"Tapi, ini adalah urusan tuan, Bukan kita," kata Koki."Aku bisa membuatnya diusir, Tidak perlu menunggu sebulan," jawab Elena dengan yakin."Dengan cara membiarkan dia masuk kamar tuan, Apakah kamu yakin tuan tidak akan menyalahkanmu?""Tuan tidak akan menyalahkanku, Selama ini aku yang mengawasi semua pekerja di sini. Tuan tidak akan curiga denganku," jawab Elena dengan yakin.Vivian menuju ke kamar Charlie dan mengetuk pintunya.Tuk...tuk..."Tuan, sudah waktunya makan siang!" seru Vivian dengan sopan."Seharusnya tuan ada di sini, dia tidak berada di ruangan lain. Mungkin saja belum bangun juga," ucap Vivian.Tuk...tuk..Vivian berulang kali mengetuk pintu dan tidak ada yang menyahut sama sekali."Sudah pukul satu siang, Tidak mungkin masih tidur," gumam Vivian.Vivian menghela napas sebelum membuka pintu kamar Jenderal yang megah dan luas. Begitu masuk, ia terpesona dengan keindahan dan kemewahan kamar tersebut. Dinding-dindingnya dilapisi dengan wallpaper bermotif elegan, langit
"Tuan, Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi, Apakah ada cara lain untuk menebus kesalahanku?" tanya Vivian dengan suara parau. "Kamu tidak perlu melihat wajahnya kalau tidak mau," jawab Charlie yang menuju ke ruangan ganti baju. Ia membuka pintu lemari berukuran jumbo. Terlihat banyak pakaian mewah serta jam tangan dan dasi. "Mantan suami menikah, mantan istri sebagai salah satu tamu yang hadir. Kedengarannya sangat aneh." Gerutu Vivian sambil melipat kedua tangannya di dada. Charlie tersenyum sinis dan berkata, "Aku tidak peduli alasanmu, Aku akan menyuruh Andrew menyiapkan gaun untukmu. Kamu harus hadir di sana, tidak peduli bagaimana perasaanmu." Mendengar kata-kata Charlie, Vivian merasa tak berdaya dan menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain mengikuti perintah Charlie. Namun, hatinya terasa sesak dan berat, seakan-akan seluruh dunia menindihnya."Tuan, aku hanya bekerja di bagian dapur, Kenapa harus aku yang menjadi pasanganmu?" tanya Vivian."Kar
"Baik," jawab Alexa.Micheal menatap Charlie dengan senyum sinis, sambil mengejek keputusannya. "Charlie, jadi apa rencanamu selanjutnya? Setelah kamu merenggut malam pertamanya dan membuatnya mendapatkan cacian dan hinaan, kamu masih belum mau muncul?" tanyanya dengan nada mencemooh. Charlie mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membara. "Aku akan membersihkan nama Vivian, Micheal. Setelah acara ini selesai, semua orang akan tahu siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang menjadi korban dalam kejadian itu," jawabnya dengan tegas. Micheal tertawa kecil, lalu melanjutkan ejekannya. "Vivian Alexander sekarang tinggal di kediamanmu, menjadi pekerja di sana. Jadi, kamu bisa melepaskan rindumu setiap kali melihatnya. Tapi sayang, hanya bisa melihat, tidak bisa menyentuh," ujarnya sambil mengejek. Charlie memandang tajam ke arah Micheal, berusaha menahan emosinya yang bergejolak. "Kita lihat saja nanti, Micheal. Aku tidak akan membiarkan Vivian terus menderita. Aku akan buktikan
Mereka tampak menelan ludah, mengingat posisi Charlie sebagai Jenderal yang berpengaruh. Suasana seketika menjadi hening, para reporter saling pandang, berusaha mencari cara untuk menenangkan kemarahan Charlie. "Aku juga tahu dari mana informasi ini disebarkan, tentu saja aku tidak akan membiarkan dalang utamanya lolos begitu saja," ucap Charlie dengan nada tegas sambil menatap tajam ke arah Kane dan Kian yang berdiri di sudut ruangan, wajah mereka tampak pucat dan ketakutan. "Vivian, mari kita ke sana! Tidak usah perduli dengan orang rendahan seperti mereka!" ajak Charlie, menggandeng erat tangan gadis itu sambil melangkah pergi. Semua hadirin di sana hanya bisa diam, terperangah mendengar ucapan Jenderal itu. Beberapa orang saling berbisik, menggumamkan pendapat mereka tentang situasi yang baru saja terjadi. "Apakah Jenderal sedang mengancam kita?" bisik Gigi dengan wajah cemas, ia melirik ke arah suami dan anaknya yang juga tampak terkejut. Suaminya menarik Gigi mendekat, berbis
Beberapa saat kemudian, Charlie melepaskan ciumannya yang hangat dan penuh gairah dari bibir Vivian. Semua mata di ruangan itu terpaku pada mereka berdua, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Kane dan Gigi, yang sebelumnya berdiri dengan percaya diri, kini terdiam tidak berkutik. Amarah dan cemburu membara di dalam dada Kian, ketika dia melihat mantan istrinya, yang dulu pernah dia campakkan, tengah berciuman dengan Jenderal tampan di hadapan semua orang."Apakah kalian sudah percaya?" tanya Charlie dengan nada menantang pada keluarga Salveston, sambil meletakkan tangannya di pinggang Vivian."I-iya, kami percaya," jawab Kane dengan terbata, mencoba menahan rasa malu yang kian memuncak."Vivian, apakah mereka menyakitimu?" tanya Charlie, memandang wanita itu dengan tatapan penuh kepedulian."Tidak!" jawab Vivian cepat, menundukkan kepalanya, merasa malu dengan perhatian yang diarahkan padanya. Dengan situasi yang kian tegang, keluarga Salveston hanya bisa menelan lud
"Tidak, dia berbohong." Kian berusaha menyangkal."Sepertinya wanita itu kembali untuk membalas dendam, Apakah kamu tidak berencana bergabung dengannya?" tanya Charlie pada Vivian."Aku akan melakukannya, Tapi, Sekarang belum giliranku," jawab Vivian.Liza berdiri tegak di hadapan Kian Salveston,Sudut bibirnya mengangkat senyum sinis, "Berbohong? Kian Salveston, kita sudah berpisah selama tiga tahun. Kemudian kita bertemu kembali saat kamu hampir menikah dengan Vivian Alexander. Kau memintaku ke hotel yang di mana tempat kamu dan istrimu itu bermalam. Di malam pengantin... istrimu tidak sadarkan diri karena telah mabuk. Kamu meninggalkan dia dan datang mencariku. Apakah kau masih berani menyangkal?" ungkap Liza dengan tegas. Kian terdiam, wajahnya tampak pucat pasi, sedangkan Kane yang berdiri di sampingnya menatapnya dengan mata terbelalak, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kian, Apakah yang dia katakan adalah benar?" tanya Kane dengan suara bergetar. "Ini b
Kian berdiri di depan orang-orang yang hadir di pesta pernikahannya, wajahnya merah padam karena malu dan kesal. Ia tak bisa mempercayai bahwa perbuatannya telah terekam dan kini diputar di hadapan semua tamu undangan, termasuk para reporter yang datang untuk meliput acara tersebut. Suasana hening menyelimuti ruangan, diikuti oleh bisikan-bisikan yang semakin memperburuk keadaan. "Tidak, semua ini tidak benar!" teriak Kian sambil berusaha menjelaskan kepada mereka semua. Ia cemas, gemetar, dan penuh keputusasaan saat mencoba membela diri, namun seolah tak ada yang mau mendengarkan kata-katanya. Gigi berteriak, "Matikan monitornya!" Ia marah dan kecewa melihat apa yang sedang terjadi di hari bahagia putranya. Vivian malah menghampirinya dan berkata dengan suara tegas, "Kenapa harus matikan? Ini adalah perbuatan anakmu di malam pernikahan kami. Sebelumnya aku sudah memberitahu tuan Kane Salveston, Tapi, sebagai ayah, dia melindungi anaknya dan bersikeras menuduhku serta mempermaluka
Siapa yang mengutusmu?" tanya Gigi pada Mony.Mony tersenyum melihat Gigi yang cemas dan hampir menangis."Mony, Apa yang kamu katakan semuanya tidak benar, kan? Kamu tidak mungkin membohongiku. Aku tahu kamu mencintaiku. Seluruh asetku sudah ku serahkan padamu," ujar Kian."Asetmu? Apakah kamu mengira aset yang kamu miliki bisa membuatku bahagia? Uangku lebih banyak dari asetmu. Tidak ada yang harus diperbesarkan tentang perasaanmu padaku. Aku yakin kamu hanyalah mencari nama agar semakin terkenal setelah menikah denganku," ujar Mony.Kian merasa darahnya mendidih, amarahnya tak terbendung saat mendengar jawaban Mony. Ia mengepalkan tangannya dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosinya. "Siapa yang membayarmu? Katakan!" Kian meninggikan suaranya dengan kesal, memaksa Mony untuk membuka mulut dan mengungkap identitas orang yang mempengaruhi wanita ini. "Seorang yang jauh lebih berpengaruh darimu. Dibandingkan dengan dia... kamu bukan siapa-siapa sama sekali," jawab Mony denga
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya