Meskipun sibuk dengan seabrek pekerjaan yang sudah menjadi makanan sehari-hari, Sandi tetap menghargai hubungan persaudaraan yang terjalin antara Almira—istrinya dengan Sandra—sang mantan pacar.Aneh. Padahal jika orang lain yang berada dalam situasi ini, maka orang itu tentu akan memilih untuk menghindarinya saja, atau memilih untuk membangun tembok tinggi-tinggi agar kesempatan bersinggungan langsung terhadap masa lalu tak pernah ada. Namun sepertinya itu tidak berlaku pada Sandi, yang memilih untuk tetap mengikuti permintaan sang isteri. Atas dasar kasihan serta kemanusiaan, Sandi pun pada akhirnya mengalah. Menurunkan egonya demi keberlangsungan hidup Sandra yang dia pikir sedang membutuhkan dukungan dari orang sekitarnya. Nyatanya, ditinggal seseorang apalagi itu suami yang baru dinikahi bukanlah hal yang mudah. 'Akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Gak ada teman yang bisa aku ajak berbagi. Biasanya Mas Danu selalu menjadi pendengar walaupun dia lelah setelah seharian bekerja
"Kenapa kita ke sini, Mas?" Sandra bertanya ketika roda empat milik Sandi berhenti di parkiran sebuah restoran. "Kita makan dulu, gak apa-apa 'kan?" sahut Sandi lalu menunjukkan jam di pergelangan tangan pada Sandra. "Udah waktunya makan siang." Dia lantas melepas pengait sabuk pengaman dari pinggang.Sandra mengerti, kemudian melakukan hal yang sama seperti Sandi. Namun sepertinya pengait sabuk tersebut agak macet, dia sampai harus susah payah. "Kok, susah, ya? Tadi kayaknya enggak, deh?" Mendengar Sandra menggumam, Sandi yang hendak turun dari mobil pun urung melakukan. "Kenapa, San?" Dia memerhatikan perempuan yang siang ini mengenakan celana jeans dan blouse lengan panjang warna merah terlihat sedang kesulitan. "Gak tau, nih, Mas. Macet." Susah payah Sandra mencobanya, tetapi tetap saja tidak bisa. Jari-jarinya sampai sakit.Melihat perempuan itu sedang kesulitan, tentu Sandi tidak bisa tinggal diam. Niat membantu pun langsung dia tawarkan. "Boleh aku bantu?" Tawaran Sandi ten
Sandi menutup laptopnya setelah membalas surel yang masuk dari pihak perusahaan yang ingin melakukan kerja sama dengan perusahaannya. Tepatnya Minggu depan mau tidak mau dia harus pergi ke luar kota untuk meninjau tempat yang akan dijadikan sebagai pembangunan kompleks perumahan elit. Sebagai Presdir utama, Sandi tak serta merta menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada orang lain. Bukannya dia tidak percaya pada orang lain. Sandi lebih suka turun tangan sendiri sebab dia bisa lebih tahu kekurangan dari proyek tersebut. Karena itu dia sangat membutuhkan keberadaan sekretaris dan juga asisten. Dengan keberadaan mereka Sandi akan lebih maksimal dalam mengurus perusahaan propertinya.Itu menjadi salah satu alasannya pula tidak dapat menolak ide Almira agar mempekerjakan Sandra sebagai sekretaris. Dengan pertimbangan yang cukup lama akhirnya Sandi pun menyetujui ide tersebut. Tentu saja dengan berat hati. Sandi mengatakan jika Sandra bisa menjadi sekretarisnya selama masa cuti melahirkan
Tubuh kekar itu kini hanya berbalut jubah mandi warna putih, dengan rambut basah menyisakan tetes-tetes air yang membuat lelaki menawan itu makin terkesan seksi. Wajahnya juga terlihat segar. Sandi melangkah masuk ke ruang ganti, lalu menggeser pintu lemari yang didominasi kaca seluruhnya dan mengambil satu stel baju tidur warna abu. "Mas? Mas Sandi?" Samar-samar telinganya mendengar suara perempuan yang tidak terdengar kabarnya seharian ini. "Aku di sini, Al," sahut Sandi sambil mengenakan satu persatu piyama tidurnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat, tak lama kemudian muncullah sosok cantik bertubuh mungil di hadapan Sandi. "Mas!" Setengah berlari Almira menghampiri sang suami, lalu menghambur ke pelukan lelaki yang begitu dia cintai. "Kangen ...." rengeknya, sambil mengendus-endus aroma sabun yang berpadu dengan wangi shampo di permukaan kain abu itu.Sikap manja sang istri tentu disambut senyuman oleh Sandi. Kekesalan yang sempat hinggap menguap berganti perasaan bahagia
"Kusut banget itu muka? Kenapa, Beib? Apa lagi ada masalah sama suami lu? Gue perhatiin dari tadi lu gak kayak biasanya." Khanza nyeletuk sesuai dengan apa yang dia lihat saat ini, begitu sahabatnya itu masuk ke Butik miliknya satu jam yang lalu. Aura keceriaan pada perempuan manis itu menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak lelaki jadi-jadian tersebut. Baru kali ini dia melihat sosok Almira yang berbeda dari biasanya. Almira nampak menghela panjang napasnya, meraup wajahnya dengan telapak tangan, kemudian menyugar rambut hitamnya ke belakang. "Gue kehilangan lingerie, Za," adunya seraya menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Kakinya menyilang sementara kedua tangannya dilipat di dada. Manik Khanza yang memakai softlens warna abu itu sontak terbelalak, beranjak dari kursinya lantas ikut duduk di samping Almira. "Lupa naruh kali, lu? Lagian gimana ceritanya lingerie lu bisa ilang. Kan itu benda keramat, Al. Gila kali ada yang nyuri." "Gue udah tanya ke asisten rumah tangga yang
Hari ini adalah hari keberangkatan Sandi ke Jakarta, dan Almira terlihat sedang sibuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa suaminya itu untuk sepekan ke depan. Mulai dari perlengkapan bekerja serta perlengkapan sehari-hari selama berada di sana. Semuanya dipersiapkan secara detail agar Sandi tidak kesulitan ketika hendak menggunakannya."Udah, Al, sisanya biar aku aja yang urus. Kamu siap-siap sana. Katanya siang ini ada pemotretan. Nanti kamu telat, loh." Sandi yang baru saja keluar dari kamar mandi melangkah menghampiri sang isteri. Dia sudah terlihat segar dan wangi. "Ini juga udah selesai, kok, Mas." Almira menutup resleting koper warna biru muda itu, lalu diambil alih oleh Sandi. "Biar gini aja, Al. Nanti Pak Budi yang ngurus." Koper berukuran sedang itu Sandi letakkan di sudut pintu kamarnya. Setelah itu dia berjalan menghampiri Almira. "Kamu selesai syuting kapan, Al?" tanyanya sembari ikut duduk di tepi ranjang. "Hmm ... dua hari lagi selesai, kok, Mas. Kenapa memang?"
"Apa? Kamarnya tinggal satu?" Sandi cukup kecewa mendengar ucapan resepsionis di hadapan. "Iya, Pak. Maafkan atas ketidaknyamanannya." Resepsionis berseragam hotel terbaik di Jakarta itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan raut tidak enak.Sandi menggeleng tidak percaya bila hotel sebagus dan semewah ini sampai kehabisan kamar. Bukankah dia sudah lebih dulu me-reservasi kamar? Tetapi, bagaimana bisa ada kejadian semacam ini."Bukankah sekertaris saya sudah memesan kamar sebelumnya?" singgung Sandi, melirik ke arah Sandra yang berdiri di sampingnya tanpa bersuara sedari tadi. "Benar 'kan, San?" ulangnya, yang spontan membuat Sandra gelagapan.Kalimat sindiran tamu di hadapan jelas merubah ekspresi wajah resepsionis perempuan yang rambutnya digelung ke belakang itu. "Maaf, Pak. Sebelumnya kami sudah mengabarkan pada sekretaris Anda, jika hotel kami sedang penuh dan hanya tersisa satu kamar VVIP." Jelas saja kening Sandi mengerut tak mengerti. "Apakah itu benar, San?" tun
Hari ini kesibukan Almira benar-benar sangat padat nyaris membuat istri Sandi itu kelelahan bahkan sampai melewatkan makan malam. Sepulang dari tempat pemotretan, Almira diminta sang manager untuk datang ke tempat agency. Mau tidak mau meski tubuhnya terasa lelah luar biasa, Almira tetap memenuhi permintaan tersebut karena dia harus bersikap profesional biar bagaimanapun caranya. Risiko yang harus dia terima sejak memutuskan masuk ke dunia perindustrian permodelan. Berkat profesinya juga, Almira dapat dikenal banyak orang dari berbagai kalangan. Tawaran selalu datang padanya hampir setiap hari. Menginginkan dirinya menjadi model dari produk mereka serta brand ambassador produk kecantikan cukup ternama. "Beib, akhirnya dateng juga. Sini duduk." Monica yang selama ini mengatur jadwal Almira menepuk sisi sofa yang kosong, begitu melihatnya tiba di ruangan serba merah muda itu."Hai, Al!" Sosok lelaki yang duduk berhadapan dengan Monica mengangkat tangan, menyapa Almira. Senyumnya begitu
—Tuhan itu Maha Adil. Tuhan itu Maha Penyayang—***Setelah melalui serangkaian panjang acara ijab qobul yang dilanjutkan dengan resepsi, kini waktunya untuk semua orang beristirahat. Pernikahan yang digelar cukup sederhana itu dilangsungkan di rumah orang tua Almira. "Aaqil sama Aleena bobok sama suster dulu, ya, malam ini." Mama Rini berkata pada kedua cucunya. Perempuan paruh baya itu juga menganggap Aleena seperti cucunya sendiri. "Kenapa bobok sama Suster, Eyang?" Aleena berceloteh sambil mengunyah. "Iya, Eyang. Kenapa bobok sama suster? Aaqil sama Aleena mau bobok sama Ibu." Aaqil menimpali, melirik sang ibu yang duduk di seberang sofa. "Gak apa-apa 'kan, Bu?" Bocah laki-laki itu lalu berlari menghampiri Almira dan langsung duduk di pangkuan. Almira tentu kebingungan untuk menjawabnya. "Hmm ... Ibu ..." Maniknya melirik Erland yang kebetulan ada di samping papanya. Erland paham dengan situasi sekarang dan langsung tanggap menimpali. "Aaqil sama Aleena kalau mau bobok sama Ib
"Menikah?" Mama Rini nyaris melotot setelah mendengar penuturan Erland barusan. Dia tidak menyangka jika pemuda yang dia kenal sebagai sahabat putrinya itu, ternyata memiliki niat yang sangat baik. Berbeda dengan Mama Rini yang sedikit terkejut, Pak Kusuma justru terlihat tenang dan tak banyak berkomentar. Beliau hanya menghela napas sambil menelisik sepasang manik Erland yang memancarkan ketulusan. Selama ini Pak Kusuma juga diam-diam sudah mengamati sikap dan perilaku sahabat anaknya itu. Kedekatan antara Erland dan Almira memang terlihat sangat tulus. Apalagi, Aaqil yang sepertinya sudah sangat merasa nyaman dengan pemuda sederhana itu. Pak Kusuma cukup salut dengan gaya hidup Erland yang tak pernah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Erland tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Tante. Saya harap Tante mau mendukung niat saya ini." "Apa Mira udah tau?" tanya Mama Rini.Erland menggeleng. "Saya belum bicara sama Almira, Tante. Saya memutuskan untuk meminta persetujuan Tante lebih dul
"Ibu ...."Seorang bocah laki-laki yang sangat tampan berlarian ketika baru saja masuk ke dalam rumahnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun itu langsung mencari keberadaan sang ibu. Merasa terpanggil, perempuan berpakaian syar'i yang berada di kamarnya itu pun bergegas menemui sang anak. Perempuan yang sejak empat tahun lalu memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan karier cemerlangnya. "Assalamualaikum ...." ucap Almira saat berpapasan dengan putranya. "Wa'alaikumsalam ...." Sang anak menjawab sambil memasang raut tak berdosa serta senyum yang menggemaskan. "Maaf Ibu, Aaqil lupa ucap salam," cicitnya sambil menarik kedua telinganya sendiri. Melihat tingkah lucu anaknya, Almira tentu urung marah. "Kenapa Aaqil lupa terus, ya? Padahal ibu udah sering loh ingetin Aaqil." Tangan Almira meraih tangan kecil putra satu-satunya yang dia beri nama Aaqil Umais, lalu mengajaknya ke dapur. "Aaqil juga gak tau, ibu. Kenapa Aaqil sering lupa. Lain kali, Aaqil gak bakalan lupa, kok .... Se
Dua bulan berlalu semenjak kejadian mempermalukan Sandi dan Sandra, hidup Almira menjadi lebih tenang. Pasalnya, dia tak lagi harus berpura-pura menjadi istri yang bahagia di hadapan kedua orang tuanya dan mertuanya. Semenjak itu pula, Almira mencoba lebih tegar lagi demi calon buah hati yang sebentar lagi lahir ke dunia. Diperkirakan, Almira akan melahirkan Minggu depan. Segala persiapan pun telah dia lakukan. Namun, ada satu hal yang harus Almira selesaikan terlebih dahulu sebelum dia benar-benar bebas dari pernikahan toxic yang selama bertahun-tahun dia jalani bersama Sandi. Dengan bantuan pengacara, perceraian Almira akhirnya diproses secara kilat. Meskipun dia tengah berbadan dua, Almira tetap meneruskan niatnya tersebut. Dan pada hari ini adalah hari di mana Almira akan melepas statusnya sebagai istri dari Sandi Himawan. Sidang perceraiannya akan dilaksanakan di pengadilan negeri dan akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Semuanya akan benar-benar berakhir...tok! tok!"Al, kam
Almira membeku di tempatnya, tepat saat sang ibu mertua beranjak dari duduknya untuk menghampiri Sandi dan Sandra yang baru saja hendak memilih tempat duduk. Perempuan itu masih tak percaya jika Mama Laila akan memergoki secara langsung kelakuan anak laki-lakinya. "Sandi!" Mama Laila menyebut nama sang anak dengan nada cukup tinggi. Seketika dia menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Semua mata tertuju pada ibu mertua Almira itu. "Mama?" Sandi urung menarik kursi, sebab keterkejutannya yang melihat sang ibu sedang berdiri di hadapan. Apalagi cara menatap Mama Laila yang nampak marah. Kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu sang ibu di tempat ini? pikir Sandi. Pun sama halnya dengan Sandra, yang terpaku di tempatnya dengan raut pucat pasi. Perut buncitnya dia usap sekilas seraya melirik Sandi yang tak bergeming di sampingnya. Mama Laila maju selangkah, mendekati Sandi. Keberadaan Sandra di sampingnya membuat perempuan paruh baya itu memasang raut sinis. "Apa-apaan ini, Sandi?
"Mira!" Langkah Almira sontak berhenti, saat seseorang memanggil dan menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang. "Mama?" Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum kepada menantunya. "Tuh, kan ... Mama gak salah orang. Ternyata beneran kamu, Mira." Almira memeluk Mama mertuanya yang terkenal baik dan sayang padanya. "Ya Allah, Ma. Kok, bisa ketemu di sini, sih ...." Mama Laila membalas dengan hangat pelukan Almira. "Namanya juga udah diatur sama yang di atas, ucapnya sambil mengurai pelukan, dan mengusap perut buncit istri anaknya itu. "kamu ke sini sama siapa, Mir? Sama Sandi, ya?" Pertanyaan mama Laila membuat Almira berpikir keras. Apa tidak masalah—jika dia mengatakan bahwa dirinya pergi ke tempat ini bersama Erland? "Hmm ... Mira ke sini sama—" Tiba-tiba ponsel Almira berdering, kemudian dia buru-buru mengambilnya dari tas selempang bawaannya. "bentar, Ma." Mama Laila mengangguk, menunggu Almira menjawab panggilan telepon tersebut. Nama yang tertera di
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y