Sementara itu saat ini di tempat Adam. Adam sedang duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Terlihat sebuah laptop diletakkan di atas meja menghadap tepat ke wajahnya. Tangan Adam mengetikkan sesuatu di atas keyboard laptop tersebut. Sementara itu Dila yang saat ini duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu itu pun sedang sibuk mengusap-usap layar ponselnya. Dia sudah mencoba menghubungi semua kenalan mereka tetapi tidak ada satupun yang melihat keberadaan Jiya.“Ke mana sih kamu, Ji,” gumamnya yang kini mengusap wajahnya dengan kasar, karena merasa frustasi.Tiba-tiba ….“Ini dia,” ucap Adam ketika mendapatkan hasil dari usahanya. Dia pun segera memperbesar ukuran gambar yang ada di dalam laptopnya.Dan di saat yang sama sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel Adam. Adam pun segera mengambil ponsel yang dia letakkan di dekat laptopnya.“Ya, halo,“ ucap Adam ketika mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelponnya karena saat ini matanya terus memperhatikan layar
Mata Jiya terbelalak ketika melihat para wanita yang berderet di jalanan masuk depan pintu utama villa itu sambil membawa buket bunga mawar putih di sisi kanan, sedangkan di sisi kirinya terlihat para laki-laki berjas tapi sedang berdiri tegap seolah menyambut dia dan Raka.'Ini seperti mimpi,' batin Jiya yang benar-benar terkejut, apalagi saat dia melihat di depan villa itu sudah ada banyak orang yang duduk rapi seperti tamu undangan yang sesungguhnya. Tak lupa juga ada sebuah panggung yang bisa Jiya tebak akan digunakan oleh dia dan Raka untuk bertukar cincin karena di belakang panggung itu ada inisial nama mereka berdua dan juga hiasan bunga yang mewah layaknya dekorasi pengantin.Sedangkan di sisi lain dia bisa melihat para reporter yang sedang meliput acara tersebut. Dia ingin sekali menggelengkan kepalanya, namun saat ini dia teringat dengan pesan Raka agar tidak melakukan hal-hal aneh. Dia pun hanya bisa menuruti hal itu karena saat ini dia masih belum bisa melawan Raka.“Ters
Setengah jam berlalu, dan acara hari itu pun hampir selesai. Cincin pertunangan sudah terpasang di jari manis Jiya dan Raka. Begitu juga dengan sesi foto, sudah cukup banyak foto yang diambil termasuk foto bertiga antara Jiya, Raka dan Clayton.“Lalu Nyonya Jiya, bagaimana perasaan Anda yang saat ini sudah bertunangan dengan Tuan Raka?“ Salah satu dari sekian rentetan pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan kepada Jiya siang itu.“Tentu saja aku bahagia,” jawab Jiya sambil menunjukkan senyum palsunya ke arah kamera. Ya, Jiya bisa melakukan hal ini karena sudah terlatih saat menjadi istri Adam dulu.“Kami dengar kalau Anda pernah menikah sebelumnya, apakah mantan suami Anda juga mendengar hal ini?“ tanya salah satu wartawan yang langsung membuat para wartawan lainnya menoleh ke arah wartawan tersebut.Pertanyaan tersebut tentu saja membuat Jiya terkejut. Bagaimanapun, seharusnya pertanyaan itu tidak muncul saat ini. 'Nggak mungkin kalau ini salah satu rencana dari Mas Raka,' ba
Setelah itu Jiya dan Dila terus menunggu di dekat mobil Adam.“Sekarang kamu sudah yakin untuk ninggalin Raka kan?“ tanya Dila.“Tentu saja. Aku sekarang merasa sangat yakin,” jawab Jiya sambil mengepalkan tangannya kuat.“Oh iya, lalu kaki kamu itu kenapa?“ tanya Dila sambil menatap ke arah kaki Jiya.“Aku juga nggak tahu Dil, sejak aku sadar dari pingsan tadi kaki ini nggak bisa digerakin. Kata Raka ini hanya sementara, setelah kami selesai bertunangan kakiku akan sembuh,” jawab Jiya sambil menyentuh kakinya.“Bagaimana kalau aku bantu masuk mobil?“ tanya Dila yang kini khawatir dengan kondisi sahabatnya itu.“Aku benar-benar nggak bisa ngerasain kakiku,” jawab Jiya sambil menggelengkan kakinya.“Kalau begitu kita tunggu mereka saja, ya?“ Dila kembali menatap ke arah area acara pertunangan di mana Adam masih berkelahi. Lima belas menit berlalu. Setelah Adam dan Rangga selesai berkelahi mereka pun segera kembali ke mobil mereka. Setelah itu Adam segera membawa masuk Jiya
Setelah sarapan sebungkus nasi goreng, kemudian meminum semua obat yang diberikan oleh dokter, lalu Jiya pun kembali merebahkan tubuhnya di ranjang itu.“Kenyang?“ tanya Dila sambil menatap ke arah Jiya yang terlihat sangat tenang.“Iya, aku benar-benar lapar, Dil,” sahut Jiya sambil terkekeh.“Orang pasti kaget kalau tahu ada orang sakit yang bisa ngabisin sebungkus nasi goreng dalam waktu sepuluh menit,” komentar Dila sambil membersihkan bungkus nasi goreng tersebut.“Namanya juga orang laper, Dil,” sahut Jiya dengan santai.“Laper sih laper, tapi masa kamu nggak malu sama infus di tanganmu,” seloroh Dila.Jiya kembali terkekeh. “Iya, setelah perawat datang aku mau meminta mereka melepas infus ini,” sahutnya sambil menatap ke arah botol infus yang tergantung di dekat ranjang Jiya.Setelah itu Dila kembali duduk di kursi yang di dekat ranjang Jiya. “Em … Ji, gimanw kaki kamu sudah ada perubahan atau belum?“ tanyanya dengan resah.“Sudah ini sudah mulailah bisa digerakkan. Kena
Satu hari berlalu. Saat ini Jiya merasa kondisi tubuhnya sudah kembali pulih. Dia pun memutuskan untuk keluar dari rumah sakit karena tidak mau merasakan terlalu lama diinfus. Dan ketika berada di dalam mobil Adam, tiba-tiba ponsel Adam berdering.“Tolong ambil ponselnya dan lihat siapa yang menelpon,” pinta Adam.Jiya yang duduk di sebelah Adam pun langsung mengambil ponsel Adam yang diletakkan di dashboard mobil.“Tulisannya Ayah,” ucap Jiya sambil mengerutkan dahi.“Itu ayahmu, angkat saja. Mereka pasti khawatir karena ponsel kamu hilang,” ujar Adam.'Dia bahkan menamai nomor Ayah dengan nama yang sama, haisss …,' batin Jiya yang kemudian berdesis di akhir kalimatnya.Kemudian Jiya mengangkat panggilan itu.“Halo,” ucap Jiya ketika mengangkat panggilan itu.“Halo, ini kamu Jiya?“ Suara pak Ghofur terlihat panik di dalam panggilan itu.“Iya Yah, ini aku,” jawab Jiya dengan tenang agar ayahnya berhenti panik.“Kamu di mana?“ tanya pak Ghofur memburu.“Aku sekarang sedang naik mo
“Iya, aku tanya berapa lama kamu kerja di sini?“ Jiya kembali mengulangi pertanyaannya.“Sudah lebih dari satu tahun. Apakah ada yang salah?“ Tanya pelayan itu sambil tersenyum canggung ke arah Jiya.“Nggak ada. Aku hanya ingin tanya apakah ada lowongan pekerjaan karena ada salah satu temanku yang baru saja lulus sekolah dan mencari pekerjaan,” ucap Jiya sambil tersenyum ramah.“Sepertinya sedang tidak ada lowongan pekerjaan di tempat ini. Jika ada, biasanya kami akan menempelkan tulisan di depan atau memberikan selebaran,” jawab pelayan itu dengan sopan.Jiya mengangguk-angguk mendengar hal itu. “Baiklah, terima kasih,” sahutnya.Setelah itu mereka pun sarapan pagi bersama sambil mengobrol santai. Dua jam berlalu. Saat ini seperti perkataan Adam, Adam sedang berada di tempat proyek. Dan ketika Adam memiliki waktu istirahat, dia pun langsung mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya dan menelpon seseorang.“Halo, Tuan,” ucap orang yang ada di dalam panggilan itu.“Di mana
Sore harinya. Setelah merencanakan berbagai hal kemudian Jiya dan Adam check out dari hotel tersebut. Adam membawa mobil itu dengan cepat ke arah rumah yang disewa untuk Bumi.“Bukankah kamu bilang kamu mencarikan apartemen untuk Bumi, kenapa sekarang menjadi rumah sewa?“ tanya Jiya yang penasaran dengan hal itu.Adam menghela napas kasar. “Aku tidak bisa menempati apartemen itu karena … lebih tepatnya karena pemilik apartemen itu memiliki hubungan kerjasama dengan Raka,” jawabnya.Jiya mengepalkan tangannya mendengar hal itu. “Ini benar-benar keterlaluan, Mas.““Dia benar-benar memaksa aku untuk menunjukkan keberadaan kamu,” ucap Adam. “Begini saja, kamu kembalikan Bumi ke Jakarta. Itu adalah satu-satunya cara agar Bumi bisa aman,” sahut Jiya sambil menoleh ke arah Adam. “Iya, itu yang sedang aku lakukan. Bumi akan kembali ke Jakarta bersama salah satu anak buahku. Nanti malam dia akan berangkat.“Jiya menghela nafas panjang mendengar hal itu. “Aku menjadi merasa sangat bersal
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag