“Apakah ada masalah, Tuan?” Pertanyaan pak Sadin membuyarkan renungan Sean. Sedari tadi lelaki itu memainkan ponselnya, memutar-mutarnya dengan satu tangan seraya memasang tatapan berat. Tentu saja, pak Sadin mengiranya ada masalah berat.“Tidak ada pak Sadin. Fokus saja menyetir!” sahut Sean seraya mengukir senyuman.“Kita mau sampai, Tuan,” “Benarkah?”Indera penglihatan Sean beredar pada arah kanan dan kirinya. Ia tersenyum tipis menyadari ucapan asisten pribadinya benar. Kemudian ia merapikan jas dan dasinya dan mempersiapkan dirinya untuk segera turun.“Apakah Bagas sudah siap?” tanya Sean setelah mobil yang dikemudikan pak Sadin memasuki jalanan menuju lobi hotel Alanda, hotel yang dikelola Niko sebelumnya.“Sudah, Tuan,” jawab pak Sadin cepat. Wajah pak Sadin terlihat ragu dan sungkan saat ia baru saja menginjak pedal rem mobilnya, sementara Sean sudah bersiap turun. Lelaki paruh baya itu secepatnya memutar bahunya, menoleh ke arah belakang. “Tuan Sean!” panggilnya.“Ada apa
Zia sukses membuat konsentrasi Sean teralihkan. Ia terus memandangi layar ponselnya selama pak Sadin membawanya kembali ke hotel holfive, tempat seharusnya ia berada. Lelaki itu meneliti wajah gadis kecilnya yang terlampir pada layar ponselnya.Ya, Zia mengirimi dirinya dua foto dengan wajahnya. Gadis memasang tatapan mengancam, dengan bibirnya yang maju. Kemudian pada foto kedua, gadis itu memasang tatapan bayi yang memelas, dan bibirnya tetap maju.Lelaki itu bahkan sampai harus menggaruk rambut depannya, memaksa otaknya bekerja keras untuk mengartikan ekspresi gadis kecilnya. “Sebenarnya kamu marah atau memang menggoda saya?” gumannya tak jelas.“Ada apa, Tuan?” tanya pak Sadin dengan tatapan cemas. “Apakah Bagas melakukan kesalahan?”Sean tersadar kalau lelaki tua di hadapannya terus memperhatikan dirinya. Tentu saja, sejak ia keluar dari ruang meeting tadi, dirinya sibuk dengan ponselnya dan tak mengajak pak Sadin bersuara. Jika sedang begitu, pak Sadin pasti mengira dirinya seda
“Siapa?” Suara ketukan pintu membuyarkan kegiatan Zia yang tengah berkutat dengan laptopnya. Gadis itu mengalihkan pandangannya pada jam dinding di samping kanannya, sebelum menatap ke arah depan, tepatnya pada pintu kamarnya. Keningnya mengkerut menyadari jam dinding sudah menunjukkan jam sembilan malam.Seperti itulah Zia saat ia sudah memutuskan fokusnya pada tulisannya. Ia kerap kali lupa waktu, hingga tak sadar waktunya sudah terlewat jauh. Gadis itu lalu beranjak menuju pintunya yang terus berbunyi. “Kalau ketukannya begini, aku yakin bukan bi Asti,” gumannya seraya meraih handle pintu kamarnya.Dugaannya benar. Bukan bi Asti, melainkan Sean. Gadis itu langsung memasang wajah datar, lalu membuang wajahnya dari lelaki di hadapannya.“Kamu sudah makan, Gadis Kecil?” tanya Sean sebagai sapaan. Zia hanya berdeham santai, isyarat dirinya masih bertahan merajuk. Tentu saja, Sean paham. Tangannya langsung menunjukkan paper bag kecil pada gadis di hadapannya.“Apa ini?” tanyanya deng
Sean bagaikan anak kecil yang terus disuapi oleh Zia dengan es krim bawaanya. Namun, keceriaan di wajahnya dan wajah Zia tergambar jelas tak ada beban. Kemudian Zia memilih melanjutkan pekerjaannya, menyelesaikan tulisannya agar ia bisa segera menyerahkan sedikit demi sedikit hasil tulisannya pada Risma, editornya.“Paman, kalau mau istirahat, istirahat saja! Aku biasa kerja sendirian dan sampai larut,” saran Zia dengan tatapan sungkan.“Tidak apa-apa, saya ‘kan sudah berjanji akan menemani kamu sampai selesai,” ucap Sean diakhiri senyuman tulusnya.Tentu saja gadis itu tidak tega melihat wajah lelah Sean. Apalagi lelaki itu baru saja melepaskan jas formalnya dan menyisakan kemeja putih dengan lengan panjang. Pasti ia langsung menemuinya dahulu tanpa bertukar pakaian dulu ke kamarnya.“Tidak usah pedulikan saya! Saya ingin tahu bagaimana kamu bekerja hingga k
Wajah Zia berubah tegang. Ia merasakan seluruh tubuhnya terasa membeku, tetap detak jantungnya berpacu cepat dan tak beraturan. Zia bahkan kesulitan memejamkan matanya, atau mengalihkan tatapan matanya dari kedua mata Sean.Sean tersenyum tipis, membuat napas Zia terasa berhenti berdetak. Ia kemudian menyibakan helaian rambut gadis kecilnya yang menghalangi wajahnya. Kedua tangannya lalu bergerak menutupi kedua telinga Zia.“Jika nanti ada yang mengatakan hal yang buruk tentang saya atau kamu, jangan dengarkan! Percayalah, saya tulus padamu dan saya akan berusaha semampu saya untuk melindungi kamu,” ucap Sean lembut diakhiri senyuman manisnya. “Kita mungkin akan jarang bertemu, tapi saja janji akan menyempatkan diri menemuimu setiap pulang kerja.”Lelaki tampan itu menyadari kisah cintanya de
Kring! Suara dering telepon di atas meja kerja Sean membuyarkan kosentrasinya. Lelaki itu menyudahi fokusnya pada tumpukan map di hadapannya. Ia meraih gagang telepon berkabel tersebut, setelah menghembuskan napas malas. “Iya,” sahutnya singkat. “Tuan, ada nona Agnes ingin menemui Tuan. Katanya ingin mengatakan hal penting dan tak bisa diwakilkan,” pak Sadin, suara di balik telepon langsung mengatakan maksud menelponnya. “Suruh masuk!” “Baik Tuan.” Sean kembali menghembuskan napas malas seraya meletakkan kembali telpon kabelnya. Ia juga merapikan map di hadapannya. Tak berapa lama, pintu kerjanya langsung terbuka, terlihat gadis cantik melongokkan kepalanya sedikit.
“Boleh papi masuk?”Agnes memutar tubuhnya menoleh ke arah pintunya setelah mendengar suara ketukan pintu dan suara ayahnya. Lelaki paruh baya dengan piyama satin warna biru tua melangkah masuk tanpa menunggu anak gadisnya mengangguk. Agnes, yang tengah duduk bersandar di kasurnya dan memangku tangan menghadap arah balkon kamarnya memasang wajah cemberut menyambut kedatangan tuan David Prayoga Handoko, ayahnya. “Ada apa, sayang? Kok mukanya murung? Kata mami kamu belum makan dari kemarin?” tanya tuan David seraya mendekat dan membawa bobot tubuhnya berlabuh di samping Agnes.Anak gadisnya tak menjawab. Agnes membawa tubuhnya berlabuh pada dada bidang ayahnya. Tentu saja tuan David tidak keberatan dengan tingkah manja anak gadisnya. Ia langsung mendekap dan membelai lembut rambut anak gadisnya.“Kamu punya masalah di tempat kerja?” tanyanya dan langsung dijawab gelengan Agnes. “Ada saingan kamu yang bikin gara-gara?” tanyanya lagi.Agnes menaikkan tubuhnya. Ia lantas menghadapkan waja
Sesuai permintaan Agnes. Potret kebersamaanya dengan Sean langsung menjadi topik utama pembicaraan di berbagai stasiun televisi. Tak menunggu lama, sore hari setelah berita itu beredar banyak wartawan berkumpul di depan lobi hotel holfive, hotel tempat Sean berada.Ya, walaupun pada beberapa potret yang tersebar wajah Sean diburamkan, tetapi tetap saja banyak wartawan yang mengejarnya. Sean bahkan kesulitan untuk pulang ke rumahnya. Tentu saja lelaki itu marah dengan pemberitaan tersebut.Berkali-kali ia menghembuskan napas berat, seraya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursinya. Sean menatap langit-langit seraya berpikir keras. Lelaki itu bahkan tak bergeming saat pintu ruangan kerjanya diketuk oleh pak Sadin.“Tuan Sean?” panggil pak Sadin langsung memasuki ruangan kerjanya. “Tuan baik-baik saja?” tanyanya dengan tatapan sendu.Sean terkikih kecil. Ia terlihat enggan menoleh pada asisten pribadinya. “Apa saya sekarang terlihat baik-baik saja?” ketusnya.“Maafkan saya, Tuan. Saya
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te