La Rossa sampai pada tempat tujuan, ia melihat sebuah gedung tua usang. La Rossa melipir sembari mengacungkan senjata apinya, berjaga.'Kenapa sepi?" gumam La Rossa.Ia terus melangkahkan kakinya memasuki gedung tua itu lebih jauh ke dalam. Gedung tua itu sepertinya bekas bangunan pabrik kontruksi, di sana terlihat banyak bekas alat-alat bangunan yang tak terpakai.La Rossa terus melipir, mata elangnya menangkap sesosok mayat yang terkurap dengan bergelimangan darah. Ia terus melangkahkan kakinya waspada dan awas.Semakin masuk ke dalam ternyata semakin banyak, ia membalik tubuh tak bernyawa itu. Ia tak mengenalinya, sepertinya dia dari kelompok Black Wolf.Ia terus mencari Miller dan rekan-rekannya, ia menemukan orang yang di kenalinya. La Rossa menghampirinya, berjongkok dan memeriksa nafasnya dengan menempelkan ke dua jari tangan di dekat hidungnya.La Rossa tak merasakan hembusan angin dari hidungnya, ia kemudian mendengarkan detak jangtungnya dengan mendekatkan daun telinganya ke
La Rossa membopong tubuh Miller, ia berjalan keluar dari dalam gedung tua itu. Dibelakangnya ada Gilbert yang mengikutinya.Tanpa bicara La Rossa membawa jasad Miller ke tanah lapang, ia menguburkannya di sana. Air matanya kembali menetes membasahi gundukkan tanah merah yang ada di hadapannya.La Rossa berdiri, matanya merah membara penuh dendam. Tanpa bicara ia langsung akan pergi ke markas Vangsed untuk menemui para pembunuh itu.Gilbert mengikutinya di belakang La Rossa dengan sangat tenang, ke mana pun La Rossa pergi ia dengan tenang mengikutinya. Topeng perak yang selalu menghiasinya sebagai ciri khas baginya.Tanpa menoleh ke belakang La Rossa langsung berlari keluar dari halaman gedung tua yang di sekelilingnya terpasang pagar beton.Gilbert segera menyusul La Rossa, saat ia mensejajarkan tubuhnya dengan La Rossa Gilbert langsung menarik La Rossa untuk menghadapnya."Tenangkan dirimu. Kamu tidak bisa melakukannya sendirian. Saat ini V
Gilbert membaringkan tubuhnya di sisi La Rossa, ia mendekap tubuh mungilnya erat, mencium aroma tubuhnya, menghirupnya kuat-kuat dan berusaha menyimpannya seolah ia akan kehilangan aroma tubuh itu kapanpun.La Rossa membenamkan kepalanya di dada bidang Gilbert, ia juga melakukan hal yang sama. Menghirup aroma tubuh Gilbert yang baginya begitu menenangkan."Istirahatlah, akan ada banyak pekerjaan ketika matamu terbuka nanti," Gilbert mengelus pucuk rambut La Rossa dan mencium keningnya.La Rossa memejamkna kedua kelopak matanya, ia berusaha untuk terlelap tidur namun nyatanya ia tak bisa. Bayang-bayang kematian kedua orang tuanya selalu menghantui setiap tidurnya. Kini ia juga harus menambah beban dalam hatinya dengan melihat kembali kematian orang yang ia sayangi. La Rossa, meski di luar nampak kejam dan dingin, sesungguhnya ia rapuh dan lemah.Bertahun-tahun lamanya ia hidup dalam bayang-bayang kedua orang tuanya, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bagaiaman orang-orang yang i
Gilbert yang Jonathan kenal dingin dan angkuh ternyata bisa bersikap lembut di hadapan La Rossa."Kamu dari mana?" tanya La Rossa manja.Jonathan kembali tersentak kaget dengan penglihatan dan pendengarannya, bagaimana bisa dua orang yang ia kenal kejam, dingin dan angkuh bisa berubah sikap menjadi manja dan lembut.Jonathan hampir pingsan di buatnya. Tingkah dua orang yang sama-sama memiliki sifat kejam dan berdarah dingin sedang saling mengutarakan cintanya."Huh, untung aku masih kuat menahan diri agar tidak jatuh pingsan, ketika melihat drama mereka berdua!" Jonathan mengelus dadanya.Gilbert membopong La Rossa kembali ke kamar, ia kembali membaringkan La Rossa di atas kasur yang empuk."Istirahatlah barang sejenak, jangan paksa tubuhmu untuk terus bekerja," nasehat Gilbert sambil menarik selimut hingga sebatas dada.La Rossa menggelengkan kepalanya, ia menolak untuk tidur. Hatinya tak tenang, kenapa justru malah di suruh tidur oleh Gilbert."Tidak! Aku tidak akan tidur, aku mau b
La Rossa memperhatikan Gilbert penuh selidik, yang La Rossa tahu laki-laki di hadapannya ini hanya orang biasa yang memiliki wajah mengerikan.Bahkan sempat berpura-pura lumpuh dan idiot guna mengelabuhi paman tirinya Alfredo. Alfredo selalu berusaha untuk membunuh Gilbert dengan berbagai cara bahkan sampai menyewa pembunuh bayaran profesional yaitu La Rossa.Dari sanalah akhirnya La Rossa dan Gilbert saling terhubung. Ternyata mereka adalah teman sekaligus kekasih masa kecil.Gilbert yang sedang di perhatikan La Rossa tersenyum simpul."Aku tahu kalau aku ganteng, jangan terpesona," kelakar Gilbert dengan narsisnya."Dih ge'er banget! Siapa juga yang terpesona," elak La Rossa."Lalu kenapa kamu memperhatikanku terus? Kalau bukan karena terpesona?""Aku tahu wajahku tidak tampan, tapi, aku yakin kamu terpesona oleh pesonaku yang lain," sambung Gilbert sambil tersenyum."Pesonamu yang mana? Bukankah kamu hanya makhluk Tuhan yang penuh dengan kekurangan?" Ejek La Rossa.Gilbert tak menj
La Rossa dan Gilbert bersiap untuk pergi, mereka akan memberikan seebuah kejutan pada anak buah Vangsed dan Black Wolf yang saat ini sedang berpesta pora.Gilbert dan La Rossa mengendarai mobil Bentley. Dengan kecepatan penuh Gilbert menembus jalanan menuju ke Zunk Club. Sementara Jonathan ia pergi bersama yang lainnya dengan mengendarai mobil van.Gilbert memarkirkan mobilnya di depan Club yang besar dan ramai dengan lampu warna warni menghiasai di nama besar Zunk Club.Saat Gilbert akan memasuki Club ia di tahan oleh dua orang penjaga yang memiliki tubuh kekar, dan berotot, "member."Gilbert menunjukan sebuah kartu berwarna gold dengan bertuliskan nama Zunk Club dengan tulisan timbul pada mereka. tanpa banyak bicara mereka langsung mengecek keaslian kartu member milik Gilbert.Lalu mereka menyerahkan kembali kartu itu pada Gilbert, dan mempersilahkannya masuk dengan begitu sopan. Kali ini Gilbert tidak mengenakan topengnya, melainkan ia merias wajahnya menjadi seorang pria tampan. H
Gilbert dan La Rossa menghabiskan sisa cocktail di tangannya hingga tetes terakhir. Lalu mereka berdua pun saling pandang, melalui tatapan mereka sepakat untuk memulai aksinya. La Rossa menganggukkan kepalanya tanda ia sudah siap, yang kemudian di balas anggukan juga oleh Gilbert. Mereka berdua keluar dari room private. La Rossa berjalan di depan Gilbert mencari ruangan yang di gunakan oleh anak buah Vangsed dan Black Wolf untuk berpesta. Sementara Jonathan dan kelima orang bawahannya menunggu di van, mereka menunggu aba-aba dari Gilbert. La Rossa menemukan mereka di sebuah ruangan besar, di sana ada sekitar tiga puluh orang yang sedang berpesta dengan minum-minuman beralkohol. Tidak hanya itu, mereka juga memanggil beberapa wanita penghibur pemuas nafsu. Suara gelak tawa terdengar menggema di telinga La Rossa yang memiliki pendengaran tajam. Ruangan itu kedap suara, tapi, karena pintunya terbuka sedikit sehingga suara itu pun keluar. La Rossa tanpa mengetuk langsung masuk ke dal
La Rossa berjalan memimpin di depan, ia merasakan tak ada pergerakan dari Gilbert atau pun Jonathan dan keempat rekannya. Lalu langkahnya ia hentikan dan berbalik badan. "Ada apa?" "Kenapa diam? Bukankah kita akan ke Kasino Maybacth?" "Tidak hari ini Ros," ucap Gilbert. "Baik. Aku akan pergi sendiri!" La Rossa langsung pergi meninggalkan Gilbert dan Jonathan beserta keempat rekannya. Gilbert menatap punggung La Rossa, ia menghela nafas berat, "sungguh keras kepala." Gilbert menyusul La Rossa yang sudah semakin jauh di depan, "tunggu Ros!" Gilbert berhasil menyusul La Rossa dan menyeimbangkan langkahnya. "Kita tidak bisa ke sana?" "Kenapa?" sorot mata La Rossa tajam. "Di sana sedang berkumpul banyak orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan, aku tak ingin melihatmu terluka," "Kamu takut?" Ejek La Rossa. "Takut? Tentu saja tidak!" "Lalu?" "Biarkan aku yang menyelesaikan semua kekacauan ini, dan kamu pulanglah bersama Jonathan untuk berisitrahat," La Rossa tersenyum kecut,
Gilbert semalaman menggempur La Rossa sampai ia kesulitan bangun. "Sstthh! Tubuhku seperti mau remuk," desis La Rossa. "Kenapa dia begitu kuat? Apa yang membuatnya seperti itu?" gumam La Rossa. La Rossa beringsut berusaha untuk turun dari ranjang tempatnya semalam di gempur habis-habisan oleh Gilbert. "Duh, kenapa kakiku berasa lunglai begini ya?" ujar La Rossa mengeluh dalam hati. La Rossa berjalan dengan tertatih menuju ke kamar mandi, sejak membuka matanya La Rossa tak menemukan Gilbert di mana pun. "Ke mana perginya Gilbert?" "Apa mungkin ia sedang berjalan di tepi pantai?" "Ish!" desis La Rossa kesal saat membayangkan suaminya malah tengah asyik menikmati suasana pagi dengan berjalan-jalan di tepi pantai sambil memandang matahari terbit. La Rossa keluar dari kamarnya, perutnya terasa lapar. Ia pun pergi menuju dapur dan ternyata Gilbert tengah asyik memasak. "Kamu di sini?" tanya La Rossa heran. "Berarti tuduhanku tadi salah," gumam La Rossa dalam hati. Gilbert menol
"Stop di sana!" perintah Gilbert."Perbesar!" Lanjut Gilbert.Gilbert tersenyum penuh kemenangan."Jo, bawa wanita sialan itu! Kita berangkat sekarang!" perintah Gilbert pada Jonathan.Jonathan tak mengerti dengan perintah yang Gilbert berikan."Wanita mana? Pergi ke mana?" tanya Jonathan.Gilbert yang sudah bersiap meninggalkan ruangan itu langsung menghentikan langkahnya "Jo, sejak kapan kamu berubah menjadi bodoh?" tanya Gilbert dengan nada kesal."Wanita yang telah berani menggodaku dan kita akan pergi menemui La Rossaku!" tegas Gilbert.Lalu, ia kembali berjalan menuju ke pintu dan ke luar dari ruangan itu. Yang kemudian di susul oleh Jonathan.Malam itu juga, Gilbert langsung pergi menyusul La Rossa dengan menggunaksn pesawat pribadi.Gilbert duduk dengan tenang, kali ini tak ada kecemasan dalam raut wajahnya.'Aku menemukanmu, Ros. Kamu tak akan bisa pergi jauh dariku,' batin Gilbert senang.Sementara itu, di belakangnya ada seorang wanita yang tengah memperhatikannya dengan s
Gilbert frustasi, ia benar-benar tak tahu lagi harus mencari La Rossa ke mana?Sudah sejak siang hingga malam hari Gilbert mencari La Rossa. Ia sudah mendatangi banyak tempat. Namun, tak ada satu pun tempat yang ia kunjungi menandakan adanya La Rossa di sana."Aaarrrrggghhh!" Gilbert berteriak kencang.Wajahnya sudah lecek dengan penampilan yang kusut. Otaknya tiba-tiba terasa buntu. Ia tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.Gilbert menyugar rambutnya kasar. Ia memaki dirinya sendiri."Sial!" makinya.Gilbert melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah larut malam," ucapnya pada diri sendiri.Gilbert memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dalam kamarnya. Gilbert menatap ranjang besar tempatnya semalam menghabiskan waktu bersama La Rossa.Ia mengusap ranjang itu dengan telapak tangannya."Ros," panggilnya lirih.Akibat kelelahan lama kelamaan mata Gilbert menutup. Ia terlelap tidur.Pagi pun menjelang, pintu depan rumah Gilbert di gefor sangat keras.Took! Toook!P
La Rossa menenteng rantang yang berisi masakan hasil buatannya sendiri dengan arahan koki di rumahnya.La Rossa memeluk rantang di tangannya sembari tersenyum bahagia."Gilbert pasti suka," ucap La Rossa bergumam lirih. Ia terus mengulas senyum di bibirnya.La Rossa pergi ke kantornya Gilbert dengan diantar supir.Mobil memasuki area parkir dan kemudian La Rossa turun dari mobil. Ia masuk ke dalam gedung perusahaan milik Gilbert dan gegas pergi menuju lift.La Rossa berjalan dengan langkah lebar dan hati yang riang gembira, ia begitu tak sabar ingin menunjukan hasil masakannya pada Gilbert."Pasti dia sangat senang," gumam La Rossa.Para karyawan yang berpapasan dengan La Rossa menyapanya ramah. Dulu sekali, ia pernah menjadi pengganti Gilbert di kantor itu, sehingga banyak karyawan yang mengenalnya.La Rossa hanya mengangguk lirih menanggapi sapaan mereka.La Rossa berjalan di koridor, ia menenteng rantangnya.Begitu sampai di depan kantor Gilbert, La Rossa langsung masuk ke dalam ta
La Rossa dan Gilbert terlelap tidur setelah mereka bermandi peluh. Rasa lelah setelah bergumul membuat mereka tertidur.Malam pun berlalu dengan syahdunya.Keesokan harinya mereka langsung cek out dari hotel. Gilbert membawa La Rossa ke sebuah rumah yang sangat megah dan mewah.Mereka turun dari mobil yang membawa mereka ke sana.Setelah menapaki teras rumah La Rossa dan Gilbert langsung di sambut oleh para pelayan yang berbaris rapi dengan seragam khas maid."Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapa mereka serempak.La Rossa berusaha bersikap ramah dengan mengulum senyum.Sementara Gilbert hanya mengangguk pelan.Gilbert membawa La Rossa ke atas melewati tangga satu demi satu.Gilbert membuka kamar itu dan mempersilahkan La Rossa untuk masuk terlebih dahulu."Kamarnya sangat luas," ucap La Rossa."Kenapa kita harus tinggal di rumah sebesar ini? Padahal kita hanya tinggal berdua saja," ujar La Rossa."Apa kamu tak menyukainya?" tanya Gilbert."Suka. Hanya saja aku lebih nyaman tinggal di r
Gilbert dan La Rossa meresmikan hubungan mereka di depan penghulu dengan wali hakim karena La Rossa tak memiliki saudara.Pernikahan mereka di gelar di KUA dan di saksikan oleh Jonny, Profesor Huang, Anisa, Lucas, Jonathan dan Susan.Mereka menjadi saksi keabadian cinta mereka.La Rossa menggelayut manja di lengan Gilbert yang kokoh."Terima kasih. Aku bahagia sekali," ucap La Rossa mengungkapkan rasa bahagianya."Tidak, sayang. Aku lah yang seharusnya berterima kasih padamu karena telah menerimaku apa adanya meski wajahku ini awalnya buruk rupa bagai monster, tapi kamu tetap menerimaku," ungkap Gilbert.La Rossa mencium punggung tangan Gilbert setelah ijab qobul diikrarkan dan Gilbert mencium kening La Rossa.Jonny menghampiri mereka berdua."Selamat ya, Ros," ucap Jonny, "Kini dia aku serahkan padamu. Jaga dia dengan baik," Lanjut Jonny sambil menepuk pundak Gilbert.Gilbert menepuk dadanya bangga, "Serahkan saja padaku. Aku akan menjaganya melebihi diriku sendiri," ucapnya."Hm," J
"Sudah jangan menangis, semoga kita bertemu lagi," ucap Profesir Huang ambigu."Apa maksud ucapanmu itu?" tanya La Rossa."Tidak ada," jawab Profesor Huang."Apa kamu lapar?" tanya Profesor Huang."Iya, aku lapar. Apa kamu punya makanan?" jawab La Rossa sekaligus bertanya."Sebentar, aku lihat dulu di dapur," jawab Profesor Huang.La Rossa mengangguk, "baik."Profesor Huang keluar ia pergi menuju dapur, di sana ia melihat Anisa dan dibantu oleh Lucas sedang memasak. Aroma wangi masakan tercium oleh hidung Profesor Huang, ia terus memgendus aroma itu, "hmmm ... wanginya. Bikin perutku semakin lapar saja.""Apa semuanya sudah siap di sajikan dan di santap?" tanya Profesor Huang sambil melangkah mendekati mereka berdua."Sudah, sisa ini saja yang belum matang. Tunggu sebentar lagi ya?" ucap Anisa sambil tersenyum.Lucas justru mendengkus, "huh, enak saja datang-datang langsung minta makan."Anisa memperingati Lucas, "hust! Jangan begitu, biar bagaimanapun dapur ini miliknya begitu pun de
Lucas menatap Gilbert kesal, ia selalu kalah cepat dengan Gilbert sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya itu."Kenapa wajahmu di tekuk begitu? Jangan kesal begitu, dari pada kesal melihatku akan segera menikah, sebaiknya kamu mencari pacar dan segera lamar dia lalu nikahi. Umurmu sudah tak muda lagi, jangan sampai seperti mereka yang kadaluwarsa," ucap Gilbert sambil melirik ke arah Jhonny dan Profesor Huang.Profesor Huang acuh, sedangkan Jhonny merasa tersindir oleh ucapan Gilbert, ia pun melemparkan botol kaca yang ada di dekatnya.Dengan gesit Gilbert menangkap botol itu sambil tersenyum mengejek pada Jhonny karena ia telah berhasil menangkap botol itu.Jhonny mendengkus kesal, "jangan menghinaku. Kalau masih tetap kamu lakukan aku akan menarik kembali restuku padamu," ancam Jhonny."Memangnya bisa?" tanya Gilbert."Tentu saja bisa!" ucap Jhonny dengan nada kesal sekaligus geram."Kalian mau sampai kapan berdebat terus! Kalau masih panjang sebaiknya kalian lakukan di luar, aku mau i
Jhonny begitu terharu melihat La Rossa di lamar oleh laki-laki yang dicintainya.Jhonny menyeka air matanya yang hampir jatuh, ia memalingkan wajahnya demi untuk menyembunyikan keharuannya.Apa kata dunia ketika melihat seorang Jhonny menangis? Ia buru-buru menghapus genangan air yang menggantung di pelupuk matanya.Profesor Huang dan Lucas keluar dari ruang Laboratorium kecil milik Profesor Huang itu.Profesor Huang melihat saat Jhonny menyeka air matanya, ia pun bertanya, "ada apa ini?""Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik? Sampai-sampai seorang Jhonny harus meneteskan air matanya," Profesor Huang bertanya dengan sedikit mengejek sahabatnya itu."Siapa yang menangis?" tanya La Rossa."Jhonny, lihat hidungnya sampai memerah," ledek Profesor Huang."Diamlah Huang! Jaga bicaramu," sentak Jhonny dengan nada sedikit marah."Kata-kata mana yang harus aku jaga?" Profesor Huang kembali mengejek Jhonny."Dasar tua bangka, tudak bisakah kamu menjaga mulutmu, ha?!" Jhonny semakin geram den