Sesuai permintaan Agnes. Potret kebersamaanya dengan Sean langsung menjadi topik utama pembicaraan di berbagai stasiun televisi. Tak menunggu lama, sore hari setelah berita itu beredar banyak wartawan berkumpul di depan lobi hotel holfive, hotel tempat Sean berada.Ya, walaupun pada beberapa potret yang tersebar wajah Sean diburamkan, tetapi tetap saja banyak wartawan yang mengejarnya. Sean bahkan kesulitan untuk pulang ke rumahnya. Tentu saja lelaki itu marah dengan pemberitaan tersebut.Berkali-kali ia menghembuskan napas berat, seraya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursinya. Sean menatap langit-langit seraya berpikir keras. Lelaki itu bahkan tak bergeming saat pintu ruangan kerjanya diketuk oleh pak Sadin.“Tuan Sean?” panggil pak Sadin langsung memasuki ruangan kerjanya. “Tuan baik-baik saja?” tanyanya dengan tatapan sendu.Sean terkikih kecil. Ia terlihat enggan menoleh pada asisten pribadinya. “Apa saya sekarang terlihat baik-baik saja?” ketusnya.“Maafkan saya, Tuan. Saya
“Nona Zia, lihat berita ini!”Hampir saja Zia terkejut. Piring di tangannya yang baru saja dibilas, hampir terlepas pula. Bi Asti berjalan cepat menuju ke arahnya. Gadis itu langsung mengeringkan tangannya dengan handuk putih di dekat pencucian piring.“Ada apa, Bi?” tanyanya penasaran.“Lihat ini, Nona!” Bi Asti menyodorkan ponsel miliknya.Gadis itu langsung menerimanya. Siaran langsung berita gosip yang terlampir pada layar ponsel bi Asti. Kedua bola mata Zia langsung membulat sempurna saat melihat timeline pada berita tersebut. Ia lalu menoleh pada wanita paruh baya di hadapannya.“Ini hanya gosip, Nona! Ini berita hoax. Nona Zia tahu sendiri ‘kan, tuan Sean tidak menyukai nona Agnes,” jelas bi Asti dengan hati-hati.Wajah Zia terlihat berpikir. Ingatannya langsung tertuju pada kejadian malam tad
Tak banyak yang mereka perbincangkan dengan pak Sadin. Zia dan lelaki paruh baya itu justru membincangkan ayahnya. Tentu saja, pak Sadin sangat mengenal ayahnya, Darul.Hingga tak terasa obrolan ringan mereka sudah mengantarkan Zia mendekat pada hotel Holfive. Gadis itu terlihat terkejut melihat banyaknya wartawan yang mengerumuni hotel milik Sean. Pasti Sean kesulitan keluar dari kejaran mereka, dan memutuskan untuk tidak pulang.“Sebagian dari mereka sudah pulang, Nona. Siang tadi bisa dua kali lipat jumlahnya,” ucap pak Sadin menyadari ekspresi melongo dan terkejutnya Zia. “Tapi ada untungnya sih. Seluruh hotel langsung penuh diisi beberapa dari wartawan yang pura-pura menjadi pengunjung hotel dan menanyai beberapa karyawan hotel.”“Sayangnya usaha mereka sia-sia. Semua pegawai hotel tak akan ada yang buka suara,” terang pak Sadin. Zia terkikih mendengar ucapan pak Sadin. Gadis itu kembali melongo, mobil yang dikemudikan pak Sadin justru berjalan melewati mesin parkir yang seharus
Suara ketukan pintu menghentikan lumatan hangat Sean dari bibir. Wajah langsung berubah cemas, sedangkan gadis kecilnya terlihat tegang, hingga ia refleks membuka matanya yang sedari terpejam menikmati lembutnya lidah Sean. Indera penglihatannya langsung menangkap wajah cemas lelaki tampan di hadapannya.Sean langsung meletakkan telunjuknya pada bibirnya. Isyarat agar Zia berdiam diri dan tak bertanya. Kemudian lelaki itu menggerakkan kedua bola matanya ke sebelah kanan. Itu juga isyarat agar gadis kecilnya bergeser ke arah tersebut.“Pelayanan kamar, Tuan,” ucap suara di balik pintu setelah ketukan pintu terdengar lagi.Tangan Sean merapikan piyamanya, memastikan tubuhnya terlindungi sebelum membuka pintu kamarnya. Seingatnya, ia tak meminta seseorang datang menemuinya. Tentu saja, ia sedikit cemas.Terlihat seorang pegawai wanita hotelnya dengan troli makan di sampingnya. Ya, Sean mengenali seragam pegawainya tengah tersenyum ramah padanya. Sean membaca nama tag pada baju tersebut,
Tubuh pelayan wanita itu langsung melorot turun dan bersimpuh di hadapan kaki Sean. Tubuhnya makin bergetar hebat hingga air matanya langsung tumpah membasahi wajah ketakutannya. Sean bahkan tak menunjukkan rasa iba dan segera bergerak menuju meja nakas di dekat pintu. Ia lalu meraih gagang telepon kabel di sana dan menekan sebuah angka sebelum berbicara.“Ampuni saya, Tuan! Saya tidak tahu apa-apa,” pelayan itu memohon belas kasihan dari Sean.Sean tak melirik pelayan wanita itu. Ia lalu menoleh pada Zia. “Gadis Kecil, kamu bisa mengawasi pelayan itu? Saya harus mengganti pakaian saya,” pintanya.“Tentu saja,” sahutnya diikuti senyuman tipisnya.Wajah Zia melemas. Rencananya menghibur pamannya berakhir dengan rasa kesal dan cemas. Ia tak menyangka karyawan Sean berkhianat, padahal lelaki itu sedang tersandung masalah. Gadis itu menatap pelayan wanita itu yang terus terisak menangisi nasibnya.“Berhentilah menangis! Tuan Sean pasti muak denganmu,” ketus Zia pada pelayan itu.“Nona, t
Sean mendesis kesal. Ucapan pelayan itu semakin membuat amarahnya memuncak. Bagaimana tidak, kehadirannya saja yang bisa memasuki ruangan rahasianya sudah membuatnya marah, ditambah membawa kamera pengintai. Kemudian sekarang pelayan itu berkilah dengan alasan yang membuatnya makin muak.Lelaki itu membawa tubuhnya bergerak turun ke bawah. Sean berjongkok menghadap pelayan wanita itu dan menatapnya tajam, penuh kebencian. Tangisan pelayan itu mendadak terhenti dan wajahnya langsung tertunduk menghadap lantai.“Tidak usah pura-pura tidak tahu, Nona! Membawa kamera pengintai saat bekerja saja itu adalah kesalahan besar, kamu bahkan berani memasuki ruang rahasia saya. Itu adalah kesalahan yang tak akan pernah bisa saya toleransi,” Sean memberikan penekanan pada setiap katanya. “Saya tidak peduli siapa orang yang berada di belakangmu dan seberapa kuat orang tersebut, hingga berani mengusik kehidupan saya. Katakan padanya, kalau
Wajah Zia tampak tak berdaya. Ia tak bisa mengartikan tatapan tajamnya Sean. Kemudian lelaki itu berjalan mendekat padanya dengan cepat.Tentu saja Zia refleks memundurkan langkah kakinya cepat. Ia yakin Sean sedang mencurigainya. “Pa—paman apa yang mau kamu lakukan?” gagap Zia hingga menghentikan langkah Sean.Tunggu! Sean menghentikan langkah kakinya bukan karena ucapan Zia, tetapi ia terhenti di samping paper bag yang dibawa gadis kecilnya. Lelaki itu lantas berbalik membelakangi Zia dan berjalan santai menuju sofa dengan menjinjing paper bag tersebut. Zia mengerutkan dahinya heran.“Paman?” tanyanya bingung.“Saya tidak mencurigaimu, hanya saja saya bingung denganmu,” jawab Sean seraya mengeluarkan isi paper bag tersebut. “Bingung kenapa?” tanya Zia mengikuti langkah pamannya dan duduk di sofa yang sama dengan Sean.“Kenapa kamu mengatakan pada dua penjaga keamanan tadi kalau kamu adalah penulis biografi saya? Padahal saya akan menjawab kalau kamu itu pacar saya,” jawab Sean sant
Tidak sia-sia pengalaman menulisnya, pikir Zia. Cerita romansanya dulu memang khayalannya saja dan beberapa hasil survei dan riset dari berbagai drama romantis. Ia sendiri tak menyangka kalau pemikirannya akan diterapkannya dan langsung berhasil.“Baiklah, saya percaya ucapanmu kalau kamu belum pernah mencium lelaki lain selain saya,” jawab Sean seraya kembali meraih kotak bekal yang ia jatuhkan tadi.“Kenapa bisa begitu?” Zia memasang wajah penasaran.Sean menoleh dan menatap lekat pada kedua netra gadis di sampingnya. “Karena saya juga belum pernah mencium gadis lain selain kamu,” jawabnya.Wajah Zia memerah. Sean langsung tersenyum menyadari gadis kecilnya tersipu malu. Ia lalu kembali fokus pada kotak bekal di tangannya dan membukanya.“Aku yang masak, Paman,” ucap Zia saat Sean sudah membuka kotak bekal pemberiannya. “Pas
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te