Malam Tanpa Noda
Putra menatap langit-langit. Pikirannya melayang jauh. Kondisi tubuhnya membaik namun, hatinya hampa."Pak, makan siang dulu."Fian membuka plastik wrap yang menutup piring Putra. Menekan tombol brankar ke posisi duduk.Menyodorkan sendok ke mulut Putra. "Buka mulutnya," pinta Fian."Ron, makanan ini rasanya hambar.""Sabar, Pak. Kalau Bapak sembuh pasti bisa makan enak.""Saya tak ingin masakan restaurant atau hotel bintang lima. Saya ingin masakan rumahan. Tapi, bukan masakan bibi.""Lalu masakan siapa?""Entahlah. Saya tak tahu.""Kalau gitu, Bapak sembuh dulu. Makan yang banyak. Saya akan masak buat Bapak.""Apa kamu bisa masak?""Tentu saja. Buka mulutnya dan habiskan semua," rayu Roni.Putra membuka mulutnya perlahan dan mengunyahnya. Baru dua sendok, ia sudah mengelengkan kepala."Lagi, PaMalam Tanpa NodaJohan keluar ruangan Putra. Fian bergegas bangkit dan tersenyum hambar. Johan menyodorkan uang selembar berwarna merah. Fian hanya menatap uang tersebut. Tanpa mau menyentuh."Ambil!"Ketika tangan Fian terpaksa mengambil uang tersebut. Johan melepaskannya begitu saja. Uang terjatuh di lantai. Fian enggan mengambil uang tersebut."Ambil dan berikan untuk keluargamu." Menepuk bahu Fian dan melewati tubuhnya.Fian melangkah masuk ke dalam ruangan Putra. Ayahnya sudah memejamkan mata. Tangan kanannya masih mengenggam pulpen.Lutut Fian melemas dan tak bertenaga. Tubuhnya luruh ke lantai. Bertekuk lutut dan memaki dirinya."Maafkan Fian, ayah, bunda. Fian tak bisa berbuat apa-apa," lirihnya.Airi membuka pintu kamar Putra dan bergegas masuk. Mendengar seseorang datang Putra membuka matanya.Fian berdiri tak jauh dari mereka. Mengambil"Selamat sore
Malam Tanpa NodaPrily menyiapkan pesta di salah satu gedung milik Mahendra. Seharusnya, pesta ini tak penting. Hanya menyambut kedatangan Johan.Sejak pagi sibuk menyiapkan semua pesta sesuai keinginan lelaki licik itu. Disaat Putra sakit, Johan memaksa Putra menandatanganinya.Johan memberikan perincian lengkap dan kebutuhan yang harus dibeli."Jangan lupa anggur kualitas terbaik. Jangan yang abal-abal atau KW.""Pastikan semua makanan enak dan keamanan lingkungan terjaga. Jangan sampai terjadi sesuatu. Bisa saja ada seseorang yang menerobos masuk. Mengagalkan pestaku.""Tak akan ada yang seperti itu. Tak ada yang berani.""Tentu saja tak ada yang berani."Prily mendelikkan mata. Entah berapa ratus juta yang dikeluarkan Mahendra. Prily tak akan membeli anggur mahal. Ia hanya memesan 2 botol wine asli dengan harga sepuluh juta saja. Sedangkan lainnya diberi wine KW."K
Malam Tanpa Noda Senyum menyeringai terlihat lebih menyeramkan dari sebelumnya. Prily hanya bisa diam tanpa melawan. Tatapan matanya mengarah ke arah luar mobil. Mengikuti kerlap-kerlip lampu dan bintang. Tubuh Prily begitu lelah hingga tak bisa bergerak atau menolak. Sesekali melihat lelaki yang memegang kemudi. Prily diam tanpa memberontak.Mereka masuk di sebuah hotel luar kota. Banyak hotel di Jakarta mengapa harus hotel ini. Hotel tak terlalu besar. Mungkin hanya hotel bintang tiga. Tak banyak bicara. Wanita berwajah boneka menelusuri keadaan hotel tersebut. Prily menelan salivanya. Untuk apa mereka datang ke mari. Lengan Prily ditarik lelaki itu. Wajahnya tertutup masker dan mengenakan kacamata. Memesan satu kamar di bagian resepsionis hotel. Melakukan cek in sehari saja. Bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Prily menuruti keinginan lelaki itu. Kakinya mengikuti langkahnya
Malam Tanpa Noda"Prily," panggil Putra lemah masih posisi rebahan.Prily tersenyum dan menatap iba lelaki itu. Sehari tak melihat Putra merasa bersalah kepada mertuanya apalagi dengan kejadian tadi. Semoga saja benih itu tak tumbuh di rahimnya."Bodoh, kenapa aku baru menyadarinya," gerutu Prily dalam hati. Hanya menghela napas panjang dan berharap."Prily," panggil Putra kedua kalinya."Iya, Pak.""Aku mau kamu mengeluarkanku dari rumah sakit ini," pintanya.Fian mendengar hal itu terkejut dan melangakah lebih dekat."Tapi, Anda. Belum sembuh dan harus rawat inap.""Prily, aku tak mau di sini.""Lalu mau di mana?""Di rumah," ungkap Putra menatap langit-langit."Rumah kakek Anda?""Bukan. Rumah panti."Prily dan Fian saling berpandangan. Rumah panti yang dulu pernah ditempati Airi dan anak-anak
Malam Tanpa Noda"Kasihan mereka, Bun. Selalu menanyakan kabar ayah." Lily sering mendengar pertanyaan dari bibir mungil mereka.Tak bisa melakukan apa-apa selain menjadi pendengar yang baik untuk mereka.Airi menatap wajah mungil kedua anaknya yang tak berdosa. Ia takut Putra akan menghardik dan mencela. Airi tahu di mana lelaki itu berada. Tapi, untuk mempertemukan mereka sangat beresiko."Baiklah, Bunda akan membawa kalian ke tempat ayah. Tapi, harus berjanji dulu."Sebelum mereka bertemu Putra, Airi menjelaskan mana yang tak boleh dilakukan oleh mereka.Airi juga memberitahu agar berhati-hati dengan orang yang terlihat baik padahal jahat.Azila dan Afisah memahami penjelasan Airi. Wajah mereka ceria kembali ketika, Airi mengabulkan keinginan mereka.Si Kembar mengingat apa yang harus dilakukan dan apa yang tak boleh. Airi tak akan mengizinkan mereka. Jika, melanggarnya.
Malam Tanpa Noda"Prily!" panggil Johan dari ruang kerjanya."Ada apa, Bapak Terhormat? Apa Anda tidak bisa memanggil dari telepon daripada harus berteriak-teriak. Prily menampakkan diri di depan pintu."Telepon saya mati." Mendorong alat penghubung tersebut."Mungkin jaringannya.""Tolong jelaskan uang ini. Uang apa?" tanya Johan menyodorkan laporan keuangan.Prily meraih map tersebut. Map merah memperlihatkan deretan angka."Yang mana? Semuanya ini pengeluaran yang Anda lakukan.""Tapi hanya laporannya saja. Uangnya tak ada yang masuk kecuali ini dan ini." Tunjuk Johan ke arah dua pengeluaran atas nama Putra."Mungkin pengajuan kamu sedang diproses atau uang yang kamu inginkan tidak sesuai jumlah yang dimiliki Mahendra.""Gak mungkin! Mahendra itu kaya masa uang tiga miliyar saja tak ada." Johan memukul meja kasar."Mahendra memilik
Malam Tanpa Noda"Kita mau ke mana?" tanya Prily. Lengannya ditarik Johan. Kasar dan memaksa."Kamu ikut aku," pintanya. Tak peduli semua mata memandang mereka."Ikut ke mana?" Prily menahan tangannya."Belanda," cetus Johan."Untuk apa kita ke sana." Menghentikan langkah ketika mereka berada di area parkir basement satu."Ada yang harus aku kerjakan dan aku butuh kamu." Menarik kembali lengan Prily."Tidak, aku tidak bisa. Banyak pekerjaan yang harus aku lakukan." Menepis kasar tangan Johan"Aku pesan 2 tiket ini untuk kita." Meningikan suaranya."Tapi, aku gak bisa meninggalkan Mahendra. Kamu jangan seenaknya.""Ah, persetan dengan Mahendra. Pekerjaan ini lebih penting.""Kenapa kamu tak memberitahu aku terlebih dahulu?""Karena kamu seketaris aku.""Aku seketaris pak Putra bukan kamu." Nada Prily naik satu oktaf
Malam Tanpa NodaTubuh Putra membeku dalam dekapan Azila. Afisah bergegas menghampiri adiknya."Maafkan adik saya, Pak," ungkapnya. Melepaskan tangan Azila dari tubuh Putra."Afisah, sakit," rintihnya."Tak apa. Ayo kita ke kamar."Putra hanya bisa menatap kedua putrinya tanpa berkata apa-apa. Hingga mereka hilang dari pandangannya."Kamu gak apa, Azila?""Sakit Afisah." Merengek dihadapan sang kakak.Pengurus panti membawakan obat oles untuk Azila. "Olesin ke kepala yang benjol."Afisah mengusap bagian kepala itu. "Benjol, Bu.""Gak apa-apa nanti juga kempes sendiri. Kasih terus obatnya."Azila memeluk tubuh kembarannya. "Kapan ayah sembuh? Dia memang tak ingat kita. Dia tak sayang kita.""Jangan berkata demikian. Kalau ayah tak sayang. Mengapa dia menghampirimu dan menolongmu?"Senyum terukir di bibir Azila. "Tad
Malam Tanpa Noda Perut Lily semakin membesar. Mereka sudah melakukan syukuran tujuh bulan dan kini menunggu kehadiran sang buah hati. Fian selalu Siaga. Begitu juga Airi dan Putra. Tak ingin cucu pertamanya mengalami hal buruk. Lily dan Fian kembali ke rumah Mahendra. "Aduh!" teriak Lily melepaskan ponsel hingga membentur lantai keramik putih. Fian menghampiri istrinya dan menutup panggilan begitu saja. "Drian, kita harus pulang!" pinta Prily. "Tidak bisa. Kita baru sehari di sini?" "Kamu tak dengar kalau Lily teriak kesakitan." "Belum waktunya ia lahiran masih satu bulan lagi." "Tapi, aku khawatir sekali!" "Kita hubungi adik kembar. Mereka pasti tahu." Jemari kekar Drian menekan kontak Afisah dan menunggu panggilan terangkat. Dua kali berdering baru diangkat oleh gadis manis yang beranjak dewasa.
Malam Tanpa NodaDua orang sejoli berada di sebuah hotel bintang lima. Sang lelaki berada di atas tubuh wanita. Meliuk-liuk bagaikan ular.Suara mereka bagaikan nyanyian kerinduan. Rindu setelah semua terjadi. Rindu setelah kehampaan menyelimuti. Pikiran negatif selalu menghantui. Kecemburuan membuat Drian tak berpikir jernih.Drian melepaskan diri dan terbaring di samping wanita tanpa sehelai kain. Wanita berwajah boneka bibir manis istri Drian.Prily selamat dari aksi penembakan itu. Walaupun, dirinya koma untuk beberapa hari.Seluruh keluarga Mahendra berdoa kepada sang pencipta agar Prily diselamatkan dari maut.Airi melakukan amal secara besar-besaran meminta doa kepada anak-anak yatim piatu.Prily meletakkan kepala di dada bidang Drian. Memainkan jemari lentik memutar-mutar. Membentuk nama dirinya dan juga lelaki yang dicintainya.“Aku lapar,” rengek Prily.&n
Malam Tanpa NodaTubuh Prily dibawa dengan mobil ambulance. Selama perjalanan tangan Drian tak lepas dari wanita berwajah boneka.Pengorbanan untuk orang tuanya sangat besar. Rela mengorbankan nyawa demi belahan jiwanya."Prily, bertahanlah!"Air mata menetes di pipi lelaki itu. Para medis menawarkan diri untuk mengobati luka Drian."Tidak usah! Selamatkan saja istri saya."Tubuh Prily terkujur kaku bagian perut mengalir noda merah. Tangan petugas menekan bagian itu agar tak kehilangan banyak darah.Semua setok darah sudah dipersiapkan untuk Prily sesuai golongan darahnya. Golongan darah Prily mudah dicari, memudahkan para medis melakukan operasi.--Drian menunggu Prily di ruang tunggu operasi. Gelisah dan takut kehilangan wanita itu. Tak peduli Prily telah mengkhiantinya. Bermain api dengan Johan dan berakhir di tempat tidur.Melihat tubuh
Malam Tanpa NodaSemua serangan Drian tak dapat menyentuh kulit Johan sedikitpun. "Kamu tak akan bisa melawanku." Johan menyeringai. Setiap serangan selalu ditangkis.Kaki kekar Drian menendang ke arah perut Johan hingga lelaki perusak itu terjerembab di lantai, tawa terdengar di bibir Johan.Johan segera bangkit dan memiringkan kepala, Drian hendak menghampiri Johan namun, lawannya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya.Senyum menyeringai menghampiri Airi. Wajah tampan milik Johan menatap ibu dari anak-anak Mahendra. Menarik wanita itu kasar, Prily hendak menghalanginya namun kalah cepat."Drian!" panggil Airi.Johan menodongkan senjata dengan pelatuk menempel di jarinya. Tersenyum menyeringai, sekali tekan sejata api itu akan meledak dan masuk ke dalam kepala Airi dan napas akan terhenti dalam hitungan detik."Kamu mendekat aku pecahkan kepalanya. Mundur!" Membulatkan
"Kalau begitu. Jauhkan dia dan jangan ganggu wanita itu. Kamu tak ingat berapa umurnya?""Tentu Sayang. Sekarang kita selesaikan semua dan setelah itu kita bersenang-senang."Johan kembali menatap penerus Mahendra."Bawa semuanya ke mari dan habiskan mereka sekarang juga!"Teriakkan Johan menyadarkan Airi. Wanita itu membuka mata perlahan. Makian Drian membuat dirinya sadar sesuatu telah terjadi."Prily ...."Johan menoleh ke arah Airi. "Selamat datang Bunda. Bagaimana tidurmu?"Airi ingin bergerak namun, tubuhnya terikat."Lepaskan aku.""Lepas? Tidak!" Johan menyeringai."Prily, tolong ...."Wajah Prily berubah pucat. Ia tak tega melihat wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.Johan melirik Drian sinis. "Lepaskan wanita ini!"Tali yang mengikat Airi terlepas satu persatu. Airi menyent
Malam Tanpa NodaJohan sangat bergairah melihat hal ini. "Sangat cantik dan memesona," puji Johan. Drian berteriak memaki Lelaki itu dengan segala macam nama binatang. "Jangan sentuh dia!" teriak Drian. Rahangnya mengeras dan wajah memerah. Johan tak peduli tetap berjalan menuju wanita itu. Wanita cantik bagaikan bidadari. "Hentikan Johan! Kamu menyentuhnya akan aku bunuh!" ancam Drian. Wajahnya memerah urat leher terlihat membesar. Napasnya terputus-putus. Satu pukulan menimpa punggung Drian. Lelaki itu tetap bertahan. Johan menghentikan langkahnya, berbalik arah dan menghampiri Drian. Tersenyum menyeringai. Tubuhnya menjongkong menarik rambut belakang hingga rontok."Kamu ancam aku. Padahal, umurmu tak lama lagi. Ha ... ha ...." Menjambak rambut Drian lebih keras."Cuih!"Johan mengusap wajahnya dengan tangan kiri.Anak buah Johan menendang tubuh Drian berkali-k
Malam Tanpa NodaKedua tangan Fian terikat ke belakang, Fian tak sadarkan diri sejak beberapa jam lalu. Johan menatap lelaki gagah dan tampan dihadapannya."Bang ... bangun ...." Drian menatap kakak kandungnya yang belum sadarkan diri sejak beberapa jam. Memastikan keadaan lelaki itu baik-baik saja.Putra juga berada bersama mereka. Tiga lelaki terikat dengan lutut bertekuk di hadapan Johan.Putra juga diculik ketika mengantar kedua anak kembarnya ke sekolah. Fian tak menyadari kalau sang ayah telah diculik oleh mereka."Jangan sakiti anakku, Johan!" ancam Putra menatap tajam lelaki yang telah dianggap keponakan olehnya."Tenang saja Om. Rasa sakitnya hanya sekilas." Tawa mengema di pabrik tua itu."Mengapa kamu lakukan ini, Johan?""Om tak ingat?" Menaikkan satu alis ke atas. "Papaku meninggal karena Om." Kebencian terlihat jelas di mata Johan."Itu buk
Malam Tanpa NodaHari penembusan Lily telah tiba, Fian di temani Faisal menuju pabrik kosong pada malam hari."Om, yakin ini tempatnya?""Tentu saja.""Sepi sekali!""Pabrik ini sudah tak digunakan bertahun-tahun tentu saja tak berpenghuni."Fian mendesah panjang. Kedua tangannya membawa dua tas besar hitam kaluar dari mobil."Om, tunggu di sini," ucap Faisal."Baik, aku akan mencari mereka." Fian berjalan ke arah pintu masuk pabrik.Bulu leher Fian bergidik ngeri. Pasalnya, tempat yang sudah lama tak berpenghuni banyak sekali makhluk halus. Fian membuang pikiran negatif. Tujuannya saat ini adalah menjemput Lily."Tega sekali mereka kalau Lily berada di tempat ini."Fian berjalan hingga berada di pintu masuk pabrik. Pintu itu telah rusak dan tak terbentuk lagi.Suara dering telepon Fian memecahkan pikirannya saat ini. Fia
Malam Tanpa Noda"Sakit!" rintih Lily menyentuh perutnya."Kita ke bidan kemarin. Kamu tahan dulu." Prily menyalakan mesin mobil dan meninggalkan kediaman Johan."Aku gak mau, Prily. Aku ingin Fian." Lily meringis berkali-kali. Mengapa nasibnya seperti ini.Kehamilan pertama adalah hal yang ditunggu-tunggu. Seharusnya, Lily dimanja dan disayang Fian. Namun, ia jadi tahanan."Please! Kamu bersabar dulu. Kita gak mungkin melawan Johan. Keselamatan bayi dan dirimu bisa bahaya.""Aku ingin Fian. Aku ingin pulang," rengeknya bagaikan anak kecil."Sudah, jangan pikirkan hal itu. Lebih baik kita periksa kandunganmu. Bersabarlah!""Aku kangen suamiku. Apa aku salah jika merindukannya. Prily, tolong bebaskan aku!""Tidak bisa. Ini bisa berbahaya. Johan itu nekad."Prily membawa Lily ke bidan. Wajah istri mantan kekasihnya itu pucat dan merintih berkali-kal