"Apakah rasanya enak?" tanya Raras begitu antusias kepada wanita yang mengaku bernama Mega itu. Tentu saja Raras akan membanggakan makanan itu di depan wanita asing yang baru dikenalnya selama sepuluh hari.Mega mengangguk dan tersenyum tipis."Rasanya sungguh sangat luar biasa.""Aku sudah menduga, kau akan menjawab seperti itu," kata Raras kepada Mega. "Apa kau tahu? bahwa sarapan bubur udang ini dibuat oleh suamiku dengan penuh cinta?""Jangan berlebihan, Raras," kata Wisnu yang mulai tidak enak dengan Raras yang selalu membanggakannya di depan wanita itu.Mega sejenak melirik Wisnu yang terlihat tidak peduli dengan dirinya. Selama beberapa hari tinggal bersama, Wisnu sama sekali tidak memberikan dia kesempatan untuk mendekatinya."Ini pertama kalinya aku memakan bubur udang di pagi hari, rasanya sangat spesial," kata Mega jujur.Sejujurnya, bukan itu yang membuat dia iri, ketika dia baru selesai mandi tadi, dia sempat melihat bagaimana mesranya Wisnu dan Raras di dapur, dia terli
"Kau yakin akan meninggalkanku di sini, Raras?" tanya Wisnu berulang kali kepada Raras, ini adalah pertanyaan ke sekian yang diajukan oleh pria itu kepada Raras. Memang, mengunjungi rumahnya di Jakarta, selalu rutin dilakukan Raras, sekali enam bulan Raras takkan absen mengunjungi ayahnya, karena ayah sudah sepuh dan sering sakit."Apa kau ingin ikut?" tanya Raras pada Wisnu, melihat keraguan wajah pria itu, membuat Raras merasa geli. Padahal Wisnu sudah terbiasa ditinggalkan sendiri. Bagaimanapun, tempat wisata yang eksotik itu cukup ramai, sangat sayang rasanya ketika kafe mereka tutup. Mereka pun tidak bisa tidak memiliki karyawan yang bisa dipercaya. Mega tak bisa apa-apa selain bersih-bersih."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa meninggalkan kafe kita," sahut Wisnu.Raras kemudian memangku tangannya sambil memicingkan matanya."Ada dua cara. Pertama, aku tetap pergi dan kau ikut.""Itu tidak mungkin." "Kedua, aku batal pergi. Dan itu tak mungkin bagiku.""Ras ....""Sudahlah, apa y
"Kontak lampunya rusak," kata Wisnu kemudian. Dia sudah mengecek lampu tersebut, bahkan menukar bola lampunya, akan tetapi ketika kontaknya ditekan, benda itu sama sekali tidak menyala, bahkan setelah menggunakan lampu yang berbeda beberapa kali.Mega yang dari tadi mengamati Wisnu hanya menggangguk. Mereka cuma mengandalkan cahaya lampu dari ruang tamu yang masuk melewati pintu kamar."Lalu, bagaimana?" tanya Mega kepada Wisnu, sebenarnya ini pertanyaan yang cukup lancang.Wisnu tidak langsung menjawab, dia lebih memilih untuk keluar dari kamar."Bagaimana apanya?" kata Wisnu, kemudian mengusap keringatnya, semua itu tidak lepas dari tatapan Mega, entah kenapa, baginya suami orang itu ternyata lebih menawan daripada laki-laki tampan dan lajang."Saya tidak bisa tidur dalam keadaan gelap." Mega menunduk."Lalu apa yang harus dilakukan? apakah kamu ingin menyuruh saya memperbaiki kontak lampunya malam ini juga? sementara kamu tahu, bahwa saya sudah bersiap-siap untuk tidur.""Maaf, buk
"Kau yakin, tidak akan kembali ke perusahaan?"Ini adalah pertanyaan kesekian yang diajukan ayahnya kepadanya, dan sampai saat ini, Raras tetap saja tidak ingin berubah pikiran."Tidak, Ayah, aku sudah mengatakan ini berulang kali. Aku tak ingin bekerja di perusahaan." Raras kemudian memotong stiknya, suasana rumah sama seperti dulu, begitu sepi dan hening, padahal beberapa pelayan terlihat mondar-mandir. Tanpa bicara."Sejauh ini, Ayah sudah bersusah payah membangun perusahaan kembali, setelah mengalami kebangkrutan beberapa tahun yang lalu, dan kau lihat sendiri, Raras? saat ini Ayah sudah tua dan sakit-sakitan, Ayah tidak mungkin mempercayakan perusahaan kepada orang yang tidak ada hubungan pertalian darah dengan kita."Raras kemudian berhenti mengunyah, ia menatap wajah pasrah di depannya. Pria yang memilih hidup di rumahnya, demi mengenang mendiang istrinya, pria itu sama sekali tidak pernah menyerah dengan perusahaan yang sempat gulung tikar.Ayahnya sudah tua. Sementara dia me
"Sial," umpat Mega.Di sinilah dia sekarang, di sebuah penginapan sederhana yang tempatnya memang tidak begitu jauh dari cafe milik Wisnu. Pria itu begitu tega mengusirnya pada malam hari, memberikannya uang, dengan status pinjaman.Mega sama sekali tidak mengerti dengan pria itu, dialah satu-satunya laki-laki yang tidak pernah terpesona kepada dirinya, selama ini dia bisa menaklukkan siapapun, bahkan hanya dengan melempar senyumannya yang teramat manis."Aku jadi penasaran dengan pria itu," kata Mega sambil mengembuskan asal rokok dari bibirnya yang berwarna merah darah.Mega merebahkan dirinya di atas ranjang, rambutnya masih basah, tergerai di atas bantal, wanita cantik itu menerawang. Dia memang sudah menikmati semuanya, dulu dia menyangka, kekayaan adalah sumber kebahagiaan, sehingga dia selalu memikat pria kaya untuk peras uangnya, tetapi setelah berjalannya waktu, ketika dia menikah dengan pria paruh baya itu, dia merasakan, dirinya begitu kosong, dia tahu, bahwa cinta yang d
"Akhirnya ... kau pulang, Ras," sambut Wisnu sambil memeluk istrinya, cuma beberapa hari, tapi rasanya seperti sudah berpisah selama bertahun-tahun."Aku hanya pergi tiga hari, jangan manja," Raras terkikik. "Bagaimana keadaanmu?" kata Raras sambil meletakkan kopernya."Keadaanku? Tentu saja tidak begitu baik, aku menggenaskan tanpa ada kamu," kata Wisnu jujur. Raras hanya tertawa, dia merasa tersanjung. "Mas Wisnu kehilangan selera makan, Mbak." Tiba-tiba saja Mega hadir di antara mereka dan kehadiran Mega membuat suasana hati Wisnu memburuk."Aku tahu betul, dia tidak bisa hidup tanpa aku," sahut Raras."Kau tahu aku tidak bisa hidup tanpamu, tapi kau tetap saja pergi meninggalkanku. Apa tidak jahat namanya?" Wisnu menyodorkan air putih pada Raras."Aku sudah bilang, cuma pergi untuk waktu yang sebentar, ada suatu hal yang harus aku selesaikan dengan ayah." Wajah Raras berubah muram. Raras menggandeng Wisnu."Jadi, apa yang bisa aku makan?" Raras sengaja mengalihkan topik. Membic
"Mbak Raras hanyut!" teriakan keras didengar oleh Wisnu.Teriakan yang sukses membuat pria itu panik. Dia menuruni tangga rumahnya dan berlari menuju pantai. Di lantai bawah, dia melihat Mega yang berlari tanpa menggunakan alas kaki."Allahu Akbar," gumam Wisnu berusaha untuk tenang. Raras adalah perenang handal. Pantai dan laut adalah sahabatnya. Kenapa bisa? Apa Raras tengah mengerjainya?Wisnu berharap, Raras berpura-pura. Akan tetapi, Raras seperti kesusahan untuk menyelamatkan diri, Wisnu berlari sekuat tenaga mendekati wanita itu, tetapi Mega lebih dulu beraksi. Mega bahkan begitu sigap berenang, dia dengan tenaganya yang prima, berhasil menangkap Raras, membawa Raras ke tepian.Wisnu yang awalnya begitu panik dengan apa yang terjadi, melepaskan napas lega."Aneh, tidak mungkin Raras tidak bisa berenang," katanya di dalam hati.Wanita itu adalah pengendali lautan, tetapi melihat kondisinya seperti ini, pasti ada sesuatu yang tidak beres terjadi.Wisnu menyusul Mega, mengambil
Hidup tak pernah sempurna. Karena sejatinya manusia lahir di dunia hanya dengan satu tujuan, mereka akan diuji untuk menambah keimanan ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa ta'ala.Dua manusia yang saling mencintai itu, diuji dengan sebuah masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan cara sederhana.Setelah pertengkaran hebat dengan Wisnu, Raras masih duduk di tempat yang sama. Bahunya terguncang. "Apakah Mbak baik-baik saja?" sebuah seruan terdengar dari belakang punggung Raras. Raras berusaha menghapus air matanya, dia tidak ingin percakapan rahasia dengan suaminya itu bocor pada Mega."Aku hanya bertengkar kecil dengan suamiku." Raras membalikkan badan, duduk berhadapan dengan Mega.Mega menatapnya lembut. "Wajar pertengkaran terjadi dalam rumah tangga, semoga baik-baik saja."Perhatian kecil Mega membuat Raras tersenyum. Dengan Mega dia merasa tengah memiliki teman yang ada setiap saat di sisinya."Terimakasih telah menyelamatkan nyawaku. Aku berutang Budi padamu.""Tak ada isti
Tidak ada yang berbeda ketika Wisnu berada di rumah. Dia suka memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan, walaupun Raras berusaha membujuknya, pria itu tetap tak terpengaruh sama sekali."Rumah ini sudah terlihat berbeda dari terakhir kita meninggalkannya, bukan?" kata Raras, Raras berusaha bercakap-cakap, tetapi pria itu hanya diam saja."Kau masih ingat ketika kau lumpuh dulu? aku menggendongmu kesana kemari, alangkah indahnya masa itu, tidak terasa sudah bertahun-tahun berlalu, dan sekarang kita kembali di sini, tetapi suasananya sudah berbeda, tidak ada lagi tawamu seperti itu." Suara Raras serak.Raras menghela napasnya, sebenarnya, ia sudah lelah juga membujuk Wisnu. Akan tetapi, pria itu tetap teguh dengan pendiriannya, tidak terpengaruh sama sekali, ia tetap menjawab apa yang dikatakan Raras, tapi tidak seperti biasa, hanya perkataan 'iya' dan 'tidak' saja."Aku masih ingat bagaimana senyum lebarmu menyambutku ketika aku datang, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku,
Felicia tidak berdaya menolak kuasa Andrew. Pria itu memaksanya, dengan cara yang kasar, memerintahkan Felicia mengikutinya.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe. Sebuah kafe dengan tema alam yang bisa membuat pikiran mereka sedikit dingin, setelah perdebatan panjang selama beberapa saat.Felicia hanya perlu memasang taktik, untuk sementara ini, dia hanya perlu pura-pura patuh mengikuti Andrew. Dia hanya perlu cara licik, karena Andrew si pengawal dingin, bisa melukainya."Puas?" kata Felicia kemudian kepada Andrew."Untuk alasan apa?" tanya Andrew dengan senyum dingin."Kau berhasil menekanku, sehingga aku akhirnya takluk dan menuruti semua kemauanmu.""Sudahlah, Felicia. Kita ini adalah orang yang sama, kamu mencintai uang dan aku pun sama, aku tau ... kau menikah dengan suamimu karena uang, dan aku bekerja dengannya juga karena uang, jadi ... tidak ada yang lebih baik di antara kita, bukan?" Andrew menyantap santai steaknya."
Hujan tidak berhenti mengguyur desa sejak tadi malam, bahkan udara dingin ini tidak mematahkan semangat Wisnu untuk bangun jam 03.00 Subuh menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dia mendirikan dua rakaat salat tahajud yang tidak pernah absen dilakukannya. Dia adalah pria yang dibesarkan dengan agama yang kuat. Akan tetapi, sejauh ini, sebuah ujian sebagai suami, dia belum mampu membuat Raras untuk istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Wanita itu bahkan belum bisa menutup auratnya secara sempurna. Dia dulu pernah sempat memakai hijab, lalu kembali berhenti memakainya, alasannya karena merasa tidak nyaman. Entah untuk alasan apa, yang jelas ... Wisnu tidak pernah memaksakan. Yang penting, Raras bisa menunaikan kewajiban salat lima waktu. Memang benar, pengalaman agama Raras begitu minim, dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang moderat dan tidak begitu mementingkan persoalan agama, aqidah serta ibadah, akan tetapi Wisnu berusaha membimbingnya.Seusai salat tahaju
Walau keadaan terasa berbeda saat ini, Wisnu memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya. Mengamati Aryo yang sibuk melayani pembeli.Adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tampan, pemuda baik hati dan pengganti Wisnu di rumah itu. Dua adik Wisnu pun sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Begitu cepat waktu berlalu, membuat Wisnu merasa terharu. Andaikan ibunya masih hidup, tentu dia akan bangga memiliki anak-anak yang begitu pintar, cerdas, tampan dan cantik seperti mereka.Wisnu kemudian berusaha menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. Sudah tiga hari dia berada di sini, dan sama sekali dia belum berniat untuk menghubungi Raras. Dia sengaja mematikan ponselnya, bahkan beberapa kali Raras menelepon ke ponsel adiknya, Wisnu melarang untuk mengangkatnya, entah kenapa ... dia hanya butuh sendiri. Ketika mengingat tuduhan Raras, hatinya benar-benar sakit.Setelah pelanggan cukup sepi, Aryo kemudian mendekati Wisnu, pria yang tingginya sudah menyamai Wisnu itu, menatap sang kakak d
Katakanlah Felicia adalah jalang yang sesungguhnya. Wanita itu bahkan tidak butuh waktu lama untuk ditaklukkan oleh Andrew. Dalam beberapa menit saja, dia mengerang dan memohon kepada pria itu.Mungkin Andrew adalah pria yang bisa memperlakukan dia seperti apa yang dia butuhkan. Dia begitu lihai dalam memanjakan setiap inci kulitnya, semua itu membuat Felicia mengakui, bahwa Andrew adalah pria terbaik yang pernah menemaninya."Sialan kau, Andrew!" Felicia memakai pria itu, di tangah napasnya yang tersengal. Sedangkan Andrew memamerkan senyum iblisnya.Felicia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh, seakan tidak lagi memiliki harga diri di depan pria itu. Dengan mudahnya Andrew menghancurkan semua keangkuhannya, bahkan dengan status sebagai atasan itu, sama sekali tidak membuat Andrew segan padanya.Setelah pertempuran semalaman itu, paginya Felicia dihantam oleh kesadaran, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini, adalah hal gila yang selalu terulang. Ditambah kenyataan, dia tengah
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng