Bab 3
Kami semua terdiam, menunggu jawaban Bapak.
"Baik, saya terima, Bu."
"Alhamdulillah."
Air mata mengucur deras dari dua bola mata Ibu. Beliau mencium pipiku.
"Nduk, Ibu nggak pernah meminta muluk. Hanya ingin kamu bahagia. Jangan hiraukan uang, yang penting kamu bahagia. Jangan hanya karena kamu menikah dengan orang kaya, menjadikanmj pribadi yang jelek, sombong. Jangan ya, Nduk?!"
Aku mengangguk. Aku sedih, namun juga bahagia. Ah, ntah perasaan apa ini namanya?
"Ya, walaupun Nining hanyalah gadis kampung tak berpendidikan..."
Deg!
Aku dan Ibu saling pandang. Kami paham betul itu suara siapa.
Gawat, jangan sampai hal yang menimpa Dara juga menimpa denganku!
-
Setelah hari itu, aku menetap di rumah. Drama Keysha yang tak ingin jauh dari aku pun tak bisa dielakkan. Meskipun sekarang harus video call setiap hari.
"Nduk, kamu sudah yakin? Besok acara ijab qabulmu, loh."
Aku yang tengah membantu para tetangga masak di rumah, pun menghentikan aktivitasku memotong wortel.
"Memangnya kenapa, Bu?"
"Ibu hanya takut kamu nggak bahagia." .
Kupegang tangan tua itu, lalu mengusapnya lembut. Ah tidak, ini semua demi Keysha. Jika anak itu bahagia, akupun begitu. Mungkin karena kami terbiasa bersama, aku sudah terlanjur menyayangi anak berumur tiga tahun itu.
"Insya Allah, Nining siap, Bu. Ibu tinggal do'akan saja, ya."
"Pasti, Nduk. Do'a Ibu akan selalu untukmu."
Selesai memotong wortel, aku bersiap untuk salat dulu karena adzan dzuhur telah berkumandang.
Setelah selesai, kuangkat tangan, memohon padanya yang terbaik untuk jalan hidupku ke depannya.
"Ya Allah, jika memang ini takdir baik-Mu untuk hamba, bantu hamba untuk bisa ikhlas menjalani ini semua. Demi orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku. Semoga Ibu dan Bapak sehat, bahagia selalu hingga terus melihatku hidup bahagaia. Ampunilah semua dosa-dosaku."
Kubereskan bekas salat tadi dan berjalan ke luar kamar. Nampak suasana rumah sudah berbeda. Tenda dan dekorasi pernikahan sudah terpasang. Aku, akan menikah esok.
Saat hendak kembali ke dapur, samar-samar aku mendengar suara orang berbicara. Itu, suara Bude Karmi-istrinya Paman Saleh.
"Maafkan Bapaknya Wika ya, Mbak. Aku juga nggak bisa berbuat apa-apa. Beruntung, kemarin Mas Saleh belum keterlaluan ngomongnya," ucap Bude Karmi di kamar Ibu yang bersebelahan dengan dapur.
Apa? Belum keterlaluan katanya? Ingatanku kembali lagi ke waktu lamaran.
"Ya, meskipun Nining hanyalah gadis kampung yang kurang berpendidikan, semoga dia bisa menjadi istri yang berguna untukmu, Andra."
Deg!
Saat itu, hatiku rasanya seperti diremas. Apa Paman Saleh memang berniat merusak acaraku?
Baru saja hendak melangkah keluar, Pak Andra sudah tertawa terlebih dahulu.
"Iya, benar, Pak. Semoga saja Nining ada gunanya buat saya. Saya juga akan berusaha membuat diri saya bisa berguna untuk Nining. Karena pada dasarnya, suami-istri itu harus bisa melengkapi satu sma lain. Iya, kan?"
Makjleb!
Paman Saleh hanya terdiam. Aku sendiripun tak menyangka, Pak Andra akan membelaku begitu. Meskipun buat sesuatu yang ditonjolkan, tapi aku tahu jika ia sedang melindungi harga diriku.
"Mbak, ngapain?" Aku terkejut saat tepukan tangan Murni berakhir di pundak.
"Astaghfirullah, Murni. Kamu itu ngagetin aja!"
Murni terkekeh. Ia memang paling bisa membuatku merajuk.
"Mbak lagi ngapain? Nguping, ya?" tanyanya berbisik.
Aku hanya melengos, kemudian berlalu ke dapur. Pekerjaan masih banyak. Ibu memang sengaja memints bantuan pada tetangga terdekat saja. Karena jika terlalu banyak orang yang membantu, maka semakin banyak uang yang keluar. Bukan masalah pelit, hanya saja anggarannya tak ada.
Kemarin, Pak Andra memberikan uang lima puluh juta pada Bapak. Aku sempat bertanya-tanya, apa isi tas yang tak boleh kubuka itu, dan ternyata isinya adalah uang?
Namun, Ibu bersikeras hanya akan menggunakan uang itu sebagai pembayaran untuk dekor saja. Sedangkan sisanya akan diserahkan padaku nanti.
Aku sudah menolak, namun bukan ibu namanya jika tak memaksakan kehendaknya padaku.
-
Esok hari.
Aku sudah siap bermake-up saat ramai-ramai di depan. Mbak Yuni-penata rias- pun sampai berlalu ke depan. Aku sempat bertanya-tanya, namun mereka tak memperbolehkanku untuk keluar. Ada apa sih?
Murni datang. Terlihat sekali ia tengah berusaha menyembunyikan panik di wajahnya. Aku sendiri sudah penasaran akut.
Dengan susah payah, aku berjalan sambil mengangkat gaun yang kemarin kupilih sendiri di butik.
"Gimana ini, Mbak? Masa harus dibatalin?"
Deg!
Itu suara Bude Karmi. Ada apa ini? Apa yang harus dibatalin? Maksudnya, pernikahanku?
Tiba-tiba, kepalaku berdenyut. Terdengar juga suara Nyonya Mega yang terdengar khawatir.
"Tadi dia memang meminta untuk berbeda mobil dengan kami. Tapi sewaktu di jembatan, mobilnya tak ada di belakang kami."
Deg!
Lagi-lagi jantungku berdetak tak karuan. Pak Andra, apakah ia melarikan diri?
Ning, ayo masuk lagi. Kita selesaikan riasan." Mbak Yuni menarik tanganku menuju kamar.
Kupandangi diri di cermin. Sungguh, saat ini aku melihat diriku yang berbeda. Biasanya kucel, kusam, kali ini begitu cantik.
Namun, apa gunanya cantik tapi calon suaminya kabur?
"Eh itu datang!"
Aku mengangkat kepala. Lalu berjalan keluar. Kulihat Pak Andra keluar dari mobil dan berjalan pincang.
"Assalamu'alaikum."
"W*'alaikum salam," jawabku pelan.
Di hati ini satu perasaan lega, juga senang melihatnya datang. Kupikir, ia menjebakku karena tak ingin menikah.
"Maaf saya telat. Tadi mobil mogok. Jadi terpaksa dorong. Di sini kan gak ada bengkel."
Aku tersenyum simpul. Alhamdulilah, jika ia memang tak kabur dan ada alasan tersendiri.
"Ning, ayo!"
Aku tersentak saat Mbak Yuni sudah berada di belakangku. Ia menatapku sembari mengulum senyum.
"Kenapa, Mbak?"
"Yang mau jadi manten, udah gak sabar liat calon suami, ya? Ganteng sih, pantas aja kamu mau."
Aku tersenyum kecut. Bukan karena mau, Mbak, tapi ini masuknya pengorbanan juga. Eh tapi, kenapa aku nggak melihat Keysha sedari tadi?
Setelah make up selesai, kini Mbak Yuni pergi ke kamar sebelah untuk merapikan pakaian dan juga mengoleskan bedak di wajah Pak Andra. Duh, aku keduluan sama Mbak Yuni!
"Mbak, gimana perasaannya?" Murni bertanya pas sudah masuk ke kamar.
"Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Ya, menikah sama orang ganteng dan kaya itu, rasanya gimana?"
"Ya mana Mbak tahu, Mur. Kamu ini ada-ada aja, lah wong nikah aja belum!"
Murni terkekeh mendengar jawabanku. Aku berharap dia mendapatkan kebahagiaannya sendiri nantinya. Jangan sepertiku yang harus menikah karena perjodohan. Tapi, aku berdo'a semoga pernikahan ini adalah awal dari kebahagiaanku.
"Semoga suatu saat nanti, aku ketemu jodohku yang kaya Pak Andra itu ya, Mbak."
"Aamiin," jawabku.
Mulutku meng-aamiinkan, tapi hatiku tidak. Boleh saja soal kekayaan dan juga wajahnya. Hanya saja untuk sifatnya? Big no!
Bab 4Saya terima nikah dan kawinnya Ningsih Setya Dewi dengan mas kawin emas lima gram dan seperangkat alat salat dibayar, tunai!" ucap Pak Andra lantang. "Bagaimana saksi? Sah?" "Sah!" sahut saksi dan juga tamu yang datang. Setelah menandatangani buku nikah, lalu aku diminta mencium takzim tangan Pak Andra. Entah bagaimana, tiba-tiba Pak Andra malah menarikku dan mencium kening ini. Deg! Jantung, tolong baik-baik saja! --Setelah akad tadi, aku langsung dibawa ke kota. Tak ada kata istirahat buat Pak Andra. Ya aku paham, dia adalah seorang pembinis. Membuang waktunya, sama saja dengan membuang uang. Aku sudah berada di kamar. Kamar Pak Andra maksudnya. Kulirik jam, pukul sebelas malam. Kini, Pak Andra tengah mandi, sekalian melepas penat. "Kamu gak mau mandi juga, Ning?" Aku terkesiap saat mendengar suaranya, terlebih lagi, saat melihatnya hanya memakai handuk saja. Ia berjalan mendekat, semakin dekat, hingga melaluiku begitu saja. Setelah berpakaian lengkap, Pak Andra men
Bab 5Seorang wanita memakai busana kebaya, tampak anggun. Di sebelahnya berdirj seorang pria. Lelaki dengan senyum yang bahkan hanya beberapa kali kulihat. Pak Andra, tersenyum. Aku tak percaya, foto pernikahan kami menjadi wallpapernya. Aku pun belum pernah melihat album pernikahan kami karena belum jadi. Insya Allah, besok baru diantarkan. Tapi, dari mana Pak Andra dapat ini? Di sana memang aku tak melihat ke layar, aku tengah menatap ke arah lain. Perlahan, kurasa pipiku memanas. Pak Andra, ternyata bisa sweet juga. Ah, Ibu, putrimu memang sedang jatuh cinta! -Jarum jam di dinding sudah pukul satu siang. Sambil menunggu Keysha bangun, aku berjalan menuju kamar belakang. Berniat membantu Desi dan Mbok Minah yang biasanya tengah menyetrika di jam segini. "Enak ya, Mbok, jadi Nining. Aku juga mau, lah, kenapa harus dia, coba?" Aku berhenti saat mendengar suara Desi berbicara pada Mbok Minah. "Hust! Jangan ngawur, kamu. Coba kamu pikir lagi. Si Nining itu banyak kelebihannya.
Setelah beberapa menit, pesanan kami datang. Ayam goreng, ikan bakar, capcay, dan juga sambal dendeng. Aku melongo melihatnya. Kenapa makanannya banyak banget? "Kenapa, Dek? Nggak suka makanannya?" "Eh? Suka kok Pak, eh Mas." Oke, aku memang belum terbiasa dengan panggilan baru ini. Kami mulai menyantap hidangan. Aku hanya mengambil capcay dan juga sambal dendeng. "Nih, makan," ucap Mas Andra saat aku menyuapi Key makan. Aku tertegun saat Mas Andra menaruh daging ikan yang sudah terpisah dari durinya, ke atas nasiku. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Usai makan, Mas Andra mengantar kami pulang, lalu langsung pergi lagi menuju kantor. Saat masuk ke rumah, Ibu yang tengah menonton televisi segera menghampiri kami. "Key, ke Mbak Desi dulu minta mandi, ya? Habis ini kita jalan-jalan sama Oma."Mendengar kata jalan-jalan, Key segera pergi ke belakang seraya memanggil Desi. Tanganku segera ditariknya menuju sofa. "Bagaimana, Ning?" tanya Ibu. "Bagaimana apanya,
"Pa, laper," ucap Key yang sedang dalam gendongan Mas Andra. "Ya sudah, kita makan, ya?" Kami pun masuk ke dalam restoran makanan. Tiga minggu menjadi istri Mas Andra membuatku mulai terbiasa dengan gaya makannya. "Keysha tunggu di sini sama Mama, ya? Papa mau ke depan, pesan makanan." Anak itu mengangguk. Mama. Baru kali ini ia membahasakan Mama untukku pada anaknya. Biasanya, ia hanya akan menunjukku. Tak lama kemudian, Mas Andra daang membawa makanan yang sangat membuatku takjub. "Mas, kenapa ayamnya banyak sekali? Satu juga cukup, kok!" protesku. "Kamu ini, Dek, tinggal makan aja kok banyak protes." Aku hanya garuk-garuk kepala. Baiklah, nanti saat pulang aku akan meminta yang satu dibungkus saja, untuk Desi di rumah. --Saat sampai di rumah, aku memberikan bungkusan makanan pada Desi dan Mbok Minah yang tengah duduk usai salat maghrib. Saking asyiknya kami main, jadi lupa waktu. "Makasih banyak ya, Ning," ucap Mbok Minah. Aku mengangguk, kemudian masuk ke kamar mandi.
Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya."Mama, tadi itu siapa?" tanyanya. Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega. "Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma." Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini. Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih. "Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku. "Mau dong, Ma." Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut. Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa
Sekarang, kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Aku menghela napas panjang, menghampiri suami yang masih duduk di sisi ranjang Mbak Rosa. "Biarkan aku yang pergi, Mas. Aku sadar diri. Memang sebaiknya, dari awal aku tak pernah menyetujui pernikahan ini," ucapku. Mas Andra mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dek. Kamu tak perlu pergi. Apa kalian tak bisa hidup satu atap bersama? Atau, Rosa, bagaimana jika kamu pergi dari sini?" Mata Mbak Rosa melebar. Ia pasti tak menyangka akan diusir oleh suaminya. "Nggak, Mas! Suamiku ada di sini, begitupula dengan anakku. Kenapa nggak pelakor itu aja?!" "Mbak, aku ini bukan pelakor! Kenapa selalu saja memanggilku dengan sebutan itu?!" "Karena kamu memang pelakor." Aku tersenyum sinis. Kesabaranku benar-benar diuji oleh wanita itu. "Ya, katakanlah aku pelakor. Setidaknya, aku tak akan pernah meninggalkan anak dan suamiku, aku mengurus anak yang ditinggalkan oleh orang yang menuduhku pelakor. Aku mengurus suami oleh oran
Andra mendongak, kedua matanya terus memandangi wanita di hadapannya itu. "Apa maksudmu?" "Kamu memang lebih mencintai wanita itu, kan? Jawab, Mas! Kamu memang telah berubah. Hiks." Andra termenung. Benarkah ia sudah mencintai Nining? Gadis desa yang terpaksa dinikahinya itu? Rosa mulai menangis. Awalnya hanya isakan saja, tapi lama kelamaan berubah menjadi kencang. Andra pusing mendengarnya. Ia sudah mengorbankan waktunya, seharusnya ia sudah berangkat kerja tadi pagi. "Argh!" Andra bangkit dan keluar. Tak mempedulikan Rosa yang mencoba menarik perhatiannya lewat tangisan. "S*al!" Rosa memukul ranjang, rahangnya mengeras. Baru kali ini, ia merasa diremehkan. Andra, memang sudah berubah padanya. Sebuah seringai jahat, terbit di bibir seksi milik Rosa. Wanita itu mulai menggumam."Lihat saja, Mas. Apa kamu masih dapat membela Nining dan cuek padaku nantinya?"-Pov Nining Beberapa hari setelah insiden kedatangan Mbak Rosa, akhirnya diputuskanlah kalau aku dan Mbak Rosa akan ti
"Key, nanti dulu, kan belum sisiran." Citra datang dengan napas tersengal-sengal. Aku menatap ke arah Keysha. "Key, tadi pakai bajunya sambil lari-larian, ya?" tanyaku dengan nada tegas."Iya, Ma."Kulepaskan pelukan ditubuhya, lalu menatap manik berwarna cokelat itu. "Kan sudah Mama bilang, jangan seperti itu. Kasihan Mbak Citra." Key hanya mengangguk, detik kemudian aku dan dia tertawa. Selalu seperti ini, aku tak bisa marah padanya. S*al emang. "Sini, Cit, biar saya aja yang nyisirin rambutnya. Kamu istirahat aja."Tak sengaja, aku melihat Mbak Rosa tengah menatapku tajam. Aku hanya melengos. Jika dibiarkan, wanita itu bisa saja terus memperlakukanku begitu. "Mas ikut ke sekolahan, Ning."Aku menoleh padanya yang sedari tadi fokus makan. Begitupun dengan Mbak Rosa. "Baik, Mas," jawabku sambil tersenyum. "Ehm, kan ibu kandungnya Keysha itu saya, jadi biar saya saja yang pergi. Kamu di rumah," ucap Mbak Rosa tiba-tiba. Aku dan Mas Andra sama-sama terkejut, apalagi lelaki itu
"Des?" panggilku. "Ah, iya, Bu." Lalu muncul Ibu dengan tergesa-gesa. Beliau langsung berlari ke tempat anak bungsunya itu. Bukannya memeluk, beliau malah memukulnya. "Bagus, ya! Kerjaanmu itu gak jelas! Pergi-pergi terus gak pulang-pulang! Sekalian aja lupain kalau Ibu sudah meninggal!" "Ibu! Kok gitu? Ibu gak boleh meninggal sebelum Kino menikah." "Menikah? Alhamdulillah, Ya Allah! Kamu sudah punya pacar, Kin? Siapa itu?" "Ada, Bu. Nanti Kino kenalkan. Sekarang dia lagi jauh." Jauh? Ah, tentu saja. Kenapa aku berpikir kalau Kino ada hubungan dengan Desi? Ibu pun mengajak Mas Kino ke meja makan dan mengambilkan jus jambu kesukaannya. "Kok pulang nggak ngasih kabar?" "Kan surprise, Bu." "Ya sudah, Ibu tinggal dulu ke kamar. Kamu habis ini istirahat." Ibu menarik tanganku ke kamar, lalu menutup pintu meski tak rapat. "Bu, ngapain?" "Sssst! Diem dulu." Tak lama kemudian, Kino ke depan, menghampiri Desi yang tengah duduk di tangga. Mataku membulat, saat melihat Kino memeluk
Aku tersenyum, dasar mirip bocah! Selesai menyuapi Ghani dan Shani, aku pun mengajak mereka ke kamar Keysha untuk kususui sambil menunggu Keysha pulang sekolah. Kuminta Desi untuk ikut, sambil menjaga Shani yang nanti menunggu giliran kususui. "Pacarmu orang mana, Des?" tanyaku. "Eh? Emmm, gak jauh dari sini kok, Ning.""Aku kenal?" Pelan, Desi mengangguk. Hal itu membuatku makin bingung dengan teka-teki pacarnya Desi ini. Jika aku mengenalnya, lantas ia siapa? "Siapa?" "Ada deh, nanti juga dia datang ke sini." Aku mengangguk saja, tak ingin mengorek lebih dalam lagi. Aku sadar akan privasinya. Jika ia mengatakan akan mengenalkannya padaku suatu hari nanti, maka aku tinggal menunggu saja. Lalu kami bercerita lagi, tentang apapun. Sampai aku tak sadar jika Ghani sudah terlelap. Kupindahkan Ghani ke tempat Shani, lalu Shani pindah ke tempat Ghani untuk kuberi asi. "Nikah itu, enak gak sih, Ning?" tanya Desi tiba-tiba. "Ya ada enaknya, ada gak enaknya. Tinggal gimana kita dan
"Bu Nining tenang saja, Pak Andra ga mungkin nikah lagi. Orang kaya kulkas gitu, siapa yang mau?" "Buktinya, Mbak Nesha mau tuh. Andai Mas Andra ngeladenin, pasti mangsanya itu Mas Andra.""Untungnya Pak Andra gak nanggepin, ya?" Aku mengangguk. Lalu fokus mengambil bayam yang sangat menggoda mataku itu. "Bu Wina juga katanya nemuin duit di tumpukan selimut yang nggak pernah dipake. Pas ditanya, katanya mau buat gugurin kandungannya Bu Nesha." "Apa?" Kami semua terkejut mendengar penuturan Bu Dian. Selama ini, Bu Wina memang lebih dekat dengan Bu Dian, sehingga beliau selalu up to date tentang temannya itu. "G*la, ya? Jadi perempuan itu sudah hamil?" Aku benar-benar tak menyangka dengan berita pagi ini. Mbak Nesha, pantas saja akhir-akhir ini sering pakai baju kegedean, nyatanya ada yang tengah coba ia sembunyikan?Setelah membayar belanjaan, aku pun pamit pulang pada ibu-ibu yang lain. Kasihan Shani dan Ghani yang belum sarapan. "Des, sudah siap sarapan si kembar?" "Sudah, Bu
"Hampir, andai Winto tak melihatmu, mungkin orang itu sudah membawamu pergi.""Ah, nggak sampai hutang budi kok, Mbak. Biasa aja." "Jadi, Nesha yang centil itu, istrimu?" "Mantan istri, Mbak." "Kok, semalem aku nggak lihat kamu? Kapan datangnya?" "Pak Winto datang setelah Ibu pulang. Paling selisih tiga menit Ibu masuk, mobil Pak Winto datang." "Oh, iya. Bagus lah kalau kamu ceraikan dia. Bukan bermaksud mengompori, tapi istrimu itu emang benar-benar, kok! Masa rumah tangga anakku mau dirusakin?" "Ah, masa, Mbak? Benar begitu, Bu Nining?" "Panggil Nining saja, Pak. Iya, begitu lah, Pak." "Ah, kan Bu Nining istrinya Pak Andra, jadi saya harus menghormati. Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau kelakuan mantan istri saya keterlaluan ya, Pak, Bu, Mbak." "Nggak papa, Win. Namanya manusia. Tapi untungnya anakku nggak goyah. Mantan istrimu itu pakaiannya sexy banget. Sampe mau muntah aku lihatnya." "Bu...." Mas Andra mengingatkan Ibu, supaya jangan terlalu jauh menceritakan tentang
"Betul." "Ingat, ya. Kalau aku jadi Bu Wina, bukan hanya kupukul kalian, tapi kumusnahkan senj*t*mu dan kucabein punya si perempuan. Jangan main-main sama aku, Mas." "Ish! Ngeri amat, sih?" protes Mas Andra dengan wajah meringis, aku malah jadi ingin tertawa melihatnya. "Makanya, mau gitu, nggak?" "Ya nggak, lah." "Bagus!" "Punya satu aja pusing, apa lagi dua." "Apaaaa?" --Pagi hari. Biasanya aku hanya mengurus Keysha, namun kali ini juga ada Aura. Meski mempunyai Sinta dan Desi, tapi aku tetap akan turun tangan jika itu urusan anak-anak. "Aura, nanti setelah mandi, ambil seragam sekolah di rumah, ya? Biar diantar sama Mbak Desi. Soalnya Kalau bareng sama Keysha, beda arah," ucapku sambil mengolesi salep di bekas lukanya. Memar yang terlihat seperti baru, kupikir hanya bagian lengan saja, tapi ternyata saat Desi membuka bajunya, makin banyak terlihat. Aku sampai bergidik ngeri, kok ada ibu sejahat ini pada anaknya? "Aura, kenapa banyak luka begini?" "Karena Aura nakal, T
Aku membeliakkan mata saat melihat Mbak Nesha terkena tinjuan Pak Winto. Lelaki itu bukannya merasa bersalah telah meninju istrinya malah makin menjadi. Beruntung, semua itu bisa dipisahkan dan akhirnya Pak RT duduk di antara mereka. "Jadi bagaimana ini, Pak Winto? Bu Wina?" "Saya sih sudah nggak mau tahu, Pak RW. Pokoknya saya mau mereka diusir dari sini." "Ma, kan tadi Papa sudah bilang..." "Maaf, Pa, tapi kami menolak kehadiran Papa di tengah-tengah kami lagi," ucap Wandi sambil berdiri di samping Bu Wina, begitupun Meriska. "Begini saja, silakan selesaikan urusannya secara pribadi. Tapi, kami mengharapkan hal seperti ini tak akan terulang kembali, alis Pak Adi dan Bu Nesha pergi dari komplek ini," ucap Bu Dian. "Saya setuju." "Saya juga." Terdengar sahutan dari yang lain. Begitu pula aku dan Mas Andra. Lelaki itu sibuk menggenggam jemariku. "Tapi, Papa mau ke mana kalau nggak di rumah kita, Ma?" "Ya terserah. Pergi saja sama wanita selingkuhanmu itu. Lagi pula, itu rumah
"Mas!" teriak Bu Wina. Namanya wanita, maka akan tetap berperilaku seperti wanita. Di luar tadi, Bu Wina mengatakan takkan mengeluarkan satu tetes pun air mata untuk kedua pasangan zina itu. Nyatanya, kini wajahnya sudah bersimbah air mata. "Mama." Bu Wina merangsek maju, menarik selimut yang digunakan oleh Mbak Nesha untuk menutupi badannya. Saat semuanya tersingkap, aku langsung menyuruh Mas Andra untuk keluar. "Iya, Ning, aku juga takkan melihat." Ibu-ibu lain sudah menjambaki Mbak Nesha, sementara aku masih bingung harus berbuat apa?"Ibu-ibu, jangan main hakim!" teriak Pak RW, sementara Pak RT sudah dalam cengkeraman Pak Satpam. Teriakan Pak RW nampaknya tak dihiraukan oleh ibu-ibu itu, sementara warga lain yang mungkin mendengar suara bising dari rumah ini pun keluar. "Sudah, Bu Wina. Jangan disiksa, nanti kalau dia mengadu pada polisi bagaimana?" "Biarkan saja, Ning! Dasar lakor murahan kamu, ya! Sudah jadi bini kedua, masih aja nggaet suami orang. Sadar woy! Busuk m***
"Sudah kamu hubungi, Mas?" Mas Andra mengangguk. Aku melihat jam di dinding, sudah pukul sebelas malam. Apakah tindakanku ini tak sembrono? Ah, semoga saja tidak. Bismillah, semoga ini adalah titik terang di balik siapa sebenarnya suami Mbak Nesha itu. "Kamu benar melihat Pak RT di sana, Ning?" tanya Bu Mega. Beliau kuberi tahu karena melihatku dan Mas Andra turun dengan tergesa."Iya, Bu. Masa Nining bohong?" Ibu hanya nyengir saja, kemudian ikut kami keluar. Bu Aisyah dan suaminya sudah keluar, Bu Isah, Bu Dian, pun begitu. Kami semua berkumpul di depan rumah Bu Dian. "Memang siapa yang di rumah itu, Bu Nining?" "Suaminya Bu Wina," jawabku sambil berbisik. "Hah? Pak RT?" Aku mengangguk, kemudian kami menoleh saat ada yang baru bergabung. Dia Bu Wina. Aku terkesiap saat melihat di tangannya banyak perkakas. "Sebenarnya aku sudah curiga kalau suamiku ada main sama perempuan tak jelas asal-usulnya itu." Kami semua terperanjat. Niat hati ingin menenangkan dan memberi kesabaran,
"Ma?" "Eh, iya, Sayang?" Aku tersentak saat Keysha memanggilku. "Ayo masuk. Adek Shani bangun." Aku mengangguk, kemudian menuju kamar dan menggendong Shani yang tengah digendong oleh Mas Andra. "Papa, minggu depan ada acara rekreasi sama teman teman sekolah," ucap Keysha seraya mengulurkan selembar kertas yang memiliki cap sekolahan TK. Darul Iman itu. "Tanya Mama dulu, Key, mau nggak?" "Gimana, Ma?" "Harus sama wali murid?" Keysha mengangguk. Aku bimbang. Jika aku ikut, maka kasihan Shani dan Ghani karena kuajak pergi terus. Tapi, tak apa kan? Bukannya itu bagus? "Ke mana rekreasinya?" "Ke taman mini, Ma." Aku mengangguk, lalu terkekeh saat melihat anak kecil itu melompat riang.--"Kamu yakin mau ikut rekreasi?" tanya Mas Andra saat kami hendak bersiap untuk tidur. "Iya, Mas. Sekalian kita jalan-jalan. Nanti ajak juga Desi. Kebetulan, besok pagi Bik Minah datang, kan?" "Iya, sih. Emang hari apa perginya?" "Tuh, kan? Makanya kalau ada surat dari sekolahan begitu, usahak