Sejenak Intan menatap lurus ke wajah Ranti yang hampir kehilangan jantungnya andai saja tak dilindungi oleh tulang rusuknya.
"Apa sebaiknya aku ceritakan lagi pada Pak polisi, ya?" ucap Intan masih menatap wajah Ranti yang kebingungan."Memangnya, apa yang kamu lihat? Apa yang mau kamu laporkan sama dia?" tanya Ranti penasaran namun terlihat gugup."Begini! Tadi sesaat setelah pergi dari villa itu dan dikejar oleh mobil Gunawan, aku melihat sekilas ada sepeda motor yang berpapasan dengan mobil kami," jelas Intan.Ranti terlihat semakin gugup namun penasaran menanti kelanjutan ucapan sahabatnya itu."Motor apa, kamu yakin dia pelakunya?" tanyanya antusias, tapi terlihat pias di wajahnya seperti menyimpan beban sesuatu."Motor Ninja, warna hijau!" jawab Intan cepat."Kamu lihat nggak wajah pengendaranya?" selidik Ranti, persis seperti gaya Inspektur Andika saat menginterogasi Intan dan Gunawan saat di kantor polisi."Ish! Kamu udah kaya Pak Andika aja, pakai sabar dong!" jawab Intan sambil menyenggol bahu sahabatnya itu."Penasaran!" jawab Ranti menyeringai lucu."Aku nggak sempat lihat, dia rapet sekali, pakai baju serba hitam. Bahkan sampai helm dan maskernya juga hitam," pandangan Intan menerawang, berusaha mengingat kembali kejadian pagi tadi."Tan, sebaiknya kamu nggak usah lapor dulu sama Pak Andika kakau memang belum yakin!" ujar Ranti lirih."Kenapa?" Intan memandang Tanti tak mengerti."Nanti malah kamu yang jena masalah. Masalah kamu sama Gunawan, suami kamu aja belum kamu beresin," Ranti mencoba memberikan alasan, membuat kening Intan berkerut dan mengangguk setuju."Aku rasa kamu bener juga, yang penting aku nggak perlu kebawa kasus mengerikan ini lagi, ya kan?" Ranti mengangguk mengiyakan."Bagaimana sama Gunawan, Tan? Apa yang dia katakan tentang Aida?" Lirih Ranti bertanya."Aku sudah ambil Keputusan buat dia, Ran," Intan menghela napas berat,"Kami akan bercerai!" Intan berusaha menelan salivanya dengan berat.Ranti sedikit terkejut, tapi dia tak berminat membela Gunawan."Ya udah, Tan. Aku pulang dulu, ya! Kalau kamu butuh teman bicara, aku akan selalu siap mendengar," pamit Ranti seraya bangkit dari duduknya.Wanita cantik itu menarik napas lega saat telah berada di halaman rumah Intan dan mulai memacu motor matiknya di jalanan ramai.***"Kamu dari mana saja, Ran?" tanya ibunya saat Ranti mengetuk pintu rumahnya.Wajar jika ibunya bertanya demikian, sebab hari ini adalah hari liburnya bekerja. Namun dia keluar rumah sejak pagi dan kembali saat hari mulai gelap."Maaf, Bu. Ranti dari rumah Intan setelah mengantar pesanan," jawab Ranti pelan, merasa bersalah."Kasihan Aira, dia masih terlalu kecil untuk kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya," nasehat ibunya lagi."Apa Aira rewel, Bu?" Ranti terkesiap mendengar ucapan ibunya yang selalu mengasuh Putri kecilnya saat dia tak berada di rumah."Entahlah, tapi hari ini dia susah banget diajak makan. Selalu menanyakan ayahnya. Apa mungkin ayahnya sedang kangen sama dia, ya?" ucap wanita paruh baya itu setengah bertanya."Hhh_!" Ranti menarik napas berat.Ada sakit, rindu, dendam, dan kesedihan yang menyesak hingga membuatnya hampir tak bisa bernapas.Segera dia masuk ke kamarnya dan melihat permata hatinya telah terlelap di tempat tidur.Dengan perasaan yang campur aduk dia duduk di sisi pembaringan dan mengusap kepala mungil Aira.Di sudut mata gadis kecil itu masih nampak sisa air mata yang membekas.Bening di mata Ranti tak lagi dapat dibendungnya, menetes begitu saja membuat bahunya terguncang perlahan."Maafin Mama, Sayang! Maafin Mama_!"Ranti tak mampu menyelesaikan ucapannya. Perlahan, dia berbaring di sisi putri kecil yang manis itu sambil memeluknya.Namun tak berlangsung lama. Seperti tak ingin membiarkan dirinya larut dalam kesedihan, wanita muda itu segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ke lemari pakaiannya.Membuka kembali brankas kecil di sana dan mengambil lembaran foto yang ada."Foto kedua sudah tercentang," gumamnya seraya membubuhkan centang dengan spidol merah yang ada di tangannya.Sejenak kemudian, dia menatap tajam pada lembar foto yang bertuliskan angka 3.Ada sebentuk senyum sinis di bibir merahnya."Vania, akankah nasibmu akan berakhir sama dengan Siska dan Aida?" monolognya pada diri sendiri.Ada bening yang kembali mengembun di sudut matanya.***(Flashback tiga tahun lalu)"Mas Yuda mau kemana malam-malam begini?" Ranti yang nampak kerepotan menimang Aira yang terus menangis terkejut saat melihat suaminya malah bersiap untuk pergi. Padahal, saat itu sudah hampir jam sembilan malam dan putri mereka yang baru berusia delapan bulan sedang demam sehingga membuatnya rewel seharian."Bukan urusan kamu, urus saja anakmu yang nggak bisa diam itu?" sinis jawaban Yuda merapikan kaos oblong dan celana jeans yang dikenakannya. Tak lupa dia menyemprotkan parfum yang langsung menguar dan menerpa hidung istrinya."Mas! Kamu tega ninggalin anakmu yang sedang demam?" pertanyaan yang terdengar sangat miris."Aku capek kerja seharian buat kalian, di rumah pengin istirahat tenang. Tapi apa yang kudengar sejak tadi? Tangisan bayi yang nggak pernah berhenti!" bentak lelaki tampan yang mulai mengenakan sepatunya."Anak kita sakit, Mas! Wajar kalau dia agak rewel. Apalagi Mas dari tadi uring-uringan terus. Hatinya ikut nggak tenang, Mas," jawab Ranti terdengar memelas."Makanya, lebih baik aku pergi supaya dia bisa lebih tenang dan aku juga bisa beristirahat," ucap Yuda seraya menyambar jaket dan bersiap untuk keluar."Terus Aira gimana, Mas? Lebih baik kita bawa ke dokter sekarang, ya!" ajak Ranti memohon pengertian dari suaminya.Tapi nampaknya, Yuda sudah tidak peduli, dia terus melangkah keluar dan membanting pintu hingga Baby Aira terkejut dan menangis keras."Mas_!" teriak Ranti panik,"Jangan pergi_!" Dia mengejar sampai ke pintu, namun telah terdengar deru motor suaminya yang menjauhi rumah mereka.Ranti hanya bisa menangis sambil memeluk erat putri kecilnya yang masih menangis.Segera dia menelepon Narendra dan memintanya untuk mengantarkan ke rumah sakit.Beruntung, adiknya yang baru saja diterima sebagai Driver ojek online berada di dekat perumahan Aman, tempat tinggalnya.Pemuda berambut gondrong dengan kulit kecoklatan itu langsung menarik gas motornya menuju rumah kakak satu-satunya, Ranti."Untung kamu cepat datang, Rend. Kalau nggak, Kakak bingung banget harus bagaimana. Aira demam tinggi," Dengan panik, Ranti menyongsong kedatangan Narendra sambil memeluk Baby Aira yang sudah tenang dalam pelukannya."Kebetulan, aku baru aja nganter perempuan cantik ke Restoran padang yang ada di dekat sini, Kak," jawab Narendra. Ranti segera naik ke atas boncengan."Memang Mas Yuda lembur, Kak?" tanya Narendra penasaran. Ibu muda itu hanya bisa mengangguk, tak tahu harus menjawab apa.Dengan cepat namun hati-hati, Narendra memacu kendaraan roda duanya membelah jalan menuju ke Klinik 24 jam.Setelah diperiksa dan diberi obat dari duburnya, karena panas yang hampir mencapai 40°C membuat Baby Aira sulit menelan obat, Aira nampak tertidur tenang.Saat perjalanan Pulang dari Klinik itulah, Ranti dan Narendra melihat Yuda sedang duduk mesta di Restoran padang, tempat di mana Narendra mengantarkan penumpang.Alangkah terkejutnya, ternyata gadis cantik yang tadi diantarnya adalah selingkuhan Kakak Iparnya.Narendra hendak menghentikan motornya dan melabrak kedua insan yang nampak bahagia itu, namun dihalangi oleh Ranti."Jangan sekarang, Rend! Aira lebih membutuhkan perhatian daripada dia," suaranya terdengar parau karena menahan air mata yang siap meluncur dari matanya.Sakit sekali perasaan Ranti saat itu. Dia bersumpah akan mencari tahu siapa wanita yang telah berhasil membuat Yuda-nya yang lembut menjadi kasar pada anak dan istrinya.Ciiitttt!Narendra tetap menghentikan kuda besinya di depan Restoran padang teraebut."Aku yang akan menghajarnya sekarang!""Kamu gila, ya, Rend! Kakak bilang, ayo jalan!" Ranti menarik lengan adiknya yang hendak melangkah masuk ke dalam restoran padang."Tapi, Kak_!" Narendra memprotes tindakan kakaknya dan bersikukuh hendak melaksanakan niatnya semula, menghajar kakak iparnya, Yuda."Rendra! Kamu nggak kasihan sama Aira. Lihat keponakan kamu ini kedinginan. Ini udah malam!" Akhirnya Ranti membentak adiknya itu agar berhenti melakukan hal yang bodoh dan merugikan diri mereka sendiri.Narendra langsung meredup menatap Aira yang tertidur dalam pelukan ibundanya."Maaf, Kak. Aku terlalu emosi tadi," jawab Narendra menyadari kekeliruannya."Biarkan dulu mereka, Rend. Akan ada saat dimana kita bisa membalas semuanya," gumam Ranti meskipun dengan hati yang sangat sakit.Di sini, di tengah malam yang dingin, dia berjuang untuk kesembuhan putrinya. Sementara di sana, suaminya tanpa rasa berdosa, sedang berbagi kebahagiaan dengan wanita yang baru hadir dalam hidupnya."Diam-diam, Ranti menyusut air mata yang tak m
"Ular! Kamu gila, ya, Rend. Malam-malam begini bawa ular ke rumah?" teriak Ranti histeris. Sementara Andika mengerutkan keningnya meski tersungging senyum tipis di bibirnya."Ridho titip sebentar, Kak. Katanya besok diambil," jawab Narendra santai sambil mengangguk hormat pada Andika."Kalau begitu, saya pamit saja dulu!" Tiba-tiba, Inspektur polisi tampan itu bangkit dari duduknya dan berpamitan."Maaf, Pak! Apa kedatangan saya dan ular ini mengganggu Bapak?" tanya Narendra terlihat gusar."Oh, nggak! Ada panggilan tugas dari kantor polisi," jawabnya tegas."Terima kasih, Pak! Kalau ada yang bisa kami bantu akan segera kami laporkan ke kantor polisi secepatnya," ucap Ranti mengantarkan Andika sampai pintu.Pria bertubuh atletis itu mengangguk.Ternyata, dia mengendarai motor besar untuk sampai ke rumah Ranti."Apa tujuannya datang ke sini, Kak?" tanya Narendra saat Andika telah pergi."Sstttt!" Ranti langsung meletakkan telunjuknya di depan bibir, agar Narendra mengecilkan volume sua
Ternyata, Sang "Malaikat Maut" itu pintar bela diri sehingga dengan mudah menangkis serangan Viina yang asal saja.Bahkan, dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, tiba-tiba tangannya yang memegang alat suntik telah berhasil menancapkan alat suntik ke leher Viona yang putih jenjang. Dengan cepat pula dia menekannya hingga semua isi yang ada dalam tabung suntik berpindah ke pembuluh darah korbannya.Viona hanya bisa menjerit dan mencoba menepiskan tangan irang tersebut, namun semua sudah terlambat.Dalam hitungan detik, tubuhnya yang seksi menegang dan bergetar hebat.Kejang-kejang sesaat dengan kulit wajah dan tubuhnya yang mulai membiru. Dari mulutnya keluar buih seperti orang keracunan.Di menit berikutnya, tubuhnya mulai ambruk dan tak bergerak. Sungguh mengenaskan, dengan mata yang masih membeliak seperti tak rela hidupnya harus berakhir seperti itu.Sementara Orang yang menyebut dirinya Malaikat Maut segera mencabut kembali alat suntiknya, tak lupa dia menyelipkan selembar
"Ada berita apa, Kak?" tanya Narendra yang tiba-tiba muncul bersama Aira. Mereka berdua masih tertawa-tawa dengan ceria. Tapi melihat wajah Ranti yang terlihat serius dan sedikit pias dengan tatapan mata yang fokus ke arah televisi, Narendra menjadi penasaran."Mama liat apa?" tanya Aira dengan polosnya seraya masuk ke dalam pelukan hangat Ranti dan menyandarkan tubuh mungilnya ke bahu mamanya."Mama lagi lihat berita, Sayang," jawab Ranti seraya cepat-cepat mengganti chanel televisi, karena dia tidak ingin putri kecilnya yang masih polos itu melihat hal yang belum pantas untuk dimengerti oleh otak kecilnya."Tuh, nggak ada berita, Ma. Malah ada Upil Ipil kesukaan Ira!" seru gadis imut itu dengan mata bersinar ceria."Iya, Sayang. Beritanya udah selesai," jawab Ranti,"Sekarang Ira sarapan dulu sambil nonton Upil Ipil, ya!" lanjutnya sambil menuangkan nasi goreng buatan ibunya ke dalam piring."Iya, Ma. Suapin_!" rajuk Aira dengan manja. Dia merasa senang sekali saat Ranti mengangguk.
"Buat apa lagi kamu datang ke sini, Vira? Apa belum puas kamu mengambil segalanya dariku!" Sentak Dian dengan wajah membeku.Sebenarnya tadi dia sudah meminta Mbok Nah untuk mengusir Vira saat melihat kedatangan sahabat, tepatnya Mantan Sahabatnya sekaligus wanita selingkuhan suaminya.Kalau saja dia tidak bisa menjaga imagenya dan mampu mengumbar emosi, ingin rasanya dia melemparkan Vas bunga hias yang ada di meja ke wajah Vira yang tampak tenang seolah tanpa rasa bersalah sedikitpun."Aku ke sini untuk minta maaf sama kamu, Di. Itu yang pertama _." Vira menggantung ucapannya seraya menarik napas perlahan."Apa maksud kamu? Jangan bertele-tele! Katakan apa maumu!" Bentakan Dian menggelegar di seantero ruang tamu rumahnya."Aku hanya ingin kamu bisa berbesar hati untuk menerima aku menjadi istri kedua dari Mas Alex, Di_," ucap Vira ringan, seringan senyum licik yang ia lemparkan. Kata-katanya diucapkan dengan lembut namun terdengar bagai petir yang menyambar di siang bolong, tanpa tan
Suara desah manja dari bibir Vira yang membuat darah Dian seketika mendidih. Ingin rasanya dia segera mendorong pintu dan menjambak rambut sahabat dan juga suaminya, yang dalam bayangan Dian pasti sedang melakukan tindakan mesum di dalam kamar pribadinya.Tapi akal sehat masih menguasainya, dia merogoh ponsel yang selalu berada dalam kantong bajunya dan mengarahkan kamera Video ke dalam kamar.Setelah memperbesar fokus, terlihat jelas apa yang sedang dilakukan oleh kedua orang yang selama ini menjadi kesayangan dalam hidupnya.Keduanya dalam keadaan polos tanpa busana. Sekali lagi, polos.Mata Dian seketika memanas, namun sekuat tenaga dia berusaha menahan bening yang sudah mendesak ingin keluar.Nampak di layar handphone yang dipegangnya, Alex sedang duduk di tepi ranjang. Duduk dengan membuka kakinya lebar-lebar dan wajah menengadah, menikmati sentuhan yang sedang dilakukan Vira di sekitar miliknya.Sementara dengan intens, Vira melakukan sentuhan di sana dengan menggunakan jari len
Dengan kesal, Vira menghentakkan kakinya sambil menyetir."Kurang ajar, aku sudah berusaha bersikap baik dan memohon sama kamu, Di. Tapi begitu cara kamu menanggapi permohonanku? Kita lihat, siapa yang akan memenangkan pertarungan ini!"Sambil terus memaki dan mengomel, dia membelokkan mobilnya memasuki sebuah cafe."Lebih baik aku menenangkan diri dulu," pikirnya sambil melangkah masuk.Dengan gemulai dia melangkah memasuki cafe yang tampak ramai pengunjung itu, rambut hitamnya yang panjang bergelombang bergoyang seiring langkah kakinya. Vira memang cantik, tak mengherankan bila dia bisa menggoda iman Alex yang dulu begitu setia pada Dian, istrinya.Vira sengaja memilih duduk di sudut ruangan yang agak remang. Setelah memesan minuman dia mengeluarkan rokok putih dan gawai dari dalam tasnya.Ting!Baru saja dia membuka kunci gawai, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Hati-hati, aku akan segera datang menjemputmu"Hanya itu pesan yang terbaca, tanpa menyebut siapa dan apa maksu
"Mau lari ke mana kamu, tidak akan ada yang bisa menolongmu perempuan jalang!" ucap seseorang yang baru saja bertabrakan dengan Vira. Dia mengenakan pakaian serba hitam, bahkan penutup muka dan kepala yang juga serba hitam. Tak bisa dikenali, apakah dia pria atau wanita."Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?" teriak Vira dengan histeris di tengah kegelapan dan keheningan malam."Hahaha, kamu memang harus tau siapa aku agar arwahmu tak akan penasaran," jawab orang itu,"Aku! Malaikat kematianmu. Yang akan membawamu ke neraka bersama orang-orang licik lainnya!" ucapan orang itu terdengar sangat dalam dan mengerikan. Bulu kuduk Bira meremang, tubuhnya bergetar ketakutan, keringat membasahai keningnya, padahal saat itu udara terasa sangat dingin menusuk tulang."Kamu pasti orang suruhan Dian, kan? Berapa dia membayarmu? Aku akan membayar dua kali lipat, tapi lepaskan aku dan bunuh dia!" ucap Vira di antara rasa takutnya."Aku bahkan tidak mengenal orang yang kamu sebutkan! Bersiap saj
Ridho mengernyitkan keningnya samar, baru kemudian menjawab dengan tenang."Mau berapa lagi yang Lu eksekusi, Bro?" tanyanya pelan. Tangannya masih sibuk mengelus kepala Si Jago miliknya. Sesaat kemudian dia berjalan ke arah kandang dan melepaskan ayamnya dalam kandang tersebut.Kukkuruyuuukkk!Terdengar suara lantang ayam tersebut, seolah kembali menantang lawannya.Ridho berjalan ke arah Narendra yang mulai terlihat sinis dengan mata merahnya. Sepertinya, minuman berkonsentrasi alkohol tinggi mulai menguasai dirinya."Hahaha! Kalau perlu gue akan buat semua jenis orang kayak gitu mampus di tangan gue!" ucapnya dengan lantang.Ridho yang menyadari situasi itu segera menutup mulut Narendra dengan tangan kanan dan menyeret tubuh sahabatnya untuk segera masuk ke dalam rumah."Gila, Lu! Jangan teriak-teriak di luar. Lu mau semua orang tahu dan dengerin omongan lu yang mulai ngaco! Udah, mending Lu istirahat dulu, deh. Tar kalau udah sadar gue ajakin liat target!" ucap Ridho, mendorong t
Andika melepaskan tembakan ke udara untuk menghentikan gerakan seseorang yang terlihat sedang berusaha melarikan diri.Polisi segera mengejar ke arah suara itu."Berhenti atau kami tembak!" Kembali Andika berteriak dengan lantang. Namun orang yang berpakaian serba hitam yang baru saja melompat melalui jendela dati kamar bagian belakan rumah Ranti, sama sekali tidak mengindahkan seruan tersebut."Satu ...,""Dua ...,""Ti ... ga!"Dorrr! Dorr!"Aahhhh ...!" terdengar suara teriakan orang tersebut berbarengan dengan jeritan Bu Diah yang menyaksikan langsung peristiwa itu.Seketika, orang berpakaian serba hitam dan memakai penutup wajah yang berwarna hitam pula itu jatuh terduduk sambil memegangi kaki kanannya yang terkena peluru dan mengeluarkan banyak darah.Andika dan anak buahnya segera menghampiri orang tersebut."Siapa kamu!" bentak Andika dan memberi isyarat pada Letnan Ardi untuk membuka penutup kepala orang tersebut.Seketika, mereka semua terkejut melihat wajah yang ada di bali
"Itu ... itu cleaning servis yang ada di depan ... jangan-jangan dia pelakunya!" Suster Murni berseru dengan lantang, telunjuknya menunjuk tepat ke wajah orang yang sedang dizoom oleh Letnan Ardi pada layar monitor.Seketika Inspektur Andika dan Letnan Ardi fokus menatap pada Suster Murni."Maksud Suster ... Anda pernah melihat orang ini juga sebelumnya?" tanya Andika dengan penuh selidik."Iya ... iya, saya yakin bertabrakan dengan cleaning servis ini sesaat sebelum peristiwa itu terjadi," jawab Murni dengan sangat yakin."Tunggu dulu! Di sini kita lihat dia baru berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Ini berarti tiga puluh lima menit sebelum tewasnya Ibu Vira. Kita lihat, dia tidak mengenakan seragam cleaning servis rumah sakit ini. Coba cari gambar orang ini di tempat lain sekitar rumah sakit!" perintah Andika sedikit bersemangat karena mulai menemukan titik terang."Kita zoom dulu wajahnya!" seru Andika lagi, hampir saja terlupa."Gambarnya sedikit blur, Pak. Apalagi dia menggunaka
Murni segera berlari kembali menuju kamar Vira.Apa yang dilihatnya sungguh membuat jantungnya seperti ingin melompat dari tempatnya.Tampak di atas kasur, tubuh Vira yang sedang menggelepar seperti ikan kehabisan air.Posisi kepalanya berada di sisi pembaringan, sementara tubuhnya telentang di atas kasur.Wajahnya membiru dengan mata mendelik. Dari sudut bibirnya keluar busa yang langsung jatuh ke lantai. Tangannya memegangi leher seperti mencekik diri sendiri, padahal mungkin sedang mencari udara untuk bernapas."Ya, Tuhan! Panggil Inspektur Andika ... cepat!" teriak Murni, entah pada siapa. Tersadar, dia langsung memencet bel pemanggil Dokter dengan panik."Kecolongan, Dok! Kita kecolongan. Padahal baru saya tinggal beberapa menit. Saya pikir masih ada polisi yang berjaga di sekitar kamar Ibu Vira!" teriak Murni panik saat Dokter Widya yang menangani Vira saat ini datang. Tanpa banyak bicara Dr. Widya langsung memeriksa kondisi Vira yang masih sekarat, tubuhnya dangat lemah dan n
"Selamat pagi Bu Vira, saya Inspektur Andika dari kepolisian. Bagaimana kondisi Ibu saat ini?" tanya Andika setelah memberi hormat dan berdiri di samping pembaringan Vira.Perlahan, Vira memutar kepalanya yang sedang menatap dinding kamar VIP di rumah sakit kepolisian. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu.Sesaat, ia nampak bingung dan mengerutkan keningnya."Saya ada di mana, Pak Polisi? Apa yang terjadi sama saya?" tanyanya dengan linglung, membuat Andika sedikit terhempas, raut wajahnya seketika berubah kelam.'Jangan-jangan dia amnesia?' bisiknya dalam hati."Apa Ibu tidak ingat kejadian apa yang membuat Ibu masuk rumah sakit ini?" tanya Andika masih dengan penuh harapan.Di mana suami saya, Pak, apa dia baik-baik saja?" Kembali pertanyaan Vira membuat Andika mulai kehilangan semangat. Tapi sebagai seorang polisi yang berpengalaman, dia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya pada anak buahnya yang ada di ruangan itu."Baiklah, sebaiknya Bu Vira istirahat dulu supaya tenan
"Orang itu siapa, Yah?" Ranti mengernyitkan kening, menunggu ayahnya melanjutkan penuturannya.Namun, tampaknya sulit untuk Pak Surya mengatakan apa yang dia ketahui."Dia ... Ayah juga tidak tahu!"Akhirnya, hanya ucapan itu yang terucap dari bibir tuanya. Lelaki paruh baya itu segera melangkah pergi menuju ruang dalam. Sekilas dia melirik ke arah kamar putranya, Narendra.Langkahnya terlihat gontai, seperti sedang ada yang dipikirkan, tatapan matanya begitu rumit.Krietttt!Tiba-tiba, pintu kamar Narendra terbuka dan muncul sosok tampan itu di depan pintu kamar."Bu, mau sampai kapan laki-laki itu di sini?" tanyanya dengan sinis.Matanya berkilat seperti pedang yang siap menebas punggung Pak Surya yang sempat menghentikan langkahnya sejenak saat mendengar suara putranya."Rend, jangan seperti itu, Nak! Biar bagaimanapun dia tetap ayahmu ... sebenci apapun harus tetap menghormatinya," ucap Bu Diah dengan lembut. Jemarinya menepuk sofa di sampingnya, memberi isyarat agar Narendra dud
..Orang itu melangkah pergi sambil tersenyum miring."Assalamualaikum ...!" Terdengar suara salam di pintu depan rumah Ranti. Ternyata Narendra yang baru pulang, entah dari mana."Wa'alaikummussalam," jawab Bu Diah dan Ranti hampir bersamaan. Mereka menoleh sekilas ke arah pintu."Rend, di kamar belakang ada ayahmu," ucap Bu Diah singkat, memberitahu keberadaan Pak Surya."Biar saja, bukan urusan aku, Bu," jawab Rendra acuh, seakan tak peduli sama sekali."Jangan biarkan dia berlama-lama di sini, Kak! Lagipula apa maksudnya Andika itu menyuruh orang tua itu tinggal di sini!" sambung Narendra dengan sengit."Huss!" Ranti langsung mendelik ke arah adiknya. Narendra berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sementara wajah Bu Diah sekilas terlihat pias, dia menghela napas dengan berat."Maafkan Ibu, Rend. Andai dulu aku bisa membuat Mas Surya bertahan denganku, mungkin kamu nggak akan menanggung kebencian sebesar ini pada ayah kandungmu," bisiknya dalam hati.Akhirnya, wanita
Pak Surya menarik napas berat, kepalanya masih terdongak menatap wajah di balik topeng hitam yang menutupi jambret itu."Sekali lagi aku bilang, keluargamu menjadi taruhan atas setiap tindakanmu, pikirkan itu!" desis orang itu sambil mencampakkan kepala Pak Surya begitu saja hingga orangtua itu terhubung dan hampir jatuh. Mereka sama sekali tidak menyentuh Ranti yang masih tergugu di dekat sepeda motornya, pandangannya tak lepas dari ayahnya. "Ternyata dalam tas butut ini tak ada yang menarik. Nih, aku kembalikan!" teriak orang yang memegang tas Ranti dan merogoh isi tas itu. Dia langsung melemparkan tas kecil itu begitu saja ke atas rerumputan. Dalam sekejap, deru motor mereka yang memekakkan telinga sudah memecah kesunyian, meninggalkan raungan keras. Ranti menutup telinganya sambil melangkah dan memungut harta miliknya di atas rumput."Kalianlah yang terlalu bodoh. Kalau mau jambret orang lihat-lihat dulu dong! Sudah tahu miskin main jambret aja, cari yang pakai mobil mewah sana!"
"Bu, jadi gimana menurut Ibu?" tanya Ranti pada Ibunya melalui sambungan telepon."Ya, sudah! Kalau Pak Andika memang bilang seperti itu. Bawa ayahmu tinggal untuk sementara. Di sebelah dapur, kan masih kosong," jawab Bu Diah setelah berpikir beberapa saat.Ranti menarik napas lega, lalu mengalihkan pandangannya pada Polisi tampan yang ada di depannya.Andika yang sedang menatap wajahnya tanpa berkedip, terkejut dan merasa agak kikuk karena kepergok sedang memperhatikan gadis manis itu.Ranti juga langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan jantung berdebar."Nhapain, sih, dia perhatiin aku sampai segitunya," pikir gadis itu."Kalau begitu, apa saya boleh bawa ayah saya sekarang, Pak?" tanya Ranti untuk menghilangkan kegugupannya."Oh, ya. Silakan," jawab Andika dan langsung menghubungi anak buahnya melalui aiphone,"Letnan Andi, tolong bawa Pak Surya ke sini! Keluarganya sudah menjemput!" perintahnya tanpa basa-basi."Siap, Pak!" Terdengar jawaban dari seberang telepon.Tak ber