Sudah hampir satu bulan Feny menghabiskan hari-harinya di Muui sebagai staff front office. Yah, meskipun jarang berada di bagian kasir, tapi dia yang menyambut customer juga melayani mereka.Bertemu Fathan? Oh, sudah bukan masalah besar lagi bagi Feny. Dia sudah hapal setiap kali lelaki itu akan tiba di Muui. Feny langsung melipir ke ruangan dalam melalui pintu staff only itu. Semulus mungkin gerakannya menuju ke pintu itu, dijamin tidak akan ada yang menyadari perubahan sikapnya itu. Terbukti, sampai saat ini Fathan belum memergoki keberadaannya.Namun, siang ini tanpa Feny pernah pikirkan sebelumnya, ada tamu yang lebih mengejutkan. Mungkin karena yang ada di otaknya hanyalah cara untuk menghindari Fathan makanya orang yang baru saja membuka pintu itu bisa ada di sini. Dia tidak sempat mengatur strategi supaya mereka tidak bertemu.“Ma-ma. Ma-ma.” Suara itu terbata memanggil orang yang melahirkannya. Cukup nyaring, bahkan beberapa pelanggan menoleh dan merasa gemas ketika tahu siapa
Feny menatap jam di dinding, entah untuk yang keberapa kalinya saking seringnya. Lalu, pada sosok Aurel yang tengah berbincang dengan Lita di sudut kiri ruangan sambil melihat ke arah luar dinding kaca.Feny tahu apa yang mereka bicarakan. Dia sempat mendengar sekilas sebelum Aurel dan Lita menuju ke tempat berdiri sekarang ini. Mereka tengah menimbang apakah harus membuat cafe kecil di luar karena seringkali ada yang hanya mengantar dan segan untuk masuk. Paling tidak rencananya mau menjual minuman di luar sana.Entah kapan pembicaraan mereka usai karena sebentar lagi jam enam sore dan seharusnya itu adalah waktunya Fathan berada di sini.Sementara itu, Feny sendiri terjebak membantu Susi—Sang Kasir Cekatan— mengemas belanjaan customer.‘Duh, lama banget ini customernya kelar belanja. Gimana kalau Fathan datang?’ rutuk Feny agak kesal pada seorang ibu, yang anaknya bolak-balik mengambil kue.Benar saja, sedetik kemudian pintu terbuka.‘Fathan!’ teriak benak Feny memperingatkan.Fatha
Terlintas bayangan wajah Aurel saat Fathan memejamkan matanya. Akan tetapi, kehangatan terlanjur menjalar di dada hingga menimbulkan desiran kuat.Fathan malah kian menjadi, apalagi ketika Feny juga perlahan membuka mulutnya, lantas mengikuti. Jemarinya mencengkeram rahang wanita itu seolah tidak mau melepaskannya.Bagi Feny, bukan hanya wajah Aurel saja yang terlintas, tapi juga Ghani. Air matanya menetes tapi tetap ingin melanjutkan kesalahan ini. Ya, dia tahu kalau ini tindakan yang sangat berisiko. Namun, dia juga enggan melepaskan keterikatan ini.Bunyi klakson mobil yang kebetulan lewat mengagetkan keduanya, lantas sama-sama melepaskan diri meskipun tidak terlalu jauh.Menyadari ada yang mengalir di pipi wanita hadapannya itu, Fathan pun mengusapnya lembut. “Aku tidak akan meninggalkanmu, juga Ghani.”Feny tidak menjawab, entah sebuah anggukan atau isyarat apapun kalau mengiyakan janji Fathan itu. Dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela sambil menggigit bibir bawahnya. Sek
Suara masjid di ujung komplek masih terdengar cukup jelas. Baru saja Imam selesai membacakan Surah Al-Fatihah di rakaat kedua, namun Aurel malah melipat mukena di rumah. Dia baru saja usai melaksanakan Sholat Isya. Tadi, begitu adzan selesai berkumandang, Aurel sudah siap hendak menunaikan kewajibannya sebagai umat Islam itu.Ponsel di atas nakas, yang masih tersambung dengan kabel charger tiba-tiba berdering sekaligus bergetar.Tanpa ada pikiran jelek atau apapun, Aurel berjalan mendekat setelah meletakkan mukena di dalam closet.Aurel melepas kabel charger, baru meraih ponsel itu, lalu duduk di tepi tempat tidur. “Ibu?” tanyanya bergumam.“Ya, Bu?” Tidak ada alasan bagi Aurel untuk tidak menerima panggilan itu. Semenjak menikah dengan Fathan, Ibu jarang meneleponnya. Paling, Aurel yang menghubungi duluan.“Lia, Ibu sekarang di rumah sakit.”Kening Aurel mengernyit. “Di rumah sakit? Ngapain, Bu?” Seolah lupa ini jam berapa, dia melirik jam digital di layar ponsel. “Malem begini, Bu?”
Aurel menoleh ke kanan dan kirinya, bahkan ke bagian belakang, tapi sosok yang dicari sudah menghilang. Dia pun bangkit berdiri, lalu mengambil langkah menuju ke luar ruangan dan terus menuju pintu utama IGD.Keningnya mengernyit sebelum akhirnya bisa melihat dengan jelas. Hatinya berdesir sekaligus merasa lega melihat Fathan berada di sana.Aurel pun bergegas menghampirinya.Sementara itu, Fathan dan Rafa masih terlibat dalam adu tatap. Tidak ada yang berniat mengalah.“Ada apa?”Serentak keduanya saling memalingkan tatapan begitu mendengar suara Aurel.Fathan menyambut tangan Aurel, sambil tersenyum tipis. “Ngga, ini, Rafa sudah mau pamit pulang katanya. Ya, kan, Fa?”Adik iparnya itu jelas berbohong, karena tidak ada kata-kata itu yang keluar dari mulut Rafa. Namun, Rafa tahu jawaban yang terbaik. “Iya. Aku tadi cuma mau mengantar Aurel karena ngga ada yang nemeninnya. Kamu masih sibuk banget di kantor, 'kan? Ngga mungkin, 'kan dari tempat lain?”Mata Rafa yang melotot sekilas di
Mobil ambulans berhenti tepat di depan pagar rumah. Sudah banyak sekali tetangga maupun kerabat yang berkumpul. Bapak-Bapak di bagian luar, sedangkan Ibu-Ibu di bagian belakang. Sukamto memang terkenal sangat ramah di lingkungan komplek ini.Pintu ambulans terbuka dari luar. Oleh Tante Rita, adik kandung Sukamto, yang membantu Aurel turun.“Yang sabar, ya, Sayang,” ucap wanita berpashmina krem itu saat memeluknya singkat, sebelum membantu Lis turun.Aurel sebenarnya enggan melepas pelukan Rita. Wangi yang dipancarkan wanita itu mirip sekali dengan Sukamto.Tapi, Rita malah melepaskan pelukannya dan beralih pada Lis, yang menangis dalam pelukannya.Fathan mengendari mobilnya sendiri. Dia berada tepat di belakang ambulans. Ridho hadir juga di sana, hanya mengenakan kaos hitam, dan menangkap kunci yang dilemparkan oleh bosnya itu.Semalaman dia menemani Aurel dan Lis menjaga Sukamto. Bahkan, dia juga sempat membimbing talqin di telinga kanan Sukamto, sementara Aurel membacakan ayat kursi
Saat melewati kedua sosok yang tengah berpelukan itu, Davina tidak menoleh lagi. Baginya sudah cukup yang dia lihat hari ini. Cukup untuk menyakiti hatinya.Tujuannya hanya satu, keluar dari tempat ini sekarang juga. Bahkan, dia juga tak menyapa atau sekadar berpamitan pada Lis, yang menatapnya dengan bingung bercampur heran. Ya, kenapa kakak ipar dari anaknya itu sama sekali tidak menghiraukannya? Aneh sekali kalau Davina tidak bisa melihatnya. Tapi, yang lebih mengundang tanya adalah tatapan mata Davina yang kosong.Lis hendak memanggil, tapi suara paraunya tertelan oleh dengung para ibu-ibu yang asyik bercerita di ruangan ini. Davina pun hanya lewat begitu saja dari hadapannya.Sedangkan Fathan yang ada di luar, masih menunggu istrinya untuk ikut memandikan jenazah sang ayah. Dia hendak masuk ke dalam terpal itu ketika seorang bapak memanggilnya, sepertinya salah satu warga di sini. Akan tetapi, tanpa sengaja dia melihat Davina datang mendekat. “Kak?”“Pinjam kunci mobil,” pinta Da
“Kami menemukan nomor ini dipanggilan darurat. Kalau boleh tahu ini dengan siapa?”“Sa ... Saya suaminya,” jawab Rafa terbata. Dalam satu kejapan mata, kesadarannya kembali. “Ini di rumah sakit mana?!”Mendengar ucapan Rafa itu, Ridho sontak menegakkan punggungnya. Pikirannya berusaha menerka apa yang terjadi.Seraya mendengar jawaban nama rumah sakit tempat istrinya berada, Rafa bergerak menuju pintu ruang tamu. Kebetulan saat itu Surtiwi baru saja turun dari ojek online yang ditumpanginya.“Pak?” panggilnya pelan ketika hendak berpas-pasan dengan Rafa.Rafa menutup panggilan itu dan menggenggam erat ponselnya. Wajahnya berubah pucat pasi.“Tolong bawa anak-anak pulang. Saya mau pergi dulu.” Rafa tidak memberi kesempatan Surtiwi untuk menyahut, walaupun asisten rumah tangganya itu sudah membuka mulut.Surtiwi hanya bisa memandangi punggung Rafa, tapi tuannya itu kembali lagi. Seperti kelupaan sesuatu. Dan, linglung seperti ini bukan sikap Rafa banget.“Ya, Pak?”“Kalian langsung pula
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada