Malam Tanpa Noda
Bab 111Fian berlari mengambil bola. Pemuda yang beumur dua belas tahun menatap seorang gadis seumurannya di atas ayunan. Panti asuhan dengan rumahnya terhubung melalui sebuah pintu berbentuk pagar.Fian menatap iba gadis kecil itu. Ia duduk di ayunan meneteskan air mata. Tangannya memeluk boneka tanpa kepala."Bang Fian! Buruan!" teriak Drian dari kejauhan."Siapa gadis itu?" lirihnya dalam hati."Bang Fian, lama banget!" cibir Drian."Bawel banget!" Fian mengusap kepala adiknya gemas."Lihatin siapa, sih?" tanyanya. Ia menatap abangnya berada di pagar hitam penghubung panti."Lihat kuntilanak," ucapnya spontan."Serius!" tanyanya melipat dahi."Serius, dia nyariin kamu. Mau makan bocah bawel dan gendut.""Ayah! Ayah!" Drian berlari ke arah gawang."Kamu kenapa nangis?" tanya Putra. Tangan Drian memeluk tubuhnya dan bersMalam Tanpa NodaBab 112"Ya Allah, Afisa badannya panas banget!" ucapnya. Tanganya ia letakkan ke atas kening bocah yang terbaring di kasur bayi. Afisa menjadi rewel dan tak bisa diam.Airi segera mengambil handuk kecil dan baskom berisi air lalu dikompres ke dahi Afisa. Airi mengelus rambut anaknya."Non, pakai ini." Bi Ina memberikan minyak berisi bawang merah dan sedikit asam jawa. "Ini untuk apa, Bi?" tanya Airi."Diolesin ke seluruh badannya terutama ketiak dan punggung. Zaman dulu saya pakai ini. Insya Allah ampuh turunin panas.""Apa tidak bahaya untuk kulitnya?" "Bawang merah hanya digeprek bukan diparut. Coba saja dulu, Non." Airi melakukan apa yang disarankan bi Ina. Airi sudah memberikan obat panas kepada anaknya. Namun, suhu panasnya belum turun juga.Jam menunjukkan angka dua pagi. Putra belum juga pulang
Malam Tanpa NodaBab 113Airi kembali menghubungi Putra. Kali ini panggilan tersambung. Namun, suara wanita yang menjawabnya. "Hallo, assalamualaikum," sapa wanita di seberang telepon dengan suara lembut dan sopan. Nadanya terdengar ragu-ragu.Tubuh Airi bergeming. Siapa wanita yang menjawab panggilannya. Pikirannya bertraveling mengingat kejadian dulu. "Ini siapa? Mengapa Anda yang menjawab panggilan ini? Di mana suami saya?" cerca Airi. Nadanya meninggi satu oktaf."Maaf, Bu. Saya Amelia. Saya menemukan ponsel ini dipinggir jalan." Amelia sempat ragu mengangkat panggilan di pagi buta ini. Hatinya juga tak tenang jika ponsel belum kembali kepada sang pemilik."Suami saya di mana?" tanya Airi. Jantungnya berdegup kencang. Apa benar mimpi Drian menjadi kenyataan."Saya tidak tahu. Ponsel ini terjatuh di pinggir jalan. Tadi mati ponselnya lalu saya isi da
Malam Tanpa NodaBab 114"Unda ... Unda ...." panggil Afisa dan Azila. Mereka sudah pandai berbicara. Airi yang sedang di dalam kamar mandi tak mendengar teriakkan anaknya. Putra tertidur kembali seteleh pergulatan mereka tadi subuh. Dua bocah kecil turun dari ranjang bayi khusus untuk mereka berdua. Azila menuju ranjang Putra. Tubuh lelaki itu tertutup selimut tebal sedangkan Afisa melangkah menunju meja rias. Ia mengambil tas kecil berwarna merah milik Airi. Membuka perlahan resleting hitam yang menutupinya. Afisa menuju ke kaca lemari. Mengoles wajahnya dan tertawa di depan cermin. Azila bermain-main di sekeliling Putra. Melihat saudara kembarnya mengikuti apa yang dilakukan bundanya ia tertawa. Azila merebut lipstik yang berada di tangan Afisa. Apa mereka akan bertengkar atau berebut. Tentu tidak. Afisa akan memberikan kapada Azila dengan
Malam Tanpa NodaBab 115Fian mengintip dari balik jendela. Prily bermain dekat ayunan. Sejak pertemuan itu, Fian enggan menyapa gadis itu."Gadis yang aneh," pikirnya.Prily menyadari dirinya sedang diperhatikan. Ia menatap jendela dengan hordeng putih. Fian langsung bersembunyi di balik tembok. "Hampir saja ketahuan," lirihnya. "Abang! Abang!" panggil Drian dari luar kamar. Ia membuka pintu dengan kasar."Apaan sih gembul! Berisik banget!" Fian duduk di kursi dekat meja belajar. "Enak aja gembul!" Bertolak pinggang. Menatap mata abangnya. "Emang gembul, kok. Perutnya aja segede ini." Mengelus perut buncit Drian. "Gembul juga ganteng, kok." Menjulurkan lidah. "Ganteng sama kayak pantat panci." Fian tertawa mengoda adiknya. "Panci baru yang mulus, wek. Dipanggil Bunda, suruh
Malam Tanpa NodaBab 116 Airi sedang merias wajahnya di cermin. Wajah istri Putra tak pernah berubah selalu cantik dan menyejukkan hati. Putra memeluk tubuh Airi dari bahu belakang ." Mau ke mana, ibu ratu?" tanya Putra mengodanya. Menatap wajah istrinya dari pantulan kaca."Gak ke mana-mana," ucapnya datar. Memoles lip balm ke bibir ranumnya."Kok dandan?" Melipat kening tak suka. "Setiap hari juga dandan. Masa tuan Putra tak tahu." Airi bangkit dari duduknya hendak meninggalkan Putra. Putra membalikkan tubuh Airi. Mereka saling berhadapan." Aku lagi libur," ungkap Putra dengan nada manja."Kamu libur karena meliburkan diri," ejek istrinya. Tatapan mereka bertemu."Pemilik perusahaan bebas berekspresi." Putra tertawa kuda memperlihatkan deretan giginya. "Pemilik perusahaan harus memberi contoh kepada pegawai yang la
Malam Tanpa NodaBab 117Fian baru saja pulang dari sekolah. Ia melihat mobil mewah terparkir di panti. Biasanya akan ada orang yang akan mengadopsi. "Assalamualaikum, Bunda," ucap pemuda itu. "Waalaikumsalam." Fian mencium tangan Airi." Ganti baju lalu makan, panggil Drian juga. Ia tadi sudah pulang." "Drian, ayo makan!" Drian menatap jendela kamarnya."Abang, lihat itu! Prily mau ke mana?" Fian bergegas menuju ke jendela. Prily menarik kopernya." Prilya!" Fian berlari menuruni tangga. Drian memanggil abangnya namun tak didengarkan. Airi melihat Fian keluar rumah, ia ikut berlari menyusul pemuda itu. "Prilya!" Prily menoleh ke arah pagar hitam penghubung rumah Fian. " Fian ...." Prily meminta izin kepada kedua orang suami istri. "Fian, aku pamit. Maaf kalau aku punya salah sama kamu. Kamu j
Malam Tanpa NodaBab 118"Abang Fian! Abang!" panggil Azila menenteng tasnya."Ada apa, Nona kecil," sapa Fian."Aku ikut Abang aja," pintanya dengan mata polosnya."Biasanya ikut ayah." Pemuda berumur dua puluh satu tahun itu melipat keningnya. Kacamata hitam sudah menempel di wajah tampannya. Jaket kulit coklat menjadi favorite."Aku mau naik motor aja. Ikut Abang.""Tapi jalur kita beda.""Ih, Abang anterin Zila ke sekolah nanti Abang muter. Begitu aja repot!""Tumben banget mau naik motor. Biasanya gak mau. Takut kepanasan banyak angin.""Aku janji sama teman aku. Dianter selebritis," ungkapnya."Abang bukan selebritis.""Memang sih, Abang bukan selebritis. Tapi, agak mirip.""Ayah, mirip selebritis. Kenapa gak sama ayah aja?" tolak Fian halu
Malam Tanpa NodaBab 119Drian dan Lily satu sekolah sejak SMP. Namun, Ia baru berani mendekati Lily ketika SMA. Lily selalu menjadi bully-an para teman-temannya. Drian yang akan membantu gadis itu. "Drian, terima kasih selalu membantuku," ungkap Lily dengan wajah tersipu malu. "Sudah kewajiban kita untuk saling membantu. Kamu jauhi Cheri, dia gadis berbahaya." "Iya, aku akan ingat. Makasih banyak. Aku duluan," pamit Lily. "Aku antar!" "Tidak, usah. Aku berencana mau ke mall mencari buku.""Boleh aku ikut bersamamu, Lily?" "Tapi, ini perempuan semua. Kamu tidak malu?" "Mengapa malu, memangnya aku tak pakai baju," canda Drian. "Ih, kamu selalu saja bergurau. Maksudku, apa bunda tak mencarimu?" "Ha ... ha ... aku bukan anak kecil lagi. Lihat aku sudah dewasa." Drian mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Teringat ketika waktu SMA.
Malam Tanpa Noda Perut Lily semakin membesar. Mereka sudah melakukan syukuran tujuh bulan dan kini menunggu kehadiran sang buah hati. Fian selalu Siaga. Begitu juga Airi dan Putra. Tak ingin cucu pertamanya mengalami hal buruk. Lily dan Fian kembali ke rumah Mahendra. "Aduh!" teriak Lily melepaskan ponsel hingga membentur lantai keramik putih. Fian menghampiri istrinya dan menutup panggilan begitu saja. "Drian, kita harus pulang!" pinta Prily. "Tidak bisa. Kita baru sehari di sini?" "Kamu tak dengar kalau Lily teriak kesakitan." "Belum waktunya ia lahiran masih satu bulan lagi." "Tapi, aku khawatir sekali!" "Kita hubungi adik kembar. Mereka pasti tahu." Jemari kekar Drian menekan kontak Afisah dan menunggu panggilan terangkat. Dua kali berdering baru diangkat oleh gadis manis yang beranjak dewasa.
Malam Tanpa NodaDua orang sejoli berada di sebuah hotel bintang lima. Sang lelaki berada di atas tubuh wanita. Meliuk-liuk bagaikan ular.Suara mereka bagaikan nyanyian kerinduan. Rindu setelah semua terjadi. Rindu setelah kehampaan menyelimuti. Pikiran negatif selalu menghantui. Kecemburuan membuat Drian tak berpikir jernih.Drian melepaskan diri dan terbaring di samping wanita tanpa sehelai kain. Wanita berwajah boneka bibir manis istri Drian.Prily selamat dari aksi penembakan itu. Walaupun, dirinya koma untuk beberapa hari.Seluruh keluarga Mahendra berdoa kepada sang pencipta agar Prily diselamatkan dari maut.Airi melakukan amal secara besar-besaran meminta doa kepada anak-anak yatim piatu.Prily meletakkan kepala di dada bidang Drian. Memainkan jemari lentik memutar-mutar. Membentuk nama dirinya dan juga lelaki yang dicintainya.“Aku lapar,” rengek Prily.&n
Malam Tanpa NodaTubuh Prily dibawa dengan mobil ambulance. Selama perjalanan tangan Drian tak lepas dari wanita berwajah boneka.Pengorbanan untuk orang tuanya sangat besar. Rela mengorbankan nyawa demi belahan jiwanya."Prily, bertahanlah!"Air mata menetes di pipi lelaki itu. Para medis menawarkan diri untuk mengobati luka Drian."Tidak usah! Selamatkan saja istri saya."Tubuh Prily terkujur kaku bagian perut mengalir noda merah. Tangan petugas menekan bagian itu agar tak kehilangan banyak darah.Semua setok darah sudah dipersiapkan untuk Prily sesuai golongan darahnya. Golongan darah Prily mudah dicari, memudahkan para medis melakukan operasi.--Drian menunggu Prily di ruang tunggu operasi. Gelisah dan takut kehilangan wanita itu. Tak peduli Prily telah mengkhiantinya. Bermain api dengan Johan dan berakhir di tempat tidur.Melihat tubuh
Malam Tanpa NodaSemua serangan Drian tak dapat menyentuh kulit Johan sedikitpun. "Kamu tak akan bisa melawanku." Johan menyeringai. Setiap serangan selalu ditangkis.Kaki kekar Drian menendang ke arah perut Johan hingga lelaki perusak itu terjerembab di lantai, tawa terdengar di bibir Johan.Johan segera bangkit dan memiringkan kepala, Drian hendak menghampiri Johan namun, lawannya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya.Senyum menyeringai menghampiri Airi. Wajah tampan milik Johan menatap ibu dari anak-anak Mahendra. Menarik wanita itu kasar, Prily hendak menghalanginya namun kalah cepat."Drian!" panggil Airi.Johan menodongkan senjata dengan pelatuk menempel di jarinya. Tersenyum menyeringai, sekali tekan sejata api itu akan meledak dan masuk ke dalam kepala Airi dan napas akan terhenti dalam hitungan detik."Kamu mendekat aku pecahkan kepalanya. Mundur!" Membulatkan
"Kalau begitu. Jauhkan dia dan jangan ganggu wanita itu. Kamu tak ingat berapa umurnya?""Tentu Sayang. Sekarang kita selesaikan semua dan setelah itu kita bersenang-senang."Johan kembali menatap penerus Mahendra."Bawa semuanya ke mari dan habiskan mereka sekarang juga!"Teriakkan Johan menyadarkan Airi. Wanita itu membuka mata perlahan. Makian Drian membuat dirinya sadar sesuatu telah terjadi."Prily ...."Johan menoleh ke arah Airi. "Selamat datang Bunda. Bagaimana tidurmu?"Airi ingin bergerak namun, tubuhnya terikat."Lepaskan aku.""Lepas? Tidak!" Johan menyeringai."Prily, tolong ...."Wajah Prily berubah pucat. Ia tak tega melihat wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.Johan melirik Drian sinis. "Lepaskan wanita ini!"Tali yang mengikat Airi terlepas satu persatu. Airi menyent
Malam Tanpa NodaJohan sangat bergairah melihat hal ini. "Sangat cantik dan memesona," puji Johan. Drian berteriak memaki Lelaki itu dengan segala macam nama binatang. "Jangan sentuh dia!" teriak Drian. Rahangnya mengeras dan wajah memerah. Johan tak peduli tetap berjalan menuju wanita itu. Wanita cantik bagaikan bidadari. "Hentikan Johan! Kamu menyentuhnya akan aku bunuh!" ancam Drian. Wajahnya memerah urat leher terlihat membesar. Napasnya terputus-putus. Satu pukulan menimpa punggung Drian. Lelaki itu tetap bertahan. Johan menghentikan langkahnya, berbalik arah dan menghampiri Drian. Tersenyum menyeringai. Tubuhnya menjongkong menarik rambut belakang hingga rontok."Kamu ancam aku. Padahal, umurmu tak lama lagi. Ha ... ha ...." Menjambak rambut Drian lebih keras."Cuih!"Johan mengusap wajahnya dengan tangan kiri.Anak buah Johan menendang tubuh Drian berkali-k
Malam Tanpa NodaKedua tangan Fian terikat ke belakang, Fian tak sadarkan diri sejak beberapa jam lalu. Johan menatap lelaki gagah dan tampan dihadapannya."Bang ... bangun ...." Drian menatap kakak kandungnya yang belum sadarkan diri sejak beberapa jam. Memastikan keadaan lelaki itu baik-baik saja.Putra juga berada bersama mereka. Tiga lelaki terikat dengan lutut bertekuk di hadapan Johan.Putra juga diculik ketika mengantar kedua anak kembarnya ke sekolah. Fian tak menyadari kalau sang ayah telah diculik oleh mereka."Jangan sakiti anakku, Johan!" ancam Putra menatap tajam lelaki yang telah dianggap keponakan olehnya."Tenang saja Om. Rasa sakitnya hanya sekilas." Tawa mengema di pabrik tua itu."Mengapa kamu lakukan ini, Johan?""Om tak ingat?" Menaikkan satu alis ke atas. "Papaku meninggal karena Om." Kebencian terlihat jelas di mata Johan."Itu buk
Malam Tanpa NodaHari penembusan Lily telah tiba, Fian di temani Faisal menuju pabrik kosong pada malam hari."Om, yakin ini tempatnya?""Tentu saja.""Sepi sekali!""Pabrik ini sudah tak digunakan bertahun-tahun tentu saja tak berpenghuni."Fian mendesah panjang. Kedua tangannya membawa dua tas besar hitam kaluar dari mobil."Om, tunggu di sini," ucap Faisal."Baik, aku akan mencari mereka." Fian berjalan ke arah pintu masuk pabrik.Bulu leher Fian bergidik ngeri. Pasalnya, tempat yang sudah lama tak berpenghuni banyak sekali makhluk halus. Fian membuang pikiran negatif. Tujuannya saat ini adalah menjemput Lily."Tega sekali mereka kalau Lily berada di tempat ini."Fian berjalan hingga berada di pintu masuk pabrik. Pintu itu telah rusak dan tak terbentuk lagi.Suara dering telepon Fian memecahkan pikirannya saat ini. Fia
Malam Tanpa Noda"Sakit!" rintih Lily menyentuh perutnya."Kita ke bidan kemarin. Kamu tahan dulu." Prily menyalakan mesin mobil dan meninggalkan kediaman Johan."Aku gak mau, Prily. Aku ingin Fian." Lily meringis berkali-kali. Mengapa nasibnya seperti ini.Kehamilan pertama adalah hal yang ditunggu-tunggu. Seharusnya, Lily dimanja dan disayang Fian. Namun, ia jadi tahanan."Please! Kamu bersabar dulu. Kita gak mungkin melawan Johan. Keselamatan bayi dan dirimu bisa bahaya.""Aku ingin Fian. Aku ingin pulang," rengeknya bagaikan anak kecil."Sudah, jangan pikirkan hal itu. Lebih baik kita periksa kandunganmu. Bersabarlah!""Aku kangen suamiku. Apa aku salah jika merindukannya. Prily, tolong bebaskan aku!""Tidak bisa. Ini bisa berbahaya. Johan itu nekad."Prily membawa Lily ke bidan. Wajah istri mantan kekasihnya itu pucat dan merintih berkali-kal