“Ada apa ini?“ tanya seorang pelayan yang datang untuk mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.Kemudian Jiya menoleh ke arah pelayan tersebut. “Dia tiba-tiba datang dan duduk di tempat temanku lalu mengatakan kalau dia bayarku atau apalah itu,” jawabnya dengan amarah yang membara.Kemudian pelayan itu menatap ke arah laki-laki yang saat ini masih menatap Jiya dengan kesal. “Itu karena aku memang sudah menDP kamu tiga ratus ribu.““Kalau memang kamu menDP aku, mana buktinya? Dan coba hubungi wanita yang sudah kamu booking itu!“ tantang Jiya yang benar-benar merasa tidak terima karena laki-laki di depannya itu tetap ngotot kalau dirinya adalah wanita yang sudah dibooking.Kemudian laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. “Coba nih lihat,” ucapnya sambil kembali menghubungi nomor itu. Jiya pun dengan cepat mengambil ponselnya dan mengangkat benda itu setinggi wajahnya agar semua orang yang menatapnya bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan benar saja, setelah beberapa saat men
Setelah beberapa saat berpikir sambil mengemudikan motornya. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Jiya saat melihat beberapa orang sedang berfoto di taman yang dia lewati. Segera saja dia membelokkan motor tersebut memasuki area parkir taman itu. Setelah melalui beberapa menit proses memarkirkan motor dan berinteraksi dengan tukang parkir, akhirnya Jiya pun berlari memasuki Area taman itu.“Nah itu ada tempat,” ucap Jiya sambil berlari kecil ke arah salah satu kursi yang ada di taman itu.Setelah berhasil duduk di kursi tersebut, Jiya dengan cepat mengambil ponsel di dalam tas selempangnya. “Ayolah, ayo … jangan sampai terlambat, ayo. Ayo angkat dong,” gumam Jiya sambil mengetuk-ngetukkan kakinya di tanah.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya panggilan itu pun diangkat. “Halo, Nin, kamu di mana? Kamu ke mushola, nggak?“ tanya Jiya dengan cepat.“Iya, aku di mushola, kenapa? Eh, tumben kamu nelepon, biasanya sulit banget ditelepon,” jawab Nindy.“Apa kamu melihat ibuku?“
Setelah puas di Taman, kemudian Jiya memutuskan untuk pulang ke ruko. Tetapi ketika hampir sampai ke rukonya, Jiya melihat ada sesuatu yang mencurigakan di depan rukonya. Jiya pun menitipkan motornya di warung penjual mie ayam yang ada di sebelah ruko Jiya.“Pak, itu kok ada orang tidur di depan terasku?“ tanya Jiya kepada tetangganya yang saat ini baru saja selesai melayani pelanggan.Penjual itu pun menoleh ke arah teras ruko Jiya. “Loh, aku nggak tahu, Ji. Dari tadi ada banyak orang beli, jadi aku nggak memperhatikan tokomu,” jawab penjual mie ayam tersebut.Kemudian terdengar pelanggan memanggil penjual mie ayam itu hingga membuat jual mie ayam meninggalkan Jiya.“Lebih baik aku lihat dulu,” gumam Jiya sambil terus menatap ke arah orang yang berbaring di kursi teras rukonya.Dia berjalan pelan mendekati rukonya dengan jantung yang berdegup kencang. Dan ketika melewati sapu di sudut teras rukonya, seketika sapu itu terlihat seperti senjata yang tepat untuk menghadapi potensi
“Terus tadi gimana?“ Nindy justru balik bertanya kepada Jiya.“Terus gimana apanya sih, Nin?“ tanya Jiya sambil mengeruhkan dahi mendengar pertanyaan sahabatnya yang tidak jelas.“Halah, aku dengar kalau calon suamimu datang ke sini? Terus gimana, kok kamu nggak ikut pulang ke sini?“ “Dia itu datang ke sana sendirian, nggak ngomong ke aku juga. Aku tahunya kalau dia ke sana itu setelah dia udah sampai di rumah,” jawab Jiya.“Lah kok bisa gitu?“ Sahut Nindy yang ada di dalam panggilan itu.“Ya nggak tahu emang kenyataannya gitu. Sudah, aku tutup teleponnya dulu aku sedang ada tamu,” jawab Jiya lalu menutup panggilan tersebut begitu saja. Sementara itu saat ini ketegangan menyelimuti rumah Jiya di Tulungagung. Raka saat ini duduk di sofa yang ada di ruang tamu rumah itu, begitu juga dengan pak Ghofur yang baru saja sampai di rumah. Sedangkan Bu Mutia yang sebelumnya sudah menyapa Raka pun masuk ke dapur untuk membuatkan minuman.“Jadi maksud kedatangan saya ke sini, saya ingin m
Sementara itu di tempat Jiya, saat ini Adam dan Jiya berpindah duduk bersama di teras ruko. Saat ini mereka berdua sedang menunggu pesanan mie ayam mereka.“Jadi, apa kata Raka?“ tanya Adam setelah Jiya selesai berbicara dengan Raka lewat telepon dan kemudian meletakkan teleponnya di atas meja kecil di depan mereka.“Dia hanya berkata akan tetap mempertahankan hubungan kami,” jawab Jiya lalu menghela napas panjang. "Jiya, aku ingin membantumu berpisah dengan Raka," ucap Adam sambil terus menatap ke arah penjual mie ayam yang terlihat sangat sibuk karena banyak sekali pembeli, termasuk mereka berdua.Jiya menatap Adam, "Aku tahu, itu semua karena kamu ingin kita kembali bersama lagi 'kan?“ tanyanya.Adam tersenyum. "Aku melakukan ini karena ingin melihatmu bahagia, tapi apa yang kamu katakan ada benarnya juga, aku memang ingin kembali bersama kamu,” jawabnya dengan santai.“Itu sangat bisa ditebak oleh siapa pun,” sahut Jiya sambil berekspresi malas mendengar ucapan Adam.“Ya, a
Seperti janji Raka dan Jiya. Sore ini mereka berdua bertemu di salah satu cafe yang tidak jauh dari tempat Jiya. Jiya yang baru saja masuk ke dalam restoran itu langsung menggenggam erat tali tas selempangnya. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu untuk mencari keberadaan Raka.Namun bukannya keberadaan Raka yang dia lihat, saat ini justru dia melihat sepasang laki-laki dan perempuan sedang duduk berhadapan untuk makan bersama di cafe itu. Jiya pun melangkah ke arah dua orang itu dengan tenang.'Kamu harus tetap tenang, Ji. Tenang,' batin Jiya sambil menggenggam erat tali tas selempangnya.“Eh, bukankah kamu Jiya?“ tanya si wanita yang langsung mengenali Jiya sambil tersenyum hangat.Langsung saja laki-laki yang ada di depannya itu menoleh ke arah Jiya. Mata mereka saling bertatapan selama beberapa saat, hingga akhirnya Jiya menoleh ke arah wanita yang menyapanya.“Iya, aku Jiya. Apakah kalian ke sini bersama dengan Mas Raka?“
Sementara itu saat ini Jiya dan Raka berada di parkiran. jiya yang sudah tidak tahan untuk bertanya pun langsung mengatakan isi pikirannya.“Mas, apa maksud kamu dengan besok kita bertunangan?“ tanya Jiya sambil berbalik badan menatap ke arah Raka yang baru saja dia lepaskan pegangan tangannya.“Iya, besok kita bertunangan,” jawab Raka dengan tenang.“Tapi ibuk dan ayahku belum membeli tiket atau apa pun, mereka pasti tidak akan sampai di sini besok. Dan juga Apakah ibumu sudah setuju dengan hal ini? Kita bahkan belum pergi ke rumahmu untuk meminta izin kepada orang tuamu,” tanya Jiya yang merasa tidak habis pikir dengan keputusan Raka tersebut.“Orang tuamu sudah setuju—” Kalimat Raka terhenti ketika tiba-tiba saja Jiya mengangkat tangannya dan membuka buku jarinya di depan Raka.“Mas, orang belum setuju. Mereka menyerahkan semua keputusan kepadaku, benar bukan?“ Jiya menatap tajam ke arah Raka.Raka mengerutkan dahi mendengar sahutan Jiya tersebut. “Bukankah kamu ingin menikah de
Setelah itu Jiya menatap tajam ke arah dua wanita yang saat ini sedang menatapnya ketakutan. “Siapa kalian?“ tanya Jiya sambil berusaha bangun dari ranjang tetapi kakinya terasa lemas.“Kami adalah pelayan di villa ini, Nona,” jawab salah satu pelayan dengan ekspresi yang masih sama seperti ketika dia melihat Jiya bangun.Ekspresi wajah Jiya langsung berubah ketika mendengar kalau dua orang itu adalah penjaga villa. “Tunggu, apa maksud kalian? Apakah saat ini aku sedang ada di dalam villa?““Benar Nona, Anda saat ini sedang ada di villa milik Tuan Raka,” jawab pelayan lainnya dengan lebih tenang karena saat ini ekspresi wajah Jiya sudah berubah tidak semenakutkan saat dia meneriakkan nama Raka.“Loh, kok bisa?“ ucap Jiya sembari memijat pelipisnya. “Sek toh, kemarin itu aku sedang ada di parkiran terus tiba-tiba Raka yang memukul kepalaku. Terus sekarang aku sudah ada di villa,” ucapnya yang mencoba meluruskan isi pikirannya.Kedua pelayan yang mendengar ucapan Jiya tersebut lang
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag