Satu jam berlalu, saat ini Jiya sedang berada di salah satu kamar VIP di salah satu rumah sakit besar di Kalimantan. "Halo Dil," ucap Jiya yang saat ini duduk di dekat ranjang Nyonya Titi."Iya Ji, ada apa?" tanya Dila yang ada di dalam panggilan tersebut."Aku sekarang ada di rumah sakit, kira-kira kamu bisa nggak ngebuat pesenan kue-kue hari ini? Kalau nggak bisa kamu manggil si Winda aja, suruh dia bantuin kamu," ucap Jiya langsung pada intinya."Kamu kenapa di rumah sakit?" tanya Dila yang terdengar terkejut.Jiya menghela napas panjang. "Ibunya Mas Adam masuk rumah sakit," jawab Jiya sambil kembali menatap ke arah Nyonya Titi yang masih menutup matanya."Tante kenapa lagi?" tanya Dila."Tadi dia kaget gara-gara tahu kalau aku pernah punya anak," jawab Jiya sambil tersenyum pahit."Kok bisa?""Ibunya Mas Raka yang ngasih tahu," jawab Jiya lagi lalu menghela napas panjang."Gila! Nenek lampir itu benar-benar nggak kira-kira, bisa-bisanya dia ngelakuin hal kayak gini," sahut Di
"Apa kamu bilang?" Raka terkejut mendengar ucapan Jiya."Kita putus saja, Mas," ucap Jiya lagi."Tidak bisa. Aku tidak akan setuju dengan ucapanmu," tegas Raka."Apalagi yang membuat kamu tidak setuju? Hubungan kita ini sudah pasti tidak bisa dilanjutkan, lebih baik kita akhiri sekarang agar aku tidak semakin sakit hati," ucap Jiya dengan ekspresi dingin di wajahnya.Raka mencengkeram bahu Jiya dan membuat dia menatap lurus ke arah matanya. "Apa semudah ini kamu mengatakan ingin putus? Bukankah kita sudah berjuang bersama selama ini, apakah itu tidak ada artinya untuk kamu?""Kita tidak berjuang bersama, Mas. Aku yang berjuang untuk kamu. Jika kamu berjuang bersamaku maka kamu akan bersikap tegas dengan ibu kamu saat dia mengolok-olokku," jawab Jiya dengan ekspresi yang masih saja dingin seperti sebelumnya."Tidak, aku juga berjuang bersama kamu. Asalkan aku bisa memiliki jabatan yang stabil, aku bisa memilih siapa pun yang aku mau untuk aku nikahi. Aku saat ini sedang berjuang untuk
Saat ini Adam sedang berdiri di luar pintu ruang rapat."Ada apa?" tanyanya pada Jiya yang saat ini ada di dalam panggilan itu."Aku ingin membicarakan masalah mama," ucap Jiya yang terdengar tenang."Iya, kenapa dengan mama?" tanya Adam yang masih mendengarkan."Saat ini mama ada di rumah sakit karena tadi tiba-tiba saja pingsan," jawab Jiya. "Kenapa bisa pingsan? Apakah dia kecapean atau apa?" tanya Adam yang tentu saja berubah panik."Tenanglah, saat ini mama sudah baik-baik saja. Tapi tadi mama pingsan karena mendengar kalau aku pernah melahirkan," beber Jiya yang terdengar sedang resah.Adam mengerutkan dahi. "Apakah kamu yang memberitahunya?""Bukan. Aku tidak segila itu sampai mengatakan hal seperti itu pada Mama. Mamanya Raka yang mengatakan hal ini pada mama," terang Jiya. "Saat itu …." Jiya menjelaskan semua yang terjadi pada Adam."Baiklah aku mengerti," sahut Adam sambil menghela napas panjang. "Lalu bagaimana dengan keadaan Mama?""Sudah kubilang dia baik, tadi saat
Jiya langsung mendobrak pintu kamar mandi karena saat ini Bumi terus berteriak dari dalam kamar mandi tersebut dan tidak memperdulikan panggilannya."Kamu kenapa?" tanya Jiya sambil menatap Bumi yang saat ini berdiri di pojokan kamar mandi."Ada apa?" tanya Bi Sumi yang saat ini berada di ambang pintu kamar mandi. Dia juga langsung berlari ke kamar mandi ketika mendengar Bumi dan Jiya terus berteriak-teriak dan disertai suara dobrakan pintu tadi.Namun Bumi tidak menjawab dan terus memegangi bagian tengah celananya sambil meringis kesakitan.Akhirnya Jiya pun mendekati Bumi dan kemudian berlutut di lantai mandi. "Katakan ada apa sebenarnya, kenapa kamu berteriak?" tanyanya dengan lebih lembut seperti orang yang sedang membujuk anak kecil karena Jiya takut kalau Bumi tidak mau bicara karena dia berteriak."Sakit," ucap Bumi sambil terus memegang bagian tengah celananya dengan keringat yang membasahi wajahnya.Jiya pun menatap ke arah tangan Bumi dan berpikir sejanak. "Kejepit?" tanya
Setelah cukup lama ngobrol dengan Adam di telepon, akhirnya Jiya pun duduk di kursi tunggu yang ada di sana. Dia terus memikirkan kata-kata Adam sebelum akhirnya dia mematikan panggilan itu secara sepihak."Dia masih posesif seperti dulu," gumam Jiya.Ya, tadi Adam terus bertanya tentang Iwan dan mengatakan agar Jiya tidak terlalu dekat dengan Iwan atau siapa pun laki-laki yang ada di sana karena saat ini Jiya tinggal di sana dengan Dila, tidak ada yang menjaga dia. Bahkan Adam akhirnya berkata akan mengirim orang untuk menjaga Jiya, hingga akhirnya Jiya mematikan panggilan itu tanpa menyahut sedikit pun."Ah, mas Adam … kamu kenapa sih masih seperti itu," ucap Jiya yang merasa pusing memikirkan semuanya. Dia pun memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di pahanya, dia mencoba menghilangkan bayangan Adam dari dalam pikirannya.Setelah beberapa saat, tiba-tiba seseorang menepuk pundak Jiya. "Iya Mas, letakkan di dekatku saja. Kamu kok cepat sekali kembali, apa dekat beli minumnya?"
Setelah menjawab pertanyaan Raka kemudian Bumi pun berjalan sambil memegangi sarung yang digunakannya yang merupakan hadiah dari dokter. "Mas Iwan tolong kamu temani Bumi sebentar, aku mau mengurus administrasinya dulu ya," ucap Jiya sambil menatap ke arah Iwan yang sedari tadi berdiri di dekatnya."Iya," sahut Iwan sambil mengangguk.Kemudian tanpa memperdulikan Raka dan Linda, Jiya pergi ke arah lain menuju ke ruangan depan untuk melakukan pembayaran. Sementara itu saat ini Raka langsung mengikuti langkah Jiya tanpa memperdulikan Linda yang saat ini berdiri sendirian depan ruangan itu."Ah sialan, kenapa dia terus saja mengejar wanita itu. Padahal kata tante Desi dia suka dengan wanita yang lembut dan penurut, tapi kenapa dia tidak melirikku sedikit pun," geram Linda sambil menatap ke arah Raka yang terus mengejar Jiya.Setelah itu Linda pun melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Dia memilih untuk pergi ke parkiran, tempat mobil Raka berada, daripada harus melihat adegan romantis
"Sek Mas, sek sek," ucap Jiya yang tidak bisa menjawab pertanyaan Iwan dulu karena ada hal yang lebih penting.Iwan pun mengerutkan dahinya melihat Jiya yang saat ini mengusap-usap layar ponsel di tangannya. "Halo," ucap Jiya yang saat ini menelepon seseorang."Iya," sahut laki-laki di dalam panggilan itu dengan santai."Mas, apa maksud kamu mengirim uang sebanyak itu ke rekeningku?Biayanya kan sudah aku perlihatkan ke kamu," ucap Jiya karena baru saja Adam mengirim uang 20 juta ke rekening Jiya."Bukankah ada acara-acara yang harus dilakukan saat seorang anak di sunat?" Adam bertanya balik.Kemudian Jiya menatap ke arah Iwan. "Mas, apa di sini ada acara kalau anak laki-laki di sunat?" tanyanya."Acara apa?" tanya Iwan balik."Acara apa ya," gumam Jiya sambil berpikir. "Oh, mungkin semacam gendoren iku loh, Mas. Di sini ada nggak yo Kenduri untuk orang sunat?""Kalau memang mau mengadakan kenduri juga nggak apa-apa, kan itu juga untuk tanda bersyukur dan bagi-bagi rezeki, sepertinya
Sepuluh menit berlalu, saat ini Adam sedang berada di restoran yang ada di depan perusahaan. Tidak lama kemudian seorang laki-laki datang sambil membawa sebuah file ke dalam restoran itu. Dan ketika sampai di meja Adam, kemudian laki-laki itu duduk begitu saja sambil menyodorkan file itu dengan kasar."Hah, apa lagi yang kamu mau?" tanya Dimas dengan ekspresi kesal di wajahnya."Minum kopimu," ucap Adam sambil menunjuk ke arah kopi yang dia pesan untuk sahabatnya itu.Langsung saja Dimas mengambil cangkir kopi tersebut dan kemudian menyesapnya. "Untung aku ini orang baik," cicit Dimas sambil meletakkan cangkir itu kembali ke tatakannya."Apa yang membuatmu bisa berkata seperti itu?" tanya Adam dengan santai sambil ikut mengangkat cangkirnya dan kemudian menyesapnya perlahan."Kamu bertanya 'apa'? Kamu tahu, sejak kamu menarikku dari perusahaan cabang, aku harus bekerja ekstra untuk kamu. Kamu memberiku target waktu seperti yang lainnya, tetapi di sisi lain kamu juga seenaknya m
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag