Mobil ambulans berhenti tepat di depan pagar rumah. Sudah banyak sekali tetangga maupun kerabat yang berkumpul. Bapak-Bapak di bagian luar, sedangkan Ibu-Ibu di bagian belakang. Sukamto memang terkenal sangat ramah di lingkungan komplek ini.Pintu ambulans terbuka dari luar. Oleh Tante Rita, adik kandung Sukamto, yang membantu Aurel turun.“Yang sabar, ya, Sayang,” ucap wanita berpashmina krem itu saat memeluknya singkat, sebelum membantu Lis turun.Aurel sebenarnya enggan melepas pelukan Rita. Wangi yang dipancarkan wanita itu mirip sekali dengan Sukamto.Tapi, Rita malah melepaskan pelukannya dan beralih pada Lis, yang menangis dalam pelukannya.Fathan mengendari mobilnya sendiri. Dia berada tepat di belakang ambulans. Ridho hadir juga di sana, hanya mengenakan kaos hitam, dan menangkap kunci yang dilemparkan oleh bosnya itu.Semalaman dia menemani Aurel dan Lis menjaga Sukamto. Bahkan, dia juga sempat membimbing talqin di telinga kanan Sukamto, sementara Aurel membacakan ayat kursi
Saat melewati kedua sosok yang tengah berpelukan itu, Davina tidak menoleh lagi. Baginya sudah cukup yang dia lihat hari ini. Cukup untuk menyakiti hatinya.Tujuannya hanya satu, keluar dari tempat ini sekarang juga. Bahkan, dia juga tak menyapa atau sekadar berpamitan pada Lis, yang menatapnya dengan bingung bercampur heran. Ya, kenapa kakak ipar dari anaknya itu sama sekali tidak menghiraukannya? Aneh sekali kalau Davina tidak bisa melihatnya. Tapi, yang lebih mengundang tanya adalah tatapan mata Davina yang kosong.Lis hendak memanggil, tapi suara paraunya tertelan oleh dengung para ibu-ibu yang asyik bercerita di ruangan ini. Davina pun hanya lewat begitu saja dari hadapannya.Sedangkan Fathan yang ada di luar, masih menunggu istrinya untuk ikut memandikan jenazah sang ayah. Dia hendak masuk ke dalam terpal itu ketika seorang bapak memanggilnya, sepertinya salah satu warga di sini. Akan tetapi, tanpa sengaja dia melihat Davina datang mendekat. “Kak?”“Pinjam kunci mobil,” pinta Da
“Kami menemukan nomor ini dipanggilan darurat. Kalau boleh tahu ini dengan siapa?”“Sa ... Saya suaminya,” jawab Rafa terbata. Dalam satu kejapan mata, kesadarannya kembali. “Ini di rumah sakit mana?!”Mendengar ucapan Rafa itu, Ridho sontak menegakkan punggungnya. Pikirannya berusaha menerka apa yang terjadi.Seraya mendengar jawaban nama rumah sakit tempat istrinya berada, Rafa bergerak menuju pintu ruang tamu. Kebetulan saat itu Surtiwi baru saja turun dari ojek online yang ditumpanginya.“Pak?” panggilnya pelan ketika hendak berpas-pasan dengan Rafa.Rafa menutup panggilan itu dan menggenggam erat ponselnya. Wajahnya berubah pucat pasi.“Tolong bawa anak-anak pulang. Saya mau pergi dulu.” Rafa tidak memberi kesempatan Surtiwi untuk menyahut, walaupun asisten rumah tangganya itu sudah membuka mulut.Surtiwi hanya bisa memandangi punggung Rafa, tapi tuannya itu kembali lagi. Seperti kelupaan sesuatu. Dan, linglung seperti ini bukan sikap Rafa banget.“Ya, Pak?”“Kalian langsung pula
“Fathan.”Baru saja usai acara tahlilan tujuh hari sejak kepergian Davina. Sebagian besar para undangan sudah angkat kaki dari rumah sejak satu jam yang lalu.Rafa memanfaatkan keadaan ini untuk berbicara berdua dengan adik ipar, yang menghindari bertemu dengannya beberapa hari ini.Dari lubuk hatinya yang terdalam, Rafa kesal melihat tingkah kekanak-kanakan Fathan itu. Seolah hanya dia seorang yang kehilangan. Padahal, Rafa juga merasakan yang sama. Bukan hanya kehilangan seorang istri, tapi juga ibu untuk kedua anak kembarnya.Langkah Fathan terhenti. Dia tahu, kalau saat ini menoleh maka menemukan sosok Rafa di belakangnya. Karena itu dia enggan untuk berbalik. Dia masih tak nyaman jika harus melihat langsung mata Rafa. Makanya, dia hanya berdiri diam memunggungi Rafa.“Mulai besok, aku akan mempersiapkan kepindahanku dan Si Kembar. Kami akan pindah setelah 40 hari.” Rafa menunggu reaksi Fathan, namun lelaki yang dua tahun lebih muda darinya itu hanya bergeming. “Aku hanya mau memb
“Mertua Fathan meninggal, sebaiknya kita bergegas ke sana,” ajak Haris pagi itu. Dia sudah bilang pada istrinya kalau mau melayat jam enam pagi ini, tapi tidak kunjung kelihatan tanda-tanda kalau Nirmala mau ikut dengannya.Wanita bermata hijau kecoklatan itu, memperbaiki letak ujung pashminanya sambil melihat bonsai kesayangannya. Jemarinya yang satu lagi memegangi gunting bonsai. “Kamu aja yang pergi, deh. Rumahnya kecil. Pasti panas banget di sana.”“Ma, ini sudah jam berapa. Sudah siang banget. Kita itu seharusnya yang datang paling awal, bukannya yang paling telat seperti ini. Ngga enak sama Fathan.”Nirmala meletakkan guntingnya dengan hentakan keras di atas meja. Matanya menyinarkan kesinisan. “Bentar, deh, Mama siap-siap!”Haris mengikuti arah kepergian istrinya itu, lalu duduk di kursi yang tadi diduduki Nirmala. Dia, sih sudah siap. Sudah mengenakan kemeja dan celana dasar dengan warna senada dengan kopiahnya—hitam.Ketika ponselnya bergetar, Haris mengambilnya. Ternyata seb
Wanita muda berkulit kuning langsat berada di tengah ruang tamu milik keluarga almarhum Sukamto. Selendangnya tergeol-geol, menyangkut, di cepolan rambut panjangnya ketika tangannya sibuk menyapu karpet dengan lidi.Meskipun dia seorang wanita karir, yang jabatannya sebagai asisten manajer termasuk lumayan, Putri tetap mau melakukan pekerjaan kasar seperti ini. Sudah didikan ibunya sejak kecil. Awalnya dia tidak tahan karena omelan dari sang ibu kalau hanya berdiam diri, namun sekarang tubuhnya akan canggung sendiri kalau hanya diam saja ketika orang lain bekerja.Tamu-tamu yang berdatangan untuk mendoakan almarhum Sukamto di malam ke-40 kepergiannya, sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu. Hanya tersisa keluarga besar saja yang duduk di luar sana.Setelah membantu memilah sampah dan piring kotor, Putri ikut membantu membersihkan ruangan.“Put. Sini, biar aku lanjutin. Kamu capek udah ngerjain dari tadi, kan?”Putri menepis tangan Aurel, yang hendak mengambil alih sapu lidi. “Ngga
“Lia, aku temenin, yah,” tawar Putri pas Subuh tadi. Kebetulan dia masih menginap di rumah Aurel. Kedua orang tuanya juga masih ada di sana. Karena ini hari Sabtu, dia juga memang libur weekend. Kemungkinan baru pulang besok, Minggu sore.Aurel masih ingat kalau menggeleng sebagai jawaban dari kebaikan Putri itu. Saat ini, dia sudah berada di dalam taksi yang sedang mengantarkannya ke alamat yang tertera. Tulisan balok besar di dekat gerbang menunjukkan bahwa mereka hendak sampai di perumahan Atlanta.Menduga apa maksud dari foto itu sudah Aurel lakukan sejak melihatnya. Tapi, dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri. Walaupun banyak penolakan yang terlontar dari benaknya.Sang sopir taksi tampak sesekali melihat ke arah secarik kertas yang diberikan Aurel sejak masuk ke mobil ini, seraya memelankan laju mobil. Dia mencari-cari di mana keberadaan Blok I tersebut.Seketika mata Aurel membesar. Punggungnya yang tadi menyender di kursi langsung tegak. Dagunya yang tadi tertopang tang
Sangat sepi keadaan rumah setelah usai acara tahlilan 40 hari kepergian Davina. Lebih terasa karena sudah tidak ada derai tawa si kembar, yang menghiasi setiap sudut rumah.Karena tahu seperti apa keadaan di luar sana, makanya Fathan memilih betah untuk tiduran di dalam kamar.Sebenarnya bermalas-malasan seperti ini bukanlah prinsip hidupnya. Namun semenjak kehilangan Davina, Fathan tidak semangat untuk melakukan apapun. Terlebih lagi mengingat pertengkarannya dengan Aurel, yang sepertinya akan sulit untuk diperbaiki.Jemari Fathan meraba-raba ke arah nakas. Ponselnya bergetar barusan. Ketika berhasil diraih, tidak dilihatnya lagi layar ponsel, langsung ditempelkan saja ke telinga.“Ya?”Tidak ada jawaban untuk beberapa detik. “Bapak baru bangun?” Ternyata Ridho. Sekretaris Fathan itu melirik ke arah jam dinding. Sudah hampir jam setengah sepuluh pagi. Tapi, Ridho hapal sekali suara atasannya ini. Kalau sudah sadar sepenuhnya, suaranya pasti lebih tegas.“Bukan urusanmu,” sergah Fatha
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada