Vivian menatap cincin itu dengan fokus, bukan lamaran Billy yang membuatnya terharu. Akan tetapi, pernikahan sederhana tanpa undangan bersama mantan suaminya yang ia rindukan."Pernikahan yang tidak seharusnya, semuanya telah berlalu," gumam Vivian.Mata Billy menatap tajam pada wanita itu, Seolah mengetahui apa yang ada dipikiran Vivian."Apakah dia masih merindukan mantan suaminya? Bryan Anderson, walau kau sudah menghilang bersama wanita lain. Vivian masih saja merindukanmu," gumam Billy.Billy menghampiri Vivian yang sedang duduk di seberangnya dengan perasaan gugup. Dia mengambil cincin yang berada di atas meja dan menempatkannya di telapak tangan Vivian yang lembut. "Simpan dulu cincin ini, Vivian. Kamu masih punya waktu untuk mempertimbangkannya. Tidak usah sekarang," ucap Billy dengan lembut.Mata Vivian memandang Billy dengan ragu, "Andaikan perasaanmu masih terluka, biarkan aku yang menyembuhkannya. Kalau kamu ingin menangis, aku akan meminjamkan bahuku untukmu," lanjut Bil
"Jacob Maxwel adalah pengkhianat yang bekerja sama dengan musuh melawan kita, Apakah sudah tahu anggota keluarganya?" tanya Bryan pada Edward."Jenderal, Kami akan segera mendapatkan informasi tentang keluarganya," ujar Edward." Apakah Anda mencurigainya?" tanya Edward yang penasaran."Jacob Maxwel seorang pria yang keras kepala, Aku masih ingat saat itu memberontak hanya karena berbeda pendapat. Egois dan angkuh membuatnya berpaling ke musuh," jawab Bryan."Kami akan segera mencari tahu, Secepat mungkin," ucap Edward."Kalau aku tidak salah ingat, Jacob Maxwel memiliki seorang anak laki-laki. Hanya saja aku tidak tahu siapa namanya.Saat dia tewas anaknya masih remaja," ujar Bryan."Apakah berkemungkinan besar, dia akan membalas dendam kematian ayahnya?" tanya Edward penasaran."Tidak tahu pasti, bagaimana pun kita harus cari keluarga pemberontak sampai dapat," jawab Bryan dengan nada tegas.***Billy berdiri di tengah ruangan luas dan besar, dikelilingi oleh anggota-anggota organisas
"Ma, hati seseorang tidak bisa ditebak, dan tidak bisa dipercayai. Semua pasangan pada awalnya sangat mesra dan harmonis. Seiring waktu berjalan semuanya akan berubah. Kemunculan pihak ketiga akan memecahkan hubungan yang awalnya bahagia menjadi hancur. Aku bukan wanita berkelas dan tidak memiliki apa pun. Pria yang bersamaku akan berpaling ke wanita lain ketika dia mendapati wanita itu lebih menarik dariku. Oleh sebab itu aku butuh waktu," jawab Vivian."Sepertinya perpisahannya dengan Bryan, telah membuat Vivian trauma. Apa yang harus aku lakukan? Vivian tidak akan bisa menemukan kebahagiaannya jika tidak bisa melepaskan masa lalu. Sementara Bryan belum ada perkembangan," batin Celine."Mama akan kembali besok, Apakah kamu berencana ambil cuti dan ikut mama pulang?" tanya Celine."Tidak, Ma. Aku baru menjadi wakil pengurus, Tidak ingin mengecewakan mereka," jawab Vivian."Baiklah!" ucap Celine.***Jhones berjalan pelan sambil membawa sesuatu di tangannya menuju ruangan tengah yang
"Apakah sudah pernah bertemu dengan pria itu? Siapa dia?" tanya Bryan dengan penasaran. "Aku tidak mengenalnya, cincin berlian darinya ku temukan di kamar Vivian. Kemudian Vivian telah memberitahuku semuanya," jawab Celine dengan lembut. Mata Bryan berkaca-kaca, perasaannya bercampur antara sedih dan ragu, "Mungkin dia telah menemukan jodoh yang baik," ucap Bryan dengan suara serak. "Bryan, kamu menceraikan Vivian karena penyakitmu. Sudah saatnya kamu menemuinya. Agar dia tahu semuanya hanya kesalahpahaman," ujar Celine, mencoba menyemangati Bryan. Bryan tersenyum pahit, merasakan kelemahan tubuhnya semakin menggerogoti harapannya. "Kondisiku sekarang masih belum bisa pergi jauh," jawab Bryan sambil menatap ke luar jendela." Jika pria itu telah berhasil memasuki pintu hatinya. Maka, biarkanlah dia ikut pria itu." "Apakah kamu benar-benar ingin melepaskan Vivian atau perasaanmu terhadapnya telah berubah?" tanya Celine dengan suara lembut. "Sampai kapan pun, perasaanku tidak akan
Billy berjalan menghampiri Vivian dengan senyum ramah," Apakah kamu masih menolak berteman denganku? Aku tahu kamu masih belum bisa menerimaku. Tapi, aku tidak memaksamu harus segera membuat keputusan. Aku akan menunggu dengan sabar," ujarnya."Aku butuh waktu," jawab Vivian dengan ragu." Aku tidak ingin terburu-buru dalam sebuah hubungan," lanjut Vivian.Billy mengulurkan tangannya, menawarkan jabat tangan kepada Vivian yang tampak ragu-ragu. "Aku mengerti, kalau begitu kita bisa berteman dulu!" ujarnya dengan senyum tulus. Vivian menarik nafas dalam-dalam, kemudian menerima tawaran bersalaman itu. "Terima kasih, karena sudi berteman denganku. Aku akan menjadi teman baikmu," balas Billy, semakin melebarkan senyumnya. "Sama-sama!" sahut Vivian, kemudian melirik jam tangannya. "Aku ingin pergi dulu, sudah waktunya masuk kerja!" ujarnya bergegas. Billy tersenyum simpul, lalu berkata, "Aku sudah meminta cuti untukmu, hari ini aku ingin pergi ke suatu tempat. Apakah kamu sudi menemani
"Billy Maxwel mengenali nyonya, Apakah karena sebelumnya dia tinggal di hotel? Bukankah nyonya bekerja di sana?" tanya Edward.Bryan semakin murung, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Tangannya mengepal erat, seolah mencoba menahan amarah yang memuncak. "Pastikan apa niatnya mendekati Vivian! Apakah hanya karena kebetulan atau ada niat lain!" perintah Bryan dengan nada tegas. "Siap, Jenderal!" jawab Edward dengan hormat, lalu segera berlalu untuk melaksanakan perintah Bryan. Sementara itu, pikiran Bryan terus melayang pada Vivian, wanita yang selama ini ia cintai. "Vivian, sejauh apa hubunganmu dengan dia? Kenapa harus dia? Billy Maxwel, kalau kamu berniat jahat padanya, aku akan mengambil nyawamu," batin Bryan dengan penuh kebencian. Dalam hatinya, Bryan merasa cemas dan tidak tenang. "Aku harus segera sembuh, agar bisa ke Jerman. Melindunginya dari jarak jauh," gumam Bryan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Di sisi lain, Billy yang baru saja meninggalkan r
Vivian merasa binggung ketika Billy memeluknya erat, Napasnya terasa pendek dan hatinya berdebar kencang. Mereka berdua segera menuju rumah sakit terdekat untuk segera mendapatkan pertolongan. Sesampainya di rumah sakit, seorang dokter dengan sigap menangani Billy Maxwel. Operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang menancap di pundak Billy serta membalut luka di lengannya dilakukan dengan cekatan. Sementara itu, Jhones dan Vivian menunggu dengan cemas di luar ruangan. Tak lama kemudian, Jhones menghampiri Vivian yang tampak gelisah. "Nona, Maaf atas kejadian tadi yang telah menakutimu," ucap Jhones dengan raut wajah menyesal. Vivian menggelengkan kepalanya, berusaha tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Tapi, apakah Tuan Maxwel sering mengalami serangan seperti ini?" tanyanya, yang khawatirmJhones menghela napas, kemudian menjawab, "Tidak, Nona. Ini adalah serangan pertama yang menimpa Tuan Maxwel. Kami tidak tahu siapa yang berani melakukan hal ini." Vivian terdiam dan terbayang keja
Emily berjalan sambil tersenyum, di tangannya terlihat membawa sesuatu yang dia beli. Ia kemudian menuju ke salah satu kamar pasien. Klek!" suara buka pintu yang dilakukan oleh Emily dan melangkah masuk ke dalam.Ia melihat Bryan sedang berlatih berjalan di dalam kamar itu. Secara beransur kakinya semakin membaik."Bryan," seru Emily dengan senyum manis di wajahnya.Bryan sambil melangkah dengan santai tanpa menoleh ke arah wanita itu.Emily tersenyum dan meletakan barang yang dia bawa ke atas meja."Aku siapkan makanan untukmu, Makanan yang lezat untuk pasienku," ujar Emily sambil mengeluarkan bekal itu."Aku sudah makan, Andrew telah mengantar makanan untukku tadi," jawab Bryan."Aku akan keluar dari rumah sakit secepatnya," ujar Bryan dengan nada tegas. Emily, langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa cepat sekali? Kondisimu belum pulih sepenuhnya?" tanya Emily dengan nada khawatir. "Aku sudah lama meninggalkan markas. Sudah saatnya aku kembali ke sana. Ada urusan penting y
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya