"Jadi, kau benar-benar akan menikah dengan Luke. Luke Watson, teman kuliah kita?" tanya Julian yang masih belum mempercayai cerita Ilona yang kini terlihat begitu santai dengan sesekali meneguk bir di tangannya.
Wanita itu hanya mengangguk singkat seraya memutar-mutar gelas di tangannya. Namun, belum membuat si empu mengurai kerutan."Ilona, Asha adalah adikmu sendiri. Kau tega ingin merebut Luke darinya?"Kalimat itu menghentikan pergerakan pada tangan Ilona. Sejenak bergeming, kemudian ia meletakkan gelas itu ke meja kaca sedikit kasar. "Perhatikan ucapanmu itu! Aku tidak pernah merebut siapapun dari siapapun. Dialah merebutnya dariku, aku yang lebih dulu mengenal dan mencintai Luke. Jika dia tidak ada, mungkin saja sekarang kami telah bersama dengan bahagia," ketus Ilona dengan mata yang mulai memerah. Napasnya mulai memburu bersamaan dengan gejolak dalam dada yang semakin meningkat."Tidak ada yang namanya mungkin, Il. Ini semua suSudah hampir satu jam, Sean duduk di meja bar dengan tatapan menerawang ke depan. Percakapan dengan Ilona tadi terus terngiang di telinganya, semakin jelas memori tersebut semakin terasa nyeri di dada. Ia melampiaskan rasa sakit itu dengan kembali menegak bir di tangannya hingga tandas. Suara dentuman terdengar saat pria itu meletakkan gelas dengan kasar ke meja. "Jika aku tau bahwa jatuh cinta bisa memberikan rasa sakit yang teramat. Lebih baik aku tidak memiliki hati sama sekali," gumam Sean dengan mata telah memerah, satu tangannya telah mencengkram kuat bagian dada kirinya. "... ini adalah terakhir kalinya kita bertemu." Sean meringis tanpa sengaja saat kalimat terakhir Ilona muncul di benaknya begitu saja. Tangannya telah beranjak ke gelas yang telah kosong dengan genggaman yang begitu kuat seiring luka dalam hati menganga lebar. Bahkan ia begitu sulit walau sekedar menelan ludah, mengetahui kenyataan bahwa sang pujaan benar-benar tidak menginginkan keha
Ilona membuka pintu kamar dengan kasar dan menutupnya kembali menggunakan kaki dengan gerakan malas. Ia langsung melempar tas kerjanya ke kasur dan menghempaskan diri di kursi meja rias. Dengan wajah kusut langsung terpantul di dalam cermin di hadapannya."Aakkhh ... dasar Sean sialan," gerutunya seraya menghentakkan kaki.Pembicaraannya tadi dengan Sean tidak pernah berhenti berputar dalam otaknya. Berulang kali ia menggeleng kuat, namun pikiran itu tak kunjung hilang dalam kepala. Kekesalan semakin bertambah saat debaran aneh pada jantungnya tidak pernah berhenti."Kenapa semuanya jadi begini sih? Ada apa denganku?" Ilona mengacak rambutnya dengan frustrasi. Bayangan wajah sendu Sean sangat jelas terlihat.Sesaat ia memaku, netranya menatap lurus ke dalam cermin. Menatap lebih dalam bayangannya di sana. Bukan, bukan wajahnya yang membuat ia mematung. Namun, sekelebat memori
Semua benda di semesta alam terus melakukan tugasnya. Begitu juga dengan waktu, yang tidak pernah mengenal kata lelah untuk berputar. Hingga tanpa sadar bila hari yang dinantikan tiba, hari penyatuan dua insan dalam sebuah ikatan pernikahan.Sebuah dekorasi yang telah dirancang sesuai keinginan, kini telah dipenuhi oleh tamu yang mulai berdatangan untuk menyaksikan pernikahan konyol. Bagaimana tidak, yang akan menjadi pengantin wanitanya adalah kakak dari istri pengantin lelaki. Bukankah itu terdengar aneh.Para tamu mulai bisik-bisik antar telinga teman-temannya ketika apa yang mereka dengar selama ini memang benar. Bahkan wanita yang telah lama berstatus sebagai istri, kini tanpa beban ataupun air mata telah berdiri cantik di samping pengantin lelaki di atas altar. Tersenyum lebar ke arah sang pengantin wanita yang kini tengah berjalan menuju altar.Bukan kecantikan pengantin wanita yang menjadi topik
"Asha, kau sudah bangun?" Pertanyaan yang terdengar begitu khawatir langsung tertangkap di indra pendengaran, membuat Asha yang baru saja mengerjap spontan menoleh. Dengan kepala yang terasa sakit, ia berusaha duduk. "Ada apa? Di mana ini?" tanyanya seraya memeriksa sekeliling. "Tadi tiba-tiba saja kau pingsan, jadi aku membawamu ke kamar. Aku baru saja hendak memanggil dokter kemari. Apa kau merasa baik sekarang?" Asha bergeming, berusaha mencerna setiap kalimat yang ia dengar. Beberapa detik kemudian, barulah ia sadar kejadian yang sebenarnya. Dengan mata telah membulat sempurna, ia kembali menoleh ke arah lawan bicara. "Apa Luke tau aku pingsan?" tanya Asha dengan nada panik. Membuat pria di hadapannya spontan menggeleng cepat. Melihat hal itu, Asha langsung berembus lega sembari mengusap dada. "Syukurlah." Julian mengernyitkan dahi melihat tingkah Asha yang membingungkan. "Kenapa?" Se
Di kamar lain, tampak Luke yang telah pokus dengan layar laptopnya. Bahkan ia tidak sadar jika pintu kamar mandi telah terbuka dan Ilona baru saja selesai dengan ritual mandinya. Wanita itu keluar dengan dress mini berwarna putih berbahan kain tipis hingga sedikit transparan. Selina yang memberikan pakaian itu padanya.Saat melangkah ke meja rias, Ilona sempat menoleh ke arah Luke yang masih bergeming dengan urusannya. Ia duduk dan menatap dirinya di cermin, ia bahkan tidak bisa berhenti tersenyum mengingat bahwa sekarang dirinya telah resmi menjadi istri dari pria yang sudah lama ia cintai. Tanpa sadar pipi itu merona merah.Dengan jantung berdegup kencang, Ilona melepaskan handuk di atas kepalanya dan membiarkan rambut pendeknya tergerai begitu saja. Malam ini ia ingin memberi penampilan yang sempurna untuk suaminya, penampilan yang akan menggoda iman.Saat tengah mempersiapkan, ia tidak tahu bahwa pr
Cahaya menerobos masuk melewati tirai putih hingga mengenai wajah cantik yang masih nyaman memejamkan mata. Sedetik kemudian kelopak itu mulai berdenyut bersamaan dengan kerutan di antara alis. Ia merenggangkan tangan lalu mulai mengerjap-ngerjap.Dari kelopak mata yang terbuka sedikit, ia bisa melihat bayangan wajah tampan di dekatnya. Wanita itu tersenyum, kembali mengerjap berusaha melawan cahaya yang menusuk mata. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya timbul, Asha menatap wajah yang lebih mirip suaminya. Ia berpikir bahwa yang ia lihat itu adalah ilusi semata karena ia terlalu merindukan suaminya.Akan tetapi, ia langsung membulatkan mata ketika suara bass melewati gendang telinga."Apa aku terlalu tampan hingga kau tidak bisa berkedip menatapku?"Asha langsung bangkit dan mengucek kedua matanya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. "Luke! Apa itu kau?"&nb
"Apalagi yang harus dibicarakan? Semuanya udah jelas bahwa kau adalah pria brengsek yang pernah kutemui!" bentak seorang wanita dengan emosi yang membeludak. Ia menghempaskan tangannya dari cekalan sang pria yang tampaknya belum menyerah. "Dee, kumohon beri aku-" "Berhenti memanggilku dengan nama itu. Sejak kemarin sore, kita sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi. Jadi, kau jangan bertingkah sok akrab denganku," sela wanita itu dengan napas yang semakin memburu. Saat ia melihat wajah pria di hadapannya, perselingkuhan kemarin semakin berputar jelas di memorinya. Pria yang sudah habis kesabaran itu pun mengeraskan rahangnya dengan tangan mulai mengepal. Ia bukanlah tipe pria lembut yang bisa terus memohon saat dirinya terus ditolak. "Hey, kau memang wanita yang tidak tau diri. Bersyukur aku mau meminta maaf dan bahkan memohon padamu. Tapi, kau malah bersikap sombong seperti itu. Memangnya siapa kau? Dasar wanita gila," umpat pria di
"Kau yakin tidak apa-apa?" tanya Sean setelah selesai membalut pergelangan tangan Denada setelah memberi salap di dalamnya. Wanita itu hanya mengangguk sebagai respon. Membuat Sean hanya mengembus napas kasar. Ia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana menghadapi sifat keras kepala wanita. Denada bersikeras untuk tidak ke rumah sakit. "Baiklah. Jika terjadi sesuatu yang lebih serius. Segera beritahu aku, hm?" Lagi-lagi Denada hanya mengangguk sebagai respon. Ia menarik tangannya dan menaruhnya di atas paha, sedang Sean sibuk membereskan kotak P3K. Setelah selesai, keheningan menyelimuti beberapa saat. Dua orang itu saling diam dengan perasaan kaku, hingga suara Sean mengakhiri semuanya. "Hm, masalah tadi. Aku terpaksa mengatakan jika kau adalah pacarku. Aku paling tidak tahan melihat pria bersikap kasar pada wanita, apalagi merendahkannya seperti tadi. Aku hanya ingin membuat ia mengerti bahwa masih ada pria yang lebih baik yang bisa
"Kita mau ke mana?" tanya Asha seraya menghentikan tarikan tangan sang suami. Luke menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang istri yang masih menampakkan rasa takut. "Ke atas. Jika hanya di sini, kita tidak bisa melihat hal yang lebih menakjubkan lagi," terang Luke dengan senyum lebar. Bukannya berbinar atau antusias atas keterangan suaminya, Asha malah semakin mengerutkan dahi sembari menggigit bibir saat matanya menjelajahi eskalator yang bergerak ke atas membawa beberapa orang yang menaikinya. "Ayo." Luke kembali menarik tangan Asha. Namun kembali berhenti ketika wanita itu menolak ajakannya. Saat Luke menoleh lagi, ia langsung disambut gelengan kepala oleh istrinya. Membuat lelaki itu mengembuskan napas samar. "Bagaimana jika kita menunggu orang-orang itu untuk turun dulu. Baru kita ke atas," usul Asha. Mengetahui jika sang istri masih ditakuti oleh perasaannya akan robohnya bang
"Luke, ke mana kau mau membawaku? Biarkan aku tetap membuka mata dan melihat keindahan di negara ini," protes Asha yang entah sudah ke berapa kali. Ia kecewa karena sejak turun dari mobil sampai sekarang ia masih tidak bisa menikmati pemandangan di sekitarnya."Kenapa kau begitu cerewet Asha? Tidak bisakah kau membiarkan aku melancarkan kejutan?" Luke menahan tangan istrinya yang hendak membuka penutup mata.Di tengah mata tertutup itu, Asha mengerutkan kening. "Kejutan apa? Bukankah kau berjanji tidak akan merencanakan kejutan lagi?"Luke mendesah mendengar sang istri yang belum juga berhenti bicara. Dengan embusan napa kecil, ia mencoba sabar. "Kali ini beda. Kau bersamaku, jadi otomatis keselamatanmu terjamin.""Sudah jangan bicara lagi. Kau akan tau setelah kita sampai di sana," lanjut Luke yang kembali menuntun tubuh sang istri untuk kembali berjalan.
Luke membuka pintu kamar, tepat pada saat itu ia melihat Asha tengah merapikan kasur yang sepertinya tidak menyadari kedatangan dirinya.Dengan senyum yang telah terpasang, Luke menutup pintu dengan pelan tanpa memberi suara. Dengan langkah pelan juga ia menghampiri sang istri dan langsung memeluknya dari belakang.Asha yang tengah pokus dengan pekerjaannya, otomatis terkejut ketika sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Ia baru bisa bernapas lega setelah melihat siapa pelakunya."Luke, kenapa kau begitu suka mengejutkanku? Kau bahkan masuk tanpa bersuara," sungut Asha yang kembali melanjutkan kegiatannya tanpa mempedulikan sang suami yang semakin mengeratkan pelukan."Aku tidak mengejutkanmu. Kau sendiri yang terlalu pokus dengan pekerjaanmu sampai kau tidak menyadari kepulanganku," timpal Luke dengan nada tidak terima.Mendengar pernyataan dari sa
"Asal kau tau, butuh usaha keras untuk tidak memelukmu saat itu, Asha. Bagaimana bisa kau mengatakan jika aku tidak merindukanmu lagi?" ujar Luke setelah melepaskan tautan bibir mereka. "Lalu kenapa kau mengacuhkanku?" Pertanyaan itu membuat Luke merubah ekspresi, otaknya mengingat saat ia berada di pesawat ketika hendak pulang dari hanymoon. Entah ide dari mana ia ingin membuat kejutan yang benar-benar tidak terduga kepada sang istri. "Untuk memberimu kejutan di hari ulang tahunmu," sahut Luke setelah beberapa saat. "Ulang tahunku?" ulang Asha sebelum menggerakkan bola matanya ke sudut, setelah beberapa saat mengingat, ia tersenyum dan kembali menatap sang suami. "Aku bahkan tidak ingat jika hari ini adalah ulang tahunku. Sikapmu yang tiba-tiba berubah membuat pikiranku teralih, Luke." Asha memajukan bibir tanda protes.  
"Asha, kau tidak apa-apa?" Luke membantu istrinya duduk dengan hati-hati.Suara ringisan berhasil membuat kekhawatiran Luke semakin memuncak. "Ada apa? Apa yang sakit?"Bukannya menjawab, Asha malah menatap sang suami begitu dalam, bola matanya bergerak menjelajah setiap inci tubuh suaminya."Kau tidak terluka?" tanyanya seraya menyentuh wajah suaminya dengan penuh keharuan. Air matanya kembali merembes keluar, ia lega karena masih bisa melihat sang suami.Luke memegangi tangan yang terasa dingin di wajahnya lalu kemudian mengecup telapak tangan itu. Setelah itu ia langsung memeluk erat tubuh istrinya."Maafkan aku Asha. Maafkan aku, jika aku tidak merencanakan kejutan konyol itu. Mungkin sekarang kau tidak terluka seperti ini. Aku benar-benar payah karena telah membawamu ke lubang bahaya," ungkap Luke seraya membaui aroma sang istri. Ia semakin meme
"Kenapa kita berhenti di sini? Bukankah kita harus pergi ke hotel Admaja?" ujar Asha di tengah sesenggukan akibat terlalu khawatir akan kabar yang begitu mengejutkan.Asha celingak-celinguk menatap ke sekeliling dengan kerutan tebal di dahi. Karena mobil itu kini berhenti di pinggir jalan yang di kelilingi oleh hutan belantara.Tiba-tiba ia mengalihkan pandangan ke depan, tepat ke kaca spion tengah saat ia mendengar suara tawa menggema dari sang supir."Apakah kau sangat berharap jika suamimu celaka?"Mencium bau mencurigakan, barulah Asha mulai berpikir di otaknya. "Siapa sebenarnya kau? Di mana Luke?" teriak Asha yang tidak sabaran."Tenanglah Nyonya. Siapa yang bisa mencelakai suamimu itu, hah? Seharusnya sekarang kau pikirkan keselamatanmu sendiri." Setelah menyelesaikan kalimatnya, pria bertopi hitam itu turun dari mobil dan membuka pintu belaka
Di tengah hati yang tersakiti, Asha memilih untuk menyibukkan diri dan berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan luka yang bersemayam di hatinya. Ia baru saja keluar dari ruangan pakaian dengan membawa beberapa kemeja Luke yang telah disetrika untuk digantungkan di lemari. Tidak sengaja ia melihat Luke berdiri di balkon utama. Sesaat Asha bergeming di tempat dengan pandangan lurus ke punggung kekar di sana. Rasa rindu semakin menggebu hebat dan segera ingin dilepaskan, ia mengembus napas panjang kemudian melangkahkan kakinya ke balkon setelah memastikan senyuman terbit di wajahnya. "Luke, kau-" Kalimat Asha terpotong saat ponsel Luke tiba-tiba berdering. Ia memperhatikan lelaki itu mengambil ponsel di dalam saku celananya. Sebelum ia menerima panggilan, Luke berbalik menghadap Asha. "Asha, kau ingin mengatakan sesuatu?" Asha hendak melanjutkan kalimatnya. Namun saat sang suami mengalihkan pandangan ke layar ponsel, ia m
Seminggu akhirnya telah berhasil mereka lewatkan. Selama itu bahkan mereka tidak tidur dalam satu ranjang. Hanya saja yang membuat Ilona merasa senang karena momen di restoran kala itu. Hari itu tidak akan pernah ia lupakan, tangan kekar yang berhasil ia genggam meski sang pemilik sama sekali tidak merespon lebih.Pesawat yang mereka tumpangi sebentar lagi akan mendarat di bandara ibu kota. Luke menarik napas lebih dalam, akhirnya ia telah kembali ke negara yang sangat ia rindukan. Terlebih karena ada wanita cantik di dalamnya. Wanita yang tidak sabar ia peluk.Jauh di tempat yang berbeda, Asha dengan senyum sumringah terus menyibukkan diri di dapur sejak pukul tiga sore. Dengan semangat, ia memasakkan beberapa hidangan kesukaan sang suami. Senyumnya semakin lebar saat membayangkan wajah senang Luke saat menikmati masakannya."Nyonya, sejak tadi Anda terus memasak. Biarkan saya melakukan sesuatu untuk m
"Luke, masalah tadi malam ... maafkan aku. Aku terlalu terbawa emosi. Bisakah kau melupakan kejadian semalam?" kata Ilona di tengah sarapan. Matanya tidak lepas dari wajah yang kini sama sekali tidak menampakkan ekspresi. Luke masih diam tidak menyahut. Setelah beberapa menit berpikir. Ia meletakkan sendok dan garpu ke atas piring. "Jangan membicarakan hal itu lagi. Aku sudah kenyang," sahutnya yang hendak pergi. "Eh, tunggu sebentar," cegah Ilona yang membuat Luke berhenti melangkah. Namun, pria itu sama sekali tidak berbalik. "Ada apa?" "Kita sudah empat hari di sini. Mama memintaku untuk mengirim beberapa foto kegiatan kita selama di sini. Jadi ... bisakah hari ini kita keluar?" tanya Ilona hati-hati. Ia menggigit bibir seraya menunggu jawaban. Lama menanti, akhirnya suara bass itu melancarkan pernapasan yang sempat terhenti. "Bersiaplah." *** "Luke, bagaimana. Apakah gaun ini cocok un