“Terima kasih, Tuan Sean. Saya tidak akan melupakan kebaikanmu,” ucap seorang lelaki paruh baya yang duduk di kursi belakang kemudi pada Sean.
“Sama-sama, Tuan Samuel. Saya harap kita akan terus saling bekerja sama dan saling membantu,” jawab Sean sesantun mungkin.
“Tentu saja, Tuan Sean. Saya menghargai usahamu!”
Lelaki tersebut yang bernama Samuel, melirik sebentar ke arah kursi depan samping kemudi. Di sana Frans, pemuda yang disambut Sean saat keluar dari rumah bordil. Pemuda itu adalah anak lelaki Samuel.
Potret pemuda itulah yang membuat senyuman Sean mengembang sempurna saat siang tadi. Dia adalah anak dari salah satu pemegang saham yang berencana menarik sahamnya dari hotel yang dikelola oleh Niko. Sean menggunakan Frans yang s
Sudah lewat tengah malam, kedua bola Zia masih enggan tertutup. Ia masih gelisah di atas ranjangnya dengan pikiran tak karuan. Kemudian ia langsung bangkit dari baringnya dan meraih ponselnya.“Apa yang sedang kamu rencanakan, Paman? Sore kamu memberikan pengakuan cinta, tetapi langsung menghilang. Seharusnya ‘kan malam ini kita sedang berdua bermesraan kek, atau apa kek,” gerutu gadis itu kesal. “Bahkan kamu pergi saja tanpa ngasih tahu,”Wajah Zia terlihat memerah menahan emosinya. Tangannya lalu bergulir pada layar ponselnya, mencari kontak nama Sean. Ia tak bisa menahan rasa penasarannya.Ya, sejujurnya Zia masih belum sepenuhnya percaya kalau Sean mengatakan menyukainya dan menunggunya. Ia hanya ingin memastikan kalau pamannya tidak mempermainkan dirinya. Jari telunjuknya langsung menekan tombol panggil.“Aku tidak peduli kamu sudah tidur atau belum, di kamar kamu tidak ada,” ocehnya pada layar ponselnya yang sedang melakukan panggilan telepon.Kedua bola matanya membulat sempurn
Wajah Zia langsung tersentak. Kedua bola matanya berputar beberapa kali. Ia berusaha mencerna ucapan lelaki di hadapannya.“Di kamar saya ada kotak obat,” jelas Sean menyudahi ekspresi bingungnya Zia.Sayangnya, otak dan pikirannya sepertinya belum bisa mencerna secara sempurna penjelasan Sean. Benar, Zia masih sedikit kaku membayangkan tentang kamar pamannya. Tentu saja, ingatannya berselancar pada kejadian ciuman mereka di hadapan kamar Sean.“Tapi di kamar aku juga ada,” sahutnya cepat.“Baiklah kalau begitu,”Zia tersenyum canggung seraya berjalan lebih dulu menuju kamarnya. Sementara Sean tersenyum melihat wajah canggung gadis kecilnya. Ia mengekori Zia hingga ke kamarnya.
Pertanyaan Sean seperti menggodanya. Memangnya apa yang harus dilakukannya? Zia refleks menggigit bibir bawahnya. Ia bingung dan detak jantungnya makin tak karuan.Zia kembali menjinjitkan kedua kakinya. Ia mendekatkan wajahnya lebih dekat pada Sean. Tepatnya mendekatkan bibirnya pada Sean.Tentu saja Sean langsung menyambutnya. Ia melumat lembut bibir Zia. Tak peduli rasa perih pada pelipis bibirnya yang baru saja diobati gadis kecilnya.Kali ini ciuman mereka juga tak berlangsung lama. Hanya lima detik saja Zia menjauhkan wajahnya dari Sean. Ya, ia ingat lelaki di hadapannya sedang terluka pada sudut bibirnya. Seharusnya ia tak memulai ciuman tersebut.“Maafkan aku, Paman,” Zia memasang wajah menyesal.&ld
Sean menghentikan lantunan lagunya saat selesai pada bait ketiga. Bukan tanpa sebab ia menghentikan lantunan lagunya, Zia tiba-tiba melingkarkan tangannya pada pinggangnya lembut. Tak hanya itu saja, Sean dapat melihat wajah gadis kecilnya terlelap pulas berbantalkan lengannya. Senyumannya mengembang sempurna.Mungkinkah lagu a thousand years milik Cristina Perri yang ia lantunan membuat gadis kecilnya terlelap. Atau mungkin suaranya yang merdu dan lembut yang membuat Zia tertidur. Namun, Sean tak yakin akan keduanya. Ia hanya yakin, gadis kecilnya pasti kelelahan menunggunya pulang.Sean menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah gadis kecilnya. Saat itu pula Zia makin memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan Sean. Tentu saja hal itu semakin membuat senyuman lelaki itu makin melebar.Perlahan, Sean mengangkat kepala Zia untuk berpindah pada bantal di atas kepalanya. Ia melakukannya secara perlahan dan lembut agar tak mengganggu tidurnya. Tak sampai di sana, Sean juga melepa
“Mas, apa itu tidak berlebihan? Niko sudah memberikan alasan kalau dia lengah. Lagi pula hotel Alanda hampir sama luasnya dengan hotel Holfive yang dikelola Sean. Niko bekerja sendirian tanpa bantuan pak Sadin seperti Sean,” protes nyonya Felicia membela anak lelakinya.Sean berdecak kecil. Sontak saja nyonya Felicia dan Niko meliriknya sinis. Akan tetapi mereka tak berani memprotes sikap lelaki itu. Sadar diri nasib Niko berada di tangan tuan Alan.“Felicia, Niko, kalian lupa? Hotel yang kamu tangani, berkembang karena Sean dan kamu hanya diberi tugas mempertahankannya saja! Tapi kamu hampir menghancurkan kerja keras saudaramu,” tegas tuan Alan dengan tatapan tajam.“Ayah pikir aku tidak bisa menangani masalah itu?” cetus Niko dengan napasnya yang menderu. “Aku bisa menangani hotelku, Yah! Kalau saja Sean tidak lebih dulu melangkah mendahuluiku,” Sean kembali berdecak. Kali ini ia menatap saudara tirinya sinis. “Oh, jadi itu kesalahan saya? Begitukah maksudmu, Niko?” ledeknya.“Sea
Zia baru membuka matanya. Hal pertama ia lakukan adalah meraba samping kasurnya. Sepertinya, ia masih ingat kalau malam tadi Sean tidur di sampingnya. “Paman!” Tangan Zia tak menemukan sosok lelaki itu. Ia mengedarkan pandangannya sejenak, lalu bangkit duduk. Indera penglihatannya berkeliling pada setiap kamarnya. Tentu saja ia tak akan menemukan keberadaan Sean. Zia berpikir sejenak, lalu memastikan pakaiannya tak ada yang tertanggal. Ia lantas mencoba memutar mundur ingatannya seraya memainkan bibir bawahnya. Kedua bola matanya bergulir ke kanan dan kiri secara perlahan. Benar, tak ada yang ia lakukan dengan Sean, dirinya ingat tertidur pulas dalam pelukan Sean. “Kapan si paman keluar dari kamarku?” gumannya dengan tatapan heran. Saat ia tenggelam dalam heran dan bingungnya, ponselnya berbunyi. Cepat-cepat ia meraih ponselnya yang berada di atas nakas samping ranjangnya. Zia yakin itu salah pesan dari Sean. Benar saja, senyuman gadis itu langsung mengembang sempurna saat menatap
Ya, hampir saja ia lupa kalau tujuannya berada di mansion Sean untuk bekerja. Padahal ia baru saja merasa melayang bisa bertemu dengan lelaki yang membuatnya nyaman. Gadis itu menghembuskan napas berat.“Ada apa, Gadis Kecil? Apa ada masalah?” tanya Sean menyadari suara hembusan napas Zia.“Tidak ada, Paman. Aku hampir lupa kalau aku ini penulis biografimu,” suara Zia terdengar lesu.“Maafkan saya, Gadis Kecil. Sepertinya setelah ini saya akan sibuk, dan akan sulit meluangkan waktu untuk melakukan sesi interview, karena itulah saya mengirimkan portofolio. Jika ada yang membuatmu bingung, kamu bisa tanyakan saja yah!” Suara Zia kembali berhembus berat nan panjang lagi. “Baiklah.” “Untuk sekarang, kamu fokus dengan pekerjaanmu dan saya fokus dengan pekerjaan saya! Kita selesaikan tugas kita masing-masing, yah! Pasti sangat merindukan kamu, Gadis Kecil,”Penjelasan Sean langsung membuat Zia memasang wajah berat. Walaupun ia dapat mendengar suara pamannya terdengar berat. Padahal, ia ma
“Apakah ada masalah, Tuan?” Pertanyaan pak Sadin membuyarkan renungan Sean. Sedari tadi lelaki itu memainkan ponselnya, memutar-mutarnya dengan satu tangan seraya memasang tatapan berat. Tentu saja, pak Sadin mengiranya ada masalah berat.“Tidak ada pak Sadin. Fokus saja menyetir!” sahut Sean seraya mengukir senyuman.“Kita mau sampai, Tuan,” “Benarkah?”Indera penglihatan Sean beredar pada arah kanan dan kirinya. Ia tersenyum tipis menyadari ucapan asisten pribadinya benar. Kemudian ia merapikan jas dan dasinya dan mempersiapkan dirinya untuk segera turun.“Apakah Bagas sudah siap?” tanya Sean setelah mobil yang dikemudikan pak Sadin memasuki jalanan menuju lobi hotel Alanda, hotel yang dikelola Niko sebelumnya.“Sudah, Tuan,” jawab pak Sadin cepat. Wajah pak Sadin terlihat ragu dan sungkan saat ia baru saja menginjak pedal rem mobilnya, sementara Sean sudah bersiap turun. Lelaki paruh baya itu secepatnya memutar bahunya, menoleh ke arah belakang. “Tuan Sean!” panggilnya.“Ada apa
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te