Berkali-kali Sean menginjakkan kakinya pada pedal gas, tetap saja tak ada hasilnya. Mobilnya makin melaju kencang menuruni jalanan berbukit. Lelaki itu hanya mengatur laju kemudinya agar tak keluar jalur.
Namun, tetap saja itu bukanlah hal yang baik. Jalanannya curam berkelok menurun makin mempercepat laju mobilnya walaupun ia tak menginjak pedal gas. Sean langsung menyalakan lampu darurat mobilnya dan membunyikan klakson mobilnya secara terus menerus, berharap beberapa kendaraan di hadapannya dan di belakangnya menyadari sinyal bahaya pada mobilnya.
Panik? Tentu saja. Ia berusaha tetap tenang seraya terus mempertahankan kemudi mobilnya yang mulai tak terkendali.
“Paman, bagaimana ini?” Zia tampaknya lebih panik darinya.
Sejujurnya Sean lebih panik. Ia tidak mungkin membuat gadis tercintanya dalam bahaya, tetapi itulah kenyataannya. “Tenanglah, Gadis Kecil! Saya berusaha menguasai k
“Bagaimana?”“Maafkan kami, Nyonya. Mereka berhasil selamat,”“Apa? Bagaimana bisa? Kamu sudah melakukan semua instruksi yang aku suruh ‘kan?”Nyonya Felicia, memekik panik. Ia tak percaya orang suruhannya tak becus menjalankan perintahnya. Padahal tugas yang mudah menurutnya.“Tentu saja, Nyonya, saya sudah memutus kabel remnya. Namun, sepertinya orang itu lebih pandai menguasai jalanan, padahal yang ia lalui adalah jalanan curam berkelok-kelok dan menurun. Kecil kemungkinannya bisa selamat,” jawab seseorang di balik telepon.“Sial! Ternyata anak itu pintar juga, seharusnya dalam keadaan turun di perbukitan mobilnya hilang kendali. Apa kamu yang salah memotong kabel rem?” umpat nyonya Felicia makin panik, tetapi dengan suara pelan.Wanita setengah baya itu menggigit jarinya.
“Apa yang terjadi, Tuan Sean?” tanya pak Sadin setelah menerima ponselnya dari Sean.Lelaki yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit itu menoleh heran pada asistennya. “Sepertinya dugaanmu benar, Pak Sadin. Bukan tuan David dalang dibalik kecelakaan saya.”“Tuan yakin?” Pak Sadin meyakinkan dengan tatapan sedikit terkejut.“Hubungi dokter Ryan dan suruh dia menyiapkan ruang rawat untuk saya! Katakan juga pada ayah saya, tidak perlu datang ke mari!” perintah Sean pada pak Sadin.“Baik, Tuan,” sahut pak Sadin langsung. “Kalau begitu, sebaiknya Tuan Sean beristirahat dulu! Saya akan panggil nona Zia masuk agar bisa menemani Tuan Sean beristirahat.”Tanpa menunggu jawaban Sean, pak Sadin langsung memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan rawat lelaki itu. Tanpa menunggu lama, pintu tersebut kembali terbuka. Zi
Tanpa lelah, pak Sadin berkendara lebih dari empat jam dan sudah memasuki lobi rumah sakit. Zia tersadar saat mendengar suara bunyi dari mesin parkir saat lelaki itu mengarahkan kartu parkirnya. Indera penglihatan Zia berselancar sebentar, memastikan keberadaanya. “Kita sudah sampai, Nona Zia,” ucap pak Sadin menyadari gadis itu sudah terbangun. Sean pun langsung terbangun saat ia menyadari kepala Zia menjauh dari kepalanya. “Paman, sudah bangun?” tanya Zia seraya membantu lelaki itu bangkit dari rangkulannya. “Kamu pasti kelelahan, yah?” tanya Sean menyadari tengah menggerakan pinggangnya. Zia ingin mengelak, tetapi ia memilih tersenyum. Namun, ia langsung mengalihkan pandangannya pada dokter Ryan dan tuan Alan yang sudah menyambutnya dengan membawa kursi roda di depan lobi samping rumah sakit. Sean pun mengikuti pandangan gadis kecilnya. “Paman, siap-siap saja, yah!” pinta Zia setelah mobil pak Sadin berhenti. Pintu mobil samping langsung terbuka, mereka perlahan membantu Sean
Zia tak bisa bersabar untuk mengistirahatkan dirinya di mansion. Ia memilih langsung ke rumah sakit setelah membilas tubuhnya dan meminta bi Asti memasak makanan kesukaan Sean. Gadis itu harus menjaga pamannya, pikirnya.“Kamu nggak bisa nahan rindu dengan saya, yah?” goda Sean saat gadis itu menyiapkan makanan untuknya.“Anggap saja gitu!” sahut Zia tanpa menoleh pada Sean.Gadis itu membuka kotak masakannya. Menu sederhana kesukaan Sean saat kecil dulu. Zia lalu membawanya ke hadapan pamannya yang kini sudah duduk bersandar di ranjang rawatnya.“Nggak ada pantangan makan ‘kan?” tanya Zia saat menunjukan ayam kecap masakannya. “Bi Asti yang ngajarin aku masak ini. Kata bi Asti sih enak,” ucapnya.Sean mengerutkan dahinya sebenar, lalu menatap ayam kecap di hadapannya. “Jadi, kamu sedang belajar menjadi istri yang baik?” godanya diikuti senyuman menggoda hingga membuat wajah gadis kecilnya merah merona.“Ih, Paman! Aku masak biar Paman bisa makan lahap dan cepat sembuh, makanan rumah
“Bu Resa? Bu Resa siapa? Jangan-jangan ibuku?” guman Zia terkejut saat melihat nama pemanggil pada layar ponselnya Sean. “Paman masih berhubungan dengan ibuku?”Rasa penasaran Zia memaksanya menggulir tombol jawab pada ponselnya Sean. Ia langsung menempelkan ponsel tersebut pada daun telinganya. Zia hanya perlu memastikan suara pemanggil tersebut.“Tuan Tampan, kenapa kamu susah sekali dihubungi, sih? Aku lagi dalam kesulitan nih,” seru suara di balik telepon dengan nada kesal tanpa memberi salam terlebih dahulu atau menyapa.Kedua bola mata Zia langsung membulat sempurna. Tentu saja ia mengenali suara tersebut. Benar, itu memang suara Resa, ibunya.“Mau apa Ibu mengganggu tuan Sean?” sembur Zia kesal.“Zi—zia? Kenapa telepon tuan Sean ada padamu? Di mana dia? Ibu ada perlu dengannya, berikan padanya!” Resa gag
“Saya tidak ingin kamu makin membenci ibumu, Gadis Kecil! Itulah kenapa saya tidak memberitahumu,” jelas Sean seraya meraih dagu Zia yang tertunduk lemas dan mensejajarkan tatapannya. “Kamu sudah berada dalam lindungan saya dan saya juga akan melindungi ibumu agar tak terlibat lebih jauh,” ucapnya lembut.“Aku beneran nggak nyangka kalau ibuku ternyata sudah sejauh ini, Paman,” lirihnya diikuti tetes air matanya.Sean lalu membawa tubuh Zia dalam pelukannya. Ia membelai lembut rambut gadis kecilnya dan membiarkan gadis itu terisak dalam pelukannya. “Saya yakin ibumu pasti terpaksa, karena itu percayakan semuanya pada saya! Akan saya ungkap semuanya agar saya bisa tahu alasan ibumu bertindak sejauh ini,” yakin Sean.Zia hanya mengangguk dalam pelukan Sean. Sekali lagi, ia salah paham pada pamannya dan menuduhnya buruk. Gadis itu lantas melepaskan pelukannya setelah puas mena
Indera penglihatan Sean menatap fokus pada file yang berhasil diunduhnya, kiriman dari orang tak dikenalnya. Namun, sebelum ia memutarnya lelaki itu memasangkan earphone kabel dan menyambungkannya ke laptop hadapannya. Tentu saja agar suaranya tak membangunkan Zia.Tangannya langsung menekan tombol putar. Lelaki itu langsung fokus pada layar laptopnya meneliti putaran video, hingga ia tak berani berkedip. Sebuah video yang memperlihatkan seorang laki-laki tengah bermain gitar di balkon rumahnya.“Sepertinya ini video langsung saat kejadian,”Hingga detik ke 42 tidak ada yang mencurigakan. Tepat pada detik 43, lelaki yang ada di video itu tampak terkejut dan memutarkan tubuhnya ke belakang. Tangan Sean langsung menghentikan video tersebut.“Ada yang terlewat,” guman Sean seraya menarik mundur kursor menuju menit ke 38.Sean kembali fokus dan menajamkan indera pendengarannya. Ia bahkan meninggikan volume suaranya agar suara yang disalurkan earphone tersebut terdengar sangat jelas. Wajah
Setelah Sean menjalani perawatan, ia diperbolehkan pulang sore harinya oleh dokter Ryan. Tentu saja Zia sangat bahagia. Ia menyiapkan semua barang-barang Sean sebelum pak Sadin menjemputnya.“Paman, sudah cukup main ponselnya!” pinta Zia seraya membuka telapak tangannya di hadapan Sean yang tengah duduk di sofa.“Sebentar lagi boleh? Saya harus membalas email dari kolega saya.” Sean memohon.Zia menggelengkan kepalanya, isyarat penolakannya. Sean tersenyum memohon. “Satu menit saja!” pinta Sean meyakinkan.“Lihat jamnya, sebentar lagi pak Sadin datang! Lagi pula ini sudah lewat jam kerja, Paman bisa membalasnya besok besok pagi saat jam kerja atau nanti setelah istirahat di rumah!” tegas Zia seraya menunjuk jam kerja.Sean menghela napas berat. Hidupnya dikendalikan oleh Zia, tetapi tak bisa menolaknya. Lelaki itu pun menyerahkan ponselnya pada gadis kecilnya dan langsung dibalas senyuman manis Zia.“Hanya senyuman saja?” tanya Sean sedikit menggoda.Zia mengerutkan dahinya. “Memangny
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te