Arka bangkit dari duduk, lalu mendekati Mona menatap tajam ke arah gadis itu. Membuat nyali Mona yang ingin berkata lagi jadi menciut. Menarik dagu adik ipar dan mencengkram agar membalas tatapannya
"Bercermin dululah sebelum berbicara itu, Mona! Boleh saja kamu tidak melakukan kewajiban yang dilemparkan padamu. Tapi ganti uang yang dibawa kakak sialanmu itu," maki Arka lalu membuat Mona terjatuh duduk di lantai."Kamu ini tidak tau diri!" bentak Arka lalu menarik tangan Mona untuk mengikutinya."Diamlah di sini! Renungkan keinginanmu, apakah pantas atau tidak kamu pinta padaku," seru Arka mendorong Mona masuk gudang dan lelaki itu kunci."Masss, buka! Jangan dikunci Mona takut," teriak Mona menggedor pintu, ia mulai terisak ketakutan.Arka berlalu begitu saja meninggalkan gudang, ia sangat kesal mendengar permintaan Mona. Lelaki itu lebih memilih ke kamar untuk mengistirahatkan tubuh. Dia sangat lelah, membiarkan adik ipar tidur di gudang untuk malam ini."Masss, tolong buka! Mona takut, Mona janji gak bakal nego lagi apalagi ngebantah," pekik Mona, gadis itu sangat takut gelap.Mona melorot ke lantai, memeluk lutut dengan gemetar. Matanya melirik setiap sudut, gudang ini sangat berdebu. Ia sangat takut dengan kecoa, rasa takut bertemu sangat besar."Mona takutttt," lirih Mona dengan gementar, tubuhnya sedikit terguncang akibat tangisan. Mona memekik kaget saat merasa ada yang menggerayangi tangannya, gadis itu langsung mengibaskan lengan saat mengetahui kecoa. Ia berlari mencari sesuatu untuk mengusir serangga itu, saat menemukan sapu Mona langsung cepat menyingkirkan cecunguk. Perempuan tersebut bernapas lega, dia langsung menyapu tempat buat duduk sambil memegang benda bakal membersihkan debu. Akan menjadi senjata selama berada disini."Tempat ini sangat menyeramkan, kenapa Mas Arka tega menghukumku disini. Aku lebih memilih bekerja sehari penuh," lirih Mona, matanya tetap waspada takut cecunguk mendekatinya lagi."Ini semua karena Kak Dinda, kalau dia tidak kabur dan mengkhianati Mas Arka pasti hidupku baik-baik saja," ujar Mona mengepalkan tangannya, mengingat kepergian Dinda."Apa yang harus aku lakukan, aku tidak bisa mengembalikan uang yang dibawa kabur oleh Kak Dinda," gumaman Mona terdengar lirih dan putus asa."Kenapa Kak Dinda tega mengorbankan aku sebagai pengganti dirinya," tutur Mona mengusap air mata yang mulai berjatuhan."Pilihanku hanya menuruti Mas Arka, mengganti peran Kak Dinda sebagai istrinya," ucap Mona lagi, ia terus berbicara sendiri meratapi nasibnya yang ternyata harus melayani Arka di atas ranjang juga."Hidupku hancur dalam sekejap karena ulah Kak Dinda. Apa karena aku terlena dengan kemanjaan yang diberikan Mas Arka, hingga tuhan menegurku dengan cara ini?" Pikiran Mona telah berkelana ke mana saja, tanpa ia ketahui jam telah menunjuk angka tiga dan gadis tersebut baru terlelap karena kelelahan.Arka telah terbangun saat jarum jam menunjuk angka setengah enam, ia bangkit untuk ke meja makan dan tidak menemukan sarapan. Dia baru ingin bahwa telah menghukum Mona, dengan langkah lebar Arka pergi menuju gudang. Saat membuka pintu itu, matanya langsung disuguhkan pemandangan yang menyedihkan.Arka membuang napas kasar. "Jangan simpati, Arka! Gadis ini adalah adik wanita sialan itu," batin Arka memperingati, ia segera mendekat dan membopong Mona ke kamar perempuan itu."Aishhhh, menyusahkan saja." Arka langsung pergi saat menaruh Mona di kasur, melangkah ke dapur untuk membuat secangkir kopi, ia memilih membeli makanan untuk sarapan.Mona terbangun jam enam, matanya mengerjap menyesuaikan penglihatan. Ia turun dari kasur, merasa heran karena berada di kamar. Berpikir keras, tidak mungkin kejadian tadi malam hanya mimpi lantaran terasa sangat nyata."ishhh, sudahlah mendiangan aku mandi, cepat-cepat berangkat sekolah," ujar Mona saat melihat jam di dinding.Gadis itu terus meguap setelah memakai bedak dan memoles lipbalm di bibir. Hari ini ada kelas pagi, karena kemaren sore Mirna memberitahu lewat chat. Saat menuju dapur untuk membuat sarapan, tetapi ia bertemu Arka yang menenteng sesuatu. "Masss," lirih Mona pelan masih teringat kejadian semalam, ia ragu jika itu mimpi apalagi melihat tatapan Arka tidak seperti biasanya.Arka langsung menunjuk kening Mona dengan telunjuk. "Apa otakmu ini sudah berpikir dengan benar? mau patuh padaku atau mengganti rugi uang yang dibawa kakakmu," sinis Arka menatap tajam wajah Mona yang seketika pucat."Ternyata bukan mimpi, lagi mal
Arka langsung menghempaskan bokongnya sesampai di kantor. Mengembuskan napas kasar lalu cepat mengerjakan berkas-berkas yang menumpuk. Dua jam berlalu, lelaki itu masih membaca dan menandatangani kertas tersebut. Pintu ruangan terbuka, menampilkan sahabat merangkak menjadi sekertaris. Arka menatap sinis Reyhan memamerkan cengiran lalu mendekati meja."Sinis banget sih matanya bos, belum dipuaskan sama istri apa! Ikut gue aja yuk clubing," ajak Reyhan beralih duduk di sofa saat menaruh berkas di meja."Bersik lo" geram Arka lalu meraih berka itu untuk dibaca."Ayolah, Ka. Sesekali jajan diluar, emang gak bosen istrimu mulu," ucap Reyhan memang tidak mengetahui jika istri Arka kabur."Pergi lo! Ganggu aja, gue lagi banyak kerjaan," usir Arka membuat Reyhan terkekeh."hahaha, kalau berubah pikiran bilang ke gue." Reyhan langsung berlegang pergi."Sialan!" maki Arka menghempaskan pulpen ke meja, ia lekas meraih telepon dan meminta ju
POV MonaTubuhku terasa sakit, apalagi bagian sensitif. Sekuat tenaga berusaha membuka mata lalu berjuang bangkit. Rasa nyeri semakin menyerang, melihat badan tanpa sehelai benang. Langsung teringat kejadian semalam, air mata tak bisa kutahan lagi. Hanya bisa menangis, meratapi mahkota kujaga, terenggut paksa oleh kakak ipar sendiri."Aku kotorrr," gumamku disela isakan.Suara pintu berdecit membuatku mengalihkan tatapan kesana. Penglihat langsung menangkap Mas Arka keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggang. Lelaki itu menatap sinis ke arahku, dengan langkah santai ia mendekat."Dengar jalang kecil! Tidak usah menangis, cepat bersihkan dirimu dan bersiap sarapan. Hari ini kamu tak perlu sekolah atau melakukan pekerjaan rumah. Ikut aku pergi ke suatu tempat," tuturnya membuatku terluka saat sebutan jalang terlontar dari bibir kakak ipar yang dulu selalu berkata sopan."Dengar tidak!" bentaknya saat aku tidak kunjung menya
"Aku harus beli apa Mas ke apotek?" tanya Mona saat sampai tujuan, ia belum keluar dari mobil saat Arka memberikan uang."Pil KB, cepatlah!" usir Arka membuat Mona terdiam sejenak lalu segera keluar saat Arka mendorongnya.Dengan langkah pelan ia mendekati apotek, berdiri melamun saat penjual menanyakan akan membeli apa. Arka menggeram kesal lalu mematikan mesin mobil dan keluar mendekati adik ipar yang terdiam. Lelaki memandang sedari bertanya pada Mona."Mbak, kami beli pil KB," ucap Arka datar lalu masuk lagi ke mobil, diikuti Mona yang selesai membayar.Mona setelah masuk langsung menunduk. Meremas plastik yang dibawa, tidak berani menatap Arka. Arka mendengkus lalu melajukan kendaraan roda empat tanpa memperdulikan Mona. Setelah sampai tujuan, dia memarkirkan mobil di parkiran."Ayo turun!" perintah Arka keluar dari mobil diikuti Mona."Bodoh! Ini taruh jangan dibawa," maki Arka merampas plastik yang berisi pil KB dan melemp
Mona masih diam di kursi tidak bergerak sedikitpun. Gadis itu meremas dress yang dipakai, menjawab dengan gelengan saat Arka membukakan pintu mobil. Lelaki tersebut mendengkus lalu mensejajarkan wajahnya tepat di muka Mona."Cepat turun! Atau aku akan menelanjangimu disini. Kau tau'kan aku tidak pernah bohongan dengan ucapanku," ancam Arka membuat Mona membulatkan matanya, lelaki itu menegakan tubuh lagi dan menyodorkan tangan pada adik ipar."Cepatlah!" kata Arka membuat Mona perlahan turun dan memeluk lengan Arka membuat sang empu melotot."Mona takut jatuh, Mas,"cicit Mona membuat Arka mengembuskan napasnya lalu berjalan sedikit cepat."Mas, tolong jalan pelan-pelan," pinta Mona sempat hendak terjatuh."Ishhhhh, menyusahkan saja," keluh Arka tapi melambatkan langkahnya. Saat masuk Arka langsung mengedarkan tatapannya mencari sang teman, terlihat seorang pria melambaikan tangan. kala Arka melihat sosok itu, ia lekas mendekat
Tiga hari berlalu, sejak kejadian itu Arka pulang larut malam. Mereka tak pernah berjumpa, saat pagi buta lelaki tersebut telah pergi. Mona merasa sedikit lega karena sama sekali tidak berpapasan dengan kakak ipar yang merenggut kesuciannya. "Pyuhhhh, panas banget hari ini," keluh Mona saat sampai di kantin dan memesan mie ayam."Iya, Mon. Baju gue sampe basah," sahut Mirna duduk disamping Mona, membuat gadis itu terkejut lalu mengelus dada dan menggelengkan kepala."Kalau jantung gue copot gimana, Mir. Lo mah bikin kaget aja," semprot Mona lalu tersenyum saat pesanannya sudah jadi."Kalau copot ya pasangin lagi, kalau susah lem aja," balas Mirna asal lalu memesan bakso."Sialan, lo! Emang dikira jantung gue barang," geram Mona memukul lengan Mirna membuat sang empu mengaduh."Jangan pukul kenceng-kenceng Mon, kalau tangan gue patah gimana, ke hati gue yang putek ini," keluh Mirna mengelus tangannya."Lebay lo," sinis
Pintu terbuka memperlihatkan seorang wanita yang memegang sapu menatap Mona. Mona menggenggam erat buah tangan itu, lalu membalas tatapan perempuan dihadapannya. Mona takut salah kediaman, apalagi melihat Raka "Apa ini rumah Raka?" tanya Mona."Nona, temannya Den Raka. Ayo masuk, nanti Bibi kasih tau Den Raka dulu," ajak Perempuan itu mempersilakan Mona masuk."Nona duduk disini, Bibi buatkan minum dulu," seru perempuan itu lalu masuk ke dapur.Tak berselang lama, Mona duduk di sofa. Ia merasakan ingin buang air kecil, dengan langkah cepat menuju jalan yang tadi pembantu Raka berjalan. Sesaat mendengar percakapan Bibi itu bersama Mama Raka, Mona tau karena pernah bertemu di sekolah."Mona! Ternyata kamu tamunya Raka, Tante kira siapa," ucap Wulan mendekati Mona saat melihat gadis itu."Tan, Mona izin ke toilet dulu ya, kebelet nih. Toiletnya di mana?" tanya Mona mengedarkan pandangannya."Di sana Mon, lurus aja, terus
Arka mendekati Ayah Raka lalu pergi ke ruang tengah untuk berbincang. Mona masih mematung sampai pembantu rumah ini menepuk pundak sampai ia terlonjak. Bibi menatap heran Mona yang berdiri di depan pintu anak majikannya."Nona kenapa?" tanya Bibi.Mona menggeleng sebagai jawaban. "Oh iya Bi, buah yang Mona bawa apa masih di ruang tengah?" tanya Mona membalas tatapan pembantu yang membukakan pintu tadi."Ada di dapur, Nona. Bibi baru aja cuci," balasnya membuat Mona megangguk lalu pamit ke dapur untuk menyiapkan buah pencuci mulut.Mona mengambil beberapa buah lalu segera mengupas dan membawa pada Raka. Mona menaruh piring yang berisi apel, pir dan pisang sudah dikupas ke pangkuan Raka. Baru saja memerintahkan agar Raka meminum obat, bunyi chat whatsapp masuk membuat Mona mengambil benda pipih di tas.[Pulang cepat! Tunggu hukumanmu di rumah. Sampai Mas yang duluan sampai, hukumanmu akan bertambah berat.] - ArkaNetra Mona langsun
Beberapa tahun berlalu, anak perempuan Mona kini beranjak dewasa, ia berusia tujuh belas tahun. Sedangkan putranya sembilan tahun. Sepasang suami istri itu kini menjemput Ghibran."Jangan suka bolos dong, Sayang. Momy pusing selalu dipanggil ke sekolah gara-gara kelakuan kamu," nasihat Mona. Ghibran hanya menganggukan kepala, lelaki itu malah memainkan ponselnya. Arka yang melihat dari kaca geram, ia menghentikan kendaraan roda empat dan menatap kesal ke arah Ghibran. "Ghibran! Kamu denger gak sih kata Momy, kalau dinasihatin itu dengerin! Jangan sambil main handphone," omel Arka. Ghibran yang mendengar omelan Papanya itu langsung memasukan benda pipih tersebut ke saku. Ia segera menundukan kepala kala melihat tatapan tajam Arka. "Ghibran dengerin kok, Dad." Arka yang mendengar sahutan dengan nada malas itu membuat ia geram. Lelaki tersebut turun, lalu membuka pintu belakang. "Ayo turun! Kamu pulang jalan," sentak Arka. Mona yang mendengar itu membulatkan mata, sedangkan Ghibr
Sorenya Dara benar diantarkan pindah oleh Amel, bahkan wanita itu terkejut karena semuanya telah disiapkan. Kini hanya Dara dan Annisa yang berada di kontrakan. Mona telah pergi bersama Gaia, Ghibran di gendongannya, pulang pakai taksi. Annisa merapikan semuanya, sedangkan Dara melihat sekeliling. Kontrakan ini sudah dibiayai beberapa bulan, kalau sudah sembuh dan melakukan operasi lagi. Ia berencana melamar kerja diluar. "Mendingan kamu istirahat aja, lumayan capek juga kan sampai sini," seru Annisa. Perempuan itu kini tengah memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas pekerjaan jadi bertambah, Anisa berdoa semoga Dara tidak mengerjainya. Dara menganggu, dia perlahan menuju kamar dan berbaring di ke ranjang. "Ahh ... tempat ini sangat kecil sekali, jauh berbeda sama kediamannya. Tapi ... udah dikasih tempat aja allhamdulillah." Dara berkata dalam hatinya, ia memejamkan mata lalu terlelap. Sedangkan Annisa sibuk memasak dan merapikan barang. Dia mengembuskan napas lalu langsung du
Setelah mengatakan itu, Mona langsung membuka pintu. Lalu matanya melihat kedua asisten. "Tenang aja, kalian bisa lakuin pekerjaan lagi. Aku mau menyelesaikan urusanku dulu," ucap Mona lembut. Setelah mendapatkan anggukan, Mona langsung menutup pintu lagi. Tatapan itu tajam bak pisau yang baru diasah. Dara yang mendapatkan itu, mendadak nyalinya menciut. "Aku menyayangimu, aku menganggapmu sebagai saudara. Tapi inikah balasanmu, hendak merebut suamiku!" sinis Mona. Mona mencengkram bahu Dara dengan kuat, melampiaskan kekesalannya. Lalu ia mengembuskan napas menetralkan kemarahan dan kekecewaan pada sang teman. "Sudahlah, yang penting Mas Arka gak melirik sedikitpun. Tapi tetap saja! Hati ini hancur gara-gara kamu melakukan hal itu," ungkap Mona. Dara juga ikut menitihkan air mata, ia menepis tangan Mona yang memegang bahunya. Wanita itu langsung mengambil buku dan pulpen di laci lalu menulis sesuatu dan memberikan kepada Mona, kemudian mengempaskan bokong ke ranjang karena kaki
Arka menghela napas kala mendengar dengkuran halus sang istri. Ia memilih tidak ambil pusing dam ikut menjelajah alam mimpi. Sedangkam di kamar Dara, wanita itu terus memikirkan apa yang dikatakan Mona. "Apa dia tau?" Dara bertanda pada dirinya sendiri, karena frustasi menjambak rambut. "Ahh ... ini membuat gue pusing, apa yang harus dilakukan." Wanita itu terus memonolog, ia menjatuhkan tubuh ke kasur. Memikirkan perkataan Mona. Dia sangat frustasi, berkali-kali memukul kasur karena pusing. " Ah ... ini sangat memusingkan, kalau dia tahu kenapa masih bersikap baik." Dara terus bergelut dengan pikirannya tanpa sadar telah lelah karena kelelahan. Waktu berlalu begitu cepat pagi tiba. Kini mereka tengah sarapan bersama, sesekali Dara melirik Mona terlihat wanita itu biasa saja. "Dara Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu," lontar Mona. Mendengar perkataan Mona, Dara langsung memandang dia lalu mengangguk sebagai jawaban. "Setelah sarapan, kita bicara di kamar kamu," ucap Mona.
Acara itu akhirnya selesai, yang mendekorasi halaman ini telah pulang. Begitu pula Atha, kini semua tengah beristirahat di ruang tengah."Aku mau nidurin Ghibran dulu, lihat matanya udah berat banget. Tadi berisik jadi dia gak bisa tidur," tutur Mona.Mona bangkit dari duduknya, ia tengah menimang Ghibran. Gaia dan Arka mengangguk mengiyakan. "Mama, Pah, aku juga mau bobo. Ngantuk banget nih," celetuk Gaia.Arka bangkit lalu melangkah mengikuti sang anak."Sini Papa anter," sahut Arka.Gaia menoleh menandang sang Papa. Ia mengeryitkan alis karena merasa aneh dengan tingkah lelaki itu. "Tumben," celetuk Gaia.Mona yang mendengar itu tertawa."Takut kamu iri sama Ghibran, makanya Papa menggantikan Mamamu buat antar putri kecil ini," ujar Arka.Arka berjongkok, ia mengusap kepala Gaia dengan sayang."Apaan sih, Pah. Aku juga ngerti dong, akukan sekarang seorang Kakak," ujar Gaia.Gaia langsung mempautkan bibirnya, ia menatap kesal sang Papa.Sedangkan Mona yang hendak pergi tak jadi, i
Annisa juga terkejut melihat isi rumah. Ia langsung berlari dan berteriak memanggil penghuni rumah ini."Dewi ... Nyonya Mona, Tuan Arka! Gaia, kalian di mana." Annisa terus berlari mencari semua orang, meninggalkan Dara yang tertatih.Kala sampai di dekat halaman, saat hendak berteriak lagi. Tangannya di tarik seseorang, membuat ia terkejut dan hendak memekik tetapi mulutnya langsung dibekam."Jangan teriak, ini aku," bisik Dewi. Annisa langsung menoleh melirik Dewi, sedangkan wanita itu lekas melepaskan bekamannya. "Kalau nanti aku jantungan gimana!" omel Annisa dengan nada pelan. Dewi meletakan jari telunjuk di bibir, lalu ia menarik Annisa agar mengikutnya bersembunyi. Kala mendengar suara langkah kaki ke arah halaman. Wanita itu mengetik sesuatu di ponselnya dan ditunjukan pada Annisa. [Kita bakal kasih kejutan sama Dara, kita bakal keluar dan teriak suprise gitu. Kami semua udah pada ngumpet pada kalian datang. Isi rumah berantakan itu kami sengaja.] Annisa menganggukkan k
Annisa yang membaca itu langsung berjongkok, ia memegang lengan Dara."Aku mohon, Dara. Jangan buat aku dipecat oleh Tuan Arka, kalau aku gak kerja bagaimana nanti ...." Ucapan Annisa terhenti kala Dara menepis pegangan tangan wanita itu. Terlihat Dara menghela napas lalu mengetik sesuatu. [Berdiri! Kamu membuat aku seperti orang jahat.]Annisa menggeleng kala Dara menyodorkan handphone agar ia membacanya. Dara mengepalkan tangan lalu mengetik sesuatu lagi. [Iya-iya aku gak bakal lapor, ayo cepat bangun! Bikin malu aja.] Setelah membaca ketikan itu, Annisa langsung mengulas senyum. Ia bangkit dan menghapus jejak air mata. "Jangan pulang dulu, Dara. Kita jalan-jalan, udah lama bukan gak jalan-jalan gini," celetuk Annisa. Dara yang mendengar itu memandang Annisa. "Emang gak bosen di rumah terus," lanjut Annisa. Dara mengangguk mengiyakan, ia langsung mengecek saldonya dan mengulas senyum. Bergegas melangkah diikuti Annisa. Wanita itu langsung memesan taksi, Annisa yang melihat i
"Kamu mau coba-coba bohongin aku, ya!" omel Mona pelan.Tangan wanita itu bergerak mencubit pinggang sang suami. Membuat Arka mengaduh, sedangkan Gaia menutup mulut agar tidak menertawakan Papanya. "Aku gak bohongin kamu, kok. Kamu, kan yang ngomong sendiri," sahut Arka. Arka membela dirinya, sedangkan Atha yang melihat adegan itu hanya tersenyum kecil. Ia mengajak Gaia untuk berkeliling dan meninggalkan sepasang suami istri ini. Mona hanya melirik kesal Arka, ia langsung melangkah pergi kala Dewi memanggil. "Iya, Dew. Sebentar," sahut Mona. Kala melangkah pergi, Mona menjulurkan lidah meledek sang suami. Sedangkan Arka hanya tersenyum melihat tingkah istrinya itu."Istriku, istriku. Kenapa semakin kesini semakin menggemaskan sih," gumam Arka.Lelaki itu akhirnya melangkah untuk melihat-lihat keadaan."Semoga Dara sadar deh, dan tau diri. Dia masih aja ngejar-ngejar suami temannya sendiri, padahal Mona begitu baik sama dia," batin Arka berseru.Sedangkan Atha dan Gaia, mereka te
"Ayo Dara," ajak Annisa. Dara yang mendengarnya melengos, ia langsung melangkah meninggalkan Annisa. "Kita mau ke mana kira-kira, Dara?" tanya Annisa. Dara melirik kesal Annisa. Ia menghentikan langkahnya lalu mengetik sesuatu. [Kamu berisik, banget! Kita cari tukang bubur kacang hijau.]Annisa memutarkan bola mata, dan mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat yang biasa Dara membeli.Sesampai di sana, keduanya langsung memesan kala sampai."Dara, kamu bawa uang gak? Aku kelupaan bawa dompet nih, soalnya," ucap Annisa. Dara membulatkan matanya kala mendengar ucapan Annisa. Ia langsung mengambil ponsel untuk meminta uang pada Arka. Kala melihat benda pipih itu, bertepatan suara notifikasi pesan masuk.[Aku sudah meminta Mas Arka mengirim uang ke akun dana, kamu. Cek deh,] Wanita tersebut langsung memanyunkan bibirnya, ia lekas mengecek aplikasi yang disebutkan Mona. Terlihat dia menghela napas, dan menaruh ponselnya ke saku."Huh ... padahal tadi kesempatan aku mengirim pesan sa