"Maaf, Bu! Tapi saya sudah janji sama Ibu saya akan pulang tepat waktu hari ini," jawab Ranti mencoba memberi alasan."Oh, begitu, ya?" Dian nampak sedikit kecewa. Namun hanya menatap bawahannya itu dengan termangu."Tak mungkin aku ke sana sendirian. Tapi kalau tidak ke sana pasti malah menimbulkan kecurigaan polisi," bisik hatinya."Iya, Bu. Maaf sekali, soalnya anak saya sedang kurang sehat, jadi neneknya agak kerepotan," tambah Ranti lirih, takut jika akan membuat Managernya marah."Ya, sudah. Kalau begitu, tolong panggil Ayuk ke sini, ya!" perintah Dian pelan sambil kembali fokus pada laptopnya di hadapannya."Baik, Bu Dian." Ranti mengangguk sambil melangkah keluar dari ruangan itu. Ranti segera menuju ke ruangannya dan menjumpai Ayu yang masih sibuk menjilid file sambil matanya tak lepas dari komputer, takut ada berkas yang tercecer."Yuk, kamu suruh ke ruangan Bu Dian sekarang," kata Ranti menghampirinya."Waduh! Gimana, nih. Masih banyak file yang mesti aku beresin. Kalau sam
"Eh! Pak Andika, selamat sore, Pak!" balas sapa Ranti dengan canggung."Ada perlu apa datang ke rumah sakit ini?" tanya orang yang menyapa tadi, ternyata adalah Inspektur Andika, satu-satunya orang yang sangat ingin dihindari oleh Ranti saat ini."Oh, ini. Saya menemani Bu Dian datang ke sini," jawabnya lagi masih dengan gugup. Matanya langsung menatap Bu Dian yang balas menatapnya dengan penuh tanya."Ini_?" Dian mengulurkan tangannya kepada Inspektur Andika yang langsung menyambutnya."Andika!" jawab Andika ramah."Ini Kepala Polisi wilayah Yamon, Bu." Ranti menjelaskan tanpa diminta."Ah! Selamat sore, Pak," sapa Dian pula."Selamat sore! Baik, saya ke sana dulu," ucap Andika dan melangkah dengan tegas meninggalkan kedua wanita yang menatapnya dengan pikirannya masing-masing."Kok, kamu bisa mengenal Kepala Polisi, Ran?" tanya Dian tiba-tiba. Membuat jantung Ranti hampir copot. Tak mungkin dia mengakui yang sebenarnya bahwa dia pernah dimintai keterangan oleh polisi atas kasus pemb
"Dian_!" perintah Andika tegas."Baik, Pak!" jawab Letnan Yusa. "Tunggu! Selidiki juga tentang Alex dan_," Andika menghentikan ucapannya sejenak dan berusaha menelan salivanya yang tercekat di tenggorokan."Dan siapa, Pak?" tanya Letnan Yusa penasaran."Ranti," lirih suara Andika, namun tegas."Ranti? Siap, Pak!" Letnan Yusa bergegas keluar dari ruangan Andika dan mulai meneliti data-data melalui komputernya.Tentu saja, data komputer hanya menyajikan sebagian dari data kehidupan dari ketiga orang tersebut. Besok dia akan menyebar anak buahnya untuk mencari informasi di lapangan.Karena sudah terlalu larut, akhirnya Andika memutuskan untuk pulang lebih dulu sambil memikirkan langkah selanjutnya untuk dapat segera menuntaskan kasus yang sedang diselesaikan.***Dari rumah sakit, Ranti tidak langsung pulang ke rumahnya karena Dian mengajaknya makan malam lebih dulu di sebuah restoran.Karena memang perutnya sudah keroncongan, tentu saja Ranti tak menolak.Ting!Ranti melirik gawai yang
Di depan mobil yang ditumpanginya, ternyata ada dua orang pengendara motor yang cukup mencurigakan. Keduanya mengenakan pakaian dan aksesoris yang serba hitam. Wajah mereka sama sekali tidak terlihat hanya menyisakan mata mereka yang nampak nyalang menatap ke arah Driver taksi online yang ditumpangi Ranti."Woooyyy! pak, pakai mata donk. Awas, Lu, kalau motor gua sampe lecet!" Teriak salah seorang dari mereka dengan galak."I-iya, Mas, maaf! Saya kurang hati-hati," jawab Driver itu mengalah. Padahal siapapun yang melihat pasti tahu bahwa kedua orang itu lah yang salah dan menghalangi jalan."Mas-mas, Nenek moyang lu!" sentak salah satunya lagi seakan tak terima dengan panggilan itu."Maaf, Den!" Lirih suara Si Bapak tercekat di tenggorokan.Tanpa menjawab lagi, kedua orang itu langsung tancap gas dan meninggalkan mereka dengan suara bising dari knalpot kendaraannya."Kok, aku seperti pernah lihat motor itu, ya? Tapi di mana?" gumam Ranti mengerutkan dahi mencoba mengingat. Namun, teta
Dengan berat, Ranti membuka matanya yang terasa perih.Dia berusaha menarik napasnya yang sesak, namun dadanya terasa sakit, seperti ditimpa oleh batu besar hingga membuatnya terengah-engah dan sulit bernapas.Setelah menarik napas dalam secara perlahan, dia merasa lebih baik.Matanya memandang berkeliling, mencoba memahami apa yang terjadi dan di mana dia berada saat ini.Dia merasa sebuah tangan dingin sedang menggenggam jemari tangannya.Kesadarannya mulai pulih, melirik ke sisi kanan, ternyata ibunya yang sedang menggenggam tangannya dengan erat.Bu Diah duduk di sisi pembaringan, tubuhnya membungkuk lelah dan kepalanya diletakkan di tempat tidur. Wajahnya yang mulai keriput menghadap ke arah putrinya yang terbaring di atas tempat tidur.Ranti menatapnya dengan haru. Dia mulai teringat kejadian yang dialaminya sebelum terbangun di kamar yang dia yakini sebagai kamar rumah sakit. Semua kejadian itu terekam ulang dengan jelas dalam ingatannya.Lalu, siapa yang telah membawanya ke ru
Inspektur Andika terdiam sesaat seraya menatap tajam ke manik mata Ranti, membuat wajah wanita cantik itu memucat dan tertunduk seketika."Mereka bilang, ada yang datang dan menghajar mereka sebelum polisi tiba di lokasi," jawab Andika singkat.Tentu saja, dia seorang polisi, seharusnya dia lah yang meminta keterangan."Berarti bayangan yang datang itu buka polisi," gumam Ranti seolah bicara pada dirinya sendiri. Sang Inspektur yang berwajah tampan namun tegas itu langsung menatapnya dengan tajam, penuh tanya."Apakah Ibu Ranti sempat melihat siapa yang datang?" tanya Andika segera."Saya hanya melihat sekilas bayangan hitam yang langsung menghantam orang yang memukul dan menendang saya sebelumnya. Setelah itu, semuanya menjadi gelap," jawab Ranti dengan pandangan menerawang, mencoba mengumpulkan memorinya."Apa Ibu tidak mengenalnya sama sekali?" tanya Andika lagi, menegaskan."Maaf, Pak! Saya benar-benar tidak ingat apapun setelah itu. Sepertinya orang itu berpakaian hitam-hitam, ka
"Ada korban pembunuhan lagi, ciri-cirinya sama dengan korban-korban sebelumnya," jawab Letnan Yusa dengan nada kelam.Andika mendesah."Sampaikan pada Letnan Ardi, saya akan langsung menuju tempat kejadian, kirim lokasinya sekarang!" perintah Andika sambil melangkah keluar ruangan dan mengajak beberapa anggota lain untuk menuju lokasi pembunuhan yang dikirimkan oleh Letnan Ardi."Aa! Letnan Yusa, lanjutkan memeriksa ponsel Vira, barangkali kita menemukan petunjuk!" perintahnya sebelum menghilang di balik pintu."Siap!" jawab Yuda meskipun tahu bahwa Sang Komandan mungkin sudah menjauh dan tak lagi mendengar ucapannya.Dia kembali menekuni dan memcoba memeriksa ponsel Vira."Pasti ini!" Dengan wajah tegang, Yusa meneliti setiap detail yang ditampilkan di layar handphone itu.Pada aplikasi pesan seluler menampilkan pesan ancaman dari nomor tak dikenal kala itu. Letnan Yusa langsung menghubungkan Ponsel tersebut ke dalam laptopnya.Yusa mencoba memanggil nomor yang tertera pada layar ter
Narendra terlonjak dari duduknya dan menatap Ranti, hampir tak percaya."Jadi, dengan kata lain ... korbannya adalah ... Istri baru Ayah?" tanya Pemuda tampan berkulit coklat itu, seakan tak percaya."Bisa jadi_," jawab Ranti ragu."Maksud Kakak?" Narendra belum paham."Sebab yang kudengar tadi, korbannya adalah wanita muda. Apa mungkin Ayah mempunyai istri yang masih muda?" Ranti mencoba berpikir logis."Huh!" Narendra mendengus kesal,"Buaya, tetap aja buaya! Nggak akan mungkin jadi cicak!" rutuknya lagi.Tentu saja Ranti mengerti maksud ucapan adik satu-satunya itu. Dia mengangguk setuju."Apa perlu kita cari tau informasinya?" tanya Ranti sedikit ragu sambil menatap lekat wajah Narendra."Buat apa? Hanya akan menyakiti hati Ibu!" jawabnya ketus."Tapi dia tetap ayah kita, Rend. Meskipun kita menolak, darah tetap lebih kental." Ranti meraih tangan adiknya dan menepuk-nepuk punggung tangannya."Terserah Kakak aja! Aku malas ikut campur!" gumam Narendra pelan, hatinya sama sekali belu
Ridho mengernyitkan keningnya samar, baru kemudian menjawab dengan tenang."Mau berapa lagi yang Lu eksekusi, Bro?" tanyanya pelan. Tangannya masih sibuk mengelus kepala Si Jago miliknya. Sesaat kemudian dia berjalan ke arah kandang dan melepaskan ayamnya dalam kandang tersebut.Kukkuruyuuukkk!Terdengar suara lantang ayam tersebut, seolah kembali menantang lawannya.Ridho berjalan ke arah Narendra yang mulai terlihat sinis dengan mata merahnya. Sepertinya, minuman berkonsentrasi alkohol tinggi mulai menguasai dirinya."Hahaha! Kalau perlu gue akan buat semua jenis orang kayak gitu mampus di tangan gue!" ucapnya dengan lantang.Ridho yang menyadari situasi itu segera menutup mulut Narendra dengan tangan kanan dan menyeret tubuh sahabatnya untuk segera masuk ke dalam rumah."Gila, Lu! Jangan teriak-teriak di luar. Lu mau semua orang tahu dan dengerin omongan lu yang mulai ngaco! Udah, mending Lu istirahat dulu, deh. Tar kalau udah sadar gue ajakin liat target!" ucap Ridho, mendorong t
Andika melepaskan tembakan ke udara untuk menghentikan gerakan seseorang yang terlihat sedang berusaha melarikan diri.Polisi segera mengejar ke arah suara itu."Berhenti atau kami tembak!" Kembali Andika berteriak dengan lantang. Namun orang yang berpakaian serba hitam yang baru saja melompat melalui jendela dati kamar bagian belakan rumah Ranti, sama sekali tidak mengindahkan seruan tersebut."Satu ...,""Dua ...,""Ti ... ga!"Dorrr! Dorr!"Aahhhh ...!" terdengar suara teriakan orang tersebut berbarengan dengan jeritan Bu Diah yang menyaksikan langsung peristiwa itu.Seketika, orang berpakaian serba hitam dan memakai penutup wajah yang berwarna hitam pula itu jatuh terduduk sambil memegangi kaki kanannya yang terkena peluru dan mengeluarkan banyak darah.Andika dan anak buahnya segera menghampiri orang tersebut."Siapa kamu!" bentak Andika dan memberi isyarat pada Letnan Ardi untuk membuka penutup kepala orang tersebut.Seketika, mereka semua terkejut melihat wajah yang ada di bali
"Itu ... itu cleaning servis yang ada di depan ... jangan-jangan dia pelakunya!" Suster Murni berseru dengan lantang, telunjuknya menunjuk tepat ke wajah orang yang sedang dizoom oleh Letnan Ardi pada layar monitor.Seketika Inspektur Andika dan Letnan Ardi fokus menatap pada Suster Murni."Maksud Suster ... Anda pernah melihat orang ini juga sebelumnya?" tanya Andika dengan penuh selidik."Iya ... iya, saya yakin bertabrakan dengan cleaning servis ini sesaat sebelum peristiwa itu terjadi," jawab Murni dengan sangat yakin."Tunggu dulu! Di sini kita lihat dia baru berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Ini berarti tiga puluh lima menit sebelum tewasnya Ibu Vira. Kita lihat, dia tidak mengenakan seragam cleaning servis rumah sakit ini. Coba cari gambar orang ini di tempat lain sekitar rumah sakit!" perintah Andika sedikit bersemangat karena mulai menemukan titik terang."Kita zoom dulu wajahnya!" seru Andika lagi, hampir saja terlupa."Gambarnya sedikit blur, Pak. Apalagi dia menggunaka
Murni segera berlari kembali menuju kamar Vira.Apa yang dilihatnya sungguh membuat jantungnya seperti ingin melompat dari tempatnya.Tampak di atas kasur, tubuh Vira yang sedang menggelepar seperti ikan kehabisan air.Posisi kepalanya berada di sisi pembaringan, sementara tubuhnya telentang di atas kasur.Wajahnya membiru dengan mata mendelik. Dari sudut bibirnya keluar busa yang langsung jatuh ke lantai. Tangannya memegangi leher seperti mencekik diri sendiri, padahal mungkin sedang mencari udara untuk bernapas."Ya, Tuhan! Panggil Inspektur Andika ... cepat!" teriak Murni, entah pada siapa. Tersadar, dia langsung memencet bel pemanggil Dokter dengan panik."Kecolongan, Dok! Kita kecolongan. Padahal baru saya tinggal beberapa menit. Saya pikir masih ada polisi yang berjaga di sekitar kamar Ibu Vira!" teriak Murni panik saat Dokter Widya yang menangani Vira saat ini datang. Tanpa banyak bicara Dr. Widya langsung memeriksa kondisi Vira yang masih sekarat, tubuhnya dangat lemah dan n
"Selamat pagi Bu Vira, saya Inspektur Andika dari kepolisian. Bagaimana kondisi Ibu saat ini?" tanya Andika setelah memberi hormat dan berdiri di samping pembaringan Vira.Perlahan, Vira memutar kepalanya yang sedang menatap dinding kamar VIP di rumah sakit kepolisian. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu.Sesaat, ia nampak bingung dan mengerutkan keningnya."Saya ada di mana, Pak Polisi? Apa yang terjadi sama saya?" tanyanya dengan linglung, membuat Andika sedikit terhempas, raut wajahnya seketika berubah kelam.'Jangan-jangan dia amnesia?' bisiknya dalam hati."Apa Ibu tidak ingat kejadian apa yang membuat Ibu masuk rumah sakit ini?" tanya Andika masih dengan penuh harapan.Di mana suami saya, Pak, apa dia baik-baik saja?" Kembali pertanyaan Vira membuat Andika mulai kehilangan semangat. Tapi sebagai seorang polisi yang berpengalaman, dia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya pada anak buahnya yang ada di ruangan itu."Baiklah, sebaiknya Bu Vira istirahat dulu supaya tenan
"Orang itu siapa, Yah?" Ranti mengernyitkan kening, menunggu ayahnya melanjutkan penuturannya.Namun, tampaknya sulit untuk Pak Surya mengatakan apa yang dia ketahui."Dia ... Ayah juga tidak tahu!"Akhirnya, hanya ucapan itu yang terucap dari bibir tuanya. Lelaki paruh baya itu segera melangkah pergi menuju ruang dalam. Sekilas dia melirik ke arah kamar putranya, Narendra.Langkahnya terlihat gontai, seperti sedang ada yang dipikirkan, tatapan matanya begitu rumit.Krietttt!Tiba-tiba, pintu kamar Narendra terbuka dan muncul sosok tampan itu di depan pintu kamar."Bu, mau sampai kapan laki-laki itu di sini?" tanyanya dengan sinis.Matanya berkilat seperti pedang yang siap menebas punggung Pak Surya yang sempat menghentikan langkahnya sejenak saat mendengar suara putranya."Rend, jangan seperti itu, Nak! Biar bagaimanapun dia tetap ayahmu ... sebenci apapun harus tetap menghormatinya," ucap Bu Diah dengan lembut. Jemarinya menepuk sofa di sampingnya, memberi isyarat agar Narendra dud
..Orang itu melangkah pergi sambil tersenyum miring."Assalamualaikum ...!" Terdengar suara salam di pintu depan rumah Ranti. Ternyata Narendra yang baru pulang, entah dari mana."Wa'alaikummussalam," jawab Bu Diah dan Ranti hampir bersamaan. Mereka menoleh sekilas ke arah pintu."Rend, di kamar belakang ada ayahmu," ucap Bu Diah singkat, memberitahu keberadaan Pak Surya."Biar saja, bukan urusan aku, Bu," jawab Rendra acuh, seakan tak peduli sama sekali."Jangan biarkan dia berlama-lama di sini, Kak! Lagipula apa maksudnya Andika itu menyuruh orang tua itu tinggal di sini!" sambung Narendra dengan sengit."Huss!" Ranti langsung mendelik ke arah adiknya. Narendra berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sementara wajah Bu Diah sekilas terlihat pias, dia menghela napas dengan berat."Maafkan Ibu, Rend. Andai dulu aku bisa membuat Mas Surya bertahan denganku, mungkin kamu nggak akan menanggung kebencian sebesar ini pada ayah kandungmu," bisiknya dalam hati.Akhirnya, wanita
Pak Surya menarik napas berat, kepalanya masih terdongak menatap wajah di balik topeng hitam yang menutupi jambret itu."Sekali lagi aku bilang, keluargamu menjadi taruhan atas setiap tindakanmu, pikirkan itu!" desis orang itu sambil mencampakkan kepala Pak Surya begitu saja hingga orangtua itu terhubung dan hampir jatuh. Mereka sama sekali tidak menyentuh Ranti yang masih tergugu di dekat sepeda motornya, pandangannya tak lepas dari ayahnya. "Ternyata dalam tas butut ini tak ada yang menarik. Nih, aku kembalikan!" teriak orang yang memegang tas Ranti dan merogoh isi tas itu. Dia langsung melemparkan tas kecil itu begitu saja ke atas rerumputan. Dalam sekejap, deru motor mereka yang memekakkan telinga sudah memecah kesunyian, meninggalkan raungan keras. Ranti menutup telinganya sambil melangkah dan memungut harta miliknya di atas rumput."Kalianlah yang terlalu bodoh. Kalau mau jambret orang lihat-lihat dulu dong! Sudah tahu miskin main jambret aja, cari yang pakai mobil mewah sana!"
"Bu, jadi gimana menurut Ibu?" tanya Ranti pada Ibunya melalui sambungan telepon."Ya, sudah! Kalau Pak Andika memang bilang seperti itu. Bawa ayahmu tinggal untuk sementara. Di sebelah dapur, kan masih kosong," jawab Bu Diah setelah berpikir beberapa saat.Ranti menarik napas lega, lalu mengalihkan pandangannya pada Polisi tampan yang ada di depannya.Andika yang sedang menatap wajahnya tanpa berkedip, terkejut dan merasa agak kikuk karena kepergok sedang memperhatikan gadis manis itu.Ranti juga langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan jantung berdebar."Nhapain, sih, dia perhatiin aku sampai segitunya," pikir gadis itu."Kalau begitu, apa saya boleh bawa ayah saya sekarang, Pak?" tanya Ranti untuk menghilangkan kegugupannya."Oh, ya. Silakan," jawab Andika dan langsung menghubungi anak buahnya melalui aiphone,"Letnan Andi, tolong bawa Pak Surya ke sini! Keluarganya sudah menjemput!" perintahnya tanpa basa-basi."Siap, Pak!" Terdengar jawaban dari seberang telepon.Tak ber