Empat jam berlalu. Jiya saat ini masih tertidur pulas di sofa ruang tamu rumah sewa tersebut. Namun, dia langsung terbangun ketika mendengar sebuah ketukan di pintu utama rumah itu. Tidak lama kemudian pintu rumah itu terbuka."Kamu baru saja bangun tidur?" tanya Adam karena melihat rambut Jiya yang acak-acakan.Jiya yang sedang memijat pelipisnya pun menatap ke arah Adam. "Iya, sepertinya aku ketiduran.""Kalau begitu lanjutkan saja, atau kamu bisa pindah tidur di kamar sana," ucap Adam dengan tenang sambil membuka coatnya.Jiya kemudian menoleh ke arah sebuah kamar tempat di mana kejadian dia dan Adam berebut ponsel terjadi. "Tidak perlu," tolak Jiya yang kemudian bangun dari sofa itu sambil membetulkan tatanan rambutnya agar lebih rapi."Atau apakah kamu ingin makan sesuatu?" tanya Adam dengan tenang.Mata Jiya tiba-tiba membola mendengar kata 'makan'. Tanpa mengatakan apa pun dia langsung melangkah ke kamar Bumi."Ada apa?" tanya Adam yang penasaran dengan tingkah Jiya ini. Di
Setelah beberapa menit meninggalkan halaman rumah sewa Adam, kini Jiya menoleh ke arah Raka. "Sudah cukup diamnya, katakan apa yang membuat kamu marah seperti ini?" tanya Jiya yang sudah tidak tahan karena sejak masuk ke dalam mobil Raka tidak mengatakan apa pun.Raka yang saat ini sedang menyetir mobil pun menarik sebelah garis bibirnya dan kemudian menjawab, "Apakah kamu sudah puas melihat aku yang seperti ini?" tanyanya balik tanpa menoleh ke arah Jiya."Apa maksud kamu dengan kata puas?" tanya Jiya sambil mengerutkan dahi. "Kamu sendiri yang datang dan tiba-tiba membuat onar."Sciit! Suara decitan rem mobil Raka karena Raka mengerem mobil itu mendadak."Kamu gila?" geram Jiya sambil menoleh ke belakang. "Bahaya kalau sampai ada kendaraan lain di belakang kita," omelnya yang tentu saja khawatir karena saat ini mereka berada di jalan raya yang cukup ramai.Tiba-tiba Raka kembali mencengkeram lengan Jiya."Apa? Apa masalah kamu?" tanya Jiya sambil membulatkan matanya."Apa mak
Satu jam berlalu. Setelah selesai berkeliling di rumah mewah bergaya eropa itu, kemudian Raka dan Jiya berhenti di ruang tamu rumah itu. “Jadi bagaimana menurutmu dengan rumah ini?“ tanya Raka.Jiya tersenyum hambar. “Rumah ini bagus, bagus sekali malah,” jawab Jiya sambil menatap ke sekeliling ruangan itu.“Bukan itu yang ingin aku tanyakan, apakah kamu menyukai rumah ini? Atau mungkin kamu ingin menambah beberapa hal lagi? Aku akan mengatakan itu kepada tim renovasi rumah ini,” tanya Raka sambil menatap Jiya yang saat ini masih menatap ke sekeliling ruangan itu.Kemudian Jiya kembali menatap wajah Raka. “Apakah Mamamu tahu tentang rumah ini? Apakah dia sudah setuju?“ tanyanya.“Dia pasti akan setuju, aku yang akan membujuknya, kamu tenang saja,” jawab Raka.'Aku akan mencoba mengikuti saran Natasha. Yang terpenting saat ini aku bisa mengambil hatinya lagi. Aku tidak akan membiarkan Adam mengganggu hatinya lagi,' batin Raka.Kemudian Raka memegang telapak tangan Jiya lagi. “
Setelah beberapa saat akhirnya Jiya keluar dari kamar Bumi dan berjalan dengan tenang ke arah ruang tamu rumah itu.“Bagaimana keadaannya?“ tanya Raka ketika melihat Jiya berjalan masuk ke area ruang tamu.“Dia baik-baik saja dan akan memakan ikannya nanti,” jawab Jiya dengan santai.Tiba-tiba Raka bangun dari tempatnya duduk. “Kalau begitu aku akan datang pada dia dan minta maaf, bagaimana menurutmu?“ tanyanya sambil menatap ke arah pintu kamar Bumi yang bisa di lihat dari ruang tamu.“Boleh saja, kenapa tidak,” sahut Jiya sambil berbalik badan dan menatap ke arah pintu kamar Bumi.Setelah itu Jiya melangkah kembali ke sofa yang ada di ruangan itu, sedangkan Raka kini berjalan ke kamar Bumi.“Apa yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil menatap Jiya dengan tajam.“Apa?“ Jiya bertanya balik karena tidak mengerti maksud kalimat Adam yang tiba-tiba itu.“Apa yang kamu lakukan sehingga membuat Raka berubah seperti itu?“ tanya Adam masih dengan ekspresi dingin di wajahnya.“Apa yang aku
Tiga jam lebih berlalu. Jiya yang sudah selesai menghias donat pun bersiap untuk mengantar pesanan itu.“Kalau kamu ragu biar aku saja yang mengantarnya,” ucap Dila sambil memasukkan donat-donat itu ke dalam dua buah kotak seperti permintaan customer mereka.“Tidak perlu. Lagi pula kalau yang namanya penasaran aku harus lihat sendiri, supaya hilang rasa penasaranku,” tolak Jiya yang saat ini merapikan penampilannya.“Baiklah, terserah kamu kalau begitu,” sahut Dila. “Tapi nanti kalau ada apa-apa kamu harus langsung ngabarin aku. Atau begini saja, bagaimana kalau kita pergi ke pantai berdua?” ucapnya.“Lalu yang jaga toko siapa?““Halah, tutup saja sebentar,” jawab Dila sambil menutup kotak berisi donat-donat itu.“Mana bisa sebentar dari sini ke pantai aja udah berapa menit itu,” sahut Jiya.“Rejeki nggak akan ke mana-mana kok,” ucap Dila sambil tersenyum menunjukkan deretan giginya ke arah Jiya.Jiya menghela napas panjang. “Ya sudah, kamu ganti baju sana. Biar aku yang lanjuti
Setelah beberapa menit melangkah masuk ke dalam area resort dan mendapatkan izin dari satpam, akhirnya Naomi dan Dila berkeliling resort itu untuk mencari salah satu kamar yang dikatakan oleh pemesan donat. “Ini yakin nih kita nggak sedang dikerjain?” ucap Dila sambil mengarahkan pandangannya ke sekitar resort yang terlihat cukup ramai pengunjung.“Semoga aja nggak. Sebenarnya aku sih juga jadi ragu, kenapa dia nggak nemuin kita aja. Tapi mau gimana lagi kita sudah terlanjur masuk ke sini,” ucap Jiya sambil terus melangkah.Sesaat kemudian sebuah panggilan masuk ke ponsel Jiya. Dia pun segera memberikan kotak di tangannya kepada Dila dan dengan cepat mengangkat panggilan tersebut. “Halo, bagaimana Kak?“ tanya Jiya dengan ramah.“Kamu di mana?“ tanya wanita pemesan donat.“Saya sudah masuk ke dalam resort dan berkeliling, tapi saya belum menemukan kamar yang kamu katakan,” jawab Jiya sambil menatap ke arah Dila yang saat ini mengerutkan keningnya.“Apa kamu menggunakan rok panja
“Aduh!“ pekik Dila tiba-tiba. Langsung saja Jiya menoleh ke arah Dila yang saat ini sedang memegangi perutnya. “Kamu kenapa Dil?“ tanya Jiya sambil bergerak ke arah Dila.“Perutku tiba-tiba melilit,” jawab Dila sambil meringis seolah menahan sakit.“Toilet?“ Jiya bertanya.Dila pun mengangguk sambil menggigit bibirnya agar terlihat sedang benar-benar menahan mulas diperutnya.“Ada toilet di dalam, kamu pakai saja,” ucap Natasha dengan ekspresi panik seolah benar-benar peduli kepada Dila, padahal saat ini dia sudah menebak kalau Dila sedang berpura-pura.'Jiambu! Goblok, kalaupun aku kebelet beneran, mana mungkin itunya bisa keluar kalau di depan kamarnya ada banyak orang,' maki Dila di dalam hati.“Ah, nggak. Biar kami cari toilet yang lebih umum aja, iya kan, Dil?“ tanya Jiya sambil memegang tangan Dila dengan lebih kencang dari sebelumnya.“Iya, benar. Agak sulit kalau di sini,” jawab Dila sambil berjalan menjauh dari tempat itu.“Baiklah kalau begitu aku akan menemani temanku,” uc
Setelah itu Jiya dan Dila pun masuk ke dalam tempat makan itu. Setelah memesan beberapa menu makanan dan minuman kemudian Jiya mengambil sebuah snack.“Pak, saya pergi dulu sebentar ya,” ucap Jiya sambil mengambil dua minuman dingin.“Iya, nggak papa,” sahut laki-laki yang saat ini sedang sibuk mengambil ikan segar.“Oh iya, saya titip motor ya Pak,” ucap Jiya dengan ramah dan seolah sangat dekat.“Kamu naikin aja motornya, taruh dekat motor Bapak. Yang warna biru di samping warung,” ucap laki-laki tersebut dengan santai.“Iya Pak, kalau gitu saya naikin motornya,” sahut Jiya sambil berjalan keluar dari tempat itu.Sedangkan Dila saat ini hanya diam saja dan mengikuti di belakang Jiya. 'Hah, bocah gendeng, bisa-bisanya dia sok akrab gitu. Dia pikir penjual ikan bakar itu pakdhenya,' gerutu Dila di dalam hati karena saat ini beberapa pelanggan yang sedang makan di dalam tempat makan itu melirik ke arah dia dan Jiya.“Di sini kan, Pak?“ ucap Jiya setelah selesai memarkirkan motorny
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag