"Apa, Mah?" sahut Gaia pelan, membuat Mona semakin merasa bersalah biasanya bawaan Gaia sangat ceria. "Maafin Mama soal tadi, ya. Mama, gak maksud bentak kamu, Mama hanya khawatir sama kamu," lontar Mona lembut, ia memandang anaknya dengan tatapan berkaca-kaca."Mama, udah jangan nangis. Gaia gak papa, kok. Gaia udah maafin, Mama," seru Gaia ia menarik tangannya dari genggaman Mona lalu mengusap wajah sang Mama yang menitihkan air mata. "Mama bener-bener ngerasa bersalah, Sayang, Mama udah bentak kamu," ungkap Mona yang dibalas ulasan senyum oleh Gaia. "Gak papa, Mah, Gaia paham kok, Mama gitu buat kebaikan Gaia juga. Udah jangan nangis, Gaia sayang banget sama Mama," ujar Gaia lalu memeluk tubuh Mamanya."Udah ah, jangan mellow gini. Mendingan kita berangkat aja," tutur Mona yang balas anggukan Gaia."Mas, ayo kita berangkat! Sini Ghibrannya," pinta Mona yang dibalas anggukan sang suami, lalu lelaki itu memberikan Ghibran lalu memasuki mobil dan melajukan kendaraan roda empat ter
"Dasar! Main nyuruh-nyuruh aja, iya sih dia istri Bos tapi tetap aja umurnya masih dibawah gue," dumel Wita masih terdengar oleh Mona membuat wanita itu menghela napas. "Kenapa gak boleh sih, Mon, tangan aku gak kotor kok," ujar Aurel sendu. "Memang kamu bisa gendong Ghibran sedangkan tanganmu itu membawa rantang. Mendingan kasih dulu bekalnya ke Mas Kean, lalu kamu bisa ketemu kami lagi dan bisa gendong Ghibran," jelas Mona membuat Aurel mengangguk dan cengengesan. "Eh iya, ya, aku sampe lupa bawa bekel nih. Ya udah aku ke ruangan Mas Kean dulu ya," pamit Aurel yang dibalas anggukan Mona, wanita itu langsung berlalu pergi. Mona memutuskan menunggu sang teman, ia mengajak anaknya bercanda. Kaki wanita itu mulai terasa lemas, dia memilih untuk duduk di kursi. Beberapa menit kemudian, terlihat Aurel yang melambaikan tangan."Maaf, kamu pasti nunggu lama, ya," lontar Aurel yang dibalas anggukan Mona. "Ishhh ... bilang enggak, napa! Malah ngangguk segala, aku jadi merasa bersalah, ka
"Dih, manja! Udah tua juga," goda Mona tetapi ia melakukan apa yang dipinta suaminya. "Manjanya cuma ke istri, ya gak papa," balas Arka memamerkan giginya lalu melahap makanan yang disuapkan oleh Mona. "Iyain aja deh, biar seneng," jawab Mona membuat Arka terkekeh malah membuat ia tersedak. "Haduh, hati-hati, Mas! Ini minum," ucap Mona menaruh sendok lalu mengambil botol minuman dan menyodorkan ke suaminya. "Udah nih, ayo suapin lagi, tapi biar aku yang gendong Ghibran, pasti kamu pegel banget," pinta Arka dibalas anggukan Mona, lalu wanita itu langsung memyerahkan anaknya dan leluasa menyuapi sang suami. "Cie ... disuapin niye," goda Kean kala pria itu membuka pintu ruangan atasanya membuat Arka dan Mona menoleh. "Apaan sih, Kean! Gak sopan banget langsung masuk aja," sembur Arka kesal karna momennya terganggu oleh pria yang merangkak menjadi sekertarisnya itu. "Kalau gak gini, gak bakal nemu momen begini," lontar Kean lalu tertawa kala melihat Arka mendengkus. "Mas! Jangan g
"Ih ... kamu ini, padahal aku mau pamer ke Kean tau," keluh Arka pelan, membuat Kean tertawa dan Mona langsung menoleh memandang suaminya. "Pamer apaan sih, gak jelas banget deh. Mendingan kamu makan yang banyak aja, Mas!" perintah Mona lalu wanita itu bangkit mendekati Aurel yang tengah menimang Ghibran. Kedua wanita itu kini fokus ke arah bayi kecil tersebut. Bahkan mereka mengabaikan para suaminya. Kean merengut begitu pula Arka. "Duh, istri-istri kita berpaling nih. Mereka malah fokus ke Ghibran," dumel Kean membuat Arka menoleh lalu mengangguk mengiyakan. "Ghibran lebih menawan dari kita, sampai-sampai mereka mengabaikan kita ini," lanjut Arka lalu melirik jam, ia memekik terkejut. "Haduh! Gue lupa belum kasih tau Atha jemput Gaia," pekik Arka spontan membuat Ghibran terkejut lalu menangis. "Pelankan suaramu, Mas! Mendingan ayo cepat telepon Atha, minta tolong dia jemput anak kita," lontar Mona memandang kesal suaminya, ia bahkan sampai menegur lelaki itu.Arka langsung mel
"Kamu dari mana aja sih, Kakak sampe keliling cariin kamu sampe ke orang gila gini. Rambut sama pakaian acak-acakan," cerocos Atha dengan napas masih terengah-engah membuat Gaia melirik badan Atha dari atas sampai bawah. "Hahaha ... memang mirip orang gila, Ka! Tapi ini versi pakaian bagus gak compang - camping," sembur Gaia membuat Atha mengerucutkan bibirnya tanda ia merajuk dan kesal. "Hei! Kakak itu udah tua, jangan kebanyakan merajuk gitu, nanti cepet keriputan lho," tutur Gaia membuat Atha mendengkus lalu lelaki itu memilih menggenggam jemari sang gadis lalu menariknya perlahan agar mengikuti langkah dia."Ayo ah cepet! Kakak laper nih. Belum makan siang, tadi Papamu ngechat pas Kakak baru makan sedikit makanan di kantin," ujar Atha lalu masuk ke mobil kala Gaia juga sudah di dalam kendaraan tersebut. "Gadis kecil! Kenapa kamu selalu lupa pake sabun pengaman," desis Atha kala melihat Gaia memainkan ponsel kala masuk ke mobil, lelaki itu langsung memakaikan sabun pengaman memb
Keluarga kecil itu pulang dari kantor jam sebelas. Gaia masih terlelap di mobil sedangkan Mona memilih menjaga anakanya. Senyuman lega terukir kala sampai kediaman. "Kamu gendong Ghibran ya, biar Mas yang gendong Gaia," lontar Arka yang dibalas anggukan Mona, wanita itu sudah keluar mobil dan membenarkan selimut di tubuh Ghibran agar tak kedinginan. "Ayo Sayang, buka pintu," perintah Arka kala melihat istrinya tengah mencari kunci di tas."Sebentar, Mas. Kuncinya belum ketemu, sabar napa," jawab Mona yang disambut helaan napas Arka, lelaki itu telah memakaikan jas miliknya ke sang anak gadis. Suara pintu terbuka membuat kedua manusia itu mendongak. Dara yang membukakan benda itu langsung menyodorkan kertas pada Mona. Lekas wanita tersebut terima dan bergegas masuk ke kediaman karna hawa dingin sangat menusuk. "Untung kamu bukaan pintu, Ra. Diluar dingin banget sumpah," celoteh Mona kala melihat Dara tengah mengunci pintu. Dara berbalik memandang Mona lalu wanita itu menunjuk kert
"Makasih mau bantuin, tapi gak papa. Mas Arka pengen buatanku bekalnya, katanya kangen," seru Mona seraya mencubit pipi Dara membuat wanita itu memekik kaget tanpa suara. "Sorry ... sakit ya," kata Mona mengusap pipi Dara, wanita itu mengangguk sebagai jawaban."Ayo kita masak! Keburu pada bangun nanti," ucap Mona yang dibalas anggukan lagi oleh Dara, mereka langsung melakukan tugas masing-masing. "Bilang aja gak mau kasih tau makanan kesukaan Mas Arka, ketauan banget takut tersaingi," cibir Dara dalam hati sesekali melirik sinis Mona yang fokus memasak seraya bersenandung. Jam sudah menunjuk angka enam, makanan telah terhidangkan. Mona bergegas menuju kamar sang suami untuk membangunkan pria tersebut. Beruntung Ghibran masih terlelap di kasurnya. Ia segera mengguncang tubuh Arka."Mas ... ayo bangun! Makanan udah siap," ucap Mona pelan, takut membangunkan sang buah hati yang nyenyak sekali."Eughhh ... apa sih, Sayang. Mas masih ngantuk nih," kata itu keluar dari bibir Arka yang m
Mona mengantarkan Gaia dan Arka ke luar rumah. Ia segera menghentikan lambaian tangan kala sudah tak terlihat kendaraan roda empat milik suaminya. Wanita itu teringat jika ingin melihat apa yang ditulis oleh Dara, bergegas masuk ke kediaman lalu menuju bak sampah dan mengambil lembaran kertas tersebut. "Akhirnya ketemu juga, duh tempat sampahnya bau banget!" keluh Mona seraya menutup hidung. "Apa ya kira-kira yang Dara tulis, ishh ... aku kenapa jadi curiga gini sama temen sendiri," gumam Mona pelan, ia masih memegang kertas itu lalu memilih duduk di kursi untuk menenangkan detak jantung yang tiba-tiba berpacu begitu cepat. Baru saja Mona hendak membaca kertas itu, suara tangisan membuat ia menghentikan kegiatannya. Wanita tersebut langsung bangkit, lalu menatap Ghibran yang berada dalam gendongan Dara. Tanpa sadar menaruh kertas di meja, Dara mengembuskan napas kala melihat Mona belum membaca tulisannya. "Sayangnya Mama, udah bangun ya," tutur Mona ia mengambil Ghibran dari gendo
Beberapa tahun berlalu, anak perempuan Mona kini beranjak dewasa, ia berusia tujuh belas tahun. Sedangkan putranya sembilan tahun. Sepasang suami istri itu kini menjemput Ghibran. "Jangan suka bolos dong, Sayang. Momy pusing selalu dipanggil ke sekolah gara-gara kelakuan kamu," nasihat Mona. Ghibran hanya menganggukan kepala, lelaki itu malah memainkan ponselnya. Arka yang melihat dari kaca geram, ia menghentikan kendaraan roda empat dan menatap kesal ke arah Ghibran. "Ghibran! Kamu denger gak sih kata Momy, kalau dinasihatin itu dengerin! Jangan sambil main handphone," omel Arka. Ghibran yang mendengar omelan Papanya itu langsung memasukan benda pipih tersebut ke saku. Ia segera menundukan kepala kala melihat tatapan tajam Arka. "Ghibran dengerin kok, Dad." Arka yang mendengar sahutan dengan nada malas itu membuat ia geram. Lelaki tersebut turun, lalu membuka pintu belakang. "Ayo turun! Kamu pulang jalan," sentak Arka. Mona yang mendengar itu membulatkan mata, sedangkan
Sorenya Dara benar diantarkan pindah oleh Amel, bahkan wanita itu terkejut karena semuanya telah disiapkan. Kini hanya Dara dan Annisa yang berada di kontrakan. Mona telah pergi bersama Gaia, Ghibran di gendongannya, pulang pakai taksi. Annisa merapikan semuanya, sedangkan Dara melihat sekeliling. Kontrakan ini sudah dibiayai beberapa bulan, kalau sudah sembuh dan melakukan operasi lagi. Ia berencana melamar kerja diluar. "Mendingan kamu istirahat aja, lumayan capek juga kan sampai sini," seru Annisa. Perempuan itu kini tengah memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas pekerjaan jadi bertambah, Anisa berdoa semoga Dara tidak mengerjainya. Dara menganggu, dia perlahan menuju kamar dan berbaring di ke ranjang. "Ahh ... tempat ini sangat kecil sekali, jauh berbeda sama kediamannya. Tapi ... udah dikasih tempat aja allhamdulillah." Dara berkata dalam hatinya, ia memejamkan mata lalu terlelap. Sedangkan Annisa sibuk memasak dan merapikan barang. Dia mengembuskan napas lalu langsung du
Setelah mengatakan itu, Mona langsung membuka pintu. Lalu matanya melihat kedua asisten. "Tenang aja, kalian bisa lakuin pekerjaan lagi. Aku mau menyelesaikan urusanku dulu," ucap Mona lembut. Setelah mendapatkan anggukan, Mona langsung menutup pintu lagi. Tatapan itu tajam bak pisau yang baru diasah. Dara yang mendapatkan itu, mendadak nyalinya menciut. "Aku menyayangimu, aku menganggapmu sebagai saudara. Tapi inikah balasanmu, hendak merebut suamiku!" sinis Mona. Mona mencengkram bahu Dara dengan kuat, melampiaskan kekesalannya. Lalu ia mengembuskan napas menetralkan kemarahan dan kekecewaan pada sang teman. "Sudahlah, yang penting Mas Arka gak melirik sedikitpun. Tapi tetap saja! Hati ini hancur gara-gara kamu melakukan hal itu," ungkap Mona. Dara juga ikut menitihkan air mata, ia menepis tangan Mona yang memegang bahunya. Wanita itu langsung mengambil buku dan pulpen di laci lalu menulis sesuatu dan memberikan kepada Mona, kemudian mengempaskan bokong ke ranjang karena kaki
Arka menghela napas kala mendengar dengkuran halus sang istri. Ia memilih tidak ambil pusing dam ikut menjelajah alam mimpi. Sedangkam di kamar Dara, wanita itu terus memikirkan apa yang dikatakan Mona. "Apa dia tau?" Dara bertanda pada dirinya sendiri, karena frustasi menjambak rambut. "Ahh ... ini membuat gue pusing, apa yang harus dilakukan." Wanita itu terus memonolog, ia menjatuhkan tubuh ke kasur. Memikirkan perkataan Mona. Dia sangat frustasi, berkali-kali memukul kasur karena pusing. " Ah ... ini sangat memusingkan, kalau dia tahu kenapa masih bersikap baik." Dara terus bergelut dengan pikirannya tanpa sadar telah lelah karena kelelahan. Waktu berlalu begitu cepat pagi tiba. Kini mereka tengah sarapan bersama, sesekali Dara melirik Mona terlihat wanita itu biasa saja. "Dara Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu," lontar Mona. Mendengar perkataan Mona, Dara langsung memandang dia lalu mengangguk sebagai jawaban. "Setelah sarapan, kita bicara di kamar kamu," ucap Mona.
Acara itu akhirnya selesai, yang mendekorasi halaman ini telah pulang. Begitu pula Atha, kini semua tengah beristirahat di ruang tengah."Aku mau nidurin Ghibran dulu, lihat matanya udah berat banget. Tadi berisik jadi dia gak bisa tidur," tutur Mona.Mona bangkit dari duduknya, ia tengah menimang Ghibran. Gaia dan Arka mengangguk mengiyakan. "Mama, Pah, aku juga mau bobo. Ngantuk banget nih," celetuk Gaia.Arka bangkit lalu melangkah mengikuti sang anak."Sini Papa anter," sahut Arka.Gaia menoleh menandang sang Papa. Ia mengeryitkan alis karena merasa aneh dengan tingkah lelaki itu. "Tumben," celetuk Gaia.Mona yang mendengar itu tertawa."Takut kamu iri sama Ghibran, makanya Papa menggantikan Mamamu buat antar putri kecil ini," ujar Arka.Arka berjongkok, ia mengusap kepala Gaia dengan sayang."Apaan sih, Pah. Aku juga ngerti dong, akukan sekarang seorang Kakak," ujar Gaia.Gaia langsung mempautkan bibirnya, ia menatap kesal sang Papa.Sedangkan Mona yang hendak pergi tak jadi, i
Annisa juga terkejut melihat isi rumah. Ia langsung berlari dan berteriak memanggil penghuni rumah ini."Dewi ... Nyonya Mona, Tuan Arka! Gaia, kalian di mana." Annisa terus berlari mencari semua orang, meninggalkan Dara yang tertatih.Kala sampai di dekat halaman, saat hendak berteriak lagi. Tangannya di tarik seseorang, membuat ia terkejut dan hendak memekik tetapi mulutnya langsung dibekam."Jangan teriak, ini aku," bisik Dewi. Annisa langsung menoleh melirik Dewi, sedangkan wanita itu lekas melepaskan bekamannya. "Kalau nanti aku jantungan gimana!" omel Annisa dengan nada pelan. Dewi meletakan jari telunjuk di bibir, lalu ia menarik Annisa agar mengikutnya bersembunyi. Kala mendengar suara langkah kaki ke arah halaman. Wanita itu mengetik sesuatu di ponselnya dan ditunjukan pada Annisa. [Kita bakal kasih kejutan sama Dara, kita bakal keluar dan teriak suprise gitu. Kami semua udah pada ngumpet pada kalian datang. Isi rumah berantakan itu kami sengaja.] Annisa menganggukkan k
Annisa yang membaca itu langsung berjongkok, ia memegang lengan Dara."Aku mohon, Dara. Jangan buat aku dipecat oleh Tuan Arka, kalau aku gak kerja bagaimana nanti ...." Ucapan Annisa terhenti kala Dara menepis pegangan tangan wanita itu. Terlihat Dara menghela napas lalu mengetik sesuatu. [Berdiri! Kamu membuat aku seperti orang jahat.]Annisa menggeleng kala Dara menyodorkan handphone agar ia membacanya. Dara mengepalkan tangan lalu mengetik sesuatu lagi. [Iya-iya aku gak bakal lapor, ayo cepat bangun! Bikin malu aja.] Setelah membaca ketikan itu, Annisa langsung mengulas senyum. Ia bangkit dan menghapus jejak air mata. "Jangan pulang dulu, Dara. Kita jalan-jalan, udah lama bukan gak jalan-jalan gini," celetuk Annisa. Dara yang mendengar itu memandang Annisa. "Emang gak bosen di rumah terus," lanjut Annisa. Dara mengangguk mengiyakan, ia langsung mengecek saldonya dan mengulas senyum. Bergegas melangkah diikuti Annisa. Wanita itu langsung memesan taksi, Annisa yang melihat i
"Kamu mau coba-coba bohongin aku, ya!" omel Mona pelan.Tangan wanita itu bergerak mencubit pinggang sang suami. Membuat Arka mengaduh, sedangkan Gaia menutup mulut agar tidak menertawakan Papanya. "Aku gak bohongin kamu, kok. Kamu, kan yang ngomong sendiri," sahut Arka. Arka membela dirinya, sedangkan Atha yang melihat adegan itu hanya tersenyum kecil. Ia mengajak Gaia untuk berkeliling dan meninggalkan sepasang suami istri ini. Mona hanya melirik kesal Arka, ia langsung melangkah pergi kala Dewi memanggil. "Iya, Dew. Sebentar," sahut Mona. Kala melangkah pergi, Mona menjulurkan lidah meledek sang suami. Sedangkan Arka hanya tersenyum melihat tingkah istrinya itu."Istriku, istriku. Kenapa semakin kesini semakin menggemaskan sih," gumam Arka.Lelaki itu akhirnya melangkah untuk melihat-lihat keadaan."Semoga Dara sadar deh, dan tau diri. Dia masih aja ngejar-ngejar suami temannya sendiri, padahal Mona begitu baik sama dia," batin Arka berseru.Sedangkan Atha dan Gaia, mereka te
"Ayo Dara," ajak Annisa. Dara yang mendengarnya melengos, ia langsung melangkah meninggalkan Annisa. "Kita mau ke mana kira-kira, Dara?" tanya Annisa. Dara melirik kesal Annisa. Ia menghentikan langkahnya lalu mengetik sesuatu. [Kamu berisik, banget! Kita cari tukang bubur kacang hijau.]Annisa memutarkan bola mata, dan mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat yang biasa Dara membeli.Sesampai di sana, keduanya langsung memesan kala sampai."Dara, kamu bawa uang gak? Aku kelupaan bawa dompet nih, soalnya," ucap Annisa. Dara membulatkan matanya kala mendengar ucapan Annisa. Ia langsung mengambil ponsel untuk meminta uang pada Arka. Kala melihat benda pipih itu, bertepatan suara notifikasi pesan masuk.[Aku sudah meminta Mas Arka mengirim uang ke akun dana, kamu. Cek deh,] Wanita tersebut langsung memanyunkan bibirnya, ia lekas mengecek aplikasi yang disebutkan Mona. Terlihat dia menghela napas, dan menaruh ponselnya ke saku."Huh ... padahal tadi kesempatan aku mengirim pesan sa