Rania meletakkan cangkir di atas meja, menatap dalam Fatma yang tampak mengeryitkan dahi.“Dokter Fathan mencurigai sesuatu Bu Fatma, satu minggu sebelum kecelakaan terjadi, Pak Bima mengrim surel pada Dokter Fathan, sebenarnya Pak Bima, menyesal menikahi Kinan, dan berniat kembali rujuk dengan Bu Fatma, tapi sayang sebelum niat itu terwujud maut lebih dulu menjemput.”“Benarkah Ran. “Rania mengangguk, Fatma meneteskan air mata, ia tak menyangka di akhir hidup Bima, pria itu menyesali perbuatannya. ”Lalu Ran, apa yang membuat Fathan curiga.”“Dalam darah Pak Bima ada kandungan obat tidur, jika Pak Bima sengaja minum obat tidur, tidak mungkin ‘kan, ia menyetir mobilnya sendiri?”Fatma kembali menarik napas dalam, dadanya terasa sesak, mendengar pernyataan Rania.“Kamu benar Ran, apa mungkin Kinan pelakunya, waktu di restoran malam itu, Bima datang sendiri.&rd
Fathan berdiri bersandar di depan mobil sedannya, tampak ia sedang menunggu seseorang, tak berselang lama, seorang wanita yang mengenakan rok sebatas lutut dipadukan blouse berlengan pendek, keluar dari rumah yang sekaligus tempat kelas memasak.Wanita itu langsung mengulum senyum, ketika tahu ia ditunggu oleh seseorang yang dua minggu ini tidak dijumpainya.“Dokter Fathan, Anda sudah kembali dari Malaysia?”“Hemm dan kamu apa terlalu sibuk, hingga mengangkat panggilanku tidak sempat,” protes Fathan.“Maaf Pak Fathan, saya memang sibuk, disaat kerja menjadi asisten cheff, saya mematikan ponsel, dan terus lanjut ke tempat kelas memasak,” jawab Rania.“Aku akan mengantarmu pulang, sekalian aku ingin berbicara serius, tentang pekerjaanmu.”Rania tidak menolak ajakan Fathan, ia pun masuk ke dalam mobil dan duduk jok sebelah Fathan.Mobil berlahan melaju menuju jalan utama. Rania masih terdiam, menunggu dokter tampan itu berbicara.“Kembalilah bekerja di rumah sakit, aku sudah tahu yang s
Safa turun di depan rumah mewah barunya, rumah bergaya klasik yang bertempat di pemukiman elit itu tampak berkelas, tapi entah mengapa gadis itu seperti enggan menapakan kakinya setiap kali memasukinya, mungkin saat ini ia baru merasakan kehilangan sosok yang begitu tulus menyayanginya siapa lagi jika bukan Rania.Gadis berusia hampir sama dengan Safa berlari menghampiri Safa, seakan tak sabar ingin memberitahukan sesuatu.“Safa, kamu dari mana?” tanya Nayla, di tangannya memegang sebuah ponsel, baru masih terbungkus kardus warna putih.“Aku tadi menemui Mamah Rani,” jawab Safa.“Lihat Safa, aku dibelikan Papah ponsel baru, ini merk termahal, kamu tahu harganya hampir sepuluh juta,”“Apakah aku juga dibelikan Nay,” wajah Safa berbinar sambil melihat ponsel baru milik Nayla.“Sayangnya tidak, kata Papah ponselmu masih bagus,” sahut Nayla sambil mera
Larasati menarik travel bag, yang berisi pakaiannya, menuju kamar tamu yang ditunjukkan asisten rumah tangga. Kamar berukuran besar dengan kamar mandi di dalam, membuat nyaman wanita baya, yang langsung merebahkan diri ditempat tidur.“Siapa namamu?” tanya Larasati.“Ratmi, Nyonya.”“Ratmi, bawakan aku sarapan, dan teh, bawa ke kamar ya!” perintah Larasati.“Iya Nyonya,” jawab asisten rumah tangga yang berusai 40 tahuan itu.Larasati berlagak seperti nyonya besar, sepanjang waktu di rumah Faiz yang baru, sepanjang siang ia berendam di kolam renang, semua keperluannya disiapkan asisten rumah tangga.“Ahhh beruntung sekali Faiz menikahi Kinan, akhirnya putraku mempunyai rumah besar yang ada kolam renangnya,” ucap Larasati pada dirinya sendiri.Sementara itu, Safa menemui Rania di Restoran Kemuning.“Safa, kamu makan dulu ya, Mamah masih berkerja, satu jam sel
Malam itu Faiz pulang larut, Larasati sudah menunggunya di teras rumah, sambil mondar-mandir ia bermaksud mengadukan sikap Kinan pada dirinya siang tadi, Larasati tidak terima dituduh mencuri uang Faiz. Mobil avansa milik faiz, berhenti di garasi rumah, terlihat pria itu turun dari mobil, wajahnya terlihat letih dan lelah.“Ibu, kenapa diluar, udara dingin, nanti Ibu masuk angin,” ucap Faiz, sambil berjalan ke arah ibunya.“Ibu mau bicara denganmu, duduklah sebentar,” suruh Larasati sambil menarik tangan Faiz dan menyuruhnya duduk di kursi teras.“Ada apa?”“Siang tadi, aku masuk ke kamarmu dan mengambil uang dari almari pakaianmu, tapi Kinan marah, ia menganggap ibu mencuri, biasanya ‘kan seperti itu, ibu selalu mengambil uang dari almari, dulu Rania tidak keberatan jika aku mengambil uangmu,” protes Larasati kesal.Faiz menatap sang ibu dengan ekpresi datar. ”Jangan samakan Rania dan Kinan, Bu. Jelas beda Kinan itu wanita perkerja, ia merasa apa yang ada di rumah ini juga miliknya,
Kinan mencelos. ”Tidak mungkinlah Mas, lihat saja penampilan mantan istrimu itu, jauh dari kata elegan, tukang masak saja sudah berani mendekati Dokter,” ejek Kinan. “Ahh sudahlah kita kesini makan malam,” sahut Faiz. Faiz dan Kinan pun menyuap hidangan menu yang sudah disajikan di atas meja. Faiz masih sesekali menatap Rania, wanita itu kadang menebar senyum pada Fathan, dan tampak bahagia sekali, entah apa yang mereka bicarakan hingga membuat Rania tertawa bahagia. “Mas, bagaimana dengan perkejaan Mas Faiz di kantor, kapan jabatan kepala departermen akan diberikan lagi?” tanya Kinan membuat Faiz terkejut. “Hemmm tidak tahu Kinan, kepala dinas baru mengevaluasi beberapa pejabat yang akan di naikan jabatan, aku sudah berusaha keras meningkatkan kinerjaku, ini semua gara-gara Rania, yang mengirim foto dan video itu.” “Lihat saja nanti, aku pastkan mantan istrimu itu mendapatkan balasannya,” ancaman Kinan tidak dihiraukan Faiz, pria itu sibuk menyuap makanan dihadapannya. Lalu ia t
Sementara di tempat lain, tepatnya di rumah Faiz dan Kinan yang baru, Safa tersenyum semringah menyaksikan live streaming peresmian Harafa Hospital, ia menatap kagum pada perubahan sang ibu, juga jabatan yang sekarang di embannya. Kepala cheff rumah sakit adalah jabatan yang sangat bergengsi menurut Safa, ia berjalan cepat menemui Larasati yang tengah sibuk di dapur.“Oma, lihatlah Mamahku sekarang berbeda,” ujar Safa, memperlihatkan layar ponsel, ke arah Larasati.Larasati menajamkan mata rentanya. ”Ambil kaca mata Oma, di meja kamar, mata Oma sudah nggak jelas,” suruh Larasati.“Baik Oma, aku ambilkan kaca mata Oma.”Safa setengah berlari menuju kamar Larasati dan mengambil kaca mata, setelah itu menghampiri sang Oma yang menunggu Safa.Larasati meraih cepat kacamata yang disodorkan cucunya itu. Kacamata pun segera dipakai dan melihat ke arah layar.“Benar ini Mamahmu, Safa. Tak kusangka Rani
Setibanya di rumah mewahnya, Kinan membanting tas dan sepatunya di lantai, membuat Larasati terkejut.“Ada apa Kinan?”“Itu, anak Ibu, main tarik saja, aku sedang berbincang dengan para tamu yang hadir di acara peresmian Harafa Hospital, tapi Mas Faiz malah cemburu,” sahut Kinan.Larasati hanya menghela napas panjang. “Jika Faiz cemburu itu tandanya cinta, kamu harusnya bangga dong, bukan marah-marah seperti itu.” Larasati berucap sambil duduk di sofa ruang tengah menyalakan televisi“Sudah malam, tidak usah berdebat lagi,” sela Faiz, sambil berjalan ke lantai dua menuju kamarnya.“Kinan, apa benar Rania, menjadi kepala cheff rumah sakit?”“Ibu, tahu darimana?”“Dari ponsel, Safa yang memperlihatkan pada Ibu tadi,” sahut Larasati ingin mendengar cerita dari Kinan.“Iya, Bu, itu benar, aku yakin, Rania jual diri pada Pak Fathan iya, ‘kan Bu,” Kinan menyungingkan senyum sinis.“Bisa jadi Kinan, atau Dokter Fathan jatuh cinta pada Rania,” tebak Larasati.“Nggak mungkin, ada puluhan wani