Namun, bahkan dalam keadaan seperti ini, Preston yang dibutakan oleh rasa cemburu tetap tidak melepaskan Livy. Dengan satu tangan, dia menarik Livy ke tempat tidur."Jadi, Livy, apa sebenarnya yang membuatmu terus memikirkan Stanley? Apa menikah denganku hanya keputusan yang kamu ambil dengan impulsif?"Preston tahu betul bahwa pernikahan mereka adalah sesuatu yang terburu-buru, dimulai dari sebuah kontrak. Namun, mendengar ucapan Stanley tentang masa lalu manis mereka, Preston tidak bisa mengendalikan kekacauan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Kekesalan.Kemarahan.Kekecewaan.Ketidakpuasan.Semua itu menumpuk menjadi satu, membuatnya kehilangan seluruh logika. Yang ada di pikirannya hanyalah memastikan Livy benar-benar menjadi miliknya sepenuhnya!Sementara itu, Livy yang sudah terlalu lelah menghadapi tuduhan dan fitnah, merasa emosinya meledak hingga tak tertahankan lagi.Matanya memerah, air mata mengalir tanpa henti dari sudut matanya, dan hidungnya ikut memerah. Dia terli
Ciuman kasar Preston bergerak turun dari bibir Livy yang memucat hingga ke bawah .... Ketika tangan besarnya mencengkeram pinggang Livy dengan keras hingga membuatnya mengerang pelan karena rasa sakit, Livy refleks mencoba mendorong Preston menjauh."Jangan ...," ucapnya pelan, terdengar hampir seperti sebuah permohonan.Masih ingin menjaga diri untuk Stanley?Preston tertawa dingin, lalu melepaskannya seketika. Sorot matanya penuh penghinaan dan amarah. Dalam sekejap, semua hasrat di dirinya lenyap."Jangan pernah mikir soal perceraian, Livy. Kamu seharusnya tahu apa akibatnya kalau kamu berani melawanku!"Brak!Pintu kamar ditutup dengan keras, meninggalkan Livy yang memeluk tubuhnya sendiri penuh dengan luka dan bekas rasa sakit. Air mata mengalir deras, membasahi wajahnya yang terlihat begitu terpukul.Keesokan paginya, saat Livy turun ke ruang makan, Preston tidak terlihat di mana pun.Tina meliriknya beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu-ragu. Akhirnya, dia h
Tidak peduli apa yang dipikirkan Preston, Livy sangat membutuhkan pekerjaan ini. Selain itu, dia sudah menghabiskan masa mudanya di Grup Sandiaga dan merasa punya hubungan istimewa dengan tempat ini. Semua bukan semata-mata demi Preston.Livy memaksakan senyuman kepada Sherly dan berkata, "Aku paham. Terima kasih banyak atas bantuannya, Bu.""Nggak masalah, kita satu departemen. Semoga kita bisa saling membantu ke depannya." Sherly tersenyum datar dan memberi peringatan, "Tapi, aku tetap harus mengatakan satu hal. Sepertinya kamu telah membuat Preston marah. Kalau ada waktu, coba cari kerjaan di tempat lain.""Grup Sandiaga memang bagus. Tapi, kalau kamu nggak bisa bertahan di sini, setidaknya siapkan jalan mundur untuk diri sendiri.""Baik, terima kasih atas nasihatnya, Bu." Wajah Livy semakin pucat. Dia tahu betul betapa besarnya kekuasaan Preston. Jika benar-benar dipecat, Livy merasa dia tidak akan bisa bertahan di ibu kota."Livy, ada apa? Kenapa tiba-tiba Pak Preston ...." Ivana
Sebagai seorang sekretaris, bagaimana caranya menggoda atasan yang merupakan seorang presdir? Langsung tidur dengannya. Itulah yang dilakukan oleh Livy Pratama.Saat ini, keningnya dibasahi keringat, rambut hitam panjangnya terurai di bahu, dan telapak tangannya menempel di dinding .... Tubuhnya bergetar dan kedua kakinya terasa sangat lemas hingga tak bisa berdiri tegak.Dia hampir terjatuh, tetapi Preston Sandiaga buru-buru menangkapnya dan melemparkannya ke atas ranjang. Livy merasakan ranjang itu tenggelam dan tak lama kemudian, dia harus menghadapi babak baru yang penuh gairah.Livy tidak menyangka semuanya akan berjalan begitu lancar malam ini.Mereka sedang dalam perjalanan bisnis saat ini dan keduanya menginap di hotel yang sama. Livy merasa agak mabuk setelah jamuan makan malam tadi, sehingga dia memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Preston.Preston membuka pintu kamar dan melihatnya. Livy bahkan belum sempat memulai pertunjukan yang telah dipersiapkannya. Namun, dia telah di
Mendengar perkataan itu, tangan Livy langsung gemetaran. Ponselnya tergelincir dari tangannya dan terjatuh ke lantai. Livy bahkan sempat curiga pendengarannya bermasalah.Sambil memegang dadanya, Livy buru-buru memungut kembali ponselnya dan bertanya dengan terbata-bata, "Pak Preston, apa ... ada masalah?""Kamu tahu sendiri." Setelah melontarkan ucapan tersebut, Preston langsung menutup teleponnya. Wajah Livy memucat seketika.Ini benar-benar gawat! Preston pasti mau buat perhitungan dengannya!Setelah Livy meletakkan koper Preston di dalam apartemennya, dia segera pulang ke rumah dan mulai mengirimkan lamaran pekerjaan. Karena terlalu lelah, Livy tertidur di atas meja begitu selesai mengirimkan beberapa lamaran. Tiba-tiba, dering telepon membangunkannya.Melihat nama Preston di layar, Livy langsung terkejut dan rasa kantuknya hilang seketika. Dia segera mengangkat telepon itu. "Pak ... Pak Preston.""Di mana kamu?" Pertanyaan yang sederhana itu membuat bulu kuduknya berdiri.Livy mel
Stanley bahkan mengira Livy sedang bercanda dengannya. Hingga saat dia melihat bekas berwarna merah di leher Livy, emosi Stanley langsung memuncak. "Pria mana itu? Livy, kamu mengkhianatiku!""Maling teriak maling nih? Stanley, kamu boleh menikahi wanita lain, tapi aku nggak boleh nikah duluan?" ucap Livy sambil mendengus dingin. Saat ini, Livy masih tidak ingin memberi tahu Stanley tentang Preston.Setelah Stanley menikahi Chloe nanti, Livy akan jadi bibinya. Livy sangat penasaran, bagaimana reaksi Stanley nantinya setelah mengetahui hal ini?"Nggak mungkin! Kamu nikah sama siapa? Siapa yang mau nikahin kamu? Kenapa aku nggak tahu sama sekali?" teriak Stanley dengan marah.Livy benar-benar heran mengapa dulu dia begitu mencintai Stanley. Apa pun yang Stanley katakan, dia percayai sepenuhnya. Namun pada akhirnya, dia hanya dipermainkan.Tiga bulan lalu saat mendengar berita pernikahan Stanley, Livy kehilangan berat badan hingga 10 kilogram dalam waktu 10 hari. Tubuhnya sangat lemah, se
Wajah Livy memerah seketika. Dia berusaha untuk meronta sambil melirik ke arah pintu dengan panik karena takut ada yang tiba-tiba masuk."Kenapa cari aku?"Preston berusaha menenangkan diri dan bersikap lebih sopan. Namun, dia sendiri juga tidak mengerti mengapa bisa tergoda ketika melihat Livy. Seolah-olah kehilangan akal sehat, Preston yang seperti ini benar-benar berbeda dengan dirinya yang biasa.Livy berdiri tegak dan merapikan pakaiannya. "Aku ... akan dipecat. Seharusnya, itu bukan perintah darimu, 'kan?" tanya Livy dengan hati-hati.Bagaimanapun, mereka baru saja menikah pagi ini. Alasan mereka mendaftarkan pernikahan ini adalah karena Livy adalah karyawan perusahaan ini. Dengan demikian, Preston bisa lebih mudah mencari Livy dan memintanya untuk berakting kapan saja jika diperlukan.Itulah alasannya, Livy yakin bahwa pemecatannya ini tidak ada kaitannya dengan Preston. Lagi pula, Preston tidak pernah menyebutkan bahwa dia harus tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga."Apa y
Menghadapi permintaan maaf yang mendadak dari Annie, Livy merasa kebingungan. Secara refleks, dia menatap ke arah Preston yang duduk di belakang meja, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari ekspresinya.Ketika Preston melihat tatapan Livy yang bingung dan penuh kepolosan itu, tenggorokannya terasa kering sejenak. Dia langsung teringat bagaimana sorot mata itu menatapnya dengan malu-malu semalam.Setelah berusaha mengendalikan diri, Preston mengendurkan dasinya dan berkata, "Karena ini cuma salah paham, aku akan minta departemen HR untuk batalin pengajuan pemecatan.""Annie, kamu sudah berada di jajaran manajemen. Sebagai pemimpin, aku berharap kamu nggak melakukan kesalahan kecil seperti ini lagi. Jadilah teladan bagi bawahanmu."Meskipun Preston mengucapkan tiga kata "kesalahan kecil" dengan nada santai, Annie bisa merasakan teguran di balik ucapannya. Kekesalan yang mendalam terpancar dari matanya, tetapi dia tetap mengangguk sambil menjawab, "Akan saya ingat itu, Pak Preston."Me
Tidak peduli apa yang dipikirkan Preston, Livy sangat membutuhkan pekerjaan ini. Selain itu, dia sudah menghabiskan masa mudanya di Grup Sandiaga dan merasa punya hubungan istimewa dengan tempat ini. Semua bukan semata-mata demi Preston.Livy memaksakan senyuman kepada Sherly dan berkata, "Aku paham. Terima kasih banyak atas bantuannya, Bu.""Nggak masalah, kita satu departemen. Semoga kita bisa saling membantu ke depannya." Sherly tersenyum datar dan memberi peringatan, "Tapi, aku tetap harus mengatakan satu hal. Sepertinya kamu telah membuat Preston marah. Kalau ada waktu, coba cari kerjaan di tempat lain.""Grup Sandiaga memang bagus. Tapi, kalau kamu nggak bisa bertahan di sini, setidaknya siapkan jalan mundur untuk diri sendiri.""Baik, terima kasih atas nasihatnya, Bu." Wajah Livy semakin pucat. Dia tahu betul betapa besarnya kekuasaan Preston. Jika benar-benar dipecat, Livy merasa dia tidak akan bisa bertahan di ibu kota."Livy, ada apa? Kenapa tiba-tiba Pak Preston ...." Ivana
Ciuman kasar Preston bergerak turun dari bibir Livy yang memucat hingga ke bawah .... Ketika tangan besarnya mencengkeram pinggang Livy dengan keras hingga membuatnya mengerang pelan karena rasa sakit, Livy refleks mencoba mendorong Preston menjauh."Jangan ...," ucapnya pelan, terdengar hampir seperti sebuah permohonan.Masih ingin menjaga diri untuk Stanley?Preston tertawa dingin, lalu melepaskannya seketika. Sorot matanya penuh penghinaan dan amarah. Dalam sekejap, semua hasrat di dirinya lenyap."Jangan pernah mikir soal perceraian, Livy. Kamu seharusnya tahu apa akibatnya kalau kamu berani melawanku!"Brak!Pintu kamar ditutup dengan keras, meninggalkan Livy yang memeluk tubuhnya sendiri penuh dengan luka dan bekas rasa sakit. Air mata mengalir deras, membasahi wajahnya yang terlihat begitu terpukul.Keesokan paginya, saat Livy turun ke ruang makan, Preston tidak terlihat di mana pun.Tina meliriknya beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu-ragu. Akhirnya, dia h
Namun, bahkan dalam keadaan seperti ini, Preston yang dibutakan oleh rasa cemburu tetap tidak melepaskan Livy. Dengan satu tangan, dia menarik Livy ke tempat tidur."Jadi, Livy, apa sebenarnya yang membuatmu terus memikirkan Stanley? Apa menikah denganku hanya keputusan yang kamu ambil dengan impulsif?"Preston tahu betul bahwa pernikahan mereka adalah sesuatu yang terburu-buru, dimulai dari sebuah kontrak. Namun, mendengar ucapan Stanley tentang masa lalu manis mereka, Preston tidak bisa mengendalikan kekacauan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Kekesalan.Kemarahan.Kekecewaan.Ketidakpuasan.Semua itu menumpuk menjadi satu, membuatnya kehilangan seluruh logika. Yang ada di pikirannya hanyalah memastikan Livy benar-benar menjadi miliknya sepenuhnya!Sementara itu, Livy yang sudah terlalu lelah menghadapi tuduhan dan fitnah, merasa emosinya meledak hingga tak tertahankan lagi.Matanya memerah, air mata mengalir tanpa henti dari sudut matanya, dan hidungnya ikut memerah. Dia terli
Tatapan Preston semakin dalam dan dingin. Ekspresi Livy yang terlihat begitu tersakiti dan tulus, seolah-olah semua ini hanyalah fitnah yang dilontarkan oleh orang lain, membuatnya terlihat sangat meyakinkan.Namun, fakta-fakta yang ada di hadapannya. Baik soal Erick dan Nicky, maupun Stanley, membuat Preston tidak bisa sepenuhnya percaya.Livy tidak bisa disebut sebagai istri yang patuh dan setia. Entah semua ini memang murni kesalahpahaman, atau dia sebenarnya pandai menyembunyikan sisi buruknya.Saat Preston mengingat setiap kali Livy berpura-pura tidak mengenali Stanley, rasa percaya dirinya semakin menguat bahwa Livy sengaja menyembunyikan hubungan mereka. Karena perasaan bersalah, dia terus menutupi kenyataan!"Pak Stanley." Suara dingin Preston tiba-tiba terdengar, membuat Stanley yang mengira masalah sudah selesai langsung menggigil ketakutan."Pa-Paman Preston, silakan bicara ...."Nada Preston terdengar datar, tetapi mengandung ancaman yang menusuk."Chloe baru saja mengalami
Livy sama sekali tidak menyangka Stanley bisa sehina itu.Livy bahkan masih berpikir untuk mencari cara menjelaskan hubungannya dengan Stanley, tetapi apa yang didengarnya membuat darahnya mendidih. Dengan panik, Livy berteriak, "Stanley, jangan mengada-ada!""Aku nggak mengada-ada!" Stanley kini sudah kehilangan akal sehat. Satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan menjatuhkan Livy.Meski dia muak dengan Chloe yang sibuk mencari pria model dan selalu bersikap seperti putri, Stanley mengingat bagaimana Livy dulu begitu lembut, perhatian, dan selalu ada untuknya. Jelas, Livy jauh lebih baik dibanding Chloe dalam banyak hal.Namun, Livy tidak memiliki status sosial seperti Chloe. Selain itu, Chloe punya hubungan dengan Keluarga Sandiaga. Jika dia sampai merusak hubungan ini, bisnis keluarganya yang kecil itu pasti akan hancur total.Setelah mempertimbangkan semuanya, Stanley memutuskan untuk terus menyalahkan Livy."Paman Preston, aku dan Livy memang pernah berpacaran. Kam
Setelah berkata demikian, Stanley tiba-tiba meraih tangan Livy.Seolah tersentuh sesuatu yang menjijikkan, Livy buru-buru melepaskan tangannya. Dia berdiri dengan tegas dan menatap Stanley dengan penuh amarah."Stanley, aku sudah bilang dengan sangat jelas. Hubungan kita sudah benar-benar selesai. Mulai sekarang, hiduplah dengan Chloe dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!""Livy, apa kamu masih marah?" tanya Stanley sambil memaksakan senyuman. Dia tiba-tiba mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.Sebelum Livy sempat bereaksi, Stanley sudah berlutut dengan satu kaki di hadapannya."Livy, dulu kamu pernah marah karena selama bertahun-tahun kita bersama, aku nggak pernah melamarmu. Sekarang aku sadar betapa salahnya aku. Hubunganku dengan Chloe adalah sebuah kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal. Bisa nggak kita memulai semuanya dari awal?""Stanley, kamu gila, ya?!" Livy benar-benar panik. Dia mencoba menarik Stanley untuk berdiri.Namun, tepat pada saat itu, sebuah suara ding
Sylvia memesan restoran mewah di dalam pusat perbelanjaan.Livy tahu restoran ini sangat terkenal. Tempat seperti ini memerlukan reservasi jauh-jauh hari dan harganya juga sangat mahal. Restoran ini sering dianggap sebagai tempat yang eksklusif.Hanya beberapa hidangan saja di restoran ini sudah setara dengan gajinya selama sebulan."Livy, kamu jarang sekali punya kesempatan makan di tempat sebagus ini. Jadi, pesan saja apa yang kamu mau. Anggap ini pengalaman langka buatmu," ujar Sylvia sambil perlahan menyesap air hangat. Nada bicaranya penuh sindiran dan merendahkan.Bagi Sylvia, Livy hanyalah gadis tanpa latar belakang yang tidak pantas berada di tempat seperti ini.Livy tahu Sylvia sengaja meremehkannya. Namun, wajah Livy tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan perilaku Sylvia yang selalu tampak manis di luar tetapi penuh racun di dalam.Livy melirik jam di pergelangan tangannya. Jika makan siang ini selesai, waktunya akan bertepatan dengan jam pulang kerja. Dia hanya perlu bertah
"Nggak perlu. Selain itu, Bu Livy adalah orang yang sangat penting bagimu. Aku ingin menjalin hubungan baik dengannya," kata Sylvia dengan tenang. "Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk bergaul dengan Bu Livy.""Pak Preston, sebenarnya aku punya jadwal lain sore ini. Bu Sylvia jelas bisa ...." Livy mencoba menyisipkan penjelasan, berharap bisa menyampaikan keinginannya untuk kembali bekerja.Namun, Preston tampaknya tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah dingin dan suaranya menjadi ketus, "Livy, pekerjaanmu hari ini adalah menemani Sylvia. Kalau kamu nggak mau bekerja di Grup Sandiaga, kamu bisa langsung mengundurkan diri.""Pak Preston, bukan begitu, aku hanya ingin tetap di kantor sore ini ...." Livy berusaha menjelaskan dengan penuh perjuangan.Namun, Sylvia sudah mulai bertindak manja. Dia meraih ujung jas Preston dan memohon dengan nada lembut, "Preston, peluk aku ke mobil, ya.""Baik."Begitu ucapan itu dilontarkan, Preston langsung membun
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la