Setelah diantar Chiko menuju tempat kerjanya, Zora sedikit kebingungan karena melihat keadaan ruangan yang sangat jauh berbeda dari ekspetasinya.
Tidak lama kemudian seorang wanita berpakaian OB masuk. Jika dilihat dari wajahnya, mungkin wanita itu berumur sekitar setengah abad.
"Kau, sini!" Tunjuk ibu itu menunjuk tepat kearahnya.
"Aku?" tanya Zora seraya menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, kau pikir ada orang lain di sini?!" ketusnya.
Wanita itu memperkenalkan dirinya tanpa berjabat tangan. Dengan masih memasang wajah bingung, Zora tersenyum kikuk lalu memperkenalkan dirinya juga.
Ia menatap Zora dari atas ke bawah dan tak lama wanita itu mendengus. "Kau ini mau bekerja atau apa?" tanyanya yang membuat Zora semakin dibuat bingung.
Apa yang salah dengan pakaiannya? Zora pikir dia telah memakai pakaian yang pantas.
Wanita yang menyebut namanya Tini itu hanya menggelengkan kepalanya lalu sedetik kemudian ia pergi untuk mengambil sesuatu di dalam ruangan kecil di ruangan itu.
Tidak lama kemudian dia kembali dan langsung memberikan barang-barang itu kepada Zora.
Ada alat pel, sapu, alat pembersih kaca, ember, dan sebuah pakaian yang sama dengan yang Tini pakai. Untuk apa barang-barang ini diberikan padanya? Pikir Zora.
"Maaf, kenapa Ibu memberiku ini?" tanya Zora sudah sangat bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Aish!
Kenapa Pak Chiko merekomendasikan wanita bodoh sepertimu," cibir Tini."Apa?!" pekik Zora. Dia benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar.
Jadi maksudnya ia bekerja sebagai OB di sini? Pantas saja ibu itu menatap aneh padanya, pikir Zora.
"Cepat ganti pakaianmu. Setelah itu buatkan kopi untuk bos," perintah Tini dengan ketus lalu pergi meninggalkan Zora yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Chiko!!" teriak wanita itu seraya menghentak-hentakkan kakinya kesal.
Jika saja ia tau pekerjaan yang di maksud sahabatnya itu adalah sebagai OB, mungkin ia tidak akan mau menerimanya. Bagaimanapun ia adalah anak tunggal Geraldi, CEO sekaligus pemilik dari perusahaan besar LV Group. Sama saja ini adalah penghinaan besar untuknya.
"Zora! Cepat!!" bentak Tini.
Belum juga satu hari wanita itu bekerja, tapi sudah membuat Tini naik darah.
"I-iya." Pada akhirnya tetap saja Zora menurut lalu bergegas menuju dapur yang sudah disediakan.
***
Sudah sekitar lima menit wanita itu hanya diam memandangi dispenser dan toples-toples yang berjajar. Dia bingung harus mulai dari mana. Selama hidupnya, ini pertama kalinya ia akan membuat minuman berkafein itu.
"Astaga! Apa yang kau lakukan?" tanya Tini dengan gemas.
Awalnya ia berniat ingin memeriksanya karena sudah beberapa kali bosnya itu meminta kopinya yang tak kunjung datang. Dan benar dugaannya kalau wanita itu belum juga membuatkannya.
Zora hanya mengusap tengkuknya, ia benar-benar bingung harus berbuat apa.
Jika dia jujur tidak bisa menyeduh kopi, pasti wanita itu akan sangat marah dan bisa saja Zora akan kehilangan pekerjaannya sekarang juga.
Tunggu! Bukankah tadi jelas-jelas ia tidak ingin bekerja sebagai OB? Lantas untuk apa sekarang ia takut jika dipecat? Dasar Zora si wanita labil.
"Jangan bilang kau tidak bisa membuatnya?" tebak Tini penuh selidik.
Zora langsung mengerjap dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Bisa, kok."
"Ya sudah, cepat!" bentak Tini.
"Aish! Kau ini," lanjutnya menggerutu.
***
Huh!
Terdengar helaan napas dari bibir mungilnya. Zora memandang pintu di depannya, memikirkan bagaimana rupa dari bos yang katanya terkenal sangat galak.
Tua dan yang pasti kalah tampan dari ayahnya, pikir Zora.
Tok tok tok!
"Masuk," perintah seseorang di dalam sana.
Zora masuk dengan membawa secangkir kopi pesanan sang bos. Dia sedikit melongo saat melihat penampilan orang di depannya itu. Jauh berbeda dari dugaannya.
Satu kata untuk menjabarkannya, perfect.
"Apa yang kau pikirkan, Zora," gumamnya menepis pikiran yang bersarang dalam kepalanya.
"Ini kopinya, Pak," kata Zora sedikit kagok dengan panggilannya itu.
Bagaimana tidak, bos nya itu ternyata masih muda tidak seperti pikirannya. Mungkin usianya tidak jauh berbeda dengannya.
"Puih!
Kopi apa ini!" Eros menggebrak meja seraya menyemburkan kopi yang baru saja ia cicipi.Zora terperajat melihat kemarahan bos tampannya itu. Kedua kakinya sampai gemetaran saking takutnya.
Selama hidupnya baru kali ini ia dibentak seperti itu. Bahkan ayahnya yang tegas sekalipun tidak pernah membentaknya separah ini.
Eros menatap tajam ke arahnya. Zora setuju dengan omongan orang-orang di sini kalau bos nya itu sangat menyeramkan ketika marah.
Tok tok tok!
"Maaf, Pak," ucap Chiko langsung masuk tanpa dipersilakan terlebih dulu.
Dia takut jika wanita itu akan kena amuk bos nya. Dan benar kan? Wanita itu hampir saja menangis jika Chiko tidak cepat datang membantunya.
"Maaf, Pak, dia OB baru di sini," kata Chiko mengenalkan sahabatnya.
"Kenapa orang seperti dia bisa bekerja di sini?" cibir Eros masih menatap tajam ke arahnya. Sedangkan yang ditatap semakin menundukkan kepalanya.
"Saya benar-benar minta maaf, Pak." Bukan Chiko yang berbicara, melainkan wanita yang sekarang ini sudah menatapnya dengan ragu.
"Sekretaris Ciko, kau boleh kembali," ucap Eros.
Ciko memegang tangan Zora berniat akan membawanya ikut bersamanya, tetapi perkataan bos nya itu menghentikan langkah mereka.
"Dan kau tetap di sini," lanjut Eros menunjuk Zora.
"Tapi, P--"
"Sudah tidak apa-apa," bisik Zora pada Chiko.
Pria itu mengangguk lalu dengan langkah berat meninggalkan sahabat dan bos nya berdua.
Dengan susah payah Zora menelan salivanya ketika Eros berjalan mendekatinya. Dia bisa melihat jelas wajah tampan sekaligus tatapan menyeramkannya pada jarak sedekat itu.
"Jangan macam-macam," pekik Zora tertahan seraya terus melangkah mundur.
"Minum!" Perintah Eros memberikan gelas yang tadi wanita itu berikan padanya.
"Apa?" Tanya Zora seraya membuka mata rusanya lebar saking terkejutnya.
"Minum!" ulang Eros dengan tegas.
Zora menatap gelas kopi yang sudah berpindah tangan ke tangannya itu dengan perasaan takut.
"Minum!" bentak Eros pada akhirnya.
Dengan gerakan refleks wanita itu langsung meminumnya dan langsung menyemburkannya. Ekspresinya tidak berbeda jauh dengan ekspresi Eros tadi.
"Puih! Asin." Zora sampai bergidig membayangkan rasanya.
Eros memberikan senyum evil-nya. "Habiskan!"
Wanita itu membelalakan matanya dengan lebar. Apakah bos nya ini titisan iblis atau semacamnya? Kenapa dia begitu kejam? Sangat berbanding terbalik dengan wajahnya yang tampan bak dewa dari Yunani.
***
"Kau ini belum juga satu hari bekerja sudah membuat masalah dengan Pak Eros." Tini menunjuk-nunjuk wajah Zora seperti seorang senior kampus yang sedang mengospek juniornya.
"Maaf, mengganggu. Saya ingin berbicara dengan Zora," kata Chiko.
"Beruntung penyelamatmu datang. Kalau tidak ..." Tini menggantung kalimatnya dan berlalu pergi meninggalkan Zora dan Chiko berdua.
Zora menatap lirih ke arahnya dan tak lama kemudian dia mulai menangis dengan cukup keras seperti bayi. Dia bukan seorang wanita yang bisa menyembunyikan perasaannya. Jika sedih ia akan langsung menangis tanpa rasa malu.
"Cup cup cup." Chiko mengelus puncak kepala wanita itu dengan harapan tangisnya berhenti.
Namun, bukannya berhenti menangis, tangisan Zora malah semakin keras.
"Aku gak terima," kata Zora disela isak tangisnya.
"Apa kau ingin berhenti?" tanya Chiko dengan hati-hati karena takut menyinggung perasaannya.
"Enggak!" Pekik Zora seraya menyeka sisa air matanya.
Chiko mengangkat sebelah alisnya, kemudian sedetik kemudian ia tersenyum seraya menepuk pelan punggung tangan Zora. "Ok, apapun yang membuatmu nyaman."
"Makasih, Chiko," pungkas Zora.
Aku akan membalasmu, bos evil tampan.
"Astaga adik-adikku kenapa tampan sekali," kagum Naura melihat adik-adiknya begitu gagah dalam balutan jas.Hari ini adalah hari pernikahan Endru dan Kirana. Eros terlihat tampan seperti biasanya dalam balutan jas berwarna hitam. Sedangkan Endru juga tak kalah tampan dalam balutan jas berwarna putih senada dengan gaun sang mempelai wanita.Pernikahan yang digelar di sisi pantai dengan dihiasi oleh bunga mawar putih menjadi pilihan konsep pernikahannya. Sebuah impian Kirana sejak dulu bisa menikah dengan konsep seperti itu."Hey! Kenapa wajahmu murung begitu?" Tanya Naura seraya merapikan dasi si bungsu."Tidak apa-apa, aku hanya sedikit lelah," jawab Eros berusaha menarik sudut bibirnya.
Dreett.. Dreett.. "Mas, itu HP kamu bunyi," kata Naura yang sedang menghapus riasan wajahnya. Dreett.. Dreett.. "Siapa sih yang nelepon malam-malam begini." Gerutu wanita itu mencondongkan badannya untuk mengintip tangkapan nama di layar. "Eros? Ada apa dia nelpon Mas Arya malam-malam begini?" tanya Naura kepada dirinya sendiri. Wanita itu melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup, itu artinya sang suami belum selesai dari kegiatan mandinya. Naura mengambil ponsel itu lalu menggeser icon panggilan berwarna hijau. Dia sedikit terkejut karena yang berbicara di telpon itu bukan adik bungsunya melainkan seorang pria yang mengaku sebagai bartender. Pria itu mengatakan bahwa pemilik HP ini sudah terlalu banyak minum dan mabuk berat. Sehingga ia berinisiatif untuk menghubungi salah satu nomor di ponselnya. "Aish! Apa yang dia lakukan?" geram Naura setelah memutuskan sambungan telepon tersebut.
"Siapa yang membereskan ruangan saya pagi ini?" tanya Eros dengan nada tinggi. Dilihat dari ekspresinya pria itu terlihat sangat marah."Jawab!" bentaknya karena tidak ada satupun karyawannya yang membuka mulut."Tadi saya melihat OB baru itu keluar dari ruangan Pak Eros," kata salah satu pegawai wanita."Lagi-lagi dia," gumam Eros yang terdengar samar oleh mereka."Suruh dia menghadap saya, sekarang!" Lanjut pria itu meninggalkan para karyawannya yang masih memandang takut ke arahnya."Aku jadi merasa bersalah pada OB baru itu," ucap karyawan wanita tadi.Wanita itu merasa bersalah karena telah memberi tahu bos nya. Dia yakin OB ba
"Mas, hari ini mau makan apa?" tanya Kirana kepada pria yang sudah resmi menjadi suaminya."Apa saja asalkan kau yang membuatnya pasti aku makan." Jawab Endru hendak memeluk istrinya, tetapi dengan cepat wanita itu berbalik dan berjalan menuju dapur."Maafkan aku, Mas. Kau memang memiliki ragaku, tapi tidak dengan hatiku,"batin Kirana.Endru memandang punggung sang istri dengan senyuman sulit diartikan. Jujur saja hatinya sangat sakit melihat istrinya menolaknya secara halus."Dia hanya belum terbiasa," kata pria itu masih mencoba berfikir positif.Clak!Endru menatap lantai yang terkena cairan kental itu lalu ia langsung menutup hidungnya dengan kedua tangannya.Darahnya terus keluar, wajah Endru yang memang awalnya sudah pucat terlihat semakin pucat. Pasokan oksigennya juga semakin menipis. Samar-samar ia hanya bisa mengingat sang istri berlari ke arahnya dan setelah itu ia tak dapat mengingat apa-apa lagi.
Kirana mengambil kapas untuk menutupi bekas suntikan di lengan pria itu, sedangkan Eros menundukkan kepalanya tidak berniat melihat wajahnya.Setelah melakukan transfusi darah, tidak biasanya ia merasakan lemas dan pusing yang cukup berat. Mungkin karena akhir-akhir ini banyak yang ia pikirkan dan juga efek kelelahan bekerja.Kirana yang menyadari ada sesuatu yang tidak beres, merendahkan tubuhnya untuk melihat wajah pria itu."Astaga, kau kenapa?" kagetnya ketika melihat wajah orang yang sangat ia cintai itu terlihat pucat.Eros menghela napasnya, tubuhnya memang kurang bersahabat akhir-akhir ini."Ini minum teh hangatnya dulu." Wanita itu dengan telaten merawatnya. Hatinya sakit me
"Jadi benar Eros itu mantan kekasihmu?" tanya Naura ingin memastikan dari mulut wanita itu sendiri.Kirana hanya menganggukkan kepalanya pelan lalu menghela napas panjang ketika dadanya terasa sesak menerima kenyataan yang tidak sejalan dengan harapannya.Naura diam menunggu adik iparnya itu menjelaskan alasan ia menerima Endru.Hatinya mencelos ketika Kirana mengatakan bahwa pria itu yang memintanya. Ya, Eros yang memintanya untuk menerima Endru menjadi suaminya."Terus kenapa kau mau?" tanya Naura dengan suara lirih. Sungguh dia sedih mengetahui kebenaran ini.***Eros sedang mempelajari dokumen yang akan di sampaikan untuk
"Kirana bagaimana sih, suaminya sakit malah pergi tidak tau ke mana." Dumel Naima yang sedang duduk di sofa menunggu putra keduanya."Kirana kan seorang suster di rumah sakit ini, mungkin ia sedang bertugas," ujar Naura menatap ibunya dengan dingin."Kau kenapa melihat Ibu seperti itu?" tanya Naima yang ternyata menyadari perubahan sikap sang putri.Naura menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan."Kenapa Ibu tega memutuskan hubungan mereka?" tanya wanita itu membuat sang ibu mengerutkan keningnya."Apa maksudmu?" tanya Naima tidak mengerti."Kirana dan E--""Diam!" Potong Naima seraya melirik Endru yang masih tertidur di ranjang pesakitannya."Ayo!" Lanjutnya menarik tangan Naura untuk ikut bersamanya.***"Aaaaa ..." Wanita itu membuka mulutnya sendiri ketika pria di de
"Kak Naura mana?" Tanya Eros yang baru saja keluar dari kamar mandi."Katanya ada urusan penting. Besok pagi ke sini lagi." Jawab Kirana beranjak dari duduknya.Wanita itu ingin pamit tapi langkahnya seakan berat untuk meninggalkan pria itu sendiri."Oh iya, bagaimana keadaan kak Endru? Dan kenapa kau masih ada di sini?" Tanya Eros dengan sebelah tangan yang bernumpu pada dinding."Kau mengusirku?" tanya Kirana balik dengan mimik wajah kecewa.Pria itu terdiam kemudian memejamkan matanya seraya mengepalkan tangannya untuk menghalau rasa sesak yang seakan menghimpit paru-parunya."Bukan seperti itu. Hanya saja suamimu lebih membutuhkanmu sekarang," kata Eros. Percayalah untuk mengatakan itu ia sampai harus bersusah payah menelan salivanya.Wanita itu termenung dan sedetik kemudian ia tersenyum getir. "Kau benar.""Baiklah aku pergi," sambungnya, "kalau perlu apa-apa langsung hubungi aku.""Tidak perlu. Banyak suster lain
Hari ini langit Tokyo bergitu cerah, hangatnya matahari pagi menyambut dengan riang orang-orang yang sedang berjuang meraih mimpi atau tujuan hidupnya. Namun, berbeda untuk Eros, suasana hati pria itu begitu mendung dikarenakan sudah hampir dua minggu pria itu berada di Jepang akan tetapi sampai saat ini dia belum mendapatkan satu informasipun dimana keberadaan mantan istrinya tersebut, padahal Eros sudah mengerahkan semua detektif suruhannya untuk mencari Zora di setiap kota di negeri sakura ini, akan tetapi sampai saat ini dia belum mendapatkan kabar baik. Karena mustahil dia bisa mencari wanita itu dengan cepat jika hanya mengandalkan keberuntungan. Walaupun Eros mengerahkan banyak orang untuk mencari, tetapi pria itu juga tetap bergerak tidak hanya berdiam diri dan menunggu kabar. Seperti hari ini Eros sedang berjalan-jalan di salah satu taman di kota tersebut, berharap jika Zora ada di sana mengingat wanita itu sangat menyukai taman. Saat sampai di sana, pikiran
Pria itu – Eros langsung disambut oleh langit Jepang yang masih cukup terang padahal arlojinya sudah menunjukkan jam lima sore yang artinya sekarang sudah jam 7 malam di jepang mengingat Indonesia tempatnya tinggal dengan Tokyo memiliki selisih dua jam.Setelah delapan belas jam perjalanan memakai pesawat dan tanpa memejamkan mata sedetikpun akhirnya pria itu sampai juga di bandara internasional Tokyo – Jepang.Eros menarik napasnya untuk mendapatkan oksigen yang cukup untuk paru-parunya. Setelah merasa penuh pria itu membuangnya secara perlahan dan ia melakukannya berulang kali. Dengan hanya bermodalkan tekad dan sedikit keberuntungan pria itu berharap bisa menemukan wanitanya di Negara yang terkenal dengan bunga sakuranya tersebut. Karena hanya itulah petunjuk yang ia miliki.Namun, bagaimanapun Eros sudah sangat bersyukur, setidaknya dia tahu bahwa Zora ada di negara ini, itu masih jauh lebih baik dari pada ia harus berkeliling ke seluruh dunia un
Hari ini, detik ini, masih di langit dan bangunan yang sama Eros akan memperjuangkan kebahagiaannya. Dengan masih memakai setelan kerjanya pria itu berdiri di depan pintu kediaman mantan mertuanya, menunggu seseorang di dalam berbaik hati membukakan pintu untuknya. Selama mereka tidak memberitahu di mana keberadaan Zora, Eros tidak akan pernah lelah memaksa dan meyakinkan kepada kedua orang tua wanita itu bahwa ia bersungguh-sungguh mencintai putri mereka, bahwa ia tidak pernah sekalipun ada niatan untuk menyakiti hatinya. Sementara di dalam rumah itu sepasang suami istri tersebut sedang duduk – berpura-pura – santai di ruangan tamu, berpura-pura membutakan mata mereka jika di luar sana ada seseorang yang sedang berdiri menunggu mendapatkan kesempatan kedua. Namun, yang namanya hati seorang wanita terlebih seorang ibu tetap saja sekecewa-kecewanya, semarah-marahnya dia, hatinya tetaplah lembut. “Jangan sekalipun kau membukakan pintu untuknya!”
Setelah menahan rasa sakit diperutnya berjam-jam kemudian syukurlah sakit itu berangsur-angsur menghilang. Dengan gerakan pelan Kirana mengelap keringatnya dan berulang kali menarik napasnya. Kirana bertanya-tanya pada dirinya sendiri, “Ada apa dengan perutku? Kenapa rasanya sesakit ini?” Setelah itu ia beranjak untuk mengambil tas dan kunci mobilnya yang tergantung tidak jauh dari tempatnya sekarang untuk bergegas ke rumah sakit. Selain untuk memeriksakan kandungannya, Kirana juga kesana untuk menjenguk ibu mertuanya. Walaupun hubungan mereka tidak baik setelah masalah perselingkuhan palsu yang diciptakannya, tetapi tetap saja ia masihlah seorang menantu dan bagian dari keluarga itu. Dengan masih memegang perut besarnya Kirana mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia tidak ingin mengambil risiko datang ke rumah sakit dengan dibawa mobil ambulance karena mengalami kecelakaan. *** Muak dengan semua pembicaraannya akhirnya Eros memi
Dua pria yang sama-sama memiliki wajah tampan dan berkharisma jika sedang bekerja itu kini sedang duduk di sebuah taman rumah sakit. Saling berdiam diri, tetapi tidak dengan pikirannya. Entah apa yang sedang dipikirkan kedua pria yang hanya memiliki selisih usia satu tahun itu, tentu saja yang mengetahuinya hanya dirinya sendiri dan Tuhannya yang tahu. Sampai satu orang pria yang tidak terlalu nyaman dengan keterdiaman ini akhirnya membuka suaranya setelah satu jam lebih mereka berdiam di sana. “Kak Naura sudah melahirkan,” ucap pria tersebut yang tidak lain adalah – Endru - dengan tatapan datarnya dan tanpa menoleh ke arah orang yang sedang diajaknya bicara. Pria satunya yang tentu saja sudah dapat kita tebak siapa menolehkan kepalanya, pria itu tidak lantas menjawab karena ia yakin sang kakak belum menyelesaikan perkataannya, karena tidak mungkin dia hanya akan memberitahukan bahwa kakak pertamanya telah melahirkan, dia sudah mengetahuinya. Maka yang dilaku
“Dia begitu mirip denganmu, Sayang,” ucap Arya ketika bayi kembar mereka sudah diperbolehkan tidur di ruangan yang sama dengan ibunya. “Matanya, hidungnya, bahkan bentuk bibirnya juga benar-benar fotocopy dari ibunya. Hmm, sedikitpun tidak ada yang meniru dariku.” Naura hanya tersenyum mendengar suaminya terus memuji wajah tampan bayi laki-lakinya yang memang lebih mirip dengannya. Namun, pria itu tidak boleh cemburu karena wajah bayi perempuannya lebih mirip dengannya. “Dan bayi perempuan kita mirip denganmu, Sayang,” balas Naura ikut memperhatikan wajah-wajah si kembar. Pria itu menoleh di mana istrinya berada, lalu pria itu tersenyum seraya mengusap puncak kepala istrinya dan kembali mengucapkan terima kasih karena sudah melahirkan si kembar yang kini sedang tertidur pulas di dalam box bayinya, tidak terganggu sama sekali dengan obrolan orangtuanya yang sedang membicarakan mereka. “Terima kasih atas perjuangmu yang luar biasa ini dalam melahirkan s
“Kalian makanlah dulu, biar Naura Ibu dan Ayah yang jaga,” ucap ibu dari Arya tidak tega melihat ketiga pria itu tetap setia menunggu di depan ruangan ICU – tempat di mana wanita itu ditangani setelah operasi. Memang saat di ruang operasi wanita itu sempat kehilangan detak jantungnya beberapa detik. Namun ketika Arya menangis tergugu memohon kepada Tuhan untuk tidak mengambil istrinya dan disaat itu juga keajaiban datang, grafik yang awalnya lurus horizontal itu berangsur-angsur menunjukan perubahan. “Dokter detak jantungnya kembali!” seru salah satu perawat melihat layar tersebut menunjukkan grafik naik turun meskipun lemah. Disaat itu juga tangis Arya semakin kencang, tetapi ia belum berani untuk mendekatinya. Arya tidak ingin mengganggu kerja dokter yang sedang berusaha menyelamatkannya. Barulah saat dokter itu memperbolehkannya ia langsung menggenggam tangan sang istri seraya mengatakan terima kasihnya berulang kali. “Aku tidak lapar, kalian makan
“Arya!” Panggil kedua orangtuanya yang langsung datang ke rumah sakit ketika dikabari menantunya akan segera melahirkan.“Bagaimana keadaan menantu dan cucu Ibu?” tanya ibunya tanpa bisa menutupi rasa khawatirnya.Besannya saja sampai sekarang belum membuka matanya, ditambah sekarang menantunya yang sedang berjuang di dalam sana demi menjadi seorang ibu. Semoga Tuhan selalu melindunginya dan menyelamatkan keduanya. Amin.Arya hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Tenaganya sudah terkuras habis oleh segala ketakutannya sendiri terlebih lampu di ruang operasi itu belum juga mati.Berapa lama lagi ia harus menunggu? Apakah operasi cessar harus selama ini?Paham bagaimana perasaan putranya saat ini, sang ibu langsung memeluknya dan megusap-usap punggunya, berharap dengan ini putranya bisa sedikit lebih tenang.Wanita itu dapat merasakan tubuh putranya bergetar dan demi tuhan itu benar-benar membuat hatinya mencelos
Ceklek! “Masih ingat rumah juga.” Sarkas Kirana dengan tatapan serta nada sinisnya pada Endru yang baru saja pulang bekerja. Sebaliknya pria itu tidak menanggapinya justru langsung masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan tentu saja sikapnya itu memancing kemarahan sang istri. “Tidak sekalian ajak selingkuhanmu pulang.” Ini bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan sarkasme pada Endru dan kali ini berhasil menghentikan langkah Endru yang sudah sampai di dekat tangga menuju kamar mereka. “Apa maksudmu dengan selingkuhan? Tolong jika bertanya berkaca terlebih dulu,” sarkasnya dengan nada dinginnya yang sempat membuat Kirana tertegun beberapa detik karena baru kali ini pria itu bersikap dingin padanya. Tidak ingin terlihat kalah, wanita itu terus menyudutkannya dengan membawa kehamilannya. Tanpa pria itu ucapkan secara gamblangpun wanita itu tahu maksud ucapannya. Dialah yang berselingkuh di sini. Ya, setidaknya itu yang diketahui pria itu sek