Hati Livy langsung tersentak. Apakah Chloe sudah tahu semuanya?Telapak tangannya mulai berkeringat. Livy khawatir Chloe akan mengungkap hubungannya dengan Stanley. Meskipun Stanley yang berselingkuh dan bersalah, dengan semua ucapan yang dilontarkan Chloe tadi, sulit untuk tidak membuat Keluarga Sandiaga memiliki persepsi buruk terhadapnya."Benaran aku kenal?" Melanie semakin bersemangat dan buru-buru bertanya, "Chloe, coba bilang sama Bibi, siapa sebenarnya wanita yang nggak tahu malu itu?"Tubuh Livy menjadi tegang dan pandangannya tertuju erat pada Chloe.Tebersit ejekan di mata Chloe. Dia memutar sedikit kata-katanya sebelum akhirnya tersenyum tipis."Aib keluarga nggak perlu diumbar. Wanita itu mungkin cuma terpikat karena Stanley terlalu luar biasa. Meskipun dia mencoba mendekat, Stanley nggak akan menginginkannya. Nggak usah dibahas lagi, buang waktu saja!""Oh, Chloe memang berbesar hati." Melanie tersenyum kecil."Kenapa kamu kelihatannya tegang sekali?" Suara dingin Preston
Chloe segera mengendalikan ekspresinya.Makan malam berlangsung cepat. Preston dan Tristan naik ke lantai dua untuk membahas sesuatu di ruang kerja. Livy tidak ingin terus berada bersama Keluarga Sandiaga, sehingga dia mencari alasan pergi ke taman belakang untuk menghirup udara segar."Livy, lagi menikmati bulan, ya?" Baru saja Livy menemukan tempat untuk duduk, suara Bahran tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Livy menoleh dan mengangguk dengan canggung. "Iya, cuma sebentar saja. Kak, aku pamit dulu. Aku nggak mau mengganggu waktu Kakak.""Kenapa buru-buru?" Bahran menghalangi jalannya dengan langkah santai. Pandangannya yang tertuju pada Livy tampak penuh maksud tersembunyi, sementara senyum di wajahnya terlihat ramah. "Livy, yang tadi kubilang di depan Ayah itu semua benar, lho."Mata Livy segera memancarkan kewaspadaan. "Apa maksud Kakak?"Bahran melanjutkan, "Begini, jangan tertipu dengan kesan bahwa Preston nggak peduli sama wanita. Dia memang kelihatannya pria baik yang nggak
Ekspresi Preston tetap dingin tanpa emosi. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti menghujam tepat ke titik lemah Bahran.Pernikahan bisnis yang dulu dijalani Bahran dengan istrinya tidak dilandasi cinta. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka hanya menghasilkan seorang putri.Meski demikian, latar belakang istrinya cukup kuat, sehingga dia memiliki watak yang keras dan sulit dihadapi. Setiap ulah Bahran di luar rumah selalu sampai ke telinganya, dan setiap kali hal itu terjadi, pasti diikuti oleh pertengkaran besar."Preston, kamu ini terlalu ikut campur!" Bahran yang merasa harga dirinya diinjak, mulai kehilangan kendali.Dengan nada penuh amarah, dia berkata, "Kenapa berpura-pura di depanku? Kamu dan Livy sama sekali nggak punya cinta yang sebenarnya! Aku cuma ngasih tahu Livy cara terbaik untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan punya anak. Sama seperti ibumu dulu. Setidaknya, dia mendapatkan sesuatu, bukan?"Kata-kata itu langsung menyulut kemarahan Preston. Aura din
Nicky, Stanley ….Preston tidak percaya bahwa Livy tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka!"Livy."Mendengar namanya tiba-tiba dipanggil Preston, Livy menoleh. "Ada apa?" tanyanya."Ada sesuatu yang sebaiknya kamu akui sendiri terlebih dulu." Tatapan Preston sangat tajam seolah-olah bisa menebak isi pikiran orang.Livy tiba-tiba merasa bersalah. Setelah memikirkannya dengan saksama sejenak, dia berkata dengan tulus, "Sayang, aku nggak mengerti apa maksudmu."Mau terus terang apaan? Dia tidak pernah melakukan apa pun sama sekali. Sebaliknya, justru Preston yang terus menerus berlari ke arah Sylvia. Meski mereka hanya dalam hubungan kontrak, bukankah Preston seharusnya memberitahunya?Setidaknya katakan bahwa hubungan mereka dengan Sylvia akan segera berakhir. Dengan begitu, Livy bisa segera menarik kembali perasaan yang seharusnya tidak dia miliki. Bukan seperti sekarang, terus terombang-ambing antara rasa sakit dan momen-momen kehangatan yang diberikan Preston.....Hari Senin t
Untuk sesaat, seisi ruangan itu sunyi senyap. Livy berdiri perlahan, pandangannya tanpa sadar tertuju pada kedua orang yang baru saja masuk. Tebersit rasa getir yang samar di dadanya."Preston, jadi ini departemen sekretaris, ya? Kelihatannya memang bagus." Suara Sylvia terdengar begitu lembut dan memikat hingga semua orang yang mendengarnya merasa tersentuh.Kalau saja Livy tidak tahu Sylvia pernah sengaja mencoreng namanya sebelumnya, mungkin dia juga akan menganggap Sylvia sebagai wanita yang anggun dan penuh kelembutan."Hmm, ada delapan orang di sini, mereka bertugas menangani berbagai urusan," jelas Preston dengan nada datar. "Apa ada tempat lain yang ingin kamu lihat?""Tentu saja ada," jawab Sylvia dengan senyuman manis. Dia berkedip lembut dengan tatapan yang tampak begitu pengertian."Aku sudah lama nggak kembali ke negara ini, jadi belum sempat benar-benar melihat-lihat Grup Sandiaga. Tapi aku tahu kamu sibuk, Preston. Aku nggak bisa terus merepotkanmu. Gimana kalau aku menc
"Kelilingi semua bagian saja, ya. Maaf merepotkan Bu Livy untuk mendorongku. Oh, ya, setelah selesai mengunjungi Grup Sandiaga, sore ini akum au jalan-jalan juga. Jadi, aku perlu Bu Livy menemaniku."Apa? Mau jalan-jalan pula?Livy tetap berusaha sabar dan mengingatkan dengan nada sopan, "Bu Sylvia, tugasku dari Pak Preston cuma menemanimu berkeliling Grup Sandiaga. Untuk jalan-jalan, kamu mungkin bisa mengajak teman atau sahabatmu."Sylvia tertawa kecil dengan nada menyindir, "Sepertinya aku tahu kenapa Bu Livy nggak bisa naik ke posisi yang lebih tinggi. Bahkan maksud tersirat dari atasan pun nggak bisa dipahami.""Maksud Preston adalah hari ini pekerjaanmu adalah menemaniku. Atau ... apakah aku perlu menelepon Preston sekarang untuk memastikannya?""Nggak perlu," jawab Livy cepat. Dia tahu, jika Sylvia benar-benar menelepon Preston, hasilnya hanya akan membuat Preston berpihak pada Sylvia. Jika itu terjadi, Livy hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.Dengan senyum terpaksa, Livy
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la
"Nggak perlu. Selain itu, Bu Livy adalah orang yang sangat penting bagimu. Aku ingin menjalin hubungan baik dengannya," kata Sylvia dengan tenang. "Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk bergaul dengan Bu Livy.""Pak Preston, sebenarnya aku punya jadwal lain sore ini. Bu Sylvia jelas bisa ...." Livy mencoba menyisipkan penjelasan, berharap bisa menyampaikan keinginannya untuk kembali bekerja.Namun, Preston tampaknya tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah dingin dan suaranya menjadi ketus, "Livy, pekerjaanmu hari ini adalah menemani Sylvia. Kalau kamu nggak mau bekerja di Grup Sandiaga, kamu bisa langsung mengundurkan diri.""Pak Preston, bukan begitu, aku hanya ingin tetap di kantor sore ini ...." Livy berusaha menjelaskan dengan penuh perjuangan.Namun, Sylvia sudah mulai bertindak manja. Dia meraih ujung jas Preston dan memohon dengan nada lembut, "Preston, peluk aku ke mobil, ya.""Baik."Begitu ucapan itu dilontarkan, Preston langsung membun
"Kenapa sih? Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!"Zoey merasa Livy benar-benar tidak tahu berterima kasih. Dengan nada kesal, dia mengumpat, "Kamu sendiri nggak bisa mempertahankan Pak Preston, aku membantumu, tapi kamu malah bersikap begini!""Kamu sadar nggak, bahkan gelar Nyonya Sandiaga saja nggak diakui? Kalau sampai kalian bercerai, kamu bakal keluar tanpa sepeser pun! Asal kamu mau memperbesar masalah ini, bagaimanapun juga, kamu tetap nggak akan dirugikan!"Sebenarnya, Zoey juga tidak benar-benar ingin membantu Livy. Namun, setelah berdiskusi dengan ibunya, mereka menyadari bahwa hanya dengan membantu Livy, mereka bisa mendapatkan keuntungan.Lagi pula, dia sudah memegang kelemahan Livy. Kalau Livy tidak bekerja sama dengannya, dia akan benar-benar habis!"Aku sudah bilang, urusanku bukan urusanmu!"Livy berteriak hingga suaranya hampir serak, "Aku juga nggak pernah ingin jadi Nyonya Sandiaga yang diumumkan ke publik, dan aku nggak butuh orang lain memperlakukanku dengan b
Grup itu adalah grup gosip perusahaan.Sebelumnya, Ivana pernah ingin memasukkan Livy ke dalamnya, tetapi Livy merasa grup itu terlalu ramai dan penuh dengan gosip yang tidak penting. Lagi pula, dia juga tidak tertarik membahas hal-hal seperti itu, jadi dia menolak untuk bergabung.Namun sekarang, setelah jam kerja usai, seseorang mengirimkan pesan yang memicu kehebohan di grup tersebut.Meskipun hanya ada satu orang yang memulai percakapan, Livy sudah cukup terkenal di perusahaan, jadi banyak orang yang ikut berkomentar.[ Pantas saja! Aku pernah beberapa kali melihat Livy naik mobilnya Pak Preston. Lagian, kalian nggak merasa aneh kalau dia bisa naik jabatan secepat itu? ][ Kalau nggak ada sesuatu di belakangnya, aku pasti nggak percaya! Tapi aku nggak nyangka, ternyata dia punya hubungan sama Pak Preston! ][ Aku nggak percaya! Pak Preston itu kaya, tampan, dan luar biasa! Mana mungkin dia tertarik sama wanita seperti Livy? ][ Pokoknya yang jelas, Livy sudah menikah dan suaminya p
Pria itu memiliki proporsi tubuh yang nyaris sempurna. Mantel panjang hitam yang dia kenakan membingkai tubuhnya yang tinggi dengan sangat pas dan menampilkan sosok yang luar biasa gagah."Sayang, kamu ...."Livy ingin memanggil Preston untuk makan bersama, tetapi pria itu justru berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. Dia menatap Livy dari atas ke bawah dengan mata hitam pekat yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dengan suara marah, dia bertanya, "Apa lagi yang kamu lakukan?""Hah?"Livy tidak mengerti maksudnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tangan besar pria itu sudah mencengkeram bahunya dengan kuat dan menyeretnya ke atas.Cengkeramannya begitu kasar, membuat Livy terpaksa terseret menaiki tangga dengan terburu-buru. Bahkan, karena langkahnya yang terlalu cepat, lututnya terbentur sudut tangga dengan keras.Namun, Preston tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Dia terus menyeret Livy hingga ke kamar, lalu mendorongnya ke sofa dengan kasar."Kamu begitu ingin
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny
Charlene masih terus bergosip, "Ngomong-ngomong, Preston sudah nggak muda lagi, ya? Terus katanya dulu juga nggak pernah dekat sama cewek, nggak ada gosip macam-macam. Jangan-jangan dia nggak ada tenaga di ranjang? Kalau kamu ngerasa kurang, aku tahu nih ada obat yang ....""Nggak perlu, Charlene!"Livy buru-buru memotong, mencengkeram ponsel erat-erat, lalu menurunkan suaranya, "Dia di bagian itu sangat kuat.""Apa?"Suaranya terlalu kecil, Charlene di seberang sana tidak mendengarnya dengan jelas. "Maksudmu kamu masih mau? Atau jangan-jangan dia nggak bisa?""Bukan!" Livy hampir melonjak, suaranya langsung meninggi, "Preston sangat kuat, dia nggak butuh obat sama sekali!""Ohh ...." Charlene menarik nadanya dengan panjang, jelas sekali dia sedang menggoda.Livy benar-benar malu. Dia buru-buru mengganti topik. Setelah mengobrol tentang beberapa gosip ringan, akhirnya dia menutup telepon.Setelah merasa cukup berendam, Livy mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia melirik pakaian tidur
Tatapan Preston sedikit melunak, alisnya pun tampak lebih rileks. Lalu, dengan nada tenang, dia berkata, "Livy, aku kaya, tampan, dan selain temperamenku, aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan.""Dalam pernikahan, pasangan seharusnya saling memahami. Lagi pula, aku nggak merasa sering marah. Kebanyakan waktu, itu karena kamu yang melakukan kesalahan."Hah?Livy semakin bingung.Bukankah tadi Preston ingin menceraikannya? Menghubungkan sikapnya tadi malam dan hari ini, sebuah pemikiran yang sulit dipercaya muncul di benaknya.Livy menatap Preston dengan ragu, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jadi ... kamu bersikap baik padaku hari ini karena aku bilang kamu mudah marah?"Tidak mungkin! Jadi, semua yang Preston lakukan adalah ... cara halus untuk menenangkannya?"Jadi, menurutmu aku benar-benar pemarah?" Preston menjepit sepotong daging panggang ke dalam mangkuknya, matanya menatapnya dengan tajam.Ini pertanyaan yang menentukan antara hidup atau mati.Livy buru-buru menggeleng. "S
Livy menggelengkan kepala, sedikit ragu-ragu saat menjawab, "Pak Preston sangat sibuk setiap hari, kurasa dia nggak punya waktu untuk mengurusi hal seperti ini.""Jadi ... kita cuma bisa diam saja menerima ini?"Ivana tampak tidak terima, matanya penuh dengan kekesalan saat berkata, "Kamu sudah bekerja keras selama ini dan cuma dihargai sejuta? Bu Sherly benar-benar keterlaluan! Awalnya aku pikir dia cukup baik, tapi ternyata dia pencemburu sekali!"Livy terdiam sejenak. Dia merasa ini bukan sekadar masalah iri hati.Perasaan aneh yang dia rasakan semakin kuat. Seolah-olah Sherly menargetkannya bukan hanya karena iri, tetapi juga karena alasan lain yang tidak bisa dia jelaskan. Jika dia benar-benar ingin menyingkirkan Sherly, hanya mengandalkan masalah bonus proyek ini tidak cukup.Bagaimanapun juga, meskipun tindakan Sherly tidak etis, dia tetap mengikuti prosedur formal. Jadi, Livy tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menindaknya. Merasa frustrasi, Livy hanya bisa memfokuskan dir