapkan.“Apa kamu masih mencintai mantan suamimu, Gauri?” Thomas meremas ujung tongkatnya, menahan diri untuk tidak melayangkan benda itu ke udara. “Kamu rela mengatakan hal yang tidak masuk akal tentang Ezra hanya demi menghindar dari pernikahan.”Gauri menggeleng, tidak percaya dengan jalan pikiran kakeknya. “Aku mungkin orang baru di kehidupan Kakek, sementara Ezra sudah bersama Kakek selama belasan tahun. Tapi apakah Kakek tidak bisa melihat dengan netral? Apakah Kakek pikir seorang korban bisa menikah dengan pelaku?!”“Cukup, Gauri!” bentak Thomas. “Saya tidak ingin mendengar apa pun lagi! Pergi saja, pergi!”Thomas terengah-engah. Sementara Gauri me
“Adam ada pekerjaan. Dia menyerahkan semua pilihannya ke kita,” ucap Arum bergabung kembali dengan Amora di ruang tamu. Wanita paruh baya itu baru saja memanggil Adam di kamarnya untuk memilih konsep foto pernikahan bersama Amora. Namun, Adam menolak dan memilih tetap memeriksa surat perjanjian kerja sama dengan perusahaan pakaian merek mewah. Amora menghela napas. Sejak Adam merumahkannya, Amora terus dilanda cemas karena tidak bisa bertemu calon suaminya itu. “Mama sudah mengingatkan Mas Adam untuk ukur jas? Kemarin lusa, Mas Adam sudah melewatkan agenda itu,” keluh Amora sambil mengangkat kedua alisnya. Arum mengangguk dan mendekati Amora. Dia mengelus punggung calon menantunya itu. “Sudah. Dia akan ke wedding gallery sore ini,” jawab Arum dengan sabar. Arum menjadi sosok keibuan saat sedang bersama Amora. Apalagi setelah hasil ultrasonografi kehamilan Amora menunjukkan jenis kelamin cucunya adalah laki-laki. Itu berarti Keluarga Harraz akan memiliki seorang penerus.
“Amelia?” Gauri menyipitkan mata. “Sedang apa kamu di sini?”Sosok pengemudi itu ternyata adalah orang yang sangat Gauri kenal. Amelia melangkah mendekati Gauri, lalu wanita itu membungkuk.“Nona,” sapa Amelia dengan sopan.Gauri mengernyitkan dahi. Tiba-tiba perasaan was-was menyergapnya.“Untuk apa kamu ke sini? Apakah ucapanku kemarin kurang jelas?” tanya Gauri menatap tajam Amelia dengan mata sembabnya. “Aku sudah tidak perlu dikawal, Amelia. Aku sudah mengembalikanmu pada Kakek.”Gauri terus menatap curiga. Wanita itu tidak mengerti mengapa Amelia masih mendatanginya setelah Gauri dengan tegas mengembalikan fasilitas Thomas.Apalagi selama ini Amelia adalah salah satu orang kepercayaan Thomas. Bahkan, sebelum Gauri memegang kartunya sendiri, Amelia memiliki akses ke rekening Thomas.Beberapa kali saat Gauri memberi perintah atau mengajukan permintaan pun Amelia cenderung memihak pada Thomas dan tidak pernah melakuka
“Sudah selesai?” tanya Adam, berdiri di tepi kebun mawar yang membentang indah di belakang kediaman Thomas. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang memukau.Gauri melangkah mendekat, gaun berwarna krem lembut yang memeluk tubuhnya berkibar tertiup angin sore. Di tangannya ada buket bunga mawar putih kecil yang baru saja wanita itu atur bersama Amelia.“Sudah,” jawab Gauri tersenyum tipis. “Kebun ini terlalu cantik jika tidak dipakai sebagai latar pesta kita.”Adam memandangnya dengan intens, mata gelap pria itu mengamati setiap detail wajah Gauri yang diterangi cahaya lampu sekitar. “Kamu lebih cantik.”“Mas Adam, jangan mulai lagi atau kamu ingin melihat pipiku semerah tomat.” Gauri mendesah kecil sambil menggeleng. “Orang-orang sudah berdatangan, kita harus segera bergabung.”Adam mengulurkan tangan, menarik Gauri mendekat hingga wanita itu berdiri hanya beberapa sentimeter darinya.“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu terima saja,” tukas Adam.Gauri tertawa kecil,
“Mama ingin sesuatu dari laci itu?” tanya Gauri lagi, memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.Arum mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari laci kecil di samping ranjang. Gauri mengerutkan kening sejenak, merasa sedikit ragu, tetapi akhirnya dia mendekat ke laci itu.Gauri membuka laci kecil tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun dengan ukiran emas di bagian atasnya. Gauri mengangkat kotak itu, lalu menoleh ke arah Arum.“Ini, Ma?” tanya Gauri sambil mengangkat kotak itu.Arum mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Gauri membawa kotak itu ke hadapan Arum, tetapi wanita paruh baya itu membuat gerakan tangan seolah meminta Gauri membuka kotak tersebut.Dengan hati-hati, Gauri membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin mewah dengan desain yang klasik dan elegan. Kilauan berlian di tengah cincin itu tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.Gauri memandang cincin itu dengan kagum.“Cincinnya sangat indah,
“Jadi, Nona benar-benar akan meninggalkan griya tawang?” tanya Amelia, matanya menatap koper kecil yang ada di sisi Gauri.Gauri mendongak dan memandang griya tawangnya sekali lagi dari tempat parkir JCrown Tower, tempat tinggal yang penuh kenangan, baik manis maupun pahit.“Ya,” jawab Gauri dengan mantap. “Tempat ini terlalu penuh dengan bayangan masa lalu. Kakek benar, saya butuh tempat tinggal baru yang lebih baik.”Amelia tersenyum kecil. “Rona Village memang lebih cocok untuk Nona sekarang. Walaupun kita sudah dewasa, terkadang kembali ke rumah orang tua akan terasa menenangkan.”Gauri hanya tersenyum. Wanita itu mengangguk pelan, mengiakan pendapat Amelia.Beberapa saat kemudian, Gauri melangkah menjauh dari JCrown Tower sambil membawa barang-barang penting dan meninggalkan semua yang tidak lagi ingin wanita itu ingat di griya tawang.Hari-hari berlalu, dan selama Adam berada di Australia, Gauri mengisi waktunya dengan bekerja dan merawat Arum. Setiap malam, setelah menyelesaika
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal