"Maaf ibu-ibu, ada apa ini? Kok tahu nama saya?" tanya Bu Erna makin tak mengerti.
"Loh?" Mereka yang berada di tempat saling bertukar pandang.
"Itu! Tulisan yang di situ, nama ibu kan?" telunjuk salah seorang di antara mereka tertuju ke dinding di dekat pintu bangsalan mereka. Bu Erna beringsut keluar untuk membaca tulisan di sebuah kertas yang menempel di dinding.
LOUNDRY 'BU ERNA'
Murah Meriah Cuci saja = Rp 4000/kg Cuci lipat = Rp 5000/kg Cuci lipat setrika= Rp 6000/kgCUCI, JEMUR, SETRIKA, LIPAT, ANTAR!
PROSES CEPAT DAN DIJAMIN WANGI."Apa-apaan ini?" Bu Erna ingin memberon
Siang harinya, Bu Erna tidak bisa beristirahat dengan tenang, karena harus membolak-balik jemuran supaya cepat kering. Setelah kering, lengannya yang masih terasa sakit, ia paksakan untuk menggosok. Berkali-kali dia beristirahat untuk mengurut lengannya. Tepat sebelum waktu magrib tiba, semua pekerjaannya beres. Kemudia Bu Erna mengantar semua baju ke tuannya masing-masing dengan membawa nota.Semua yang menerima hasil kerja Bu Erna tersenyum dan berkata mereka puas dengan hasil kerjanya. Sebagian dari mereka sudah berpesan dua hari lagi, mereka akan mengantar cucian kembali.Bu Erna tersenyum getir mendengar ucapan mereka. Sungguh ia tak tahu, apakah harus bersyukur atau bersedih, karena rejeki dari mereka adalah penderitaan untuknya.Sebelum waktu maghrib tiba, Bu Erna ingin merenggangkan otot-ototnya sebentar. Ia berbaring di ambal kecil tempatnya tidur semalam. Baru dua hari hidup di rumah kontrakan bersama Rizal dan Nessa, Bu Erna mulai me
"Juna! Kok, malah tidur di sini juga?" Lily panik saat Hussein memanggilnya subuh-subuh. Arjuna tak bergerak. Karena tidur kemalaman, semakin mendekati subuh tidurnya juga semakin nyenyak.Lily kembali menempelkan telapak tangannya ke kening Husen. Demamnya makin tinggi."Pa ... paaa!" Husen mengigil seperti memanggil Papa, tapi tidak jelas. Lily menjadi cemas. Tak biasanya Husen sakit memanggil Papa.Lily membungkus tubuh Husen dengan selimut tebal. Badannya panas, namun ia seperti merasa kedinginan. Ingin sekali Lily membangunkan Arjuna. Tapi menatap wajahnya yang sangat pulas hanya beralaskan ambal, Lily jadi tidak tega. Hatinya malah tergerak untuk merapikan selimut Arjuna saja.Lily beranjak untuk mengambil obat penurun panas berupa syrup, dan air minum untuk Husen. Tak lupa ia membawa serta baskom kecil berisi air hangat untuk mengganti air kompresan."Husen, minum dulu obatnya, ya?"Hussen yang masih mengantuk mengangguk k
Saat Arjuna keluar, Dokter yang akan memeriksa Husen datang. Ia melakukan serangkaian prosedur pemeriksaan."Udah berapa hari, demamnya?""Dua hari, Dok!""Saya liat di riwayat pasien, sebelumnya anak ibu sebelum ini, pernah berobat kesini dan ada gejala tipes?" tanya dokter memastikan.Lily diam sebentar, mengingat dulu memang mereka membawa Abidzar dan Husen kesini. Awal yang membuat Lily dan Arjuna terperangkap dalam pernikahan mereka saat ini."Benar, Dok!" jawab Lily pelan."Untuk mengetahui positif tipes, baru bisa dipastikan setelah tiga hari pasien mengalami demam. Namun karena suhu tubuh anak ibu tinggi, maka kami anjurkan anak ibu untuk dirawat inap!" ucap Dokter tersebut menjelaskan."Lakukan saja yang terbaik, Dokter!" Tiba-tiba Arjuna muncul dari luar."Baik! Kalau begitu, secepatnya diurus ke administrasi supaya cepat mendapatkan ka-mar. Ar-ju-na?"Di akhir kalimat, mendadak Dokter t
Rizal membawa ibunya ke puskesmas induk di kecamatan mereka. Ternyata pusksemas menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit. Pihak puskesmas memberikan selaku faskes tingkat 1 memberinya rujukan, hingga Rizal langsung melarikan ibunya ke rumah sakit.Ternyata karena Bu Erna kecapekan, banyak pikiran, dan makan tidak teratur sehingga maghnya kumat dan merambat ke kepala. Bukan hanya itu, Bu Erna juga di vonis menderita gejala stroke. Dokter menyarankan untuk dirawat sampai kondisi Bu Erna benar-benar pulih. Rizal tidak keberatan karena semua biaya di tanggung oleh BPJS.Siang hari setelah masuk ruangan, Rizal menitipkan ibunya pada orang yang bersebelahan, karena ia ingin membeli makanan.Saat ingin berbelok menuju ke kantin rumah sakit, pandangan Rizal tertuju pada dua orang yang sedang berbicara di salah sudut ruangan. Ia mengenal salah satunya. Mereka tampak berbincang serius.Rizal langsung menaikkan masker dan memperbaiki topinya,
Rizal membuka pintu kamar perlahan. Husen langsung tersenyum, melihat ayahnya. Melihat Husen tersenyum, Lily langsung berpaling menatap ke pintu. Ia langsung menyingkir, begitu melihat Rizal yang masuk. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa Rizal tiba begitu cepat, dan masuk tanpa Arjuna. Tapi Lily masih enggan berbicara dengan mantan suaminya."Helo, jagoan Papa!" sapanya Rizal riang. Husen tersenyum kecil. Ia menggantikan posisi Lily duduk di samping Husen."Papa kemana aja? Habis janji ngajak jalan, enggak datang-datang lagi?" tanya Hussein yang masih ingat pada janji ayahnya."Maaf sayang, Papa ada pekerjaan mendadak yang enggak bisa ditinggal. Lagian Papa sudah di u ....""Jangan mengeluh pada anak kecil, atas kesalahanmu sendiri," tiba- tiba Lily refleks mencengkram bahu Rizal. Rizal langsung bungkam."Mending kamu bujuk dia makan!" ucap Lily sambil meraih piring makan Husen yang masih utuh."Makan, ya!" bujuk Rizal. Husen mengang
"Ju-na mi-num," suara Bu Erna sangat lemah memanggil Arjuna yang sejak tadi hanya melamun. Arjuna langsung berdiri, dan membantu ibunya yang belum bisa duduk dengan sempurna, mendekatkan botol minum dan menempelkan sedotan ke mulut ibunya.Setelah itu, ia kembali duduk termenung. Pikirannya tak bisa lepas dari bayangan Rizal, yang malam ini satu kamar dengan Lily di sana. Jika saja Arjuna tahu, bahwa Bu Erna akan masuk rumah sakit juga, dia akan memilih diletakkan di ruang kelas III saja. Biar saja banyak bergabung dengan pasien lain.Namun sudah terlanjur. Sebelumnya, Arjuna yang pada dasarnya tidak menyukai keributan memilih kamar VIP, untuk Husen. Maksud hati supaya lebih nyaman dan tidak bergabung dengan siapa pun. Ternyata malah pilihannya membuat ia menjadi was-was. Arjuna menatap Bu Erna yang mulai tertidur. Arjuna menyibak tirai pembatas antar pasien."Bu, saya titip ibu saya sebentar, ya. Saya keluar sebentar ada keperluan. Tidur sih, orangn
Arjuna mencoba kembali memejamkan mata dan membuang jauh-jauh pikiran buruknya. Baru saja ia ingin terlelap, pertugas medis datang untuk mengecek suhu tubuh dan lainnya terhadap Bu Erna.Arjuna kembali duduk, memberikan ruang untuk perawat berdiri. Setelah perawat tersebut keluar, Arjuna kembali merebahkan dirinya. Tapi matanya yang tadi mulai mengantuk, malah kembali segar. Pikirannya kembali terganggu, membayangkan keadaan di kamar Lily, dimana Rizal membantunya mengurus Husen.Membayangkan mereka berdua bekerjasama, ada rasa tak rela di hati Arjuna. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berharap hari esok cepat datang, supaya Rizal cepat kembali ke kamar Bu Erna setelah ia pulang. Jika Rizal menjaga Bu Erna, hatinya sedikit tenang.***Arjuna melirik jam tangannya. Sampai mendekati pukul 04.00 subuh, Arjuna tak bisa memejamkan mata. Ia bangun dan mengenakan kembali jaket yang dijadikan bantal.Arjuna benar-benar tidak bisa
Arjuna : " kamu kemana aja, Liz? Kenapa pergi tanpa pamit? Aku selalu mencari keberadaanmu."Arjuna terlihat menunggu jawaban.Dokter Liza : "sekarang, kamu sudah menikah."Arjuna : "Aku terpaksa menikahi dia. Kasihan!"***Rekaman Video durasi singkat yang menampilkan Arjuna dan Dokter Liza dengan posisi saling berhadapan tersebut, terus menghantui pikiran Lily. Hatinya terasa nyeri, bukan karena Arjuna dan Dokter Liza yang berbicara. Tapi karena kata terpaksa dan kasihan yang meluncur dari mulut Arjuna.Lily sadar, memang tidak bisa memaksakan perasaan. Tapi Lily juga tidak pernah meminta Arjuna berpura-pura baik padanya. Kebaikan Arjuna yang membuat ia mulai terbiasa bergantung.Seandainya saat ini dia sedang berada di rumah, mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya di depan Arjuna. Sakit hati yang ia rasakan kali ini, lebih besar daripada sakit yang ia rasa saat Rizal memiliki niat mendua.Saat Rizal mengutarakan