"Bi, di mana Naomi? Di mana menantu saya?" Seperti katanya kemarin, Mama Nawang akan kembali ke Jakarta, menjenguk menantunya. Padahal belum genap 3 hari sejak dia pulang kemarin.
Wanita yang selalu tampil modis walaupun sudah mau kepala lima itu bahkan tak menghiraukan lelah yang mendera setelah 2 jam perjalanan dengan mobil. Dia lebih mengkhawatirkan kondisi menantunya yang sedang hamil itu.
"Nyonya Naomi sedang istirahat di kamar, Bu."
Tergesa-gesa beliau menaiki tangga menuju lantai dua rumah anaknya itu dan langsung meluru ke kamar. Namun, baru saja tiba di depan kamar, pintu yang terbuat dari kayu jati itu dibuka dari dalam.
"Loh, Mama? Kok ada di sini?" Naomi memandangi mama mertuanya dari atas hingga bawah, barangkali saja dia cuma sedang bermimpi.
"Dear, kamu sudah baik-baik saj
Adrian sudah diberitahu mamanya kalau sedang dalam perjalanan ke Jakarta, makanya pas jam makan siang, ia memilih untuk kembali ke rumah. Makan siang bersama istri dan mamanya."Tris, mau ikut makan siang di rumah nggak?" Tumben-tumbenan Adrian berbaik hati menawarkan Tristan, biasanya dia juga cuek. Suasana hatinya sedang baik hari ini, mukanya lebih banyak tersenyum.Tentu hal ini membuat kening Tristan mengernyit heran dan seolah tahu keheranan itu, Adrian melanjutkan bicaranya. "Ada mamaku di rumah, barangkali kamu mau ketemu." Karena kemarin kan Tristan tidak jadi menginap di rumah mamanya di Bandung.Sejurus kemudian, Tristan pun membulatkan mulutnya. "Oh, iya terima kasih, Bos. Tapi sepertinya tidak bisa. Sampaikan saja salam saya ke beliau."Lalu, dengan gayanya yang nggak banget, Adrian menyahut "Oke!" Sampai Tristan t
Mobil Adrian kembali melenggang di jalanan yang ramai lancar siang hari itu. Tidak ada percakapan sama sekali. Yang Adrian pikirkan hanyalah cepat mengantarkan ayah mertuanya sampai ke kantor, karena seperti yang orangtua itu bilang, ada urusan penting yang harus diurus, kan?Selain itu, entahlah, Adrian masih merasa canggung jika hanya berdua saja di dalam mobil bersama Arya Satya, karena ini kali pertama mereka sedekat ini. Apa memang sesama laki-laki memang begitu? Tapi, kenapa saat dia bersama Tristan biasa-biasa saja?Adrian masih bergelung dalam pikirannya, ketika suara ayah mertuanya itu menyentaknya. "Naomi terlihat akrab dan bahagia sekali ya bersama ibu mertuanya." Orangtua itu berucap sambil melirik Adrian dan tersenyum hangat."Oh? Ah iya." Sejenak dia seperti orang bodoh tapi berusaha menetralisir kebodohan itu, dan tampil sebagai suami yang pengert
BRAK!Mobil Adrian menabrak gerobak cilor beserta penjualnya, walhasil ia mengerem mendadak dan kepalanya membentur stir. Untuk beberapa saat, kepalanya yang pusing karena perasaan bersalah tadi tidak terasa lagi. Tapi, perlahan ada cairan merah yang mengalir di pelipisnya.Astaga!Dalam sekejap, mobilnya sudah dikerumuni orang-orang yang hendak menolong, menolongnya juga penjual cilor yang terjatuh ke aspal. Sepertinya penjual itu tidak sampai terluka, cuma rugi tidak bisa berjualan saja.Ah, Adrian masih sempat mengeluarkan sepuluh lembar uang merah pada penjual cilor sebagai ganti rugi. Sebelum akhirnya, dia dibawa ke rumah sakit dengan sepeda motor oleh seseorang. Sementara mobilnya diantar ke rumah dengan jasa derek.Tak lupa juga, Adrian menelpon Tristan agar menjemputnya di
"Sebenarnya kamu ada masalah apa sih, Mas? Cerita dong sama aku."Naomi sudah melepas ciumannya. Kini ia sedang berusaha mengulik informasi tentang apa yang terjadi dengan suaminya, ada masalah apa, penyebabnya apa. Barangkali ada kaitannya dengan berkas yang tersimpan di lemari itu.Naomi tidak kepikiran kalau Adrian adalah pelaku penabrakan bundanya. Bagaimana mungkin? Ia malah berpikir mungkin saja Mas Adrian-nya sedang mengusut masalah tabrakan yang menyebabkan bundanya meninggal. Mas Adrian ingin mencari pelakunya."Aku nggak ada masalah apapun kok, Sayang. Mungkin karena belakangan ini aku susah tidur, kan, kamu tahu sendiri aku sibuk, terus kamu juga kecelakaan kemarin, aku jadi kepikiran." Adrian menghela nafasnya sembari berusaha membentuk senyuman.Ia tidak mungkin jujur dengan Naomi soal masalah yang sedang dia pikir
"Gimana caranya aku mencari tahu soal berkas itu ya? Kenapa Mas Adrian menyimpannya?"Seminggu setelah Adrian kecelakaan, pria itu sudah pulih dan berangkat kerja seperti biasa. Meninggalkan Naomi sendirian di rumah. Tadinya Naomi ingin ikut menemani sang suami ke kantor, barangkali ada yang dibutuhkan, Naomi bisa bantu-bantu atau sekedar duduk menyaksikan suaminya bekerja. Akan tetapi, Adrian melarang keras dengan alasan tak ingin Naomi kecapean.Naomi pun menurut saja. Walhasil, ia tak punya kerjaan, mau bantu memasak dan berberes di rumah juga Bi Inah tidak membolehkan. Dia jadi kepikiran deh soal berkas yang disimpan Adrian di laci lemari."Apa aku tanya Tristan aja, ya? Dia mungkin tahu sesuatu," pikirnya seraya mengerjap-ngerjap bola mata. Tak lama, seperti ada bola lampu menyala di atas kepala, dia tersenyum cerah.Ia lalu mem
Adrian baru pulang dari meeting ketika Tristan juga pulang dari menemui Naomi, tapi tentu saja dia tidak tahu hal itu. Yang membuat Adrian heran, kenapa asisten pribadinya itu baru pulang jam segini, dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 5 sore, padahal Tristan lebih dulu pergi untuk urusan kantor.Adrian akhirnya menemukan jawaban ketika dirinya menghampiri Tristan yang baru keluar dari mobil."Kenapa jam segini baru pulang? Lalu, apaan itu?" Dia menunjuk ke bibir Tristan dengan senyum meledek.Tristan yang tidak menyadari betapa wajahnya yang sangat tampan itu jadi sedikit belepotan di bagian bibir, langsung ambil posisi berkaca dari spion mobilnya. Setelah melihatnya, Tristan berdecak sebal atas keteledorannya sendiri. Bisa-bisanya dia tak sadar.Bodoh banget sih aku.
Waktu terus berjalan. Masya, kakak tiri Naomi memilih berlutut di hadapan Naomi, alih-alih mendekam di penjara. Adrian pun berjanji akan mencabut tuntutan setelah Marsya mendapat maaf dari Naomi sendiri.Lalu hari ini, Naomi, dengan ditemani Adrian dan Arya Satya mendatangi kantor polisi setempat di mana Marsya ditahan sementara. Mama Miranda dan Ricko juga ada di sana.Suasana canggung dan hening mendominasi, hingga suara lantang Adrian memecah keheningan."Apa yang kau tunggu, Marsya? Jika ingin terbebas dari hukuman penjara minimal 15 tahun, minta maaflah pada Naomi dengan setulus hatimu!"Marsya menggeram, tampak buku tangannya memutih. Dasar tidak tahu malu. Dia yang bersalah, malah dia yang marah tidak terima karena diperlakukan seperti ini oleh Adrian.Sialan kamu, Naomi!&
Adrian menjadi sangat kepikiran. Pasalnya, saat pulang dari kantor polisi kemarin, Naomi dengan serius bilang ingin menanyakan sesuatu padanya. Tapi, entah kenapa, sampai 10 menit Adrian menunggu, istrinya itu urung bertanya. Bikin Adrian makin penasaran aja, kan?Kira-kira, Naomi bertanya soal apa ya?Adrian sama sekali tak kepikiran kalau Naomi akan bertanya soal berkas di laci lemari itu karena dia tidak sadar berkas tersebut sudah tidak ada lagi di tempat. Naomi mengambilnya. Tapi, dia tak punya firasat sama sekali.Adrian juga tak kepikiran kalau barangkali Tristan mengadu pada Naomi. Tristan tidak mungkin berkhianat darinya, kan? Akan tetapi, bagaimana dengan fakta kalau kemarin Tristan habis makan pancake stroberi? Apa itu cuma kebetulan belaka? Ah, semoga sajalah."Hai Ad, lama tidak bertemu. Kamu makin tampan saja, ya." Regina tiba-tiba menerobos masuk ruangannya, membuat lamunan Adrian buyar.
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin